• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pesawat melesat cepat menuju Kuala Lumpur, aku akan transit di negeri Jiran, kampungnya Ipin dan Upin. Di dalam pesawat, aku meringkuk dengan berbagai bayangan berkelebat tiada henti di benak.

Ternyata tanpa terasa aku telah terbawa oleh arus gelombang waktu. Semuanya berlalu seperti tanpa terasa. Baru kemarin rasanya berseragam putih abu-abu, baru kemarin rasanya belajar TOEFL hingga larut malam, baru

kemarin rasanya mendaftar kuliah, baru kemarin rasanya hujan-hujanan mengurus visa.

Kini, aku tengah melaju kepada mimpi baru, dunia yang berbeda.

Jujur saja ini menjadi pengalaman yang susah untuk dilupakan. Apalagi saat berada di pesawat aku merasa tidak enak badan. Sepertinya perutku kembung dan tiba-tiba saja aku mual. Mungkin ini yang dinamakan mabuk udara. Tapi aku memilih untuk bertahan dan mencoba menenangkan diri.

Kenyataannya pesawat sudah delay semenjak dari Jakarta. Padahal waktu transit di Malaysia hanya satu jam saja. Aku tidak sempat memikirkan perkara mual di perut. Karena kalau transit bermasalah, aku akan terlantar di negeri Upin-Ipin.

Aku tidak tahu apa penyebab terjadinya

delay, yang pasti saat tiba di bandara Kuala

Lumpur, pesawat yang selanjutnya menuju India sudah bersiap untuk take off. Panggilan kepada penumpangnya terus bergema menggetarkan nyali. Keadaan ini membangkitkan semangat juangku. Jangan sampai segalanya berakhir di sini.

Waktu tersisa lima belas menit lagi sebelum pesawat itu benar-benar meninggalkan

diriku. Aku periksa lagi tiket baik-baik. Di sana tertera nomor gate yang harus dicapai dalam hitungan menit. Aku bukan pelari, tetapi kini aku harus mengayunkan kaki lebih kencang.

Oh ya! Ternyata ada satu anak cowok yang juga mahasiswa baru di Aligarh Muslim

University (AMU). Tetapi dianya jurusan ekonomi

dan aku psikologi, dan rupanya kami satu pesawat. Jadi dalam kepanikan ini, aku tidak sendiri.

Dengan adanya anak cowok, apakah dia bisa memberikan bantuan dan perlindungan bagiku? Entahlah. Kita tidak dapat saling mengharapkan. Jangan-jangan justru diriku yang harus menolongnya.

Ya, aku dan anak cowok itu langsung berlari terbirit-birit mencari gate nomor sekian. Aku menyeret koper besar milik sendiri, dan memanggul tas ransel pula. Anak cowok itu harusnya berlari lebih cepat. Toh, bawaannya sedikit. Katanya, “Nanti beli barang-barang di India saja!”

Aksi berlari-lari bak Kajol dikejar Shah Rukh Khan demi mengantarkan kami pada gerbang harapan. Gate yang dicari-cari akhirnya ketemu juga. Duh leganya!

Ternyata penjagaannya cukup ketat. Lagi-lagi anak cowok itu harus merasakan dicurigai dan diperiksa oleh petugas bandara. Sebab, setiap melewati mesin X-ray tas miliknya selalu berbunyi nyaring. Entah apa yang dibawanya!

Anak cowok itu selamat dari pemeriksaan yang amat detail. Namun, tetap saja pemeriksaan itu memangkas waktu.

Waduh, tinggal 8 menit lagi jam menunjukan pukul 19.15 waktu Malaysia. Mana pesawatnya nih?

Segera kami berlari kembali menaiki eskalator. Dan anak cowok itu terperanjat, ada beberapa barang miliknya yang tertinggal sewaktu kami kelimpungan mencari gate. Kami dalam dilema. Eits, bukan dilema cinta ya!

Apabila kembali ke gate itu, peluang kami gagal terbang akan sangat mungkin terjadi. Namun, jika dibiarkan kasihan juga, anak cowok hanya sedikit barang dan kini makin sedikit. Malangnya, yang tertinggal itu barang-barang semacam pakaian. Syukurnya, dokumen-dokumen penting masih aman.

Diriku juga bingung. Tidak mungkin juga aku mengorbankan penerbangan masa depan

demi seorang cowok yang baru saja dikenal dalam perjalanan. Apa kata dunia?

Tapi dia pun berkata dengan nafas berat, “Ya sudah, ikhlas saja!”

Selanjutnya kami tancap gas lagi. Dengan tersengal-sengal, akhirnya kami menemukan tujuan. Segera kami memperlihatkan tiket dan paspor pada petugas, lalu memasuki pesawat. Huff!

Tiba di pesawat aku sudah kaget melihat tampang orang-orangnya sudah berbeda. Penumpangnya 90 persen orang-orang India yang tampaknya lagi mudik pulang kampung. Rasanya kala itu aku seperti sudah tiba di India. Apalagi aroma India telah terasa menggoda bulu hidung.

Sulit dilukiskan dengan kata betapa leganya hati begitu pesawat take off menuju Delhi. Kalau tahu akan begini, jauh-jauh hari aku akan latihan lari. Jadinya tidak seperti sekarang, jantung seperti mau rontok.

Awalnya aku merasa biasa saja, penerbangan melaju dengan nyaman. Tetapi lambat laun rasa mual itu kembali memuncak. Sejak penerbangan kedua ini, aku mulai rajin bolak-balik ke toilet. Karena aku sudah tidak bisa menahan rasa mual tersebut.

Jauh-jauh hari banyak orang mengingatkan diriku mengenai enaknya makanan di pesawat. Kata mereka, aku harus makan banyak-banyak, karena nikmat sekali. Benar saja, makanan dan minuman menggoda itu mengalir ke setiap penumpang.

Namun begitu dicoba rasanya kok tidak karuan? Aku makan hanya dua sendok selepas itu kembali mual. Sampai-sampai salah satu pramugari bertanya, “Tak enak badan kah? Mau minum?” ucapnya dengan logat Melayu.

Aku pun mengganguk menandakan bahwa diriku memang sedang tak enak badan. Aku menenangkan diri sembari mengoles minyak angin di ujung hidung dan kepalaku. Pramugari membantu dengan baik.

Akhirnya sekitar pukul 12 dini hari waktu India, pesawat tiba di bandara Delhi. Baru saja menginjakkan kaki ke luar bandara, tubuhku langsung berkeringat. Aku yang semula memakai jaket terpaksa melepasnya. Ternyata benar suhu malam di sana mencapai lebih dari 30 derajat Celcius.

Oh ya, ini kan musim panas. Aku kaget betapa panasnya iklim di India. Biasanya suhu 30 derajat itu aku rasakan saat siang hari, tapi kini

sudah tengah malam suhu tersebut masih bertahan. Bagaimana nanti siang harinya?

Pertama tiba di Delhi aku merasakan benar-benar dunia yang berbeda. Suasananya, pemandangannya, kesibukannya, hingga penampakan orang-orangnya jauh berbeda. Aku memandang ke segala penjuru bandara. Kini apa yang akan aku lakukan tengah malam pekat begini ya? Ada yang bisa bantu?

Episode 6

Tiga Emak-Emak Itu