• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORETIS

B. Kajian Teoretis

3. Nilai-Nilai Religius dalam Karya Sastra

Kajian teoretis dalam nilai-nilai religius karya sastra terdiri dar pengertian religius, konsep religius, dan religius dalam sastra.

a. Pengertian Nilai Religius

Religius berasal dari kata nomina religi. Religi adalah kecenderungan rohani manusia, yang berhubungan dengan alam semesta, yang meliputi segala nilai (baik dam buruk), sedangkan religius, yaitu bersifat religi (keagamaan) atau bersangkut paut dengan religi (Depdiknas, 2013: 1159). Selanjutnya, Atmosuwito (2010: 123) mengartikan religi lebih luas dari pada agama. Kata religi menurut asal kata berarti ikatan atau pengikat diri. Pengertian pengikat diri lebih pada masalah personalitas, hal yang pribadi. Jika sesuatu ada ikatan atau pengikat diri, kata religi berarti menyerahkan diri, tunduk, dan taat. Namun, pengertiannya adalah positif karena penyerahan diri atau ketaatan dikaitkan dengan kebahagiaan seseorang. Kebahagiaan itu berupa diri seseorang yang melihat seakan-akan ia memasuki dunia baru yang penuh kemuliaan sedangkan kata agama biasanya terbatas pada ajaran-ajaran (doktrines) dan peraturan-peraturan (laws).

Islam menyuruh umatnya untuk beragama (berislam). Sebagai agama terakhir, Islam diketahui memiliki karakteristik yang khas dibandingkan dengan agama-agama yang datang sebelumnya. Nata

(2014: 63) berpendapat bahwa Islam mengandung arti patuh, tunduk, taat, dan berserah diri kepada Tuhan dalam upaya mencari keselamatan dan kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa religi adalah agama. Religius adalah nilai-nilai ketuhanan yang berhubungan dengan sikap atau tindakan manusia yang memahami, menghayati, dan mendorongnya bertingkah laku, bersikap, dan bertindak sesuai dengan ajaran agama.

b. Konsep Religius

Ancok dan Suroso (2011: 80) menyatakan konsep/prespektif Islam tentang religiusitas terdapat tiga dimensi nilai, di antaranya sebagai berikut.

1) Akidah

Secara etimologis akidah berasal dari kata „aqdan yang berarti simpulan, ikatan perjanjian dan kokoh (Ilyas, 2013: 1). Akidah dalam Islam meliputi keyakinan dalam hati tentang Allah sebagai Tuhan yang wajib disembah, ucapan dengan lisan dalam bentuk dua kalimat syahadat, yaitu menyatakan tidak ada Tuhan selain Allah, dan bahwa nabi Muhammad sebagai utusan-Nya; perbuatan dengan amal saleh (Nata, 2014: 84). Akidah merupakan dasar-dasar pokok kepercayaan atau keyakinan hati seorang muslim yang bersumber dari ajaran yang wajib dipegang oleh seorang muslim. Ancok dan Suroso (2011: 80) berpendapat akidah Islam menunjuk pada seberapa tingkat keyakinan

muslim terhadap kebenaran ajaran-ajaran agamanya, terutama terhadap ajaran-ajaran yang bersifat fundamental dan dogmatis. Akidah adalah bagian paling pokok dan merupakan kayakinan yang menjadi dasar tindakan. Di dalam keberislaman, akidah menyangkut keyakinan tentang Allah, para malaikat, Nabi/Rasul, Kitab-kitab Allah, surga dan neraka, serta qada dan qadar.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan yang utama dalam pendidikan Islam adalah akidah yang membentuk keyakinan kepada Allah yang diharapkan dapat melandasi sikap tingkah laku dan kepribadian anak didik. Akidah merupakan ajaran Islam yang bersumber kepada Alquran dan hadis. Oleh karena itu, akidah bersifat mengikat seorang muslim dengan segala aturan hukum yang ada dalam Islam.

2) Akhlak

Akhlak dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab akhlaq. Secara etmologis akhlaq adalah bentuk jamak dari khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Ancok dan Suroso (2011: 80) berpendapat akhlak menunjuk pada seberapa tingkatan muslim berperilaku dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya. Dalam keberislaman, akhlak meliputi perilaku suka menolong, bekerjasama, menegakkan keadilan, jujur, memaafkan, menjaga lingkungan hidup, tidak mencuri, tidak korupsi, tidak menipu, tidak korupsi, dan sebagainya.

Selanjutnya, Ilyas (2016: 2) berpendapat bahwa akhlaq merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa manusia sehingga dia akan muncul secara spontan bilamana diperlukan, tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan lebih dahulu, serta tidak memerlukan dorongan dari luar

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa dari ajaran Islam akhlak dapat dilihat dari hubungan Allah (khaliq) dan hubungan dengan sesama makhluk (baik sesama manusia, hewan, tumbuhan dan juga alam). Seorang yang berpegang teguh akidah dan syariat maka tampil sebagai muslim yang berakhlakul karimah. Tanpa melalui proses pemikiran, akhlak akan melekat di diri manusia dan keluar berwujud perbuatan.

3) Syariah

Syariah yang diambil dari kata syara‟a, yasra‟u, syar‟an, kata syar‟an (syariat hukum-hukum yang diperintahkan oleh Allah). Ancok dan Suroso (2011: 80) mendeskripsikan syariah menunjuk pada seberapa tingkat kepatuhan muslim dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana disuruh dan dianjurkan oleh agamanya. Dalam keberislaman, syariah menyangkut pelaksanaan salat, puasa, zakat, haji, membaca Alquran, doa, zikir, ibadah kurban, dan sebagainya. Sementara itu, pengertian syariat dijelaskan sebagai hukum agama yang menetapkan peraturan hidup manusia, hubungan dengan

Allah Swt., hubungan manusia dengan manusia, dan alam sekitar berdasarkan Alquran dan hadis (Depdiknas, 2013: 1369).

Para ahli hukum Islam berpendapat bahwa syariat adalah hukum-hukum yang diciptakan Allah Swt. untuk segala hambanya agar mereka itu mengamalkan untuk kebahagiaan dunia akhirat, baik hukum-hukum itu bertalian dengan perbuatan akidah, akhlak, dan muamalah.

a) Ibadah yang mengatur hubungan dengan Allah Swt. seperti rukun Islam, ibadah yang bersifat fisik, dan yang bersifat harta benda. b) Akhlak mengatur kepribadian (sikap).

c) Muamalah mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya. Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa syariah merupakan dasar-dasar hukum yang mengatur seorang muslim dalam kehidupan. Dasar-dasar hukum terdapat dalam Alquran. Seorang muslim dapat mengamalkannya melalui perbuatan.

c. Religius dalam Karya Sastra

Karya sastra memiliki fungsi ganda, yakni sebagai hiburan dan di sisi lain berusaha memberikan nilai-nilai yang bermanfaat bagi kehidupan. Salah satu fungsi tersebut berupa fungsi religius.

Fungsi religius, yakni karya sastra mengandung ajaran-ajaran agama yang wajib diteladani oleh pembaca. Karya sastra tidak bermaksud agar pembaca tahu yang dikomunikasikan, tetapi mengajak apa yang dirasakan pengarang (Ginanjar, 2012: 58). Hal ini sejalan

dengan pendapat Nurgiyantoro (2013: 446) bahwa sastra tumbuh dari sesuatu yang bersifat religius, termasuk yang bersifat keagamaan, dan kritik sosial banyak ditemukan dalam karya fiksi.

Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa karya sastra khususnya novel mengandung religius. Hal ni tergantung banyak sedikitnya nilai religius yang terkandung di dalamnya. Nilai religius yang ada dapat berfungsi sebagai contoh atau teladan bagi pembaca.

Dokumen terkait