• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORETIS

B. Kajian Teoretis

2. Unsur Intrinsik Novel

Novel sebagai salah satu karya sastra, merupakan sarana atau media yang menggambarkan imajinasi pengarang. Kata novel berasal dari kata Latin novellus yang diturunkan pula dari kata novelis yang berarti baru. Novel adalah bentuk karya sastra cerita fiksi yang paling baru (Waluyo, 2011: 5).

Dalam novel banyak kita jumpai nilai-nilai kehidupan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Dalam sebuah karya sastra novel, terdapat unsur pembangun cerita salah satunya unsur intrinsik. Nurgiyantoro (2013: 113-336) menyebutkan bahwa unsur intrinsik novel terdiri atas tema, tokoh, alur, latar, dan sudut pandang. Unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam novel akan penulis uraian satu persatu. a. Tema

Tema merupakan salah satu unsur yang sangat penting di dalam sebuah cerita. Nurgiyantoro (2013: 117) mendeskripsikan tema dapat dipandang sebagai dasar cerita sebuah karya novel. Tema merupakan

suatu gagasan pokok, sesuatu yang hendak diperjuangkan dalam suatu tulisan atau karya fiksi. Pengertian tema itu tercakup persoalan dan amanat pengarang kepada pembaca. Sementara itu, Stanton (2012: 36) menyatakan tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan makna dalam pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tema adalah gagasan (makna) pokok yang mendasari pada sebuah cerita. Nurgiyantoro ( 2013: 125-133) berpendapat bahwa ada beberapa macam tema yang dapat digolongkan ke dalam beberapa sudut pandang, yaitu penggolongan dikotomis yang bersifat tradisional dan nontradisional serta penggolongan dari tingkat keutamaannya, yakni mayor dan minor.

1) Tema tradisional dan nontradisional

Tema tradisional dimaksudkan sebagai tema yang menunjuk pada tema yang “itu-itu” saja, dalam arti telah lama dipergunakan dan dapat ditemukan dalam berbagai cerita, termasuk cerita lama. Pernyataan-pernyataan tema yang dapat dipandang sebagai bersifat tradisional misalnya kebenaran dan keadilan mengalahkan kejahatan, tindak kejahatan walaupun ditutupi akan terbongkar, tindak kebenaran/kejahatan masing-masing akan memetik hasilnya, cinta sejati menuntut pengorbanan, cinta sejati menuntut pengorbanan, dan sebagainya, sedangkan tema nontradisional bersifat tidak lazim, tidak

sesuai dengan harapan pembaca, bersifat melawan arus, mengejutkan, mengesalkan, atau berbagai reaksi afektif yang lain.

2) Tema utama dan tambahan

Tema utama atau disebut tema mayor merupakan makna pokok cerita yang menjadi dasar/gagasan umum karya sastra, sedangkan tema minor atau tema tambahan bersifat mempertegas eksistensi makna utama (tema mayor). Sudjiman (1992: 50) berpendapat bahwa tema cerita dinyatakan secara eksplisit dan ada juga yang dinyatakan simbolik/implisit. Akan tetapi, tidak mudah untuk menemukan tema cerita karena lebih sering tema itu implisit (tersirat). Namun, tema cerita kadang-kadang juga dinyatakan secara eksplisit oleh pengarangnya, baik melalui dialog, pemaparan, maupun judul karya sehingga pembaca dapat menebak temanya.

b. Tokoh dan Penokohan

Aminuddin (2013: 79) menyatakan tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita, sedangkan penokohan merupakan cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku. Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2013: 247-254) menyatakan bahwa tokoh adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan, sedangkan penokohan merupakan salah satu pembangun fiksi yang dapat

dan dianalisis keterjalinannya dengan unsur-unsur pembangun lainnya. Istilah penokohan digunakan untuk melukiskan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita..

Nurgiyantoro (2013: 258-278) membedakan beberapa macam tokoh, antara lain sebagai berikut.

1) Tokoh utama dan tokoh tambahan

Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Penggambaran tokoh utama banyak berhubungan dengan tokoh lain dan sering muncul dalam cerita, yakni tokoh tambahan. Tokoh tambahan adalah tokoh yang sedikit dimunculkan dalam cerita.

2) Tokoh protagonis dan tokoh antagonis

Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi yang salah satu jenisnya secara popular disebut tokoh hero, tokoh yang mewakili norma-norma ideal. Sebaliknya, tokoh antagonis adalah tokoh yang selalu menyebabkan konflik bagi tokoh protagonis. Tokoh-tokoh dalam cerita tidak secara serta merta hadir kepada pembaca.

Di dalam penggambaran tokoh diperlukan cara atau teknik. Nurgiyantoro (2013: 279-283) mengemukakan cara atau teknik penggambaran tokoh, yakni dengan teknik ekspositori dan dramatik. Teknik ekspositori yang sering juga disebut teknik analitik adalah teknik yang menjelaskan secara langsung watak dan tokoh. Sebaliknya, teknik dramatik adalah teknik yang watak tokohnya

disimpulkan pembaca dari kata-kata, tingkah laku, dan kejadian-kejadian yang diceritakan pengarang.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh adalah pelaku di dalam cerita sedangkan penokohan artinya sama dengan karakter yang menunjuk pada watak tokoh tertentu dalam sebuah cerita. Tokoh dan penokohan merupakan unsur penting yang berkaitan dengan unsur lainnya. Selain itu, tokoh dan penokohan dapat berguna untuk menyampaikan pesan dari pengarang.

c. Alur

Alur cerita adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam cerita (Aminuddin, 2013: 83). Pengertian lain menyebutkan bahwa alur atau plot merupakan cerita yang berisi urutan kejadian yang dihubungkan secara sebab-akibat, Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2013: 113). Alur merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tidak sedikit orang yang menganggapnya sebagai yang terpenting di antara berbagai unsur fiksi yang lain.

Berdasarkan kedua pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa alur atau plot merupakan rangkaian kejadian dalam sebuah cerita yang dikaitkan dengan hubungan sebab-akibat.

Nurgiyantoro (2013: 209-210), membedakan plot menjadi lima bagian, yaitu:

1) Situation (tahap penyituasian)

Tahap ini berisi pelukisan atau pengenalan situasi (latar) dan tokoh-tokoh cerita.

2) Generating circumstances (tahap pemunculan konflik).

Tahap ini berisi masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan.

3) Ricing action (tahap peningkatan konflik).

Tahap ini berisi konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang.

4) Climax (tahap klimaks)

Tahap ini berisi konflik atau pertentangan yang terjadi pada tokoh cerita mencapai titik puncak.

5) Denouement (tahap penyelesaian).

Tahap ini berisi penyelesaian dari konflik yang sedang terjadi

Sudjiman (1992: 33) juga menambahkan bahwa alur sebagai salah satu unsur intrinsik yang mempunyai keindahan tersendiri terdapat beberapa faktor penting lain di antaranya:

1) Suspense atau tegangan, yakni ketidakpastian yang berkepanjangan dan makin menjadi-jadi. Pembaca terpancing keingintahuannya akan kelanjutan cerita, serta penyelesaian masalah yang dihadapi tokoh.

2) Foreshadowing atau daya guna bayang, yakni pengarang memasukkan butir-butir cerita yang membayangkan akan

terjadinya sesuatu, atau seolah-olah mempersiapkan peristiwa yang akan datang.

3) Plausibility atau kebolehjadian, yakni cerita harus meyakinkan. 4) Kejutan, yakni adanya kedua faktor yang nampaknya bertentangan

bersama-sama terhadap dalam cerita.

5) Kebetulan. Kebetulan itu direncanakan demi kelancaran jalannya cerita, tetapi tidak sampai menimbulkan kekakuan atau terasa dipaksakan.

Berdasarkan kriteria urutan waktu, Nurgiyantoro (2013: 153-155) membedakan alur menjadi tiga macam, antara lain sebagai berikut.

1) Alur maju atau progesif

Terjadi jika cerita dimulai dari tahap awal, tengah, dan akhir terjadinya peristiwa.

2) Alur mundur, regresif atau flashback

Terjadi jika dalam cerita dimulai dari akhir cerita atau tengah cerita, kemudian menuju awal cerita.

3) Alur campuran

Gabungan antara alur maju dan alur mundur. d. Latar atau Setting

Latar atau setting adalah tempat terjadinya suatu peristiwa. Aminuddin (2013: 67) menyatakan bahwa setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis.

Selanjutnya, Waluyo (2011: 23) berpendapat bahwa setting adalah tempat kejadian cerita. Tempat kejadian cerita dapat dikaitkan dengan tempat dan waktu. Pengertian yang sama dari Abrams (dalam buku Nurgiyantoro, 2012: 216) menyebutkan bahwa latar atau setting adalah sebagai landas tumpu, menunjuk pada pengertian tempat, pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.

Nurgiyantoro (2013: 227-235) berpendapat, latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. 1) Latar Tempat

Latar tempat menyarankan pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Keberhasilan latar tempat lebih ditentukan oleh ketepatan deskripsi, fungsi, dan keterpaduannya dengan unsur latar yang lain sehingga semuanya bersifat saling mengisi.

2) Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan peristiwa itu terjadi yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.

3) Latar Sosial

Latar sosial menyangkut status sosial tokoh, cara berpikir, adat istiadat, dan penggambaran kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi

Waluyo (2011: 23) berpendapat bahwa dalam fungsi latar, yaitu: (1) mempertegas watak pelaku; (2) memberikan tekanan pada tema cerita; (3) memperjelas tema yang disampaikan; (4) metafora bagi situasi psikis; (5) sebagai pemberi atmosfir (kesan); (6) memperkuat posisi plot. Latar juga dapat dilihat dari fungsi sisi lain, yang lebih menunjuk pada fungsi latar pembangkit tanggapan atau suasana tertentu dalam cerita. Nurgiyantoro (2013: 330) menyatakan fungsi latar sebagai berikut.

1) Latar sebagai metaforik

Penggunaan istilah metafora menunjuk pada suatu pembanding yang mungkin berupa sifat keadaan, suasana atau pun sesuatu yang lain. Dalam kehidupan sehari-hari, untuk mengekspresikan berbagai keperluan, manusia banyak mempergunakan bentuk-bentuk metafora. Dalam hal ini, latar lebih melukiskan sifat, keadaan, atau suasana tertentu.

2) Latar sebagai atmosfer

Istilah atmosfer mengingatkan pada lapisan udara tempat kehidupan dunia berlangsung. Manusia hidup karena menghirup udara atmosfer. Atmosfer dalam cerita merupakan “udara yang dihirup pembaca sewaktu memasuki dunia rekaan”, berupa kondisi latar yang mampu menciptakan latar tertentu, misalnya suasana romantik, sedih, muram, misteri, dan sebagainya. Suasana tersebut dideskripsikan secara tidak

langsung. Pembaca pada umumnya mampu menangkap pesan suasana yang ingin diciptakan pengarang dengan kemampuan imajinasi.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa latar merupakan latar peristiwa suatu cerita yang meliputi latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latar berhubungan erat dengan tokoh dalam cerita. Selain itu, latar juga berfungsi sebagai metaforik dan atmosfer.

e. Sudut Pandang (Point of View)

Sukirno (2016: 86) menyatakan sudut pandang adalah penempatan posisi pengarang pada cerita yang ditulisnya. Sudut pandang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh yang membentuk cerita. Sementara itu, Nurgiyantoro (2013: 338) mengemukakan sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan cerita.

Nurgiyantoro (2013: 347-360) menyatakan ada beberapa macam sudut pandang, yakni sebagai berikut.

1) Sudut Pandang Persona Ketiga “Dia”

Pengisahan cerita yang menggunakan pengisahan sudut pandang persona ketiga “Dia”, narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama atau kata gantinya “ia, dia, mereka.” Nama-nama

tokoh cerita khususnya tokoh utama, kerap terus menerus disebut. Sebagai variasi dipergunakan kata ganti tersebut. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pembaca mengenali siapa tokoh yang diceritakan atau siapa yang bertindak. Sudut pandang “Dia” terbagi dalam dua golongan, yakni sebagai berikut.

a) “Dia” Mahatahu

Dalam sudut pandang ini, cerita dikisahkan dari sudut “dia”, narator bersifat mahatahu. Ia mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peritiwa, tindakan, dan termasuk motivasi yang melatarbelakanginya.

b) “Dia” Terbatas, “Dia” sebagai Pengamat

Dalam sudut pandang ini, pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja/terbatas dalam jumlah yang sangat terbatas. Dalam sudut pandang “dia” sebagai pengamat, pengarang hanya dapat menceritakan segala sesuatu yang dapat dilihat dan didengar, atau yang dapat dijangkau oleh indera.

2) Sudut Pandang Persona Pertama “Aku”

Sudut pandang ini, pengarang adalah seseorang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si “aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, mengisahkan peristiwa dan tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan serta

sikapnya terhadap orang lain. Sudut pandang persona pertama digolongkan menjadi dua, yakni sebagai berikut.

a) “Aku” Tokoh Utama

Dalam sudut pandang ini, si “aku‟ mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah, dalam diri sendiri, maupun fisik, hubungannya dengan sesuatu yang diluar dirinya. Si “aku” menjadi fokus, pusat kesadaran, pusat cerita.

b) “Aku” Tokoh Tambahan

Sudut pandang ini, “aku” muncul bukan sebagai tokoh utama, melainkan sebagai tokoh tambahan. Setelah cerita tokoh utama habis, si “aku tambahan tampil kembali dan dialah kini yang berkisah.

3) Sudut Pandang Campuran

Penggunaan sudut pandang bersifat campuran mungkin saja berupa penggunaan sudut pandang persona ketiga dengan teknik “dia” mahatahu dan “dia” sebagai pengamat, persona pertama dengan teknik “aku” sebagai tokoh utama dan “aku” tambahan atau sebagai saksi, bahkan dapat berupa campuran antara persona pertama dan ketiga, antara “aku” dan “dia” sekaligus.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sudut pandang merupakan cara pengarang untuk menyajikan tokoh, latar, dan

berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.

Dokumen terkait