• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesimpulan

Dalam dokumen Legalitas Spiritual dalam Penegakan Hukum (Halaman 190-194)

BAB V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Bagian akhir pembicaraan buku ini akan ditutup dengan be-berapa kesimpulan yang tentu saja diharapkan bisa menjadi bahan per-timbangan untuk dilakukan pembahasan dan pengkajian lebih lanjut serta memperoleh kebenaran sesungguhnya. Disebabkan oleh faktor historis, sistem hukum Indonesia yang hidup dalam ruang Negara Hukum Republik Indonesia hingga kini masih diselimuti berbagai ma-salah baik dari sisi substansi, institusi maupun dari sisi kultur. Prob-lematika yang sistemik tersebut tidak pernah bisa di selesaikan mes-kipun sejarah perjalanan sistem hukum bangsa ini sudah cukup lama.

Cikal bakalnya telah muncul jauh sebelum negara ini memproklamirkan kemerdekaannya. Akar permasalahannya sebenarnya berawal dari ketidak konsistenan tokoh-tokoh politik bangsa dan negara ini untuk membangun suatu sistem hukum yang berpijak pada kultur hukum masyarakatnya yang berdasarkan pada nilai-nilai hukum adat dan nilai-nilai hukum agama (Islam).

Kita tidak dapat pungkiri, meskipun Indonesia tidak menjadikan salah satu agama sebagai agama resmi negara, akan tetapi Indonesia adalah negara yang menghormati nilai-nilai agama sebagai sumber hukum kehidupan. Agama di Indonesia memiliki posisi penting dan strategis di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai agama dalam kehidupan bangsa Indonesia tidak boleh disepelekan. Sejatinya nilai-nilai ajaran agama (universal) dijadikan sebagai penuntun dalam segenap diri dan kedirian aparat penegak hukum, termasuk di dalam interaksi sosial masyarakat, yang pada akhirnya mewujud menjadi kultur (hukum) masyarakat. Nilai-nilai ajaran agama (Islam) seharusnya menjadi sumber hukum materil (sumber asas-asas hukum) di dalam pembentukan peraturan perun-dang-undangan di tengah masyarakat.

Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (proses legislasi), salah satu yang berperan penting dalam proses tersebut

181 adalah manusia yang diberi kuasa oleh otoritas negara untuk memben-tuknya. Orang-orang yang menjadi aparat eksekutif ter khusus yang membidangi proses legislasi nasional di bidang peraturan perundang-undangan. Orang-orang yang menjadi anggota Dewan Pewakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Penegak hukum yang diberi kewenangan untuk menjaga dan menegakkan hukum serta masyarakat yang menjadi objek pengaturan undang-undang. Sebagai umat beragama, maka peran nilai-nilai ajaran agama yang di anut atau di yakini, tentu saja logis untuk mewarnai segenap proses legislasi tersebut.

Qonditio siene quanom, kita patut bersyukur oleh karena secara yuridis formal proses legislasi sebagaimana diatur di dalam UU No. 12 Tahun 2011 telah menempatkan Pancasila sebagai sumber hukum yang salah satu kandungannya adalah penempatan hukum agama (Islam) sebagai landasan dan sumber hukum. Penjabarannya lebih lanjut terlihat di dalam undang-undang tentang Pemerintahan Daerah, un-dang-undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan juga undang-undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. undang- Perundang-undangan tersebut telah memasukkan nilai-nilai ajaran Islam dalam beberapa pasalnya dan juga secara awal di bangunan perundang-undangannya yang menempatkan kalimat, “dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa”, yang tentu saja bukan sekedar menempelkan kalimat tersebut tanpa penjabaran lebih lanjut di dalam batang tubuh pasal-pasalnya, akan tetapi mewujud pada semua aspek perundang-un-dangan sebagai sebuah sistem hukum yang dibangun untuk kepent-ingan masyarakat (bangsa Indonesia).

Last but not least, agama Islam dengan hukum Islamnya diakui tidak saja secara konsepsional dan teoretik akan tetapi juga dalam realitas adalah salah satu sistem hukum yang lengkap. Islam tidak hanya berisi ajaran teologis akan tetapi juga memliki sistem nilai tentang peradaban. Sebuah sistem hukum yang sumber hukumnya termaktub di dalam sumber ajaran Islam yaitu: al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW. Sebuah kitab suci yang tidak hanya memiliki kaidah-kaidah hukum akan tetapi sekaligus juga bisa menjadi sumber hukum tidak hanya di dalam proses pembentukan hukum-hukum Islam akan tetapi juga di dalam pembentukan perundang-undangan nasional,

182 dengan landasan filosofisnya adalah Pancasila dan landasan konsti-tusinya adalah Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Ta-hun 1945.

Quo vadis, dalam konteks dunia hukum Indonesia yang semakin carut marut dengan berbagai penyimpangan yang justru dilakukan oleh aparat penegak hukum dapat kita analisis bersama dengan pendekatan nilai-nilai spiritual Islam. Apabila dorongan-dorongan pemberontak berusaha untuk membongkar peranan akal dan hati nurani dan menjadikan manusia tawanan hawa nafsu, keimanan muncul sebagai dukungan yang terbaik untuk diandalkan. Iman adalah dukungan terbesar dan pancangan nurani dan akal. Dengan dukungannya akal dan nurani mendapatkan kemampuan untuk menekan naluri-naluri pemberontak dalam segala keadaan, melawan tekanan permusuhan hawa nafsu dan mengatasi setiap jenis kecenderungan berbahaya.

Seorang manusia yang dipersenjatai dengan iman adalah manusia yang dalam kata-kata Al-Qur’an, telah berpegang pada pegangan yang kukuh yang tak pernah putus. Dengan itu diharapkan terbentuk sosok pene-gak hukum yang tentu saja menjadi impian kita semua Bangsa Indone-sia.

Contradictio interminis, persoalan krusial yang melanda aparat penegak hukum bangsa dan Negara ini adalah mereka tidak memahami diri yang sebenarnya diri pada dirinya, diri yang beragama dan diri yang pada akhirnya nanti menghadap dan bertanggung-jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Diri yang sebenarnya diri yang menjadi centrum of power yang menyebabkan segala aspek anatomis, patologis dan biol-ogis diri ini memperoleh energi untuk memfungsikan dirinya. Inilah yang selalu kita dengar dari ulama-ulama kita bahwa Allah befirman:

Allah tidak melihat pada rupamu dan amalmu, hanya Allah melihat pada hatimu dan niat kamu. Untuk itu ukuran normatif yang digunakan untuk nilai norma sosial-budaya yang dapat dipandang ma’ruf adalah kebenaran Ilahiyah (al haq). Kebenaran sebagaimana telah tertuang di dalam berbagai kitab suci yang di turankan oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Terminologi “haq” adalah hakekat yang baik dan benar menurut Allah, yang artinya baik dan benar menurut ukuran atau menurut apa yang datang dari Allah. Kebenaran yang datang dari Allah adalah seperangkat nilai dan norma hidup yang secara umum diatur dalam

183 firman Allah dan contoh nyata Rasulullah. Haq bersifat universal, abadi, dan abstrak, karena itu pelaksanaannya disebut ma’ruf. Dengan demikian, ma’ruf bisa datang sebagai aplikasi dari haq, tetapi juga datang dari masyarakat yang dinyatakan telah sesuai dengan haq atau norma budaya yang sesuai atau tidak bertentangan dengan nilai Ilahiyah yang seharusnya menjadi sumber nilai dan pijakan dalam se-tiap langkah-langkah kita dalam interaksi sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat yang majemuk.

Pantarai, selama aparat penegak hukum masih belum memahami diri dan kediriannya dari sudut pandang spiritualitas (Agama Islam) maka kita jangan pernah berharap untuk tegaknya hukum sesuai dengan tujuan hukum. Aparat penegak hukum yang tidak memahami eksistensi dirinya dari sisi spiritualitas maka hidup kesehariannya akan senantiasa didorong dan dilingkupi oleh ”hawa nafsu” dan inilah yang membuat rusaknya moralitas aparat penegak hukum. Sebaliknya dengan memahami nilai-nilai spiritualitas (Agama Islam) maka hidup keseharian aparat penegak hukum akan senantiasa dilingkupi oleh sifat-sifat: siddiq, amanah, tabligh dan fatonah. Sayangnya hingga kini aparat penegak hukum kita masih bergerak dalam tataran memisahkan nilai-nilai ajaran agama dengan kehidupan duniawi, bahkan yang lebih celaka adalah tidak dipahaminya apa yang dikemukakan di atas. Benar-benar agama hanya dijadikan bagian belakang kehidupan dan hanya menjadi perbincangan ilutif di dalam kegiatan-kegiatan ritual keaga-maan.

Untuk terwujudnya tujuan hukum, baik untuk keadilan, ke-manfaatan dan kepastian hukum, maka substansi aturan perundang-undangan yang ada harus sesuai dengan nilai-nilai spiritualitas yang ada di dalam sumber-sumber ajaran agama (kitab suci) yang menjadi anutan bangsa Indonesia. Demikian juga dengan kualitas sumber daya manusia bidang hukum harus lah manusia-manusia yang paripurna da-lam hal ini memahami nilai-nilai ajaran agama yang dianutnya dan mampu disinergikan dengan hukum-hukum negara yang ada. Se-dangkan untuk aspek kultur hukum yang hidup di tengah masyarakat tentu saja juga harus di bangun berdasarkan nilai-nilai ajaran agama yang universal dengan sumbernya dari Tuhan Yang Maha Esa se-bagaimana tertuang di dalam kitab suci-Nya (Al-Qur’an dan Hadits).

184 Ketidak pedulian terhadap hal-hal tersebut tentu saja akan berim-plikasi pada penegakan hukum menuju terwudnya tujuan hukum. Sikap acuh tak acuh yang ditunjukkan tidak hanya oleh aparat pemerintah pembentuk undang-undang, aparat penegak hukum sebagai pilar utama tegaknya hukum serta masyarakat yang menjadi objek pengaturan hukum akan menjadi benang kusut kacaunya penegakan hukum menuju terwujudnya tujuan hukum yaitu: keadilan, kemanfaa-tan dan kepastian hukum bagi seluruh bangsa Indonesia agar terwujud bangsa Indonesia yang adil dan makmur.

Tuntutan untuk menegakkan dan menyebarkan: keadilan, ke-manfaatan dan kepastian hukum bukan hanya perintah hukum (un-dang-undang Negara) akan tetapi juga perintah langsung dari ajaran agama (Islam). Dalam ajaran agama (Islam) dasar-dasarnya dapat dilihat di dalam: Surat Al-Maidah ayat 48; Surat Al-Jatsiyah ayat 18; Su-rat Shaad ayat 22; SuSu-rat Al-Maidah ayat 42. Keadilan, kemanfaatan serta kepastian hukum adalah kebutuhan dan sekaligus kewajiban da-sar umat manusia agar hidup dan kehidupannya dalam interaksi sosial yang dilakukannya senantiasa tercipta ketenangan dan toleransi yang tumbuh di atas kultur hukum yang berbasis pada nilai-nilai spirituali-tas.

Dalam dokumen Legalitas Spiritual dalam Penegakan Hukum (Halaman 190-194)

Dokumen terkait