• Tidak ada hasil yang ditemukan

Legalitas Spiritual dalam Penegakan Hukum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Legalitas Spiritual dalam Penegakan Hukum"

Copied!
203
0
0

Teks penuh

(1)

i

(2)
(3)

i

LEGALITAS SPIRITUAL

DALAM PENEGAKAN HUKUM

AHKAM JAYADI, S.H., M.H.

Editor: Muhammad Ikram Nur Fuady, S.H., M.H.

(4)

ii

LEGALITAS SPIRITUAL

DALAM PENEGAKAN HUKUM

(5)

iii

LEGALITAS SPIRITUAL

DALAM PENEGAKAN HUKUM

AHKAM JAYADI, S.H., M.H.

Editor: Muhammad Ikram Nur Fuady, S.H., M.H.

Penerbit:

Anggota IKAPI No. 428/JBA/2022

(6)

iv LEGALITAS SPIRITUAL DALAM PENEGAKAN HUKUM

Penulis :

AHKAM JAYADI, S.H., M.H.

ISBN : 978-623-88371-3-7, 978-623-88371-4-4 (PDF) Editor : Muhammad Ikram Nur Fuady, S.H., M.H.

Tata Letak : Dudih Gustian, M.Kom Desain Sampul : Nafis Ridhwan

Penerbit : INDIE PRESS

Redaksi :

Jl. Antapani VI, No 1B, Ankid, Antapani, Bandung 40291 Telp/Faks: (022) 20526377

Website: www.indiepress.id |E-mail: admin@indiepress.co.id Cetakan Pertama :

September 2022 Ukuran : iv, 192, Uk: 15,5 x 23 cm

Hak Cipta 2022, Indie Press dan Penulis Isi diluar tanggung jawab percetakan

Copyright © 2022 by Indie Press

All Right Reserved Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku initanpa izin tertulis dari Penerbit.

(7)

v ِمي ِح هرلٱ ِن َٰ م ۡح هرلٱ ِ هللَّٱ ِم ۡسِب

Assalamu Alaikum wr.wb.

Segala puji bagi Allah SWT atas anugerahnya berupa kesehatan dan kekuatan, dengan itu penulis dapat menyelesaikan penulisan buku ini untuk diterbitkan. Sejalan dengan rasa syukur tersebut shalawat dan salam kita persembahkan kehadapan ikutan kita Muhammad Rasulullah SAW yang telah mengeluarkan umat-Nya dari kegelapan kepada yang terang benderang.

Tulisan dalam buku ini dimaksudkan untuk melengkapi litera- tur hukum yang ada selama ini, namun kurang sekali untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali literatur yang mensinergikan nilai- nilai ajaran agama (Islam) dengan hukum perundang-undangan negara. Untuk itu kehadiran buku ini diharapkan dapat memberi nu- ansa baru dalam literatur hukum yang telah ada.

Pada kesempatan ini penulis secara khusus menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada Isteri tercinta (Hj. A. Erlina Aras) yang senantiasa setia mendampingi dalam suka maupun duka serta memahami kehidupan suaminya sebagai akademisi yang terka- dang egoisme ilmiahnya tidak dapat di tawar-tawar. Demikian juga terima kasih kepada anak-anak ku tersayang (Ahmad Agung Ahkam, Nisa Mulia Ahkam, Ahmad Alim Ahkam dan Nisa Aulia Ahkam). Yakin- lah bahwa pengorbanan kalian akan dirahmati dan diridhoi oleh Allah SWT, Tuhan yang maha pengasih, maha penyayang dan maha pengam- pun, amin.

Akhirnya penulis hanya bisa berharap semoga buku ini ada manfaatnya bagi kita semua, khususnya kepada mereka-mereka yang senantiasa cinta dan tidak pernah patah semangat dalam mendorong

“penegakan hukum yang berkeadilan untuk semua” di negara kita tercinta, Negara Hukum Republik Indonesia, termasuk mereka-mereka yang senantiasa mencoba “mengoreksi dan memperbaiki Tatanan Hukum Nasional Negara Republik Indonesia agar sesuai dengan kultur

(8)

vi hukum serta rasa kesadaran hukum dan rasa keadilan hukum masyara- kat yang berbasis nilai-nilai spiritualitas”, amin.

Makassar, 12 September 2022

Penulis

(9)

vii

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Ruang Lingup Pembahasan ... 11

C. Metode Pendekatan ... 14

BAB II. RUANG LINGKUP SISTEM HUKUM ... 15

A. Entitas Sistem Hukum Indonesia ... 15

B. Teori Sistem Hukum Menurut Lawrence M. Friedmann 27 C. Pandangan Hukum Progresif ... 35

BAB III. BERBAGAI TEORI TUJUAN HUKUM ... 45

A. Teori Etis ... 51

B. Teori Utilitis ... 63

C. Teori Kepastian Hukum ... 69

D. Teori Modern ... 80

E. Teori Sadjipto Rahardjo ... 84

BAB IV. PENDEKATAN TEORI RELIGIUSITAS ... 92

A. Mewujudkan Tujuan Hukum ... 95

B. Problematika Mewujudkan Tujuan Hukum ... 130

C. Nilai-Nilai Religiusitas Aparat Penegak Hukum ... 139

BAB V. PENUTUP ... 181

A. Kesimpulan ... 181

B. Saran ... 185

DAFTAR PUSTAKA ... 186

PROFIL PENULIS ... 192

(10)
(11)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagaimana biasanya, ide untuk menulis buku ini sebenarnya telah lahir puluhan tahun lalu tepatnya ketika penulis mulai menjalani profesi sebagai akademisi bidang hukum di tahun 1987. Ide itu ter- bentuk sebagai hasil kontemplasi yang melahirkan konflik latent dari substansi keilmuan antara teori-teori hukum yang penulis dapatkan di buku-buku ilmiah bidang hukum dan kaedah-kaedah yang menjelma di dalam peraturan perundang-undangan negara Republik Indonesia plus realitas penegakan hukum yang ada masih jauh dari apa yang seha- rusnya. Masih menganga jurang antara das sein dan das sollen. Jurang antara harapan dan kenyataan seringkali berbeda jauh, akibatnya kead- ilan menjadi jauh di awan-awan.

Institusi hukum dibuat dengan tujuan untuk kemaslahatan manusia. Realitas dalam dimensi penegakan hukum wujudnya justru menjauh dari tujuan hukum. Wujud penegakan hukum seperti itu, telah berlangsung berpuluh-puluh tahun yang celakanya hampir tidak ada perubahan yang signifikan hingga sekarang. Pelanggaran hukum masih terjadi secara massif mendalam Peraturan perundang-undangan ter- sebut (baik yang ruang lingkup hukum pidana, hukum perdata, hukum tata usaha negara, hukum ketatanegaraan dan yang lainnya) seakan tidak mampu mencegah terjadinya berbagai perbuatan melawan hukum (tindak pidana). Apalagi jika tindak pidana itu dilakukan atau melibatkan orang-orang dari eksekutif, elit-elit politik dan aparat pene- gak hukum itu sendiri, termasuk jika yang terlibat itu adalah orang- orang kaya sebagai pemilik modal (konglomerat), maka dengan mu- dahnya hukum bisa dibayar sesuai keinginannya. Hukum dijadikan ko- moditi atau objek jual beli sehingga pemenangnya tentu saja para pem- ilik modal.

(12)

2 Muatan undang-undang dapat diklasifikasi ke dalam: undang-un- dang yang mengatur urusan negara khususnya yang berkaitan dengan urusan luar negeri; undang-undang yang mengatur aparat negara dan aparat pemerintahan (jajaran eksekutif dan birokrasi pemerintahan) serta undang-undang yang mengatur kehidupan rakyat. Undang-un- dang yang mengatur kehidupan rakyat ini kemudian dapat dikelompokkan ke dalam materi hukum yang berkaitan dengan masa- lah-masalah keperdataan yang tertuang di dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang merupakan satu kodifikasi dan berbagai peraturan perundang-undangan terkait yang tidak merupa- kan satu kodifikasi, misalnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Ketentuan- ketentuan Pokok tentang Perkawinan, Undang-undang Kewarganega- raan, Undang-undang Lalu Lintas, Undang-undang Perpajakan dan yang lainnya.

Hal-hal yang berkaitan dengan kepidanaan sebagaimana tertu- ang di dalam satu kitab kodifikasi yang dikenal dengan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) dan berbagai peraturan perun- dang-undangan terkait lainnya yang tidak merupakan satu kodifikasi undang-undang, misalnya UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberanta- san Tindak Pidana Korupsi yang kemudian direvisi dengan UU No. 20 Tahun 2001, UU Tindak Pidana Pencucian Uang, UU tentang Narkotika dan Obat-obat Terlarang, UU Lingkungan Hidup dan yang lainnya.

Demikian juga bidang-bidang hukum lainnya seperti bidang hukum tata usaha negara, bidang militer dan pertahanan keamanan negara, bidang politik, bidang hukum pertanahan dan perumahan dan bidang-bidang hukum yang lainnya.1

Penegakan peraturan perundang-undangan tersebut di dalam re- alitas baik dalam wujud karena adanya pelanggaran hukum atau tindak pidana maupun yang bukan tindak pidana, maka ini lah yang disebut dengan penegakan hukum guna mewujudkan tujuan hukum yaitu:

keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Mewujudkan tujuan hukum yang secara teoretik kita kenal dengan tujuannya adalah untuk:

keadilan, kemanfaatan atau daya guna dan kepastian hukum, ternyata tidak lah semudah yang kita bayangkan selayaknya membalikkan

1 Nurlely Darwis, “Penegakan Hukum Untuk Memperoleh Hak Atas Keadilan,” Penegakan Hukum untuk Memperoleh Hak atas Keadilan 3, no. 2 (2013): 1–8.

(13)

3 telapak tangan. Berbagai aspek kehidupan dapat ikut mempengaruhi berfungsinya hukum di dalam realitas kehidupan masyarakat. Baik pengaruh positif untuk mendukung penegakan hukum sebagaimana mestinya maupun pengaruh negative untuk membawa hukum kepada tujuan atau kehendak sebagaimana mestinya (hukum sebagai komod- iti).

Berbagai proses yang menyertai dalam penegakan hukum ini lah kita akan berhadapan dengan realitas hukum sesungguhnya (relasi law in book dengan law in action). Hukum dengan wajah sesungguhnya di dalam kenyataan. Di dalam realitas kehidupan lah materi peraturan pe- rundang-undangan akan di uji apakah materi dari peraturan perun- dang-undangan yang ada sesuai dengan realitas kehidupan masyara- kat. Apakah kesadaran hukum masyarakat demikian juga kultur hukum masyarakat dapat menerimanya. Apakah nilai-nilai dasar atau asas- asas hukum yang melandasinya sesuai dengan nilai-nilai hukum atau kultur hukum masyarakat yang di aturnya. Sinergitas keduanya akan menentukan wujud hukum pada akhirnya, yaitu: hukum dipatuhi oleh masyarakat atau hukum tidak dipatuhi oleh masyarakat. Apakah hukum akan dapat berfungsi sebagai solusi terhadap berbagai masalah yang ada atau justru menjadi sumber masalah.

Pada ranah penegakan hukum lah juga kita akan dapat menyaksi- kan benturan antara hukum dalam undang-undang (law in books) dengan hukum dalam kenyataan (law in action). Apakah aparat pene- gak hukum yang ada benar-benar menegakkan hukum sebagaimana seharusnya. Apakah aparat penegak hukum yang ada tidak justru mem- permainkan atau memperjual-belikan hukum demi kepentingan pribadi, kelompok, golongan atau untuk keuntungan materiil finansial.

Semuanya akan teruji dan terlihat dalam realitas hubungan antara hukum sebagaimana tercantum di dalam peraturan perundang-un- dangan dengan hukum dalam realitas penegakannya di tengah ke- hidupan masyarakat. Dalam ranah inilah akan terlihat tegangan antara das sein dan das sollen, antara law in books dengan law in action.

Benturan-benturan tersebut pada akhirnya akan berimplikasi pada terwujudnya tujuan hukum. Peraturan perundang-undangan yang materi hukumnya sudah tidak memiliki nilai-nilai keadilan, kemanfaa- tan dan kepastian hukum tentu saja akan sulit diharapkan untuk

(14)

4 mewujudkan tujuan hukum tersebut. Benturan-benturan tersebut justru akan menjadi pijakan yang dapat dimanfaatkan oleh orang-orang yang justru memanfaatkan hukum untuk kepentingan dirinya. Pada hal sejatinya hukum haruslah mewujudkan tujuannya untuk kemaslahatan umat manusia. Hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum.

Hukum bukanlah tujuan, hukum adalah alat untuk mewujudkan sebuah entitas kebahagiaan, ketenteraman di dalam ke hidupan masyarakat agar interaksi sosial yang ada semuanya dapat berjalan dengan sebaik- baiknya.

Masyarakat tidak hanya ingin melihat keadilan diciptakan dalam masyarakat dan kepentingan-kepentingannya di layani oleh hukum, melainkan juga meninginkan agar dalam masyarakat terdapat pera- turan-peraturan yang menjamin kepastian dalam hubungan mereka satu sama lain. Dengan demikian hukum dituntut untuk memenuhi tujuannya dengan menserasikan tujuan-tujuan yang ada, oleh karena seringkali juga ketiga tujuan hukum tersebut terjadi benturan atau te- gangan satu sama lain. Hubungan atau keadaan yang demikian itu dapat dimengerti, oleh karena sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa, ketiga-tiganya berisi tuntutan yang berlain-lainan dan satu sama lain mengandung potensi untuk bertentangan. Keadilan seringkali berten- tangan dengan kepastian hukum. Nilai kemanfaatan seringkali berten- tangan dengan kepastian hukum dan keadilan.

Bila kita ambil sebagai contoh, “kepastian hukum”, maka sebagai nilai ia segera menggeser nilai-nilai keadilan dan kegunaan ke samping.

Yang utama bagi kepastian hukum adalah adanya peraturan itu sendiri.

Tentang apakah peraturan itu harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakatnya, adalah di luar pengutamaan nilai kepastian hukum. Dengan adanya nilai-nilai yang berbeda-beda tersebut, maka penilaian kita mengenai keabsahan hukum pun dapat bermacam- macam. Perbedaan dalam penilaian kita mengenai keabsahan dari hukum itu mengandung arti, bahwa dalam menilainya kita perlu mem- buat suatu perbandingan. Hal ini, misalnya berarti, bahwa penilaian ke- absahan berlakunya hukum dari segi peraturannya barulah merupakan satu segi, bukan satu-satunya penilaian. Lebih dari itu, sesuai dengan potensi ketiga nilai-nilai dasar yang menjadi tujuan hukum saling

(15)

5 bertentangan, apa yang harus dipenuhi oleh suatu peraturan dapat dinilai tidak sah dari segi kegunaannya bagi masyarakat.

Realitas yang tidak dapat di pungkiri bahwa kultur hukum bangsa Indonesia di bangun di atas nilai-nilai adat istiadat dan nilai-nilai ajaran agama (Islam). Sebelum wilayah Nusantara ini disatukan menjadi satu negara, “Republik Indonesia”, maka wilayah Nusantara merupakan gugusan Negara-negara yang bentuknya adalah Negara-negara Kera- jaan (Monarchi). Negara-negara tersebut telah hidup sebagai negara selama berpuluh-puluh tahun bahkan ratusan tahun. Negara-negara tersebut di bangun di atas satu sistem hukum, baik yang bercorak sis- tem hukum adat maupun sistem hukum agama (Islam, Hindu/Budha dan yang lainnya). Dalam sejarahnya kita juga telah pahami bahwa ked- atangan Negara-negara Kolonial (penjajah) seperti: Inggeris, Jepang dan Belanda juga menghormati dan tetap memberlakukan sistem-sis- tem hukum tersebut. Belanda sebagai salah satu Negara yang pernah menjajah wilayah Nusantara sangat menghormati berlakunya Hukum- hukum Adat dan Hukum-hukum Agama Islam serta menghormati lem- baga-lembaga peradilan adat dan lembaga-lembaga peradilan agama (Islam).

Gagasan untuk melahirkan peraturan perundang-undangan yang dilandasi oleh nilai-nilai ajaran agama (Islam) tentu saja bukan lah se- buah impian belaka akan tetapi tuntutan sejarah. Tuntutan kultur hukum dan tuntutan kesadaran hukum masyarakat yang di dasari oleh nilai-nilai historis. Hal ini perlu di garis bawahi oleh karena aspek inilah yang akan menjadi kajian utama buku ini untuk menunjukkan bahwa hukum perundang-undangan yang ada sekarang ini telah gagal di da- lam mewujudkan tujuannya oleh karena telah meninggalkan dan men- campakkan nilai-nilai spiritualitas yang terkandung di dalam ajaran agama (Islam).

Pemikiran di atas jelas telah menunjukkan bahwa, jangankan da- lam ranah hukum Negara (Republik Indonesia) yang tertuang di dalam berbagai peraturan perundang-undangan seringkali tidak di patuhi dan ditegakkan sebagaimana mestinya. Aturan agama sekalipun se- bagaimana tertuang di dalam kitab suci (dalam agama Islam, al-Qur’an) seringkali tidak dipatuhi dan ditegakkan sebagaimana mestinya. Tentu

(16)

6 saja lebih fatal lagi, bila itu hanya hukum-hukum yang norma-nor- manya adalah buatan manusia (hukum Negara).

Pembahasan dalam buku ini di batasi hanya mengkaji persoalan pertama “hukum Negara” dimana nilai-nilai ajaran agama ditempatkan sebagai sumber nilai (sumber hukum materiil dan legalitas spiritual yang melekat pada aparat penegak hukumnya) untuk mengembali- kan substansi hukum perundang-undangan agar sesuai dengan kultur hukum masyarakar sebagai masyarakat agamis agar pada akhirnya penegakan hukum juga dapa berjalan dengan baik.

Entitas spektrum inilah norma-norma hukum yang tertuang di dalam berbagai peraturan perundang-undangan tidak pernah bisa mewujudkan tujuannya dengan baik oleh karena substansi aturannya banyak yang tidak sinergi dengan aspek “kedirian” manusia sebagai umat beragama. Bahkan dalam banyak hal kaidah-kaidah atau norma- norma hukum perundang-undangan yang ada bertentangan dengan nilai-nilai ajaran agama (Islam) yang seharusnya menjadi sumber nilai (asas-asas) di dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Salah satunya adalah pengertian atau konsep, “zina” dalam Kitab Un- dang Undang Hukum Pidana berbeda dengan konsep zina dalam Hukum Islam.

Pertanyaannya sekarang, bagaimana merekonstruksi teori-teori hukum yang ada khususnya teori-teori tentang tujuan hukum agar sinergis dengan nilai-nilai ajaran agama (Islam). Sinergitas yang terjadi diharapkan akan mengeliminir konflik teoretik yang masih terjadi hingga kini antara norma-norma agama (Islam) dengan norma-norma hukum perundang-undangan yang ada. Jalinan mesrah yang terjadi ter- sebut diharapkan juga dapat melahirkan suatu kondisi kehidupan ke- masyarakatan yang tidak hanya tertib secara hukum (Negara) akan tetapi juga terwujud masyarakat yang hidup di lingkungan yang religius.

Berbagai pelanggaran hukum (tindak pidana) yang terjadi di ten- gah masyarakat cukup membuktikan pemikiran di atas2. Bangsa

2 Antara lain lihat, Harian Kompas, Jumat 12 Juli 2013 bahwa, hingga Juni 2013 dari 524 kepala daerah, 297 orang terlibat masalah hukum, baik sebagai saksi, tersangka, terdakwa, dan terpi- dana. Dari jumlah itu, 80 % diantaranya terlibat dalam kasus korupsi. Demikian juga laporan ICW ada lebih dari 10 kepala daerah yang tersandung kasus korupsi tetap dipilih kembali oleh rakyat.

(17)

7 Indonesia baik secara pribadi apalagi berkelompok dalam banyak hal tidak lagi menghormati hukum perundang-undangan Negara yang ada.

Implikasi lebih jauh sikap seperti ini juga terlihat dengan ketidak-patu- han dan hilangnya penghormatan serta kepercayaan kepada aparat penegak hukum. Masyarakat tidak pernah lagi takut untuk menyerbu dan membakar kantor polisi3.

Demikian juga penghormatan kepada lembaga-lembaga peradi- lan melalui proses persidangan sudah hilang.4 Masyarakat tidak takut lagi untuk membuat kericuhan di dalam ruang sidang. Memaki-maki ha- kim dan jaksa di dalam persidangan. Memukuli para tersangka di hada- pan aparat penegak hukum. Melakukan razia ke tempat-tempat hi- buran malam dengan cara mengambil alih kewenangan aparat penegak hukum. Bahkan yang paling sadis adalah pembakaran rumah-rumah dan tempat ibadah masyarakat yang tergabung di dalam jamaah Ah- madiyah yang celakanya di saksikan oleh aparat penegak hukum yang seharusnya mencegah kejadian tersebut5.

Apa sebenarnya yang sedang terjadi dengan bangsa ini? Mengapa sejarah perjalanan bangsa yang telah memasuki usia senja dalam uku- ran kemanusian sejak dinyatakan kemerdekaannya di tahun 1945 hingga kini realitas kehidupan anak-anak bangsa semakin brutal. Insti- tusi hukum yang seharusnya menjadi harapan utama di dalam mewujudkan anak-anak bangsa yang berbudi luhur justru menjadi pusat persoalan bangsa. Aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim dan advokat) justru silih berganti masuk penjara karena menyalah- gunakan hukum yang seharusnya ditegakkan sebagaimana tujuan

3 Lihat Kompas, 4 April 2013, Amuk massa di Kota Palopo pasca pemilihan walikota (31 Maret 2013) dengan membakar habis Kantor Walikota akibat pemilihan dianggap penuh dengan kecurangan. Demikian juga dengan amuk massa di NTB (28 Maret 2013) dengan merusak dan membakar Kantor Kejaksaan Tinggi NTB berkaitan dengan kasus korupsi yang sedang di- tangani dengan tersangka 9 orang anggota DPRD NTB dan massa menuntut untuk di bebas- kan.

4 Sulastriyono, “FILOSOFI PENGAKUAN DAN PENGHORMATAN NEGARA TERHAdAP MASYARAKAT HUKUM ADAT DI INDONESIA,” Yustisia 2, no. 1 (2014): 97–108.

5 Lihat Okezone.com, 17 Mei 2013, Masjid milik jamaah Ahmadiyah di Desa Gempolan, Keca- matan Pakel, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur di rusak ratusan massa (16 Mei 2013) demikian juga di berbagai tempat lainnya di seluruh Indonesia dan disaksikan oleh aparat penegak hukum tanpa melakukan tindakan apa pun untuk menghentikannya.

(18)

8 hukum untuk mewujudkan: keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum6.

Contradiktio interminis, telah melanda relung-relung kehidupan anak bangsa. Wujudnya, apa yang tertuang secara indah di dalam ma- teri peraturan perundang-undangan ternyata di dalam implementa- sinya berbeda. Hasil akhir sebuah proses hukum dapat disesuaikan dengan keinginan dan kemauan masing-masing pihak melalui jalur jual-beli hukum dan keadilan. Jual-beli yang dilakukan dengan me- manfaatkan aparat penegak hukum yang tanpa malu menjual ideal- ismenya demi kepentingan materiil finansiil meski pun harus melang- gar hukum dan sumpah janjinya sebagai aparat penegak hukum.

Pada tataran ini lah kita melihat minimnya keterlibatan nilai-nilai ajaran agama (Islam). Pada hal ajaran agama (Islam) dengan nilai-nilai spritualitasnya seharusnya secara massif merasuki tidak hanya sisi na- lar pikir manusia akan tetapi juga merasuk ke dalam hati sanu-barinya, maka sejatinya nilai-nilai ajaran agama (Islam) haruslah di lekatkan pada seluruh elemen-elemen sistem hukum yang ada terkhusus dalam kajian ini akan di ulas dan dilekatkan dengan pencapain tujuan hukum.

Konsep kepatuhan hukum adalah konsep tindakan untuk me- nyesuaikan sikap dan perilaku sesuai dengan aturan hukum yang ada atau tindakan untuk bersikap dan berprilaku yang tidak sesuai dengan aturan hukum yang disebut juga pelanggaran hukum. Konsep perilaku oleh Fishbein dijabarkan ke dalam satu teori, yaitu: theory of behavior intention yang menyatakan, bahwa keinginan berperilaku ditentukan secara bersama-sama oleh persepsi tentang manfaat perilaku tersebut dan persepsi tentang sikap kelompok referens terhadap perilaku terse- but.7

6 Lihat detiknews.com tanggal 14 Npember 2011, Kasus suap yang melibatkan hakim Imas Dianasari di Bandung, Penangkapan hakim senior Syarifuddin karena kasus suap kepailitan, penangkapan hakim Pengadilan Negeri Tangerang Muhtadi Asum dalam kaitan suap dari Koruptor pajak Gayus. Serta laporan Komisi Yudisial dari 1000 hakim yang dilaporkan 437 sudah diperiksa (sejak Januari hingga September 2011) 131 direkomendasikan diberi sanksi, 18 hakim direkomendasikan untuk dipecat oleh Mahkamah Agung.

7 Martin Fishbein, 1967, Attitude and The Prediction of Behavior, dalam, Martin Fishbein, ed, Reading an Attitude Theory and Measurements, John Wiley and Sons,

(19)

9 Dari teori ini dapat dirumuskan proposisi-proposisi sebagai beri- kut:

a. Kecenderungan seseorang untuk melakukan perbuatan melanggar hukum dipengaruhi oleh persepsi mereka tentang manfaat dari pelanggaran hukum tersebut.

b. Kecenderungan seseorang untuk melakukan pelanggaran hukum di- pengaruhi oleh persepsi mereka tentang pandangan ajaran agama yang dia pahami berkaitan dengan perbuatan melanggar hukum dan pembiaran oleh tokoh-tokoh agama dan aparat penegak hukum.

Teori keinginan berperilaku ini terdiri dari tiga variabel dan dua hubungan. Variabel terpengaruh (dependent variable) yaitu

“kecenderungan melakukan perbuatan melanggar hukum”, dipengaruhi oleh dua variabel pengaruh (independent variable) yaitu:

“persepsi seseorang tentang manfaat melakukan perbuatan melanggar hukum” dan “persepsi seseorang tentang pandangan ajaran agama yang dipahami tentang perbuatan melanggar hukum serta pembiaran oleh tokoh-tokoh agama dan aparat penegak hukum”.

Penjabaran teori tersebut dalam tulisan ini dilakukan secara deskriptif. Deskripsi dilakukan dengan merujuk kepada hasil perbuatan yang ada. Perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh berbagai pihak jelas adalah indikasi lemahnya nilai-nilai keimanan yang ada pada diri pelaku pelanggaran hukum. Demikian juga dengan pelang- garan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum adalah cermina lemahnya nilai-nilai keimanan aparat penegak hukum.

Demikian juga bahwa kepatuhan terhadap peraturan perundang-un- dangan yang ada juga sangat dipengaruhi oleh kesesuaian materi pera- turan perundang-undangan dengan nilai-nilai ajaran agama (Islam) yang dianut oleh seseorang. Realitas inilah yang membentuk kesadaran hukum. Kesadaran hukum untuk mematuhi peraturan perundang-un- dangan yang ada serta menghindari terjadinya pelanggaran hukum.8

8 Subiharta Subiharta, “Moralitas Hukum Dalam Hukum Praksis Sebagai Suatu Keutamaan,”

Jurnal Hukum dan Peradilan 4, no. 3 (2015): 385.

(20)

10 B. Ruang Lingkup Pembahasan

Pembahasan dalam buku ini ruang lingkup dan batasannya ada- lah, “penegakan hukum guna mewujudkan tujuan hukum sebagaimana teori-teori yang dikenal dalam ilmu hukum”. Teori Etis dengan kead- ilannya, teori Utilitis dengan kemanfaatannya dan teori Hukum Formal dengan kepastian hukumnya serta teori hukum modern dengan meng- gabungkan ketiganya baik yang perioritas maupun yang kasuistik. Te- ori-teori tersebut di bahas dan dikaitkan dengan penegakan hukum da- lam realitas ke-Indonesia-an. Segi-segi kelemahan dan kegagalan teori- teori tersebut akan coba di rekonstruksi dengan menggunakan pen- dekatan nilai-nilai spirtualitas sebagaimana dikenal di dalam ajaran agama (Islam).

Pendekatan yang secara moderasi beragama dikenal dengan pen- dekatan “hikmah”. Pendekatan yang menggunakan nilai-nilai ajaran agama tidak dalam wajah nya yang keras dan seram akan tetapi wajah yang lembut inklusif dan menjadi solusi solutif. Menambah, mengu- rangi atau memperbaiki realitas doktriner hukum yang ada selama ini namun tidak mampu mewujudkan tujuan hukum dengan baik.

Sisi religiositas tersebut akan dilekatkan dengan elemen-elemen hukum sebagai satu sistem. Pembahasan lebih di tekankan pada sisi struktur hukumnya dengan aparat penegak hukumnya. Aparat penegak hukum ini penting untuk dilakukan pengkajian secara serius oleh ka- rena merekalah garda ter depan penegakan hukum dan perwujudan tujuan hukum. Seringkali dalam realitas aparat penegak hukum ini lah yang justru merusak upaya penegakan hukum guna mewjudkan tujuan hukum baik untuk keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

Penegakan hukum yang tidak terbangun dan terwujud dengan baik oleh karena pelaku utama pelanggaran hukum adalah aparat pene- gak hukum itu sendiri. Pelanggaran hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum sebagai akibat dari rendahnya dan rusaknya akhlak mereka. Rendah dan rusaknya nilai-nilai moralitas aparat penegak hukum.

Bagaimana sejatinya bisa terjadi wujud rendahnya atau bahkan rusaknya nilai-nilai moralitas aparat penegak hukum. Hal ini perlu dikaji secara lebih mendalam dan konprehensif agar tidak terjadi kesalahan substantive termines. Jika kita berkesimpulan telah terjadi

(21)

11 rendahnya atau bahkan terjadi kerusakan pada nilai-nilai moralitas aparat penegak hukum, maka pertanyaan yang timbul adalah: 1. Su- dakah aparat penegak hukum memiliki wujud nilai-nilai moralitas se- bagaimana seharusnya. 2. Bila sudah terbentuk nilai-nilai moralitas yang baik, maka pertanyaan berikutnya adalah bagaimana bisa terjadi kerusakan pada nilai-nilai moralitas itu yang seharnya menjadi kekuatan moral di dalam menjaga dan mendorong aparat penegak hukum agar bekerja dengan sebaik-baiknya sebagai aparat penegak hukum sebagaimana apa yang menjadi kewajiban dan tanggung-jawab- nya.

Dari sisi religiositas yang dijadikan sandaran dan pijakan sekaligus sumber teori adalah:

a. Surat At Tariq (surat ke 86) ayat 5 sebagai berikut:

قِلُخ همِم ُن َٰ سن ِ ۡلۡٱ ِرُظن يۡل ف ٥

Artinya : "Hendaklah manusia itu

"

yadari apakah asal kejadiann memikirkan b. Surat Adz Dzaariyaat (surat ke 51) ayat 56 sebagai berikut:

ِنوُدُبۡع يِل هلَِّإ سنِ ۡلۡٱ و هن ِجۡلٱ ُتۡق ل خ ا م و ٥٦

Alih bahasa Indonesianya adalah: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepadak-Ku”.

c. Surat Al-An’am (Surat ke 6) ayat 162 sebagai berikut:

ني ِم لَٰ عۡلٱ ِ ب ر ِ ه ِللَّ يِتا م م و يا ي ۡح م و يِكُسُن و يِت لَ ص هنِإ ۡلُق Alih bahasa Indonesianya adalah: “Katakanlah sesungguhnya sem- bahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tu- han semesta alam”.

(22)

12 d. Surat An-Nisaa (Surat ke 4 ) ayat 58 sebagai berikut:

ْاوُمُك ۡح ت ن أ ِساهنلٱ نۡي ب مُت ۡم ك ح ا ذِإ و ا هِل ۡه أ َٰٰٓى لِإ ِتَٰ ن َٰ م ۡلۡٱ ْاوُّد ؤُت ن أ ۡمُكُرُمۡأ ي هللَّٱ هنِإ۞

هللَّٱ هنِإ ِِۚل ۡد عۡلٱِب

ا ٗري ِص ب اَۢ عيِم س نا ك هللَّٱ هنِإ ٰٓۗٓۦِهِب مُكُظِع ي اهمِعِن ٥٨

Alih bahasa Indonesianya adalah: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manu- sia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.

Sesungguhnya Allah adalah maha mendengar lagi maha melihat”.

e. Selanjutnya dalam surat yang sama Surat An-Nisaa ayat 135 sebagai berikut:

ِسُفن أ َٰٰٓى ل ع ۡو ل و ِ ه ِللَّ ءٰٓا د هُش ِط ۡسِقۡلٱِب نيِم َٰهو ق ْاوُنوُك ْاوُن ما ء نيِذهلٱ ا هُّي أَٰٰٓ ي۞

نِإ ِۚ نيِب رۡق ۡلۡٱ و ِنۡي دِل َٰ وۡلٱ ِو أ ۡمُك

ۡو أ ْآٰۥ ُوۡل ت نِإ و ِْۚاوُلِدۡع ت ن أ َٰٰٓى و هۡلٱ ْاوُعِبهت ت لَ ف ۖا مِهِب َٰى ل ۡو أ ُ هللَّٱ ف ا ٗريِق ف ۡو أ اًّيِن غ ۡنُك ي نا ك هللَّٱ هنِإ ف ْاوُض ِرۡعُت

ا ٗريِب خ نوُل مۡع ت ا مِب ١٣٥

Alih bahasa Indonesianya adalah: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu, jika iya kaya ataupun miskin, maka Al- lah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran, dan jika kamu memutar-balikkan (kata-kata) atau enggang menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”.

Ayat-ayat ini di jadikan rujukan untuk menganalisis sikap dan perilaku aparat penegak hukum di dalam melaksanakan tugas-tu- gasnya sebagai penegak hukum. Ayat-ayat ini juga sekaligus dijadikan rujukan dan alat analisis untuk mengkaji peraturan perundang-un- dangan yang ada khususnya jika dikaitkan dengan kultur hukum dan kesadaran hukum masyarakat di dalam mematuhi hukum-hukum pe- rundang-undangan negara. Ayat-ayat ini juga di jadikan acuan di dalam mencoba melahirkan suatu teori baru tentang penegak hukum yang di- namakan, teori hikmah.

(23)

13

C. Metode Pendekatan

Sebagai sebuah karya ilmiah bidang hukum maka pendekatan yang di gunakan dalam penulisan adalah pendekatan sebagaimana yang di kenal selama ini. Pertama adalah pendekatan normatif, pen- dekatan yang berpijak pada peraturan perundang-undangan yang ada serta norma-norma lain yang terkandung di luar peraturan perundang- undangan seperti: hukum adat, hukum kebiasaan dan hukum agama.

Kedua adalah pendekatan sosio yuridis, pendekatan yang menggunakan realitas hukum yang ada di tengah masyarakat. Hal ini digunakan untuk menemukan solusi atas terjadinya tegangan antara hukum dalam peraturan perundang-undangan (law in book) dengan hukum dalam realitas (law in action).

Ketiga pendekatan sosio religious, yaitu pendekatan yang menggunakan nilai-nilai universal ajaran Agama Islam yang bersifat moderatif. Pendekatan ini diharapkan dapat menjadi solutif terhadap permasalahan yang ada.

(24)

14 BAB II

RUANG LINGKUP SISTEM HUKUM

A. Entitas Sistem Hukum Indonesia

Manusia adalah makhluk terbaik dari berbagai makhluk yang te- lah diciptakan oleh Tuhan. Manusia lah yang di pilih oleh Tuhan untuk menjadi, “khalifah” di permukaan bumi. Eksistensi manusia adalah ma- khluk budaya, ia tidak hanya mempunyai status biologik. Sebagai ma- khluk budaya yang demikian itu, ia mampu menerima isyarat-isyarat yang tidak dapat ditangkap oleh makhluk-makhluk lain, seperti hewan dan tanam-tanaman. Manusia dalam hidupnya dikontrol oleh arus-arus informasi tertentu yang diterima dari sumber yang tertinggi yaitu yang oleh Parsons disebut sebagai “ultimate reality” atau “kebenaran sejati”.

Ini merupakan sumber tertinggi yang mengalirkan nilai-nilai yang men- gontrol manusia dan kehidupan manusia dalam masyarakat.9

Proses pengontrolan ini dimaksudkan, bahwa bekerjanya arus in- formasi tersebut terhadap manusia akan menimbulkan kesadaran dis- kriminatif pada mereka yaitu mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan. Nilai-nilai itu memberikan suatu pengertian tentang hal-hal sehingga apa saja yang patut dijunjung tinggi, harus dicapai dan dipelihara. Apabila penghormatan terhadap orang tua diterima sebagai salah satu nilai di dalam masyarakat, maka ini berarti bahwa manusia menyadari betapa tidak baiknya sikap untuk merendahkan dan me- nyia-nyiakan orang tua. Dengan kata lain timbul keharusan untuk menghormati orang tua dan mengecam perbuatan yang sebaliknya.

Semuanya menjadi suatu entitas sistem dalam kehidupan masyarakat.

Pada sosok manusia itu juga terdapat entitas yang antinomy. Se- jatinya manusia sebagai khalifah di permukaan bumi maka manusia seharusnya menjadi role model di dalam menjalani hidup dan ke- hidupan ini. Faktanya tidak jarang justru manusia yang menjadi pelo- por dan pelaku utama terjadinya berbagai kerusakan di permukaan bumi. Manusia lah yang menjadi pelaku berbagai bentuk kejahatan se- hingga terjadi konflik antara satu dengan yang lainnya. Manusia yang

9 Satjipto Rahardjo dan Ronny Hanintijo Soemitro, 1986, Materi Pokok Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Karunika Universitas Terbuka. Hlm. 30.

(25)

15 satu menjadi pembunuh atas manusia lainnya. Manusia yang satu men- jadi pemerkosa atas manusia lainnya. Manusia yang satu menjadi per- ampok atas manusia lainnya.

Para ranah ini lah hukum menjadi niscaya adanya. Kehadiran hukum dibutuhkan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi antara manusia yang satu dengan manusia lainnya. Hukum dibutuhkan ke- hadirannya bersama institusi penegakannya. Hukum tanpa kuasa ada- lah angan-angan akan tetapi kuasa tanpa hukum adalah kezaliman.

Untuk membicarakan kehadiran hukum sebagai suatu sistem, kita sebaiknya mulai dari pembicaraan tentang sistem itu sendiri ka- rena bagaimana pun hukum sebagai suatu sistem akan tunduk pada ba- tasan dan ciri-ciri sistem. Sistem hukum Indonesia adalah satu sistem hukum negara yang dapat dikatakan tidak ada samanya di semua Negara yang ada di dunia ini.

Sistem hukum Indonesia tidak memiliki identitas yang jelas. Pada bagian tertentu sistem hukum Indonesia mengintrodusir sistem hukum adat yang menjadi hukum yang berlaku di tengah masyarakat sejak dulu jauh sebelum wilayah Nusantara ini menyatu menjadi Negara Re- publik Indonesia. Sistem hukum ini telah ada ratusan tahun sebelum datangnya Penjajah Belanda dengan system hukum positifnya yang lib- eral individual.

Pengaruh hukum Islam juga jelas terlihat pada berbagai pera- turan perundang-undangan yang ada seperti UU No. 1 Tahun 1974 ten- tang Perkawinan. Sama seperti hukum adat pengaruh hukum-hukum agama Islam juga telah ada jauh sebelum Indonesia terbentuk. Last but not least adalah pengaruh hukum Eropa sebagai akibat wilayah Nusan- tara yang pernah di jajah oleh Pemerintah Belanda yang berlanjut hingga terbentuknya Negara Republik Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Bahkan sebagian besar peraturan hukumnya masih diberlakukan hingga masa-masa awal kemedekaan bahkan hingga sekarang10. Hal ini didasarkan pada penegasan Pasal I Aturan Peralihan Undang Undang Dasar 1945, bahwa: “Segala

10 Lihat, Abdoel Djamali, 2003, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta, P.T. RajaGrfafindo Persada.

Lihat juga, Bushar Muhammad, 1978, Asas-Asas Hukum Adat (Suatu Pengantar), Jakarta Pusat, Pradnya Paramita. Lihat juga, Moh. Koesnoe, 1992, Hukum Adat Sebagai SuatuModel Hukum, Bandung, CV. Mandar Maju.

(26)

16 peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar ini”.

Ketiga golongan besar sistem hukum tersebut (hukum adat, hukum agama Islam dan hukum Eropa) yang kemudian membentuk satu sistem hukum baru seiring terbentuknya negara baru (Negara Re- publik Indonesia). Hanya saja sistem hukum baru yang terbentuk itu tidak jelas corak filosofi hukum dan kultur hukumnya. Sistem hukum yang terbentuk adalah campuran atau bisa disebut sistem hukum gado- gado sebagaimana ciri khas makanan Indonesia. Akibatnya masyarakat seringkali tidak bisa menyesuaikan diri dengan peraturan hukum yang ada oleh karena tidak sesuai dengan kultur hukum serta kesadaran hukumnya, yang bercorak hukum adat dan hukum agama Islam.

Salah satu ahli atau pakar hukum Indonesia Sudikno Merto- kusumo11 memberikan pengertian tentang “sistem hukum”, yaitu:

kesatuan utuh dari tatanan-tatanan yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang satu sama lain saling berhubungan dan kait mengait secara erat. Dengan demikian, untuk mencapai tujuan hukum dalam suatu kesatuan diperlukan adanya kerjasama antara unsur-un- sur atau bagian-bagian yang terkandung dalam sistem hukum. Sistem hukum dipahami bukan hanya berupa seperangkat peraturan hukum, tetapi dalam peraturan tersebut terdiri dari sekumpulan peraturan hukum yang saling berkaitan dan tidak boleh terjadi konflik atau kon- tradiksi di dalamnya. Sistem hukum tersusun atas sejumlah sub-sub sis- tem hukum yang secara bersama-sama mewujudkan kesatuan yang utuh.

Rusli Efendy12 menegaskan bahwa, dalam mengukuhkan pelaksa- naan sistem hukum, perlu ditunjang oleh unsur-unsur yang men- dukungnya. Unsur-unsur tersebut baik unsur yang diatur maupun un- sur yan mengatur suatu sistem merupakan sekelompok manusia, atau gabungan sekelompok manusia serta mesin dan fasilitas, tetapi dapat juga gabungan dari sekelompok manusia, seperangkat pedoman, dan alat pengolah data. Juga merupakan keseluruhan yang terdiri dari sub- sub sistem. Dari setiap sub sistem itu terpecah lagi ke dalam sub-sub

11 Sudikno Mertokusumo, 1986, Menganl Hukum, Yogyakarta, Liberty, hlm. 31.

12 Rusli Effendy.dkk, 1991, Teori Hukum, Ujung Pandang, Hasanuddin University Press, hlm.98.

(27)

17 sistem yang lebih kecil, dan sebagainya. Kemudian di dalam kese- luruhannya itu terdapat saling ketergantungan antara bagian-bagian yang ada pada sistem. Setiap sistem harus memiliki self adjustment, yaitu kemampuan untuk menyesuaikan diri secara otomatis. Kegiatan ini dimungkinkan oleh adanya umpan balik dan karena itu sistem mempunyai self regulation yaitu kemampuan untuk mengatur diri. Se- tiap sistem mempunyai tujuan atau sasaran tertuntu. Setiap sistem melakukan proses transformasi yang mengubah masukan menjadi keluaran, keluaran menjadi masukan.

Sistem13 mempunyai dua pengertian untuk dikenali, sekalipun dalam pembicaraan-pembicaraan keduanya sering dipakai secara tercampur begitu saja. Yang pertama adalah pengertian sistem sebagai satu jenis satuan, yaitu yang cirinya adalah, bahwa satuan itu mempu- nyai tatanan tertentu. Tatanan tertentu di sini menunjuk kepada adanya suatu susunan struktur yang terurai ke dalam bagian-bagian.

Kedua sistem sebagai suatu rencana, metode, atau prosedur untuk mengerjakan sesuatu. Dalam pemahaman mengenai sistem hukum nanti akan terlihat bahwa kedua-duanya dapat dikenali kembali pemakaiannya, misalnya pada waktu kita berbicara tentang penafsiran hukum dan penemuan hukum.

Pemahaman yang umum mengenai sistem mengatakan, bahwa suatu sistem adalah “suatu kesatuan yang bersifat kompleks, yang terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain”. Pema- haman yang demikian itu hanya menekankan pada ciri keterhubungan dari bagian-bagian tersebut bekerja sama secara aktif untuk mencapai tujuan pokok dari kesatuan tersebut. Apabila suatu sistem itu ditempat- kan dalam pusat pengamatan yang demikian itu, maka pengertian- pengertian dasar yang terkandung di dalamnya14 adalah sebagai beri- kut:

a. Tingkah laku, yang mengarah kepada tujuan sistem itu berorientasi kepada tujuan.

b. Keseluruhan, adalah lebih dari sekedar jumlah dari bagian-bagi- annya.

13 Satjipto Rahardjo dan Ronny Hanintijo Soemitro, 1986, Op. Cit. hlm. 51-52 14 Ibid.

(28)

18 c. Keterbukaan, suatu sistem berinteraksi dengan sistem yang lebih

besar, yaitu lingkungannya.

d. Transformasi, bekerjanya bagian-bagian dari sistem itu mencip- takan sesuatu yang berharga.

e. Keterhubungan, masing-masing bagian harus cocok satu sama lain.

f. Mekanisme kontrol, ada kekuatan pemersatu yang mengikat sistem itu.

Kaitannya dengan hukum15, Subekti berpendapat bahwa: suatu sistem adalah suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu kese- luruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu penulisan untuk mencapai suatu tujuan. Dalam suatu sistem yang baik tidak boleh terdapat suatu pertentangan atau perbenturan antara bagian-bagian dan juga tidak boleh terjadi duplikasi atau tumpang tindih di antara ba- gian-bagian itu. Dicontohkan, kalau B Ter Haar dalam bukunya yang terkenal berbicara tentang “beginselen” en “stelsel” (van het Adatrecht), maka yang dinamakan “stelsel” itu adalah sistem yang kita maksudkan.

Sedangkan “beginselen” adalah asas-asas (basic principles) atau fon- damen yang mendukung sistem.

Dalam pembicaraan mengenai asas-asas hukum dapat diketahui bahwa peraturan-peraturan hukum yang tampaknya berdiri sendiri- sendiri tanpa ikatan itu, sesungguhnya diikat oleh beberapa pengertian yang lebih umum sifatnya dan mengutarakan suatu tuntutan etik. Oleh Paul Scholten16 dikatakan bahwa asas hukum dengan tuntutan etiknya itu terdapat di dalam hukum positif, tetapi sekaligus ia melampaui hukum positif dengan cara menunjukkan kepada suatu penilaian etik.

Memang bagaimana asas hukum itu dapat memberikan penilaian etik terhadap hukum positif apabila ia tidak sekaligus berada di luar hukum positif tersebut. Disebabkan adanya ikatan oleh asas-asas hukum itu, maka hukum pun merupakan satu sistem. Peraturan-peraturan hukum yang berdiri sendiri-sendiri itu lalu terikat dalam satu susunan kesatuan karena mereka itu bersumber pada satu penilaian etik ter- tentu.

15 Abdoel Djamali, 2003, Op. Cit. hlm. 65

16 Satjipto Rahardjo dan Ronny Hanintijo Soemitro, 1986, Op.Cit. hlm.52.

(29)

19 Beberapa alasan lain untuk mempertanggung-jawabkan bahwa hukum itu merupakan satu sistem adalah sebagai berikut: Suatu sistem hukum itu dapat disebut demikian, karena ia bukan sekedar merupa- kan kumpulan peraturan-peraturan belaka. Kaitan yang mempersatu- kannya, sehingga tercipta pola kesatuan yang demikian itu, adalah ma- salah keabsahan. Peraturan-peraturan itu diterima sebagai sah apabila dikeluarkan dari sumber atau sumber-sumber yang sama, seperti per- aturan hukum, yurisprudensi dan kebiasaan. Sumber-sumber yang demikian itu dengan sendirinya melibatkan kelembagaan seperti pen- gadilan dan pembuat undang-undang.

Ikatan sistem tercipta pula melalui praktek penerapan pera- turan-peraturan. Praktek ini menjamin terciptanya susunan kesatuan dari peraturan-peraturan tersebut, dalam dimensi waktu. Sasaran- sasaran yang dipakai untuk menjalankan praktek itu seperti penafsiran atau pola penafsiran yang seragam menyebabkan terciptanya ikatan sistem tersebut. Fuller17, mengajukan suatu pendapat untuk mengukur apakah kita pada suatu saat dapat berbicara mengenai adanya suatu sistem hukum. Ukuran tersebut diletakkan pada delapan asas yang di- namakannya principles of legality, yaitu:

a. Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan. Yang dimaksud di sini adalah bahwa ia tidak boleh mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc.

b. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan.

c. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut oleh karena apabila yang demikian itu tidak ditolak, maka peraturan itu tidak dapat dipa- kai untuk menjadi pedoman tingkah laku. Memberikan pengaturan secara berlaku surut berarti merusak integritas peraturan yang di- tujukan untuk berlaku bagi waktu yang akan datang.

d. Peraturan-peraturan harus harus disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti.

e. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain.

f. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukannya.

17 Ibid. hlm. 53.

(30)

20 g. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah-ubah peraturan

sehingga menyebabkan seorang akan kehilangan orientasi.

h. Harus ada kecocokan antar peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari.

Ditambahkan bahwa, kedelapan asas yang diajukan itu seb- etulnya lebih dari sekedar persyaratan bagi adanya suatu sistem hukum, melainkan memberikan pengkualifikasian terhadap sistem hukum sebagai sistem hukum yang mengandung suatu normalitas ter- tentu. Kegagalan untuk menciptakan sistem yang demikian itu tidak hanya melahirkan sistem hukum yang jelas, melainkan sesuatu yang tidak dapat disebut sebagai sistem hukum sama sekali.

Setiap sistem mengandung beberapa asas yang menjadi pedoman dalam pembentukannya dan dapat dikatakan bahwa suatu sistem ada- lah tidak terlepas dari asas-asas yang mendukungnya. Dengan demikian sifat sistem itu menyeluruh dan berstruktur yang kese- luruhan komponen-komponen bekerja sama dalam hubungan fungsional. Jadi kalau dikatakan bahwa hukum sebagai suatu sistem, artinya suatu susunan atau tatanan teratur dari aturan-aturan hidup, keseluruhannya terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain.

Misalnya dalam hukum perdata sebagai sistem hukum positif.

Sebagai keseluruhan, didalamnya terdiri dari bagian-bagian yang mengatur tentang hidup manusia sejak lahir sampai meninggal dunia.

Dari bagian-bagian itu dapat dilihat kaitan aturannya sejak seseorang dilahirkan, hidup sebagai manusia yang memiliki hak dan kewajiban, suatu waktu keinginan untuk melanjutkan keturunan dilaksanakan dengan membentuk keluarga, di dalam kehidupan sehari-hari manusia itu memiliki kekayaan yang dipelihara dan dipertahankan dengan baik dan pada saat meninggal dunia semuanya akan ditinggalkan untuk diterimakan lanjut bagi yang berhak. Dari bagian-bagian sistem hukum perdata itu ada aturan-aturan hukumnya yang berkaitan secara tera- tur dan keseluruhannya merupakan peraturan hidup manusia dalam keperdataan. Keutuhan dan kesatuan aturan hukum tersebut dalam ke- hidupan bernegara, ini lah yang disebut dengan tata hukum yang secara sistemik disebut dengan sistem hukum.

(31)

21 Dapat dikatakan bahwa, pada dasarnya tata hukum18 sama dengan sistem hukum suatu cara atau sistem dan susunan yang mem- bentuk keberlakukan suatu hukum disuatu wilayah tertentu dan pada waktu tertentu. Tata hukum suatu negara (ius constitutum = hukum positif) adalah tata hukum yang diterapkan atau disahkan oleh negara itu. Dalam kaitannya di Indonesia, yang ditata itu adalah hukum positif yang berlaku di Indonesia. Hukum yang sedang berlaku artinya apabila ketentuan-ketentuan hukum itu dilanggar maka bagi si pelanggar akan dikenakan sanksi yang datangnya dari badan atau lembaga berwenang.

Tata hukum Indonesia adalah peraturan-peraturan hukum yang sekarang berlaku di Indonesia. Tata Hukum Indonesia mengatur tertib kehidupan masyarakat Indonesia. Tata Hukum Indonesia diterapkan oleh masyarakat hukum Indonesia. Hukum dalam arti tata hukum kerapkali disebut sebagai hukum positif yaitu hukum yang berlaku dis- uatu tempat, pada saat tertentu di Indonesia. Hukum positif tersebut misalnya hukum publik yang mencakup bidang-bidang: Hukum Tata Negara, Hukum Tata Usaha Negara, Hukum Pidana, Hukum Inter- nasional Publik, sedangkan bidang hukum privat meliputi: Hukum Perdata, Hukum Dagang, Hukum Pertanahan dan yang lainnya.

Istilah, tata hukum berasal dari bahasa Belanda “recht orde”

artinya susunan hukum atau yang berarti memberikan tempat yang sebenarnya kepada hukum19. Yang dimaksud dengan ”memberikan tempat yang sebenarnya kepada hukum” yaitu menyusun dengan baik dan tertib aturan-aturan hukum dalam pergaulan hidup. Hal tersebut dilakukan supaya ketentuan yang berlaku dengan mudah dapat diketahui dan digunakan untuk menyelesaikan setiap terjadi peristiwa hukum. Dalam tata hukum ada aturan hukum yang berlaku pada saat tertentu, ditempat tertentu yang disebut juga hukum positif atau ius constitutum lawannya adalah Ius Constituendum atau hukum yang dic- ita-citakan atau hukum yang belum membawa akibat hukum.

Disamping itu ada aturan-aturan hukum tertentu yang pernah berlaku dan sudah diganti dengan aturan hukum baru yang sejenis dan berlaku sebagai hukum positif baru. Misalnya UU No. 1 tahun 1974 tentang

18 Lihat Blog Anggresti Firlianita, 17 Juli 2013, Sistem Hukum Indonesia.

19 Lihat Abdoel Djalil, 2003, Op. Cit. hlm. 5

(32)

22 Perkawinan. Dengan demikian peraturan perkawinan dalam KUHPedata tidak berlaku lagi. Proses penggantian aturan-aturan hukum seperti itu akan terus dilakukan. Proses pergantian atau pem- baharuan seperti itu senantiasa dilakukan agar peraturan hukum yang ada dapat senantiasa sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat20.

Tata hukum sama dengan sistem hukum, suatu cara atau sistem dan susunan yang membentuk keberlakukan suatu hukum disuatu wilayah tertentu dan pada waktu tertentu. Tata hukum suatu negara (ius constitutum = hukum positif) adalah tata hukum yang diterapkan atau disahkan oleh negara itu. Dalam kaitannya di Indonesia, yang di- tata itu adalah hukum positif yang berlaku di Indonesia. Hukum yang sedang berlaku artinya apabila ketentuan-ketentuan hukum itu dilang- gar maka bagi si pelanggar akan dikenakan sanksi yang datangnya dari badan atau lembaga berwenang.

Pelembagaan Tata Hukum Indonesia dimulai sejak saat Prokla- masi Kemerdekaan, yaitu tanggal 17 Agustus 1945, sebab dengan Proklamasi Kemerdekaan berarti: a. Negara Republik Indonesia diben- tuk oleh bangsa Indonesia. b. Sejak saat itu pula Bangsa Indonesia telah mengambil keputusan menentukan dan melaksanakan hukumnya sendiri, yaitu hukum bangsa Indonesia dengan hukumnya yang baru (tata hukum sendiri). Hal ini dapat disimpulkan dari bunyi proklamasi:

“Hal‐hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain‐lain diseleng- garakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat‐sing- katnya”. Ketentuan ini dipertegas lagi setelah Indonesia mempunyai UUD 1945 di dalam Pasal II aturan peralihan, sebagai berikut: “Segala Badan Negara dan peraturan yang masih ada langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang‐Undang Dasar ini”. Kata-kata

“pemindahan kekuasaan” dapat dimaknai bahwa adanya pemindahan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif yang pada saat itu ketiga kekuasaan diatas ada ditangan penjajah. Dengan adanya proklamasi tersebut maka ketiga kekuasaan diatas berpindah ke pemerintahan In- donesia dan diupayakan sesingkat-singkatnya. Sebagai wujudnya pada

20 Bagaimana pun juga realitas yang ada bahwa, hukum senantiasa tertatih-tatih mengikuti pekembangan kehidupan masyarakat (het recht en achter de feithen anch).

(33)

23 tanggal 18 Agustus 1945 lahir UUD 1945 sebagai konstitusi Negara Re- publik Indonesia.

Dengan demikian tata hukum Indonesia adalah tata hukum yang ditetapkan oleh pemerintah Negara Indonesia. Tata hukum Indonesia juga terdiri atas aturan-aturan hukum yang ditata atau disusun sedemikian rupa, dan aturan-aturan itu antara satu dan lainnya saling berhubungan dan saling menentukan. Aturan-aturan hukum yang ber- laku di Indonesia berkembang secara dinamis sesuai dengan perkem- bangan zaman dan perkembangan kebutuhan masyarakat. Oleh kare- nanya suatu aturan yang sudah tidak memenuhi kebutuhan masyarakat perlu diganti dengan yang baru. Perkembangan masyarakat tentu dii- kuti perkembangan aturan-aturan yang mengatur pergaulan hidup se- hingga tata hukum pun selalu berubah-ubah, begitu pula tata hukum Indonesia. Suatu tata hukum yang selalu berubah-ubah mengikuti perkembangan masyarakat ditempat mana tata hukum itu berlaku un- tuk memenuhi perasaan keadilan berdasarkan kesadaran hukum masyarakat, disebut tata hukum yang mempunyai struktur terbuka.

Demikian pula halnya tata hukum Indonesia saling berhubungan dan saling menentukan, dapat dibuktikan dengan contoh sebagai beri- kut: Hukum Pidana saling berhubungan dengan hukum acara pidana dan saling menentukan satu sama lain, karena hukum pidana tidak akan dapat diterapkan tanpa adanya hukum acara pidana. Sebaliknya jika tidak ada hukum pidana, hukum acara pidana tidak akan berfungsi.

Hukum keluarga berhubungan dan saling menentukan dengan hukum waris. Agar harta kekayaan yang ditinggalkan oleh seorang yang meninggal dunia dapat dibagikan kepada para ahli warisnya perlu dibuat peraturannya. Siapa ahli warisnya, berapa bagiannya, dan apa kewajibannya ditentukan oleh hukum waris.

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa, tujuan mempelajari tata hukum Indonesia atau tujuan mempelajari hukum positif Indonesia, adalah bahwa orang tersebut ingin mengetahui seluruh peraturan yang mengatur tata kehidupan negara dan masyarakat Indonesia. Lebih jauh orang tersebut ingin mengetahui dasar rangka hukum positif Indonesia, tentang perbuatan-perbuatan mana yang melanggar hukum dan mana yang menuruti hukum, serta ingin mengetahui kedudukan, hak, dan kewajibannya dalam masyarakat. Seseorang yang mempelajari tata

(34)

24 hukum Indonesia berarti mempelajari hukum positif Indonesia secara massif dan sistemik.

Lebih rinci dapat dikatakan bahwa tujuan dari mempelajari tata hukum Indonesia adalah:

a. Ingin mengetahui peraturan-peraturan hukum yang berlaku saat ini di suatu wilayah negara atau hukum positif atau Ius Constitutum.

b. Ingin mengetahui perbuatan-perbuatan mana yang menurut hukum, dan perbuatan-perbuatan mana yang melanggar hukum.

c. Ingin mengetahui kedudukan seseorang dalam masyarakat atau hak dan kewajibannya.

d. Ingin mengetahui sanksi-sanksi apa yang diderita oleh seseorang bila orang tersebut melanggar peraturan yang berlaku.

Sudah menjadi realitas bahwa, setiap negara yang ada di dunia, pasti memiliki hukum untuk mengontrol warga negaranya. Dengan hukum maka kehidupan kewarganegaraan dapat terkoordinasi dengan baik. Namun tak menutup kemungkinan pula bahwa masyarakat juga akan terpecah belah manakala dalam suatu negara tersebut memiliki sistem hukum yang tidak terintergrasi dengan baik. Dalam sistem keta- tanegaraan Indonesia, jika kita mengkaji lebih dalam mengenai hukum yang ada di Indonesia, maka semua peraturan dan norma yang berlaku di Indonesia telah terangkum secara jelas dalam Ikhtisar Hukum Indo- nesia. Selain itu kita juga akan mengenal istilah hukum positif (Ius Con- stitutum) yang memiliki pengertian semua hukum yang berlaku di wila- yah tertentu dan pada waktu tertentu. Karena cakupan arti kata positif dalam Ius Constitutum juga memiliki makna hukum tertulis dan tidak tertulis maka untuk mempelajari hukum yang ada di Indonesia kita juga menggolongkan hukum yang ada menjadi dua. Hukum tertulis di Indo- nesia adalah Undang-undang dan Peraturan-peraturan tertulis lainnya seperti Undang Undang Dasar 1945, Undang Undang Pokok Agraria ta- hun 1960, Kitab Undang Undang Hukum Perdata, dan Kitab Undang Un- dang Hukum Pidana. Sedangkan yang tidak tertulis adalah hukum ke- biasaan dan hukum adat.

Dalam sejarah hukum Indonesia, terdapat beberapa hukum yang mempengaruhi terbentuknya hukum positif Indonesia. Beberapa hukum tersebut diantaranya sistem hukum barat, sistem hukum adat dan sistem hukum Islam. Sistem hukum nasional tidak dapat terpisah

(35)

25 dengan sistem hukum kolonial. Tiga setengah abad bukanlah waktu yang singkat bagi penduduk Nusantara untuk benar-benar bisa mem- isahkan diri dengan pengaruh bangsa Eropa. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya sistem hukum yang masih mengadopsi atau menggunakan sistem hukum Belanda. Contoh yang paling kentara ada- lah peggunaan BW (Burgerlijk Wetboek) dalam hukum perdata Indone- sia. BW dianggap masih sesuai dengan kondisi masyarakat.

Sedangkan sistem hukum adat merupakan hukum yang sudah ada sejak dulu dan dipatuhi sebagai perwujudan dari kebiasaan aturan dan perbuatan yang lazim dilakukan masyarakat tempo dulu. Aceh merupakan daratan yang menggunakan hukum adat sebagai hukum yang memiliki kedudukan yang tinggi. Demikian juga dengan empat et- nis masyarakat yang ada di Sulawesi Selatan dahulu yaitu: Bugis, Ma- kassar, Tana Toraja, dan Mandar. Hal ini telah di paparkan dalam se- buah buku yang dibuat oleh seorang Belanda yang bernama Cornelis Snouck Hoorgronje yang berjudul De Atjehers21. Indonesia memiliki hukum adat yang beragam di setiap wilayahnya. Indonesiapun mem- iliki 19 (sembilan belas) lingkaran hukum adat yang masing-masing berlaku di wilayah-wilayah yang menjadi cakupannya. Sistem hukum adat sama sekali tidak mengadopsi sistem hukum barat atau yang lainnya. Sistem hukum ini murni dari bangsa Indonesia.

Selain sistem hukum adat, maka sistem hukum yang lainnya ada- lah sistem hukum Islam. Sebelum datangnya penjajah ke Wilayah Nusantara yang kemudian menjadi Indonesia, Hukum Islam sudah ada terlebih dahulu. Hadirnya Islam di Indonesia di terima oleh bangsa In- donesia begitu juga sistem hukum yang dibawanya. Sejak saat itu ban- yak berdiri kerajaan-kerajaan Islam yang menyebar luaskan pengaruhnya yang berlandaskan Islam22. Ketika Belanda masuk ke In- donesia, Belanda menjajah Indonesia dengan bengis dan kejam. Pada masa penjajahan Belanda, muncul banyak perlawanan- perlawanan yang menginginkan kemerdekaan untuk bangsa Indonesia. Salah satu

21 Lihat Bushar Muhammad, 1978, Loc. Cit.

22 Di Wilayah Sulawesi Selatan sekarang ini, dahulu di sini bertahta kerajaan Islam yang san- gat di kenal dan di segani yaitu: Kerajaan Gowa, Kerajaan Luwu dan Kerajaan Wajo. Di Daerah Jawa dan Sumatera kita kenal: kerajaan -kerajaan tersebut adalah kerajaan Samudra Pasai, Mataram, Banten dan Cirebon.

(36)

26 perlawanan yang ada adalah Perang Diponegoro yang dalam maksud perangnya adalah untuk merebut kemerdekaan dan menginginkan agar berlakunya Hukum Islam di tanah Jawa. Jika sebelumnya sistem pemerintahan di Indonesia dipengaruhi oleh sistem hukum kolonial.

Maka dari sistem hukum kolonialisme itu berpengaruh pada hukum di Indonesia. Di Indonesia berlakulah sistem civil law sebagai acuan dari para hakim untuk mengambil langkah dalam penyelesaian masalah23. Demikian secara singkat sejarah tata hukum atau sistem hukum Indo- nesia yang akar terbentuknya sangat kompleks dan pluralis.

B. Teori Sistem Hukum Menurut Lawrence M. Friedmann

Achmad Ali dalam bukunya24 menguraikan bahwa para pakar comparative law (perbandingan hukum) termutakhir, tidak lagi hanya membedakan adanya dua sistem hukum di dunia, yang hanya dipan- dang berdasarkan “kacamat Barat”, yaitu common law system (Anglo- American legal system) yang didominasi hukum tak tertulis dan prece- dent (putusan pengadilan terdahulu), dan kedua, civil law system (Con- tinental Europe legal system), yang didominasi oleh hukum perundang- undangan, melainkan dewasa ini sudah dikenal pembedaan sistem hukum yang lebih variatif. Selanjutnya beliau menguraikan25 bahwa sa- lah satunya perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Civil law, berlaku di Benua Eropa dan di Negara-negara mantan jaja- hannya.

b. Common law, berlaku di Inggeris, Amerika Serikat, dan Negara- negara berbahasa Inggeris (Commonwealth).

c. Customary law, yang berlaku di beberapa Negara Afrika, Cina, dan India.

d. Muslim law, yang berlaku di Negara-negara muslim, terutama di Negara-negara yang ada di Timur Tengah.

23 Daniel S. Lev, 1985, Colonial Law and the Genesis of the Indonesian State, Vo. 40,hlm. 57- 74.

24 Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialpru- dence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Jakarta, Kencana Prenada MediaGroup, hlm. 203.

25 Ibid.

(37)

27 e. Mixed system, di Indonesia salah satunya, di mana berlaku sistem

hukum perundang-undangan, hukum adat, dan hukum Islam.

Sistem hukum menurut Lawrence M. Firedman (dalam Achmad Ali)26 menguraikan bahwa, perlu kita ketahui pula bahwa jika kita membahas tentang hukum dan sistem hukum, maka di dalamnya senantiasa terdapat tiga komponen27 yaitu:

a. Struktur, yaitu keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya, mencakupi antara lain kepolisian dengan para polisinya, kejaksaan dengan para jaksanya, pengadilan dengan para hakimnya, dan lain-lain.

b. Substansi, yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum, dan asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan.

c. Kultur hukum, yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan (keya- kinan-keyakinan) kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, dan cara ber- tindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyara- kat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.

Achmad Ali28 sebagai pakar hukum kemudian menambahkan dua komponen penting dari sistem hukum, yaitu:

a. Profesionalisme, yang merupakan unsur kemampuan dan ket- erampilan secara person dari sosok-sosok penegak hukum.

b. Kepemimpinan, juga merupakan unsur kemampuan dan ket- erampilan secara person dari sosok-sosok penegak hukum, uta- manya kalangan petinggi hukum.

Kepemimpinan sangat erat hubungannya dengan kemampuan pemimpin melakukan komunikasi yang optimal, sehingga dia mampu membangun trust atau kepercayaan. Dalam kaitan ini, komunikasi hukum dan sosialisasi hukum adalah sub elemen dari elemen kepem- impinan dalam suatu sistem hukum. Dengan kata lain, komunikasi hukum dan sosialisasi hukum merupakan faktor yang sangat esensial bagi efektivitas hukum. Secara umum dikatakan bahwa melalui

26 Ibd. hlm. 203-205

27 Lawrence M. Friedman, 1975, The Legal System: A Social Science Perspective, New York, Russel Sage Foundation, hlm. 11-16.

28 Achmad Ali, Op. Cit. hlm. 204.

(38)

28 komunikasi, seorang pemimpin atau pun penegak hukum, membangun

“trust” dari masyarakatnya.

Untuk itu menurut Achmad Ali29, dalam kaitan dengan trust dan hukum, masyarakat dapat dibedakan ke dalam:

a. Good trust society, yaitu masyarakat yang memiliki tingkat ke- percayaan yang baik terhadap hukum dan penegakan hukum di negaranya. Dalam masyarakat yang bertipe good trust society ini, eigenrichting atau street justice atau tindakan main hakim sendiri, sangat jarang terjadi.

b. Bad trust society, yaitu masyarakat yang memiliki tingkat ke- percayaan yang buruk terhadap hukum dan penegakan hukum di negaranya. Dalam masyarakat yang bertipe bad trust society ini, eigenrichting atau street justice atau tindakan main hakim sendiri, sangat sering terjadi.

Tipe yang kedua inilah “bad trust society”, yang sedang melanda bangsa dan Negara ini. Kepercayaan masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan semakin menipis seiring dengan menipisnya ke- percayaan masyarakat kepada segenap aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim dan pengacara). Implikasi nyatanya masyarakat tidak lagi ragu dan canggung untuk melakukan tindakan brutal (main hakim sendiri). Bahkan tindakan melanggar hukum di lakukan dihadapan dan atau disaksikan oleh aparat penegak hukum. Contoh konkrit diberbagai daerah, ketika mahasiswa melakukan demonstrasi dengan menutup jalan yang merupakan fasilitas umum bahkan di tambah dengan melakukan pengrusakan terhadap fasilitas umum (merusak rambu- rambu jalan) maka aparat penegak hukum yang ada (seperti polisi dan tentara), yang menyaksikan peristiwa itu hanya dibiarkan terjadi tanpa tindakan apa-apa untuk melarang atau menghentikannya30. Bagiamana kelompok massa dari Front Pembela Islam melakukan rasia di tempat- tempat hiburan malam, melakukan rasia di tempat-tempat penjualan minuman keras yang disertai dengan pengrusakan disertai

29 Ibid. hlm. 205

30 Lihat berbagai aksi demo mahasiswa menolak kenaikan harga BBM Juni 2013 lalu yang hampir merata terjadi di seluruh wilayah negara yang disertai dengan tindakan anarkhis dengan merusak kantor-kantor pemerintah dan berbagai fasilitas sosial lainnya serta menutup jalan yang membuat masyarakat pengguna jalan menjadi terganggu.

(39)

29 penganiayaan dan aparat kepolisian hanya geleng-geleng kepala menyaksikan hal tersebut di depan matanya.

Dalam kaitan inilah Achmad Ali31 menyebutnya bahwa pada diri institusi hukum ada “penyakit”. Penyakit yang diderita oleh hukum sendiri, yang dapat menyebabkan hukum tak dapat melaksanakan fungsinya secara optimal. Penyakit hukum itu dapat menimpa, strukturnya, atau dapat menimpa substansinya dan juga dapat men- impa kultur hukumnya. Masalah yang sangat erat kaitannya dengan masalah penyakit hukum, yaitu hakikat hukum dan tujuan hukum, oleh karena hal itulah yang sekaligus menjadi indikator keberhasilan atau kegagalan hukum.

Sebagaimana di ajarkan di dalam ilmu hukum secara sistematik, tentu kita pahami bahwa sejak awal, telah ditekankan bahwa tak ada satu pun defenisi atau pemahaman tentang hakikat hukum yang telah diterima secara universal, baik oleh kalangan hukum sendiri maupun oleh kalangan di luar bidang hukum. Antara lain dikemukakan oleh Dennis Lloyd dalam L.B. Curzon dalam Achmad Ali32, bahwa: “although much juristic ink has been used in an attempt to provide a universal acceptable definition of law, there is little sign of the objective having been attained”.

Selanjutnya dikatakan, yang pasti meskipun sedemikian banyak pendapat tentang apa sebenarnya yang dimaksudkan sebagai hukum, tetapi diantara berbagai perbedaan itu, sangat keliru jika ada anggapan yang ingin menghilangkan adanya ketiga komponen yang telah dikemukakan di atas, yaitu komponen struktur, substansi, dan kultur hukum. Dengan demikian, apa saja yang kita bicarakan tentang hukum, tidak dapat tidak, harus dikaitkan dengan ketiga komponen-komponen tersebut secara bersama-sama dan seimbang. Menekankan hanya pada satu komponen dengan mengabaikan komponen lain, kita namakan se- bagai satu jenis penyakit hukum.

Ditambahkan bahwa, kalau kita membahas tentang reformasi hukum maka tidak dapat tidak, kita harus memahaminya sebagai sekaligus reformasi struktur, reformasi substansi dan reformasi kultur

31 Achmad Ali, 2009, Op.Cit. hlm. 206-207.

32 Ibid.

Referensi

Dokumen terkait

Manajemen personalia adalah perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian atas pengadaan tenaga kerja, pengembangan, kompensasi, integrasi, pemeliharaan,

lama pendidikan informal memiliki nilai signifikan sebesar 0,006 < 0,05 sehingga menerima Ho, sehingga perlu adanya sosialisasi akan pentingnya pendidikan yang

Untuk mengetahui apa hubungan antara Promosi K3 meliputi rambu-rambu K3, pelatihan, pengawasan, komunikasi pesan K3, dan kegiatan-kegiatan bulan K3 dengan perilaku aman (

Tetapi pada stasiun I di desa Mentulik sungai Kampar Kiri jenis makanan ikan Belontia hasselti dan arthropoda tidak ditemukan, sedangkan pada stasiun II desa

Sesuai dengan rumusan masalah yang ada dan sudah ditetapkan, maka tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kualitas tidur antara bayi yang

Dengan menghitung nilai simpangan baku relatif dan simpangan baku menggunakan (1) dan (2), dapat diperoleh nilai RSD pada sistem pemantauan pengukuran potensi tenaga matahari

♦ Hipotesis kedua Ho= kepercayaan pelanggan tidak berpengamh terhadap loyalitas merek, Ha= kepuasan pelanggan berpengamh.. diterima dan ho ditolak tetapi jika p>0.05 maka ha

Pandangan subjek penelitian mengenai prestasi memiliki kesamaan yaitu melanjutkan sekolah. Melanjutkan sekolah dianggap sudah berprestasi karena bagi anak-anak yang