• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Kepastian Hukum

Dalam dokumen Legalitas Spiritual dalam Penegakan Hukum (Halaman 78-89)

BAB III. BERBAGAI TEORI TUJUAN HUKUM

C. Teori Kepastian Hukum

68 menjawab, mencegahnya dari terus menerus melakukan kezhaliman itu berarti engkau telah menolongnya”.

Hanya saja bahwa kebahagiaan dan penderitaan adalah dua reali-tas kehidupan yang saling beriringan dan silih berganti mewarnai per-jalanan hidup setiap manusia (masyarakat). Realitas tersebut tidak mungkin bisa dihilangkan sehingga dari sudut ini teori utilities dapat kita terima sebagaimana simbolnya adalah berusaha memberikan sebanyak mungkin kebahagiaan (kemanfaatan) kepada sebanyak mungkin manusia (masyarakat). Demikian juga Sabda Rasulullah SAW, bahwa: sebaik-baik manusia adalah mereka yang banyak bermanfaat bagi sesamanya. Jadi memberikan kebaikan atau kebahagiaan kepada sebanyak mungkin orang adalah perintah ajaran Agama Islam, yang ha-rus senantiasa diejahwantahkan dalam hidup dan kehidupan ini tidak hanya dalam kapasitas atau status kita sebagai rakyat biasa terlebih-lebih lagi bagi aparat pemerintah dan aparat penegak hukum.

69 Achmad Ali,60 selanjutnya memberikan contoh, Pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menentukan bahwa: “Setiap orang yang mengambil barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dengan jalan melawan hukum dengan maksud untuk (seolah-olah) memiliki, diancam pidana karena pencurian”. Perkataan ‘setiap orang’

pada pasal itu, menunjukkan pengaturannya yang umum. Sifat umum dari atauran-aturan hukum, membuktikan bahwa undang-undang tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian. Bagi penganut aliran ini, janji hukum yang tertuang dalam rumusan aturan tadi, merupakan ‘kepas-tian’ yang harus diwujudkan. Penganut aliran ini melupakan bahwa sebenarnya janji hukum itu bukan suatu yang harus, tetapi hanya sesuatu yang seharusnya. Kita mengerti benar, bahwa apa yang seha-rusnya (sollen) belum tentu terwujud dalam kenyataan atau realitas (sein)61.

Demikian juga, yang menerapkan aturan hukum itu adalah manu-sia. Manusia di dalam menerapkan suatu aturan hukum, terpengaruh dengan berbagai aspek manusiawinya, seperti persepsinya tentang suatu fenomena yang menjadi kasus yang harus diberlakukan suatu aturan hukum. Nilai-nilai yang dianut oleh manusia, sangat mewarnai penerapan hukum yang dilakukannya. Faktor manusia inilah yang dapat menerapkan aturan hukum dengan memberi porsi pada keadilan maupun kemanfaatan secara kasuistik.

Bagaimana pun juga kelebihan yang melekat pada institusi hukum perundang-undangan adalah karena faktor “tertulisnya”. Un-dang-undang sebagai norma yang tertulis lebih memberi jaminan ten-tang kebenaran norma yang di aturnya. Berbeda dengan hukum-hukum tidak tertulis yang dari sisi kaedahnya hanya di dasarkan pada keya-kinan-keyakinan pribadi atau keyakinan masyarakat. Kelebihan dari sisi tertulisnya lah maka resim perundang-undangan memberikan

60 Ibid. hlm. 286.

61 Achmad Ali, 1998, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Jakarta, P.T. Yarsif Watam-pone, hlm. 65. Mengatakan bahwa: Merebaknya kejahatan kekerasan, juga menjadi indikator tidak berfungsinya hukum secara memadai, seperti diketahui bahwa fungsi hukum modern dewasa ini tidak sekadar menunggu terjadinya sengketa atau konflik kepentingan, barulah hukum bekerja untuk menyelesaikan persengketaan (the dispute-settling function), melainkan hukum lebih dituntut berfungsi aktif dalam kehidupan masyarakat modern.

70 jaminan akan “kepastian hukum”. Dengan wujudnya yang tertulis lah maka dengan sendirinya tujuan hukum menurut aliran ini adalah untuk mewujudkan, “kepastian hukum”.

Kepastian hukum yang menjadi tujuan hukum menurut aliran ini dapat diartikan sebagai:

a. Kaedah yang termuat di dalam pasal-pasalnya harus memberikan pemahaman yang sama dan pasti. Dalam memberikan tafsiran ter-hadap makna yang terkandung di dalam sebuah pasal tidak boleh menimbulkan multi tafsir. Makna pasal yang menimbulkan multi tafsir akan menyebabkan pasal tersebut kehilangan makna kepas-tian hukumnya.

b. Penegakan hukum terhadap pasal tersebut dalam realitas haruslah memiliki kepastian. Penegakan pasal tersebut tidak boleh diskrimi-natif. Pasal tersebut di dalam penegakannya haruslah terbebas dari intervensi apa pun. Baik intervensi akibat kepentingan politik, kepentingan kekuasaan maupun karena pengaruh status sosial.

Teori dogmatic-normatif ini sejatinya sangat cocok atau sesuai dengan kondisi kehidupan sekarang yang serba komputerisasi akibat kemajuan dan temuan-temuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berbasis kepada nilai-nilai ilmiah yang serba pasti. Hanya sisi kelema-han teori atau aliran ini oleh karena terlalu menekankan pada sisi kepastian hukum. Pada hal ketika kita bicara soal hukum (penegak hukum) terutama sekali yang berkaitan dengan penyelesaian sebuah konflik hukum (tindak pidana), maka tentu saja kita tidak bisa hanya melihat persoalannya secara mekanik, atau secara hitam putih. Persoa-lan konflik hukum (tindak pidana) adalah persoaPersoa-lan manusia yang pada dirinya ada esensi “humanisme” yang terkadang tidak bisa dilihat dan diselesaikan secara mekanik atau secara hitam putih.

Meskipun Abdoerraoef,62 juga tidak setuju bahwa tujuan hukum adalah kepastian hukum sebagaimana dinyatakan, bahwa kalau pun ada orang yang mengatakan bahwa keadilan itu berarti kepastian hukum (rechtszekerheid) maka kita pun tidak dapat menyetujui kepas-tian hukum itu menjadi tujuan hukum. Karena kepaskepas-tian hukum itu hanyalah sebagai alat supaya hukum itu lebih sempurna. Pemikiran ini

62 Abdoerraoef, Op. Cit. hlm. 40

71 jelas juga keliru karena mengabaikan dan menempatkan kepastian hukum itu hanya sebagai alat, padahal meskipun sebagai alat kedudukannya juga sangat penting dalam rangka penegakan hukum.

Kita senantiasa harus tegakkan dan hidupkan di tengah masyara-kat, bahwa berbasis pada nilai-nilai humanisme spiritualitas, maka tidak ada pihak-pihak yang posisinya seratus persen benar dan tidak ada pihak-pihak yang salah seratus persen dalam semua lingkup konflik hukum yang masuk dalam ranah hukum (pidana). Meskipun sasaran pencarian kebenaran dalam hukum pidana adalah, mencari kebenaran materiil. Demikian juga dan bahkan terlebih lagi konflik hukum yang masuk dalam ranah hukum perdata, adalah cukup di dasarkan kepada kebenaran formal.

Kepastian hukum yang menjadi tujuan atau sasaran hukum menurut aliran atau teori dogmatic-normatif, sejatinya disamping kelemahan yang telah dikemukakan di atas, maka bila dikaitkan dengan dua teori sebelumnya, maka teori dogmatic-normatif sangat penting kedudukannya dalam hubungannya dengan teori etis maupun teori utilities. Bahwa kita tidak akan bisa mewujudkan sebuah keadilan demikian juga dengan kemanfaatan bila segenap proses yang meling-kupinya tidak di dasari oleh kepastian hukum. Kepastian hukum adalah prasyarat awal agar sebuah hukum (aturan perundang-undangan) dapat ditegakkan dengan sebaik-sebaiknya. Baik kepastian hukum yang berkaitan dengan kaedah atau norma yang ada di dalam peraturan perundang-undangan maupun kepastian hukum dalam penerapannya yang tidak diskriminatif atau lebih akrap dikenal dengan penegakan hukum yang tidak tebang pilih.

Dalam al-Qur’an Surat Al-Anfaal pada ayat 27 ditegaskan sebagai berikut:

نوُم لۡع ت ۡمُتن أ و ۡمُكِتَٰ ن َٰ م أ ْا ٰٓوُنوُخ ت و لوُس هرلٱ و هللَّٱ ْاوُنوُخ ت لَّ ْاوُن ما ء نيِذهلٱ ا هُّي أَٰٰٓ ي ٢٧

Alih bahasa Indonesianya adalah:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul, dan jangan mengkhianati yang diamanahkan kepadamu padahal kamu mengetahui”.

72 Selanjutnya di dalam Surat Al-Ahzaab ayat 70 ditegaskan sebagai berikut:

ا ٗديِد س ٗلَّ ۡو ق ْاوُلوُق و هللَّٱ ْاوُقهتٱ ْاوُن ما ء نيِذهلٱ ا هُّي أَٰٰٓ ي ٧٠

Alih bahasa Indonesianya adalah:

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Al-lah dan katakanAl-lah perkataan yang benar”.

Tentu saja menyoal kepastian hukum tidak dapat dipisahkan dengan soal ketaqwaan. Demikian juga dengan soal kejujuran serta keteguhan seorang manusia (aparat penegak hukum) untuk berpegang teguh pada amanah yang di sandangnya. Baik amanah yang telah digariskan oleh aturan perundang-undangan terlebih lagi amanah yang telah digariskan oleh Tuhan untuk senantiasa berbuat baik dan berkata baik serta benar.

Secara normatif, kepastian hukum dapat diartikan sebagai se-buah peraturan perundang-undangan yang dibuat serta diundangkan dengan pasti. Hal ini dikarenakan kepastian hukum dapat mengatur dengan jelas serta logis sehingga tidak akan menimbulkan keraguan apabila ada multitafsir. Sehingga tidak akan berbenturan serta tidak menimbulkan konflik dalam norma yang ada di masyarakat.

Sedangkan menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama adanya peraturan yang memiliki sifat umum untuk dapat membuat seorang individu mengetahui apa perbuatan yang boleh serta tidak boleh dilakukan. Sementara pengertian yang kedua adalah keamanan hukum untuk seorang individu dari kesew-enangan pemerintah sebab, dengan adanya peraturan yang berisfat umum itu, individu dapat mengetahui apa yang boleh dibebankan serta apa yang boleh dilakukan oleh negara terhadap seorang individu.

1. Teori Kepastian Hukum Menurut Gustav Radbruch

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, teori kepastian hukum merupakan salah satu dari tujuan hukum dan dapat dikatakan bahwa kepastian hukum merupakan bagian dari upaya untuk dapat mewujudkan keadilan. Kepastian hukum sendiri memiliki bentuk nyata yaitu pelaksanaan maupun penegakan hukum terhadap suatu tindakan

73 yang tidak memandang siapa individu yang melakukan. Melalui kepas-tian hukum, setiap orang mampu memperkirakan apa yang akan ia alami apabila ia melakukan suatu tindakan hukum tertentu.

Kepastian hukum pun diperlukan guna mewujudkan prinsip-prinsip dari persamaan dihadapan hukum tanpa adanya diskriminasi.

Dari kata kepastian, memiliki makna yang erat dengan asas kebenaran.

Artinya, kata kepastian dalam kepastian hukum merupakan suatu hal yang secara ketat dapat disilogismeka dengan cara legal formal.

Dengan kepastian hukum, maka akan menjamin seseorang dapat melakukan suatu perilaku yang sesuai dengan ketentuan dalam hukum yang berlaku dan begitu pula sebaliknya. Tanpa adanya kepastian hukum, maka seorang individu tidak dapat memiliki suatu ketentuan baku untuk menjalankan suatu perilaku. Sejalan dengan tujuan terse-but, Gustav Radbruch pun menjelaskan bahwa kepastian hukum meru-pakan salah satu tujuan dari hukum itu sendiri.

Gustav Radbruch menjelaskan, bahwa dalam teori kepastian hukum yang ia kemukakan ada empat hal mendasar yang memiliki hub-ungan erat dengan makna dari kepastian hukum itu sendiri, yaitu se-bagai berikut.

a. Hukum merupakan hal positif yang memiliki arti bahwa hukum pos-itif ialah perundang-undangan.

b. Hukum didasarkan pada sebuah fakta, artinya hukum itu dibuat ber-dasarkan pada kenyataan.

c. Fakta yang termaktub atau tercantum dalam hukum harus dirumus-kan dengan cara yang jelas, sehingga adirumus-kan menghindari kekeliruan dalam hal pemaknaan atau penafsiran serta dapat mudah dil-aksanakan.

d. Hukum yang positif tidak boleh mudah diubah.

Pendapat Gustav Radbruch mengenai kepastian hukum tersebut, didasarkan pada pandangannya mengenai kepastian hukum yang be-rarti adalah kepastian hukum itu sendiri. Gustav Radbruch mengemukakan, bahwa kepastian hukum adalah salah satu produk dari hukum atau lebih khususnya lagi merupakan produk dari perundang-undangan. Berdasarkan pendapat dari Gustav Radbruch mengenai kepastian hukum, hukum merupakan hal positif yang mampu mengatur kepentingan setiap manusia yang ada dalam masyarakat dan harus

74 selalu ditaati meskipun, hukum positif tersebut dinilai kurang adil.

Lebih lanjut, kepastian hukum merupakan keadaan yang pasti, ke-tentuan maupun ketetapan. Secara hakiki hukum haruslah bersifat pasti dan adil. Maksudnya, hukum yang pasti adalah sebagai pedoman kelakukan serta adil adalah pedoman kelakukan yang harus menunjang antara suatu tatanan dan dinilai wajar. Hanya dengan bersifat pasti dan adil lah, maka hukum pada dijalankan sesuai dengan fungsi yang dimil-ikinya.

2. Teori Kepastian Hukum Menurut Jan M. Otto

Selain Gustav Radbruch, Jan M. Otto pun turut berpendapat mengenai kepastian hukum yang disyaratkan menjadi beberapa hal se-bagai berikut.

a. Kepastian hukum menyediakan aturan hukum yang jelas serta jernih, konsisten serta mudah diperoleh atau diakses. Aturan hukum tersebut haruslah diterbitkan oleh kekuasaan negara dan memiliki tiga sifat yaitu jelas, konsisten dan mudah diperoleh.

b. Beberapa instanti penguasa atau pemerintahan dapat menerapkan aturan hukum dengan cara yang konsisten serta dapat tunduk mau-pun taat kepadanya.

c. Mayoritas warga pada suatu negara memiliki prinsip untuk dapat menyetujui muatan yang ada pada muatan isi. Oleh karena itu, per-ilaku warga pun akan menyesuaikan terhadap peraturan yang telah diterbitkan oleh pemerintah.

d. Hakim peradilan memiliki sifat yang mandiri, artinya hakim tidak berpihak dalam menerapkan aturan hukum secara konsisten ketika hakim tersebut dapat menyelesaikan hukum.

e. Keputusan dari peradilan dapat secara konkrit dilaksanakan.

Menurut Jan M. Otto kelima syarat dalam kepastian hukum terse-but menunjukan, bahwa kepastian hukum dapat dicapai, apabila sub-stansi hukum sesuai dengan kebutuhan yang ada pada masyarakat. Jan M. Otto pun menjelaskan aturan hukum yang mampu menciptakan kepastian hukum ialah hukum yang lahir melalui dan dapat menc-erminkan budaya yang ada di masyarakat. Teori kepastian hukum yang dikemukakan oleh Jan M. Otto dapat disebut sebagai kepastian hukum yang sebenarnya atau realistic legal certainly, artinya kepastian hukum

75 tersebut dapat mensyaratkan bahwa ada keharmonisan yang hadir di antara negara dengan rakyat yang memiliki orientasi serta memahami sistem hukum negara tersebut.

Menurut pendapat dari Jan Michiel Otto, kepastian hukum yang sesungguhnya dapat lebih berdimensi yuridis. Akan tetapi, terbatas pada lima situasi yang telah dijelaskan di atas. Jan M. Otto pun ber-pendapat, bahwa hukum haruslah ditegakan oleh instansi penegak hukum yang memiliki tugas untuk dapat menjamin kepastian hukum itu sendiri, demi tegaknya ketertiban maupun keadilan yang hadir da-lam hidup masyarakat.

3. Teori Kepastian Hukum Menurut Sudikno Mertokusumo

Berbeda pendapat dengan Gustav Radbruch yang mengungkap-kan bahwa kepastian hukum adalah salah satu dari tujuan hukum, Sudikno Mertokusumo mengungkapkan bahwa kepastian hukum ada-lah sebuah jaminan agar hukum dapat berjalan dengan semestinya, artinya dengan kepastian hukum individu yang memiliki hak adalah yang telah mendapatkan putusan dari keputusan hukum itu sendiri.

Sudikno pun menjelaskan, bahwa meskipun kepastian hukum berkaitan erat dengan keadilan akan tetapi hukum serta keadilan itu sendiri adalah dua hal yang berbeda. Hukum memiliki sifat-sifat berupa umum, mengikat setiap individu, menyamaratakan, sedangkan keadi-lan sendiri memiliki sifat yang berbeda yaitu subyektif, individualistis serta tidak menyamaratakan. Dari sifat yang ada pada hukum dan kead-ilan itu sendiri, dapat dilihat dengan jelas bahwa keadkead-ilan dan hukum adalah hal yang berbeda. Sehingga, kepastian hukum merupakan pelaksanaan hukum yang sesuai dengan bunyinya. Sehingga, masyara-kat pun dapat memastikan bahwa hukum yang ada dan tercantum dapat dilaksanakan. Dalam memahami nilai-nilai dari kepastian hukum, maka ada hal yang harus diperhatikan yaitu, bahwa nilai tersebut mem-iliki relasi yang erat dengan instrumen hukum positif serta peranan negara dalam melakukan aktualisasi pada hukum positif tersebut.

4. Teori Kepastian Hukum Menurut Nusrhasan Ismail

Nusrhasan Ismail berpendapat bahwa penciptaan dalam kepas-tian hukum dalam peraturan perundang-undangan memerlukan

76 beberapa persyaratan yang berhubungan dengan struktur internal da-lam norma hukum itu sendiri. Persyaratan internal yang dimaksud oleh Nusrhasan Ismail ialah sebagai berikut.

a. Adanya kejelasan konsep yang digunakan. Norma hukum tersebut berisi mengenai deskripsi dari perilaku tertentu yang kemudian di-jadikan menjadi satu ke dalam konsep-konsep tertentu pula.

b. Hadirnya kejelasan hirarki yang dinilai penting, karena menyangkut sah atau tidak sahnya. Serta mengikat atau tidak mengikatnya dalam suatu peraturan perundang-undangan yang dibuat. Kejelasan hirarki tersebut, dapat memberikan arahan sebagai bentuk dari hukum yang memiliki kewenangan untuk dapat membentuk suatu peraturan dari perundang-undangan tertentu.

c. Adanya konsistenti pada norma hukum perundang-undanga. Mak-sudnya, ketentuan yang ada pada sejumlah peraturan undang un-dang tersebut memiliki kaitan dengan satu subyek tertentu dan tidak saling bertentangan dengan satu dan yang lainnya.

Lebih lanjut, Nusrhasan Ismail menjelaskan bahwa kepastian hukum menghendaki adanya suatu upaya peraturan hukum dalam un-dang-undang yang dibuat oleh pihak-pihak berwenang maupun ber-wibawa. Sehingga aturan yang dibentuk tersebut memiliki suatu aspek yang yuridis serta dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum memiliki fungsi sebagai sebuah peraturan yang harus dan wajib ditaati oleh masyarakat atau warga negaranya.

Mengenai teori kepastian hukum, Grameds bisa mempelajari lebih lanjut dengan membaca buku berjudul “Kepastian Hukum Masa Tunggu Eksekusi Pidana Mati” yang ditulis oleh Dr. Djermij Sitanggang.

Melalui buku ini, penulis menjelaskan bahwa dalam hukuman eksekusi mati, tidak ada kepastian hukum di dalamnya, sehingga buku ini hadir dan diharapkan dapat membantu memahami permasalahan pada masa tunggu eksekusi pidana mati yang dalam praktiknya, tidak menc-erminkan ada kepastian hukum yang hadir serta rasa keadilan pada na-rapidana. Buku ini cocok untuk Grameds yang sedang mempelajari te-ori kepastian hukum dan ingin memperdalamnya dengan masalah yang ada pada lapangan.

77 5. Teori Kepastian Hukum Lon Fuller

Melalui buku Lon Fuller berjudul “The Morality of Law” ia men-jelaskan bahwa ada delapan asas yang harus dipenuhi oleh hukum. Apa-bila delapan asas tersebut tidak terpenuh, maka hukum yang hadir akan gagal untuk kemudian dapat disebut sebagai hukum, atau dapat dikatakan bahwa dalam hukum harus ada kepastian hukum.

Dari penjelasan Lon Fuller, dapat disimpulkan bahwa kepastian hukum yang ia kemukakan memiliki pengertian dan tujuan yang sama seperti yang dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo. Bahwa kepas-tian hukum adalah jaminan agar hukum yang ada dapat berjalan dengan semestinya. Lon Fuller pun menjelaskan kedelapan asas yang harus dipenuhi oleh hukum, yaitu sebagai berikut.

a. Sistem yang dibuat oleh pihak berwenang dan berwibawa haruslah terdiri dari peraturan yang tidak berdasarkan pada putusan sesaat balaka untuk hal-hal tertentu.

b. Peraturan yang ditetapkan oleh pihak berwenang dan berwibawa harus diumumkan kepada publik.

c. Peraturan yang ditetapkan tidak berlaku surut, karena dapat merusak integritas suatu sistem.

d. Peraturan tersebut dibuat dalam sebuah rumusan yang dapat di-mengerti oleh masyarakat umum.

e. Peraturan satu dan lainnya tidak boleh ada yang saling berten-tangan.

f. Suatu peraturan yang telah ditetapkan tidak boleh menuntut suatu tindakan yang kiranya melebihi apa yang dapat dilakukan.

g. Peraturan yang telah ditetapkan tidak boleh terlalu sering diubah-ubah.

h. Peraturan-peraturan yang telah ditetapkan, harus memiliki kes-esuaian antara peraturan serta dalam hal pelaksanaan dalam ke-hidupan sehari-hari.

Dari kedelapan asas yang dikemukakan oleh Lon Fuller, dapat disimpulkan bahwa harus ada kepastian di antara peraturan serta pelaksaan hukum tersebut, dengan begitu hukum positif dapat dijalan-kan apabila telah memasuki ke ranah perilaku, aksi, serta faktor yang dapat memengaruhi bagaimana hukum itu berjalan.

78 6. Teori Kepastian Hukum Menurut Apeldoorn

Menurut Apeldoorn, kepastian hukum memiliki dua segi yang ha-rus dipahami, segi yang pertama adalah mengenai bepaalbaarheid atau dapat dibentuknya hukum melalui beberapa hal yang sifatnya adalah konkret. Artinya, pihak yang mencari keadilan dapat mengetahui bahwa hukum dalam hal khusus sebelum memulai suatu perkara. Se-menatara segi kedua, kepastian hukum memiliki arti kemanan hukum.

Apeldoorn mengemukakan bahwa kepastian hukum merupakan suatu perlindungan bagi beberapa pihak terhadap kesewenangan seorang ha-kim.

Melalui paradigma positivisme, Apeldoorn pun mengemukakan bahwa definisi hukum haruslah melarang seluruh aturan yang ada dan mirip menyerupai hukum, akan tetapi tidak memiliki sifat untuk me-merintah atau perintah yang berasal dari otoritas yang memiliki kedau-latan. Kepastian hukum menurut Apeldoorn haruslah dijunjung dengan tinggi, apapun akibatnya serta tidak ada alasan apapun untuk tidak menjunjung tinggi kepastian hukum karena sesuai dengan paradig-manya, hukum positif dalam kepastian hukum adalah satu-satunya hukum.

Dari uraian mengenai teori kepastian hukum menurut para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kepastian huku dapat mengandung beberapa arti yaitu bahwa adanya kejelasan, tidak boleh menimbulkan multi tafsir dalam hukum tersebut, tidak boleh bersifat kontradiktif antar peraturan satu dengan lainnya serta peraturan ter-sebut dapat dilaksanakan.

Hukum yang berlaku dan telah ditetapkan oleh pihak berwenang dan berwibawa dalam hal ini pemerintah, harulah tegas di dalam masyarakat, mengandung keterbukaan sehingga masyarakat dapat me-mahami makna dari peraturan atau ketentuan hukum yang telah ditetapkan oleh pihak-pihak berwenang tersebut. Hukum menurut te-ori kepastian hukum dari para ahli, tidak boleh memiliki sifat yang kon-tradiktif. Sebab, jika bersifat kontradiktif maka hukum tersebut akan menjadi sumber keraguan. Kepastian hukum sendiri dapat menjadi perangkat hukum untuk suatu negara yang memiliki kejelasan, dan dapat menjamin hak maupun kewajiban dari setiap warga negara sesuai dengan budaya yang ada pada masyarakat tersebut.

79

Dalam dokumen Legalitas Spiritual dalam Penegakan Hukum (Halaman 78-89)

Dokumen terkait