• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Sistem Hukum Menurut Lawrence M. Friedmann 27

Dalam dokumen Legalitas Spiritual dalam Penegakan Hukum (Halaman 36-54)

BAB II. RUANG LINGKUP SISTEM HUKUM

B. Teori Sistem Hukum Menurut Lawrence M. Friedmann 27

Achmad Ali dalam bukunya24 menguraikan bahwa para pakar comparative law (perbandingan hukum) termutakhir, tidak lagi hanya membedakan adanya dua sistem hukum di dunia, yang hanya dipan-dang berdasarkan “kacamat Barat”, yaitu common law system (Anglo-American legal system) yang didominasi hukum tak tertulis dan prece-dent (putusan pengadilan terdahulu), dan kedua, civil law system (Con-tinental Europe legal system), yang didominasi oleh hukum perundang-undangan, melainkan dewasa ini sudah dikenal pembedaan sistem hukum yang lebih variatif. Selanjutnya beliau menguraikan25 bahwa sa-lah satunya perbedaan tersebut adasa-lah sebagai berikut:

a. Civil law, berlaku di Benua Eropa dan di Negara-negara mantan jaja-hannya.

b. Common law, berlaku di Inggeris, Amerika Serikat, dan Negara-negara berbahasa Inggeris (Commonwealth).

c. Customary law, yang berlaku di beberapa Negara Afrika, Cina, dan India.

d. Muslim law, yang berlaku di Negara-negara muslim, terutama di Negara-negara yang ada di Timur Tengah.

23 Daniel S. Lev, 1985, Colonial Law and the Genesis of the Indonesian State, Vo. 40,hlm. 57-74.

24 Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialpru-dence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legispru(Judicialpru-dence), Jakarta, Kencana Prenada MediaGroup, hlm. 203.

25 Ibid.

27 e. Mixed system, di Indonesia salah satunya, di mana berlaku sistem

hukum perundang-undangan, hukum adat, dan hukum Islam.

Sistem hukum menurut Lawrence M. Firedman (dalam Achmad Ali)26 menguraikan bahwa, perlu kita ketahui pula bahwa jika kita membahas tentang hukum dan sistem hukum, maka di dalamnya senantiasa terdapat tiga komponen27 yaitu:

a. Struktur, yaitu keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya, mencakupi antara lain kepolisian dengan para polisinya, kejaksaan dengan para jaksanya, pengadilan dengan para hakimnya, dan lain-lain.

b. Substansi, yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum, dan asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan.

c. Kultur hukum, yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan (keya-kinan-keyakinan) kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, dan cara ber-tindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyara-kat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.

Achmad Ali28 sebagai pakar hukum kemudian menambahkan dua komponen penting dari sistem hukum, yaitu:

a. Profesionalisme, yang merupakan unsur kemampuan dan ket-erampilan secara person dari sosok-sosok penegak hukum.

b. Kepemimpinan, juga merupakan unsur kemampuan dan ket-erampilan secara person dari sosok-sosok penegak hukum, uta-manya kalangan petinggi hukum.

Kepemimpinan sangat erat hubungannya dengan kemampuan pemimpin melakukan komunikasi yang optimal, sehingga dia mampu membangun trust atau kepercayaan. Dalam kaitan ini, komunikasi hukum dan sosialisasi hukum adalah sub elemen dari elemen kepem-impinan dalam suatu sistem hukum. Dengan kata lain, komunikasi hukum dan sosialisasi hukum merupakan faktor yang sangat esensial bagi efektivitas hukum. Secara umum dikatakan bahwa melalui

26 Ibd. hlm. 203-205

27 Lawrence M. Friedman, 1975, The Legal System: A Social Science Perspective, New York, Russel Sage Foundation, hlm. 11-16.

28 Achmad Ali, Op. Cit. hlm. 204.

28 komunikasi, seorang pemimpin atau pun penegak hukum, membangun

“trust” dari masyarakatnya.

Untuk itu menurut Achmad Ali29, dalam kaitan dengan trust dan hukum, masyarakat dapat dibedakan ke dalam:

a. Good trust society, yaitu masyarakat yang memiliki tingkat ke-percayaan yang baik terhadap hukum dan penegakan hukum di negaranya. Dalam masyarakat yang bertipe good trust society ini, eigenrichting atau street justice atau tindakan main hakim sendiri, sangat jarang terjadi.

b. Bad trust society, yaitu masyarakat yang memiliki tingkat ke-percayaan yang buruk terhadap hukum dan penegakan hukum di negaranya. Dalam masyarakat yang bertipe bad trust society ini, eigenrichting atau street justice atau tindakan main hakim sendiri, sangat sering terjadi.

Tipe yang kedua inilah “bad trust society”, yang sedang melanda bangsa dan Negara ini. Kepercayaan masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan semakin menipis seiring dengan menipisnya ke-percayaan masyarakat kepada segenap aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim dan pengacara). Implikasi nyatanya masyarakat tidak lagi ragu dan canggung untuk melakukan tindakan brutal (main hakim sendiri). Bahkan tindakan melanggar hukum di lakukan dihadapan dan atau disaksikan oleh aparat penegak hukum. Contoh konkrit diberbagai daerah, ketika mahasiswa melakukan demonstrasi dengan menutup jalan yang merupakan fasilitas umum bahkan di tambah dengan melakukan pengrusakan terhadap fasilitas umum (merusak rambu-rambu jalan) maka aparat penegak hukum yang ada (seperti polisi dan tentara), yang menyaksikan peristiwa itu hanya dibiarkan terjadi tanpa tindakan apa-apa untuk melarang atau menghentikannya30. Bagiamana kelompok massa dari Front Pembela Islam melakukan rasia di tempat-tempat hiburan malam, melakukan rasia di tempat-tempat-tempat-tempat penjualan minuman keras yang disertai dengan pengrusakan disertai

29 Ibid. hlm. 205

30 Lihat berbagai aksi demo mahasiswa menolak kenaikan harga BBM Juni 2013 lalu yang hampir merata terjadi di seluruh wilayah negara yang disertai dengan tindakan anarkhis dengan merusak kantor-kantor pemerintah dan berbagai fasilitas sosial lainnya serta menutup jalan yang membuat masyarakat pengguna jalan menjadi terganggu.

29 penganiayaan dan aparat kepolisian hanya geleng-geleng kepala menyaksikan hal tersebut di depan matanya.

Dalam kaitan inilah Achmad Ali31 menyebutnya bahwa pada diri institusi hukum ada “penyakit”. Penyakit yang diderita oleh hukum sendiri, yang dapat menyebabkan hukum tak dapat melaksanakan fungsinya secara optimal. Penyakit hukum itu dapat menimpa, strukturnya, atau dapat menimpa substansinya dan juga dapat men-impa kultur hukumnya. Masalah yang sangat erat kaitannya dengan masalah penyakit hukum, yaitu hakikat hukum dan tujuan hukum, oleh karena hal itulah yang sekaligus menjadi indikator keberhasilan atau kegagalan hukum.

Sebagaimana di ajarkan di dalam ilmu hukum secara sistematik, tentu kita pahami bahwa sejak awal, telah ditekankan bahwa tak ada satu pun defenisi atau pemahaman tentang hakikat hukum yang telah diterima secara universal, baik oleh kalangan hukum sendiri maupun oleh kalangan di luar bidang hukum. Antara lain dikemukakan oleh Dennis Lloyd dalam L.B. Curzon dalam Achmad Ali32, bahwa: “although much juristic ink has been used in an attempt to provide a universal acceptable definition of law, there is little sign of the objective having been attained”.

Selanjutnya dikatakan, yang pasti meskipun sedemikian banyak pendapat tentang apa sebenarnya yang dimaksudkan sebagai hukum, tetapi diantara berbagai perbedaan itu, sangat keliru jika ada anggapan yang ingin menghilangkan adanya ketiga komponen yang telah dikemukakan di atas, yaitu komponen struktur, substansi, dan kultur hukum. Dengan demikian, apa saja yang kita bicarakan tentang hukum, tidak dapat tidak, harus dikaitkan dengan ketiga komponen-komponen tersebut secara bersama-sama dan seimbang. Menekankan hanya pada satu komponen dengan mengabaikan komponen lain, kita namakan se-bagai satu jenis penyakit hukum.

Ditambahkan bahwa, kalau kita membahas tentang reformasi hukum maka tidak dapat tidak, kita harus memahaminya sebagai sekaligus reformasi struktur, reformasi substansi dan reformasi kultur

31 Achmad Ali, 2009, Op.Cit. hlm. 206-207.

32 Ibid.

30 hukum. Kekeliruan yang muncul selama ini, sebagian besar petinggi Negara bahkan pakar hukum jika menyoal tentang reformasi hukum, maka dikepala mereka yang dimaksud hanyalah reformasi undang-un-dang, dan inilah yang termasuk juga sebagai salah satu jenis penyakit hukum, yang menyebabkan hukum di Indonesia tidak pernah mampu menunaikan fungsinya secara optimal untuk mencapai tujuan hukum.

Hal tersebut kemudian diperparah lagi dengan proses legislasi atau pembentukan peraturan perundang-undangan yang tidak profe-sional, khususnya anggota-anggota legislatif yang tidak memahami Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara. Akibatnya peraturan perundang-undangan yang lahir banyak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik. Hal in secara nyata terlihat di dalam pembentukan Undang Undang Cipta Kerja yang menggunakan metode unibus law. Demikian juga dalam revisi undang Undang Komisi Pem-berantasan Korupsi (KPK). Pemerintah bersama dengan Dewan Per-wakilan Rakyat (DPR) terlalu memaksakan kehendaknya dengan mengabaikan suara-suara rakyat yang tidak setuju dengan pemben-tukan revisi undang-undang tersebut.

Untuk itu yang terpenting, ketika kita ingin memahami hakekat hukum, maka berarti yang kita maksudkan termasuk tiga komponen (struktur, substansi, dan kultur hukum) yang berkait sangat erat dengan fungsi hukum dan tujuan hukum. Hubungan timbal-balik dari kesemuanya itulah yang merupakan hakikat hukum, itulah seharusnya yang menjadi landasan pijak guna menuju terwujudnya tujuan hukum.

Hanya saja problematika dasar sebagaimana penulis kemukakan di bagian lain tulisan ini yang sekaligus meminjam istilah Achmad Ali yang merupakan penyakit hukum adalah belum tuntas dan selesainya konflik sistemik antara sub-sub system hukum yang membangun sys-tem hukum Negara ini. Konflik sissys-temik antara hukum perundang-un-dangan Negara dengan hukum adat dan hukum agama (Islam). Con-tohnya konflik konsepsional antara hukum perundang-undangan Negara dengan Hukum Islam tentang, “zina”. Konflik yang telah terjadi ratusan tahun lamanya namun tidak pernah mendapat perhatian untuk menyelesaikannya. Konflik ini dibiarkan berlarut-larut sehingga merusak kesadaran hukum dan kultur hukum masyarakat Indonesia.

31 Menurut Lawrence M. Friedman33, kesulitan jika seseorang hanya menggunakan pendekatan normatif tentang hukum adalah bahwa ia cenderung untuk menganggap beberapa jenis hukum sebagai mandiri (meta social life), ia cenderung untuk melupakan fakta bahwa struktur-struktur dan aturan-aturan yang tampak hanya dari satu cara di atas kertas, sementara di dalam kehidupan kenyatannya benar-benar ber-beda. Hampir setiap orang mengakui bahwa hukum hingga derajat ter-tentu merupakan suatu produk sosial, dan bahwa hukum yang ada di dalam undang-undang (law on the books) dan hukum di dalam tindakan (law in action) tidak selalu sama.

Aturan-aturan dan struktur sendiri tidak mengatakan kepada kita bagaimana mesin itu benar-benar bekerja. Pandangan semacam itu tidak menyediakan cara untuk memecahkan, tidak digunakannya lagi hukum sebagai “hukum yang hidup” (living law). Mereka tidak menga-takan kepada kita bagaimana dan mengapa aturan-aturan dibuat dan apa pengaruhnya terhadap kehidupan orang. The law yang diartikan sebagai struktur-struktur dan aturan-aturan, hanya satu dari tiga jenis fenomena, yang kesemuanya benar-benar sama dan jelas. Pertama, terdapat kekuatan-kekuatan sosial dan hukum, yang di dalam beberapa cara menekan di dalam membuat the law. Lalu kedua, ada the law sendiri, yang terdiri dari struktur-struktur dan aturan-aturan. Ketiga, ada pengaruh hukum terhadap perilaku yang ada di dunia luar. The law berasal dan mampu memengaruhi, terletak pada istilah yang pertama dan ketiga, yang keduanya merupakan sesuatu yang esensial bagi studi tentang hukum.

Ditambahkan bahwa, pengikut ekstrem pendekatan normatif selalu melalaikan fenomena yang pertama tadi, yaitu the input side of law, padahal pengabaian ini sama seriusnya dengan pengabaian ter-hadap makanan, air, dan udara dalam studi suatu sistem kehidupan.

Pengabaian yang dilakukan kaum legalistik itu merupakan salah satu jenis “penyakit hukum” yang menimpa paradigma sebagai bagian dari kultur hukumnya, dan tergolong yang sangat parah. Dalam kaitannya dengan penyakit hukum ini, maka dapat dibedakan tiga jenis hukum, yaitu:

33 Lawrence M. Friedman, Op.Cit. hlm. 207.

32 a. Living law atau hukum yang hidup, yaitu aturan hukum yang benar-benar di dalam realitasnya diimplementasikan secara optimal. Jenis hukum ini dalam kaitannya dengan penyakit hukum termasuk hukum yang sehat wal afiat.

b. Sleeping law atau hukum yang tidur, yaitu aturan hukum yang tetap digunakan, tetapi tidak secara optimal, ibarat orang yang ter-kantuk-kantuk.

c. Dead law atau hukum yang telah mati, yaitu aturan hukum yang be-lum pernah dicabut, tetapi di dalam realitasnya sudah tidak digunakan lagi.

Perbincangan tentang sistem hukum tidaklah sesederhana me-nyebutkan dua kata tersebut. Pada kedua kata yang tergabung dalam term tersebut sarat dengan berbagai aspek yang harus selalu menjadi perhatian dalam hal apa pun. Dalam proses legislasi sistem hukum ha-rus menjadi perhatian serius oleh karena sistem hukum akan mengarahkan pembentukan suatu aturan hukum agar sinergis dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Sistem hukum akan mengarahkan agar aturan yang di buat dapat di terima oleh kesadaran hukum dan kultur hukum masyarakat. Demikian juga dari awal aparat penegak hukum dapat mengetahuai dan memahami peraturan perun-dang-undangan yang di buat tersebut sehingga diharapkan dapat me-mahami betul roh yang terkandung dalam aturan hukum tersebut. Hal tersebut tentu saja bermanfaat dalam proses penegakannya nantinya, sebab akan lebih mudah untuk dilaksanakan oleh karena telah menge-tahui dan memahami sejarah pembentukan aturan hukum tersebut.

Pada sisi masyarakat, pendekatan sistem hukum juga sangat membantu dan bermanfaat. Dalam proses legslasi, masyarakat adalah salah satu elemen yang tidak boleh diabaikan. Dalam segenap proses legislasi masyarakat harus dilibatkan. Masyarakat harus dari awal mengetahui akan adanya aturan hukum yang akan dibuat. Masyarakat harus dilibatkan untuk memberikan tanggapan dan masukan akan aturan hukum yang akan dibuat, oleh karena dasar filosofisnya, aturan hukum tersebut dibuat untuk kepentingan masyarakat jadi masyarakat harus dilibatkan. Demikian juga pada akhirnya pengetahuan dan pem-ahaman masyarakat akan aturan hukum yang dibuat tersebut tentu saja

33 akan melahirkan kultur hukum dan kesadaran hukum yang kondusif untuk pemberlakukan suatu aturan hukum yang baru dibuat.

Realitas proses legislasi di Negara kita (Indonesia) aspek sistem hukum sebagaimana diuraikan di atas hampir-hampir, untuk tidak mengatakan tidak pernah mendapat perhatian yang serius34. Kewajiban pemerintah bersama pihak legislatif untuk menyampaikan kemasyarakat tentang rencana pembuatan suatu peraturan perun-dang-undangan yang menjadi hak masyarakat untuk memperoleh in-formasi tidak terlaksana. Apa lagi untuk mensosialisasikan kepada masyarakat terhadap suatu rancangan undang-undang35. Demikian juga hak masyarakat untuk memberikan tanggapan dan masukan serta hak masyarakat untuk memperoleh informasi tentang bagaimana proses perdabatan yang menyertai pembicaraan suatu rancangan un-dang-undang di dalam persidangan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) maupun di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Demikian anggota DPR/DPRD harus memahami betul perkem-bangan atau situai yang terjadi di tengah masyarakat. Bagaimana masyarakat (termasuk para tokoh masyarakat, para ahli) memandang dan memahami peraturan perundang-undangan yang akan dibuat. Be-gitu juga bagaimana pandangan hukum yang ada di tengah masyarakat termasuk kaitannya dengan system hukum adat dan system hukum agama (Islam) yang ada.

Pada ranah ini lah pentingnya kita memahami kesadaran hukum dan kultur hukum masyarakat. Bagaimana konsep-konsep hukum yang ada di tengah masyarakat berkaitan dengan berbagai aspek dari pera-turan perundang-undangan yang akan atau sedang di bahas di per-sidangan DPR atau DPRD.

Peraturan perundang-undangan sebagian besar dibuat untuk mengatur berbagai hal di dalam interaksi sosial kehidupan masyarakat,

34 Sebagaimana perintah Undang Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

35 Secara filosofis, anggota legislatif adalah wakil rakyat dipilih oleh rakyat, mereka bekerja untuk kepentingan rakyat, kenapa bisa terjadi kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh DPR/DPRD tidak disampaikan atau tidak diketahui oleh rakyat yang memberi “mandat”dan

“amanah” kepada segenap anggota DPR/DPRD yang terhormat. Baik sebagai wakil rakyat maupun sebagai mediator antara rakyat dengan pemerintah pusat maupun dengan pemerintah daerah (provinsi, kabupaten dan kota).

34 baik dibidang sosial, ekonomi, politik, budaya, organisasi masyarakat maupun bidang-bidang lainnya. Tentu saja hal yang salah jika dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang menyangkut ke-hidupan masyarakat tersebut justru masyarakat tidak tau sama sekali atau tidak dilibatkan. Pelibatan masyarakat adalah hak masyarakat dan kewajiban pemerintah bersama anggota legislatif.

Hak untuk terlibat atau keterlibatan masyarakat dalam pemba-hasan sebuah rancangan undang-undang telah di jamin secara jelas di dalam Undang Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Pera-turan Perundang-undangan yang kemudian di revisi dengan Undang Undang No. 15 Tahun 2019. Menutup pintu keterlibatan masyarakat dalam pembahasan sebuah rancangan undang-undang (RUU) dapat be-rakibat undang-undang tersebut memiliki cacat formal. Cacat formal yang kemudian dapat menjadi alas an untuk membatalkan undang-un-dang tersebut oleh Mahkamah Konstitusi.

C. Pandangan Hukum Progresif

Sejarah pemikiran hukum dapat dilihat bahwa hukum selalu hadir dalam kehidupan manusia. tidak bisa dibayangkan, bagaimana manusia hidup tanpa hukum. Oleh karena itu, keteraturan dalam masyarakat tidak dapat dibayangkan. Bahkan dapat dikatakan, keterti-ban dan masyarakat adalah dua makna yang dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan. Celsius, filsuf Romawi berkata, "Ubi societes, ibi ius" (dimana ada orang, di situ ada hukum).

Perkembangan kompleksitas hukum dalam kehidupan manusia bahkan sudah sampai pada taraf hukum tidak lagi mudah dipahami. ko-non, hukum hadir untuk menjaga ketertiban (order) dalam masyarakat.

Dalam perkembangan ontologis hukum, ada 3 tujuan hukum yang biasa kita pahami yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Tujuan hukum tersebut merupakan pencerminan dari 3 aliran hukum yang sangat ber-pengaruh terhadap perkembangan hukum masa kini, yaitu aliran hukum alam yang mengutamakan keadilan, positivisme hukum yang cenderung mengutamakan kepastian hukum yang mengarah pada keadilan hukum daripada keadilan substantif dan realisme hukum.

yang menekankan manfaat. Hukum yang dipahami dalam pendekatan negara hukum Pancasila tidak hanya terbatas pada hukum dengan

35 konteks kodifikasi tetapi hukum luas yaitu nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia yang kemudian dijadikan dasar atau landasan dalam kehidupan bermasyarakat. Asas-asas yang terkandung dalam pancasila bersumber dari budaya dan pengalaman bangsa Indonesia yang berkembang sebagai hasil usaha bangsa dalam mewujudkan Indo-nesia sebagai negara yang berfilsafat pancasila, berangkat dari budaya masyarakat yang terdiri dari berbagai suku, agama, ras. yang kemudian diikat dalam Bhineka Tunggal Ika dengan semboyan yang berbeda tetapi bersatu. Dalam kaitannya dengan hukum yang berlaku bagi bangsa dan negara Indonesia, Pancasila merupakan cita hukum yang menguasai hukum-hukum dasar negara, baik hukum dasar tertulis maupun hukum dasar tidak tertulis. Sesuai dengan falsafah bangsa In-donesia yaitu Pancasila, Menurut Satjipto Rahardjo, Penegakan hukum progresif adalah melaksanakan hukum bukan hanya kata-kata hitam putih dari kaidah (sesuai dengan surat), tetapi menurut ruh dan mak-nanya lebih (to very meaning) dari undang-undang atau undang-un-dang yang berdasarkan pancasila sehingga penegakan hukum tidak hanya kecerdasan intelektual tetapi dengan pendekatan sadar. Dengan kata lain, penegakan hukum dilakukan dengan tekad, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa dan disertai dengan keber-anian untuk mencari jalan lain dari yang biasa dilakukan.

Sehubungan dengan hal tersebut, semua perangkat hukum harus menempatkan kemanusiaan sebagai pusat orientasi penegakan hukum humaniter. Namun di saat yang sama ketika digaungkan dengan pene-gakan supremasi hukum, ternyata kehidupan hukum di Indonesia masih menimbulkan kekhawatiran dan kekecewaan masyarakat. Da-lam tiga tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan.

Hukum tidak mampu mewujudkan keadilan bagi semua, bahkan ketiga tujuan hukum ini sangat sulit untuk berjalan beriringan. Penegakan hukum seperti pisau dapur, tajam ke bawah tumpul. Hukum bersifat represif ketika berhadapan dengan rakyat kecil yang tidak memiliki harta benda. Di sisi lain, mereka yang memiliki uang legal bersifat protektif dan tidak memihak. Hukum yang berpihak tidak akan mampu mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Asas hukum bahwa setiap orang sama di depan hukum, diubah oleh masyarakat menjadi “tetap tidak di hadapan hukum”. Citra Indonesia sebagai negara hukum

36 tertuang dalam amanat konstitusi pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Da-sar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 “5 Negara hukum Indone-sia” dan dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman di Pasal 2 ayat (1) mengatakan bahwa keadilan dilaksanakan untuk keadilan Ketuhanan Yang Maha Esa dan ayat (2) bahwa, keadilan negara berlaku dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.6 Jadi hukum harus menjadi sarana untuk mewujudkan keadilan di tengah-tengah masyarakat. masyarakat untuk membawa kebahagiaan dan kemakmuran bagi masyarakat. Tetapi struktur penegakan hukum seolah-olah buta akan hal itu, hukum seolah-olah dilihat sendiri tanpa melihat aspek yang lebih luas yaitu masyarakat, sehingga Sacipto Rahrdjo mengatakan bahwa hukum ha-rus menggunakan pendekatan spiritual, seperti dalam hukum dengan hati nurani, maka sudah selayaknya tidak hanya memperhatikan teks tetapi harus memperhatikan konteks masyarakat tetapi lebih dalam dari itu adalah situasi dan kondisi perasaan masyarakat. Namun fakta hukum yang terjadi di masyarakat tidak bisa dipungkiri, banyak men-imbulkan keresahan seperti fakta terkini kasus Gayus H. Tambunan.

Seorang staf Ditjen Pajak Kementerian Keuangan berhasil menyuap pengacara, penyidik, jaksa, hakim agar kasus yang menjerat dirinya divonis ringan. Bahkan saat ditahan di Rutan Brimob Jakarta karena ka-sus pajak, Gayus bisa bepergian ke Bali bahkan ke luar negeri (Malaysia, Singapura, dan China). Rupanya petugas detensi itu dibeli oleh Gayus.

Kasus Gayus merupakan salah satu ilustrasi rusaknya hukum di negeri ini. Sebagai perbandingan, kasus hukum yang menyentuh hati nurani adalah Kasus Nenek Minah dengan pencurian 3 buah kakao. Minah dengan latar belakang mata pencaharian sebagai petani lepas. Minah memetik 3 buah kakao dari PT Rumpun Sari Antan (PT RSA), yang di-wawancarai oleh nenek Minah tidak bermaksud menyembunyikan dan juga tidak bermaksud untuk mengambil kakao tersebut. 3 buah kakao itu akan dijadikan bibit, namun ia tetap meminta persetujuan dari man-dor perkebunan. Akhirnya saya menjadi terdakwa kasus pencurian dengan pasal 362 KUHP dan divonis satu bulan 15 hari dengan masa percobaan tiga bulan karena berbagai pertimbangan. Studi banding ter-hadap kedua kasus tersebut semakin menunjukkan kompleksitas per-masalahan hukum di Indonesia. dalam hal strata pekerjaan dan status

37 sosial, Gayus H. Tambunan dapat bermain hukum dengan kebebasannya untuk pergi ke luar negeri sedangkan dalam kasus Ne-nek Minah dengan status ekonomi di bawah seolah-olah hukum begitu ketat dan represif.36 Lalu timbul pertanyaan dimana keadilan itu?.

Dalam hukum Islam maupun hukum yang berlaku di Indonesia, terdapat kesepakatan prinsip bahwa semua manusia adalah sama.

Mereka tidak didiskriminasi karena kebangsaannya, karena keturun-annya, karena kekayaannya atau karena kemegahannya. Tidak ada da-lam hukum Isda-lam seorang penguasa yang bebas dari hukum jika mereka berbuat salah. Semua manusia di hadapan Tuhan adalah sama dan Tu-han adalah Hakim yang Adil.

Seperti dalam surat tersebut, Anisa ayat 58 diperintahkan untuk berlaku adil kepada siapa saja tanpa memandang strata apapun. Surat An-Nisa (4.58) menyampaikan bahwa sesungguhnya Allah memerinta-hkan (memerintamemerinta-hkan) kamu untuk melaksanakan (menyam-paikan/menyampaikan) amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (memberitahu kamu) ketika menetapkan suatu hukum di antara manusia agar kamu menentukan secara adil. Sesungguhnya Allah mem-berikan pengajaran yang terbaik (paling berharga) kepadamu. Lihat!

Allah Maha Mendengar, Melihat. (An-Nisa 4,58).37

Beranjak dari polemik hukum yang terjadi di Indonesia, keadilan seolah menjadi delusi tujuan hukum, hakim seolah menjadi corong dan aturan acara formal yang melukai perasaan masyarakat yang memper-juangkan haknya di meja hukum, Penulis merumuskan masalah sebagai berikut: Pertama: Bagaimana fungsi hukum progresif dalam upaya mencari keadilan? Kedua: Bagaimana realisasi Hukum progresif dalam Hukum di Indonesia? Teori yang penulis gunakan dalam penulisan ini adalah teori keadilan, penulis dapat menggunakan teori keadilan. Teori keadilan Aristoteles, teori keadilan Jhown Rawls, dan teori keadilan Is-lam dirumuskan oleh penulis untuk memberikan gambaran pema-haman tentang keadilan dalam teori hukum progresif. Selain itu penulis juga menggunakan teori hukum progresif, teori hukum progresif meru-pakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk memperbaiki hukum

36 Hyronimus Rhiti, “Landasan Filosofis Hukum Progresif,” Justitia et Pax 32, no. 1 (2016).

37 Pandawa and Tengah, “Progresif Law Functions in Realizing Justice in Indonesia.”

Dalam dokumen Legalitas Spiritual dalam Penegakan Hukum (Halaman 36-54)

Dokumen terkait