• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mewujudkan Tujuan Hukum

Dalam dokumen Legalitas Spiritual dalam Penegakan Hukum (Halaman 104-139)

BAB IV. PENDEKATAN TEORI RELIGIUSITAS

A. Mewujudkan Tujuan Hukum

Hingga kini bangsa dan Negara ini masih diperhadapkan pada re-alitas pelanggaran hukum yang masih marak terjadi di berbagai wila-yah negara serta dilakukan oleh semua elemen bangsa. Salah satu yang paling memperihatinkan hingga sekarang adalah tindak pidana korupsi. Jangan kan untuk menghilangkan atau menghentikan tindak pidana korupsi itu untuk mengurangi kuantitas dan kualitasnya saja pemerintah dan aparat penegak hukum seakan kehilangan akal74.

Ada apa sebenarnya yang terjadi dengan bangsa dan negara ini sehingga pelanggaran hukum atau tindak pidana semakin menjadi-jadi75. Bahkan berbagai tindak pidana yang terjadi mulai dari korupsi, pembunuhan, perampokan, pemerkosaan silih berganti terjadi. Seha-rusnya kejadian itu tidak berulang terus-menerus. Bukankah pelajaran di bidang itu sudah terlalu banyak, ataukah kejadian-kejadian itu belum cukup, sehingga yang terjadi justru hal tersebut kita anggap hal yang biasa-biasa saja dan perlahan-lahan masalah besar dan paling me-malukan bangsa ini secara umum dan secara khusus dunia hukum kita tersebut menghilang di benak kita dan pada akhirnya muncul lagi kasus baru yang hanya akan menyadaran kita bila terjadi lagi. Seperti halnya

74 Lihatlah misalnya, korupsi Prasarana Olahraga Hambalang dengan nilai proyek mencapai Rp. 2.5 triliun dan diprediksi korupsi yang merugikan keuangan negara mencapai Rp. 243,66 milyar. Kasus yang mulai digarap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak Agustus 2011 lalu yang hingga sekarang belum juga tuntas berkas perkaranya.

75 Lihat juga bentrok massa dengan anggota FPI di Kabupaten Kendal akibat sweeping yang dilakukan FPI terhadap tempat usaha hiburan masyarakat yang menurut mereka tidak boleh dibuka selama bulan ramadhan (beritakendal.com, 24 Juli 2013) dan hal seperti ini berulang-ulang terjadi di berbagai tempat dan pelaku selalu sama yaitu FPI.

95 kasus peledakan bom yang berkali-kali terjadi diberbagai wilayah di Negara ini aparat penegak hukum baru angkat bicara dengan berbagai retorika bila kasus peledakan bom telah terjadi dan sibuk ke sana ke-mari menyalahkan berbagai pihak padahal pertanyaan sederhananya adalah, selama ini kemana dan dimana mereka menjaga keamanaan warga sehingga mereka bisa kecolongan lagi dan lagi-lagi kecolongan.

Pada sisi inilah kita temukan kelemahan institusi hukum sebagai satu sistem. Kelemahan dan ketidak mampuan hukum untuk ditegakkan oleh manusia-manusia yang melingkupinya. Hal tersebut berhadapan dengan sisi negatif kedirian manusia yang juga hingga kini tidak dipahami sumber penyebabnya yang merupakan area “ajaran agama”. Sisi negatif kedirian manusia yang senantiasa mengajak kepada perbuatan-perbuatan negatif berupa perbuatan melanggar hukum.

Selama manusia yang menjadi aparat penegak hukum belum me-mahami hakekat dirinya dari sudut pandang agama maka selama itu pula kekeliruan dan penghancuran terhadap hidup dan kehidupan ini akan selalu terjadi. Apatah lagi bila manusia yang ada di permukaan bumi ini masih membanggakan kemampuan sains dan teknologi untuk menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan manusia. Sains dan teknologi sejatinya tidak akan pernah dapat menyelesaikan berbagai persoalan hidup yang melingkupi kehidupan ini bila sains dan teknologi itu lepas dari induk centrumnya, “agama”. Sejatinya, hanya nilai-nilai agama (Islam) yang dapat menyelamatkan manusia dari berbagai per-soalan hidup dan kehidupan yang dialaminya. Kesadaran tentang perang agama ini sebenarnya telah muncul sejak munculnya kesadaran akan hakekat hukum yang di wacanakan oleh “aliran hukum alam”, baik dalam konsep, lex naturalis maupun dalam konsep lex aeterna76.

Pendekatan agama sebagai sumber nilai kehidupan yang akan menyelesaikan berbagai persoalan hidup dan kehidupan yang melanda Indonesia tentu saja bukan dengan pemaknaan yang umum se-bagaimana selama ini kita pahami. Nilai-nilai agama yang dimaksud tentu saja nilai-nilai agama yang dipahami secara benar sebagaimana telah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Oleh karena 15 (lima belas) abad

76 Lihat, Sundari dan Endang Sumiarni, 2010, Hukum yang Netral bagi Masyarakat Plural, Studi Pada Sistuasi di Indonesia, Bandung, Karya Putri Darwati, hlm. 3-4.

96 setelah kita ditinggal oleh Rasulullah SAW kemurnian ajaran Islam mu-lai bergeser dengan berbagai tafsiran sesuai dengan keinginan para pihak yang menafsirkannya. Akibatnya ajaran agama kehilangan makna dan hakikatnya.

Meskipun telah diintrodusir di dalam aturan hukum bahwa, proses peradilan di Indonesia dilaksanakan dengan menjunjung tinggi asas “Demi Keadilan Berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa” namun kita masih sering bertanya bagaimana kita mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dalam asas tersebut? Kebanyakan diantara kita pada awal menerima pertanyaan tersebut pasti akan kebingungan dan geleng-geleng kepala pertanda tidak paham karena selama ini kita me-mang tidak punya pemahaman yang benar dan bisa dijadikan sandaran bersama untuk mengimplementasikan hal tersebut dalam realitas.

Yang kita bisa pahami paling tidak itu kita serahkan semua kembali kepada para aparat penegak hukum untuk memahami dan mengimple-mentasikan hal tersebut sesuai dengan kepahaman nilai-nilai agama yang dianutnya. Tentu saja pernyataan ini tidak bisa kita terima oleh karena penyerahan ke masing-masing pribadi penegak hukum (hakim) akan berhadapan dengan tingkat pemahaman keagamaan yang di miliki orang tersebut yang tentu saja sangat bervariasi. Ada aparat penegak hukum yang pemahaman agamanya bagus, misalnya yang orang Islam shalatnya rajin dan tepat waktu di tambah shalat-shalat sunnat, puasa senin kamis akan tetapi ada juga aparat penegak hukum yang pema-haman agamanya sangat menyedihkan, shalat tidak pernah tidak tau perintah-perintah dan larangan-larangan agama dan lain-lain se-bagainya.

Pada ranah inilah terlihat keanehan dari sosok manusia Indonesia. Sebuah sosok bangsa yang benar-benar aneh bin ajaib yang membuat kita heran dengan kondisi yang ada yang serba antinomi. Dari sudut sejarah panjang budaya bangsa (melayu nusantara) yang sangat kental dengan nilai-nilai kemanusiaannya. Nilai saling menghargai satu sama lain dengan melepaskan perbedaan-perbedaan etnis, pangkat dan kedudukan, akan tetapi pada saat yang bersamaan bisa terjadi sikap beringas untuk saling membunuh (tidak hanya secara personal akan tetapi dapat dalam bentuk gerakan massa) hanya karena alasan sepele.

97 Pada satu sisi masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang sangat agamis, bahkan dalam sejarah juga dikenal bahwa salah satu penyumbang utama gerakan kemerdekaan adalah karena semangat dan emosi keagamaan. Di sisi lain masyarakat Indonesia tiba-tiba bisa menjadi beringas anarkhis hatta terhadap saudaranya sendiri yang sealiran sebagai penganut agama (Islam) hanya karena alasan sesat dalam pemikiran sufistik. Masyarakat dapat tiba-tiba melalui gerakan massa main hakim sendiri untuk mengeksekusi pelaku kejahatan dengan cara membakarnya hidup-hidup atau berbagai cara lainnya.

Semakin nyata kebenaran dari tesis Allamah Thabathaba’i bahwa; hukum buatan manusia (yang produk akal) tidak akan mampu memperbaiki manusia apalagi untuk mewujudkan tujuan dan fungsinya, oleh karena hukum yang merupakan produk akal di satu sisi sementara di sisi lain akal itu pulah yang kemudian menginjak-injak dan mengeksploitasi hukum yang dibuatnya demi kepentingan pribadi atau kelompoknya. Untuk itu Allamah kemudian menyodorkan hukum agama (Islam) sebagai solusi terbaik karena dia bukan hukum produk akal akan tetapi produk Ilahi Rabbi yang pasti akan sesuai dengan situasi dan kondisi dimana pun. Hanya saja manusia yang diatur oleh hukum agama (Islam) itu yang terkadang tidak mau menggunakan dan tunduk pada hukum agama yang ada karena alasan Negara Indonesia bukan negara Islam. Padahal sejatinya hukum agama (Islam) tidak lah terikat pada sisi formal kenegaraan akan tetapi terikat pada keyakinan spiritual yang melekat pada sisi terdalam dari setiap penganut ajaran agama Islam.

Pertanyaan yang muncul sampai kapan carut marut dunia hukum kita akan berakhir. Setiap hari berbagai kasus hukum terjadi dan mengagetkan publik baik karena kuantitas maupun kualitasnya. Betapa tidak mencengankan oleh karena kasus-kasus itu tidak hanya melibatkan masyarakat umum tetapi justru melibatkan orang-orang yang selama ini menjadi pendekar hukum. Tentu kita tidak pernah membayangkan kalau mereka-mereka itu akan terkait dengan kasus-kasus hukum. Sebutlah mantan Gubernur diberbagai daerah, mantan Menteri Agama (SA), anggota DPR/DPRD, hakim dan aparat kepolisian

98 pusat dalam kasus korupsi BNI, penyidik KPK serta puluhan jaksa diberbagai daerah.

Carut marut institusi hukum tersebut menyebabkan tujuan hukum untuk mewujudkan: keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum dalam lingkup proses peradilan tidak pernah terwujud, sehingga setiap putusan pengadilan (hakim) senatiasa menjadi hujatan publik dengan alasan tidak adil bahkan yang paling menyedihkan bahwa putusan yang ada telah direkayasa sebelumnya bahkan majelis hakim melakukan korupsi dengan menerima sogokan77. Pada ranah ini, tentu kita tidak heran bila ada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (UTG) tertangkap karena menerima suap dari kasus BLBI, ada hakim senior (Syfd) dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, ada hakim (Ibrh) dari PTUN Jakarta menerima suap dalam kasus tanah dan ditangkap 30 Maret 2010, ada hakim (MA) dari PN Tangerang menerima suap dari koruptor pajak GTdan ada JDS tertangkap tangan (12 Februari 2011) karaena kasus suap. Jelas ulah orang-orang jahat seperti ini sejatinya tidak layak menjadi penegak hukum. Mungkin juga waktu mau melamar menjadi jaksa atau hakim telah menyuap panitia penerimaan yang ada.

Satu aspek yang entah dilupakan atau terabaikan dalam setiap kasus-kasus hukum yang terjadi, apalagi yang menjadi sorotan dan perbincangan publik yaitu: dalam perbincangan atau polemik yang terjadi semestinya pada polemik itu ada proses pembelajaran (leasons learned) hukum pada publik. Proses pembelajaran yang wujudnya dapat berupa: peningkatan pemahaman hukum masyarakat, peningkatan kesadaran hukum atau transparansi dan pertanggung-jawaban publik atas penanganan suatu kasus. Sayangnya proses pembelajaran itu tidak membuat publik menjadi paham persoalan-persoalan hukum akan tetapi justru membuat publik semakin bodoh, kebingungan dan tersesatkan dengan persoalan-persoalan hukum yang terjadi.

Sebutlah berbagai hal yang sering menjadi objek perbincangan dalam setiap kasus-kasus hukum yang terjadi apatah lagi melibatkan orang-orang penting atau pakar dibidang hukum adalah: masalah

77 Lihat Achmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Jakarta: Chandra Pratama.

99 pemangggilan, pemeriksaan, panahanan dan status sebagai tersangka.

Semua istilah-istilah hukum dia atas adalah tahapan atau proses yang dilakukan oleh seorang penyelidik atau penyidik untuk menelusuri sejauh mana benar telah terjadinya suatu kasus hukum sehingga layak untuk diproses lebih lanjut hingga masuk ke pengadilan. Sehingga pada tataran ini semua orang yang di panggil atau diperiksa sebagai warga negara tentu saja wajib datang dan memberi keterangan sesuai yang diketahui atau dialaminya.

Dengan demikian sebenarnya yang hendak diungkap pada tahapan proses di atas adalah duduk perkara atau kejadian yang sesungguhnya dan keterlibatan orang yang disangka melakukan suatu pelanggaran hukum. Sebab hanya dengan jelasnya duduk perkara yang ada tanpa rekayasa dan kebohongan di dalamnya baru kemudian hukum akan hadir untuk memberikan kejelasan apakah itu perbuatan melanggaran hukum dan pelakunya layak untuk diproses lebih lanjut atau tidak. Hukum munculnya belakangan setelah duduk perkara yang sebenarnya telah jelas, bukan hukum muncul menjadi pembahasan awal terlibat atau tidak, tersangka atau tidak.

Fakta yang terjadi dilapangan adalah masih pada tahap awal penyelidikan atau penyidikan telah timbul perdebatan yang tidak mencerdaskan. Dalam sebuah negara hukum para pihak yang dipanggil tentu saja wajib datang untuk memenuhi panggilan penyelidik atau penyidik (kepolisisan atau kejaksaan). Sebagai warga negara para pihak yang dimintai kesaksian atau ada indikasi sebagai tersangka bersama-sama dengan penasehat hukumnya sudah terlebih dahlulu membela diri dan berbicara tentang hukumnya kasus tersebut.

Tersangka atau tidak tersangka itu fakta hukum yang akan menentukan bukan jaksa, bukan polisi, bukan penasehat hukum dan bukan kepakaran akan tetapi fakta kejadian. Demikian juga bersalah atau tidak bersalahnya seseorang yang menentukan itu pengadilan. Pada proses dan tataran inilah juga kita mestinya memahami asas hukum

“praduga tak bersalah” serta asas hukum “tidak ada seseorang yang dapat dinyatakan bersalah tanpa ada putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap”.

Dengan demikian marilah kita senantiasa menahan diri untuk mempercayakan proses penanganan dan penyelesaian suatu masalah

100 hukum pada aparat hukum yang berwenang. Marilah dalam proses pemeriksaan, penyelidikan atau penyidikan suatu perkara kita juga memberi ruang publik untuk memperoleh pencerahan tentang masalah hukum yang terjadi.

Salah satu penyebab carut marutnya bangsa dan negara ini secara umum dan secara khusus dunia hukum kita adalah karena terlalu banyaknya orang yang terlibat memberi komentar dalam suatu masalah meskipun bukan bidangnya. Bahkan yang menggelikan pihak-pihak yang merasa berkompoten atau berwenang dibidangnya justru seringkali memperlihatkan kekeliruan yang fatal sebagaimana dikemukakan di atas. Marilah kita dukung penegakan keadilan sekalipun langit runtuh.

Pertanyaan yang akhirnya muncul, adalah mungkinkah carut marut yang melanda berbagai institusi hukum negara ini masih dapat diperbaiki? Ataukah masalah itu akan menjadi masalah abadi yang senantiasa akan muncul menyertai pembangunan hukum di negara kita? Pesimisme tersebut tentu saja beralasan oleh karena sejarah panjang perjalanan hukum bangsa ini telah membuktikannya. Sejarah perjalanan panjang hukum bangsa ini bukannya menuju kepada apa yang dicita-citakan akan tetapi semakin hari justru institusi hukum semakin membawa kepada kehancuran akibat penyalah-gunaan yang disengaja.

Dari sisi tindak pidana korupsi misalnya, sampai sekarang tidak bisa teratasi dengan baik. Korupsi malah semakin merajalela. Korupsi melanda semua elemen kebangsaan, dari pejabat tinggi hingga pejabat rendahan (Pemerintah Pusat hingga tingkat Kelurahan). Korupsi yang tidak hanya melanda jajaran kekuasaan eksekutif akan tetapi telah merambah jajaran kekuasaan legislatif bahkan yang paling gila melanda jajaran kekuasaan yudikatif. Lembaga yudikatif yang seharusnya menjadi lembaga terdepan dan pejuang penegakan hukum, malah justru menjadi pelaku tindak pidana korupsi. Pembuktiannya se-tiap saat kita lihat silih berganti, polisi (sebagai institusi penyidikan), jaksa (sebagai institusi penuntut umum), hakim (sebagai institusi penerima, pemeriksa dan pemutus suatu tindak pidana) bahkan penasehat hukum terjerat hukum akibat tindak pidana yang dilakukannya.

101 Pada bagian lain tulisan saya78 telah diuraikan bahwa salah satu masalah utama dunia hukum kita adalah masalah aparatnya. Aparat pengelola institusi hukum yang ada. Aparat penegak hukum yang sumber daya manusianya sangat menyedihkan sisi moral dan akhlaknya. Pada tulisan tersebut penulis tegaskan bahwa bila aspek moral dan akhlak (moral force) para aparat penegak hukum kita tidak baik (baik dalam arti memiliki standar-standar nilai sebagai manusia sebagaimana diajarkan di dalam ajaran Agama) maka kita jangan pernah bisa berharap tegaknya hukum di negara ini. Penegakan hukum yang berkeadilan. Jangankan berharap tegaknya keadilan dan persamaan dihadapan hukum di tengah masyarakat, bermimpi pun sangat tidak mungkin. Benar-benar masyarakat dibuat frustasi dengan realitas hukum yang semakin hari semakin terpuruk.

Meskipun demikian kita bisa tetap optimis dari sudut pandang lain. Penduduk Indonesia yang dikenal sebagai masyarakat yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai agama, maka tentu saja pada sisi ini kita masih dapat menyisahkan harapan. Paling tidak mungkin yang bisa kita harapkan adalah mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk senantiasa memanjatkan doa kepada yang maha kuasa. Berdoa agar masih berkenang menurungkan pertolongan dan hidayah-Nya kepada kita semua agar bangsa dan negara ini dapat ditarik kembali kepada rel perjalanannya untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana amanah konstitusi kita (Undang Undang Dasar 1945).

Hanya saja kita juga kembali terkagetkan dengan berita yang disampaikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sekitar pertengahan tahun 2012, bahwa telah terjadi tindak pidana korupsi di jajaran Kementerian Agama berkaitan dengan “pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an”. Berita yang lagi-lagi membuat kita shock dan benar-benar perihatin dengan moralitas anak-anak bangsa ini. Korupsi yang meli-batkan bapak dengan anaknya.

Mungkin tidak berlebihan bila dinyatakan bahwa kita semua juga sangat paham dan mengerti, bahwa dalam hal-hal tertentu manusia memiliki berbagai keterbatasan dalam menjalani hidup dan kehidupan ini, termasuk di dalamnya adalah kemampuan untuk menyelesaikan

78 Lihat Ahkam Jayadi, Opini Fajar, 15 Februari 2006.

102 masalah yang dihadapinya. Dan ketika masalah itu datang dan kita tidak mampu lagi untuk menanganinya, maka disitulah kita harus memasrahkan diri secara totalitas kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa untuk memberikan pertolongannya. Inilah salah satu wujud ketinggian keimanan dan ketaqwaan kita kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dengan demikian, sejatinya seluruh anak-anak bangsa ini memahami bahwa tidak ada satu pun aspek dalam hidup dan kehidupan kita yang bisa lepas dari campur tangan Tuhan. Hidup mati kita adalah di tangan-Nya. Bagaimana mungkin ada hal yang lepas dari campur tangan-Nya bila kita sudah pahami bahwa kita semua berasal darinya dan akan kembali kepada-Nya, maka kenapa kita masih menye-pelekan ajaran agama.

Allah SWT telah mengingatkan di dalam Surat Ad-Dzariyat ayat 56 bahwa:

ِنوُدُبۡع يِل هلَِّإ سنِ ۡلۡٱ و هن ِجۡلٱ ُتۡق ل خ ا م و ٥٦

Alih bahasa Indonesianya adalah: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”.

Demikian juga di dalam Surat Al-Hadiid ayat (25) telah menegaskan bahwa:

ق ل ن أ و ِۖط ۡسِقۡلٱِب ُساهنلٱ موُق يِل نا زيِمۡلٱ و بَٰ تِكۡلٱ ُمُه ع م ا نۡل زن أ و ِتَٰ نِ ي بۡلٱِب ا ن لُسُر ا نۡل س ۡر أ ۡد سۡأ ب ِهيِف ديِد حۡلٱ ا نۡل ز

هللَّٱ هنِإ ِِۚبۡي غۡلٱِب ۥُه لُسُر و ۥُهُرُصن ي ن م ُ هللَّٱ م لۡع يِل و ِساهنلِل ُعِفَٰ ن م و ديِد ش زي ِز ع ٌّيِو ق

٢٥

Alih bahasa Indonesianya adalah: “Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadi-lan dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama) Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Per-kasa”.

103 Demikian juga diingatkan di dalam Surat Al-Baqarah ayat (2) yang telah menegaskan kepada kita semua bahwa:

نيِقهتُمۡلِ ل ى ٗدُه َِۛهيِف َۛ بۡي ر لَّ ُبَٰ تِكۡلٱ كِلَٰ ذ ٢

Alih bahasa Indonesianya adalah: “Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”.

Dalam kaitan menempatkan peran agama (Tuhan Yang Maha Kuasa) dalam ruang individu dan ruang publik juga kita masih memiliki sederet permasalahan. Salah satu permasalahan yang dimaksud adalah atmosfir keberagamaan masyarakat kita masih dominan aspek syar’inya. Bahkan aspek syaria’t itu pun belum dipahami dengan baik sehingga berimplikasi pada sisi pengamalannya. Malahan dalam beberapa hal pemahaman syaria’t itu terdapat kekeliruan. Contohnya:

masyarakat muslim percaya dengan Rukun Islam yang lima dan salah satunya adalah, mengeluarkan zakat akan tetapi berapa banyak umat Islam yang telah mengeluarkan zakat. Laporan yang dikeluarkan oleh Badan Amil Zakat (BAZ) baik di tingkat daerah maupun tingkat nasional jumlah wajib zakat dengan yang mengeluarkan zakat tidak sebanding dengan banyaknya umat Islam79.

Pemahaman keagamaan yang lebih menitik-beratkan pada aspek syaria’t tentu saja tidak cukup. Selain aspek syaria’t ada aspek: tariqat, hakekat dan ma’rifat. Masyarakat kita masih banyak melupakan aspek terdalam keberagamaan yaitu “aspek hakikat”. Padahal syari’at tanpa hakikat lumpuh dan hakikat tanpa syari’at batal. Dengan demikian kepahaman keagamaan masyarakat harus direkayasa. Rekayasa diperlukan untuk merobah kebiasaan lama masyarakat yang memahami ajaran agama sebatas ibadah ritual dalam “Rukun Islam”

sebagai kewajiban yang bersifat rutinitas. Akibatnya nilai-nilai spiritualitas ibadah shalat, zakat dan puasa tidak membekas dalam realitas sosial. Mereka shalat tapi maksiat juga, mereka puasa tapi korupsi juga. Bahkan yang kini menjadi kebiasaan, setelah mereka mencuri uang negara milyaran rupiah maka uang haram tersebut

79 Lihat laporan BAZ tahun 2010, 2011 dan 2012.

104 digunakan menjadi ongkos untuk naik haji atau umroh dan di sana (Mekkah dan Madinah) mereka mohon untuk diampuni dosa korupsinya. Setelah pulang haji atau umroh, mereka korupsi lagi, sampai akhirnya tertangkap dan diproses secara hukum. Kemudian segenap aparat penegak hukum yang menangani kasusnya di sogok dengan uang hasil korupsi sehingga bebas atau pun kalau di hukum maka hukumannya paling satu tahun kemudian dipotong masa tahanan setelah itu bebas kembali menghirup udara kebebasan. Beginilah lika-liku koruptor yang menyebabkan korupsi itu tidak pernah berhenti bahkan semua orang nyaris mau melakukan korupsi.80

Bila kita coba cermati berbagai kejadian yang melanda negeri kita (Republik Indonesia) dalam semua aspek kehidupan (hukum, ekonomi, politik, sosial dan budaya), maka rasanya kita tidak percaya kalau bangsa dan negara ini mayoritas penduduknya adalah beragama Islam.

Kita tentu tidak habis pikir dan begitu terenyuh melihat tingkah laku saudara-saudara kita sesama ummat Islam harus saling menghina, mencaci, mengusir dan merusak segala harta bendanya bahkan membunuh hanya karena kelompok tertentu memiliki tarekat yang berbeda dengan kelompok lain sehingga dianggap sesat. Bahkan menjadi eksekutor terhadap pelaku kejahatan. Padahal menurut Muh.

Sabri AR, pengalaman mistik yang diperoleh melalui tarekat adalah pengalaman dan otoritas pribadi yang orang lain tidak bias memutus-kan sebagai sesuatu yang salah.81

Pada tataran ini kita seringkali melihat lembaga keagamaan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) malah menjadi “nara sumber”

terjadinya konflik antar umat beragama. Bukankah lebih bijak bila saudara-saudara kita yang dianggap sesat kita ajak dan kita tunjukkan kepada mereka dimana kesesatannya dan yang mana yang dianggap

80 Beginilah sebenarnya yang sedang terjadi dan senantiasi menghiasi proses-proses pe-nanganan perkara atau tindak pidana, mulai dari polisinya dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan, jaksanya dalam melakukan penahanan dan dakwaan serta hakimnya yang intens melakukan pertemuan dengan penasehat hukum terdakwa untuk merekayasa proses pemeriksaan persidangan agar terdakwa tidak di hukum atau pun kalau di hukum maka hukuman yang di jatuhkan adalah hukuman yang serendah-rendahnya sehingga ketika mereka menjalani hukuman maka paling banter hanya sekitar satu bulan karena hukumannya telah dipotong dengan masa tahanan. Jelas semuanya hanya sandiwara murahan.

81 Lihat Muhammad Sabri, 2010, Lonceng Kematian Mistisisme Agama, Yogyakarta, Resis Book.

105 tidak sesat dibandingkan dengan melakukan tindakan anarkhis.82 Apalagi menyebarkan isu sesat yang belum tentu kebenarannya.

Disinilah pemerintah (aparat penegak hukumnya) juga kita saksikan banyak melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dengan membiarkan sebuah kelompok atau etnis dianiaya tanpa tindakan apa pun dari pemerintah (state violence).

Akhirnya, kita tidak heran jika penegakan hukum hingga kini masih menyisakan beragam masalah, salah satunya adalah sosok aparat penegak hukumnya. Sehari-hari kita saksikan perilaku korup, memperkaya diri sendiri, jual beli keadilan dan berbagai pelanggaran etika hukum yang semakin menggila dan sistemik. Kesemua itu pada akhirnya merusak upaya mewujudkan tujuan dan fungsi hukum di tengah masyarakat. Penegakan hukum menjadi diskriminatif. Dengan dasar ini dapat disimpulkan bahwa hukum telah gagal ditegakkan di tengah masyarakat. Hukum telah gagal mencapai tujuan dan fungsinya untuk kepentingan masyarakat.

Terlepas dari pendekatan etika profesi, berbagai peraturan pe-rundang-undangan yang mengatur Pegawai Negeri Sipil (PNS), mereka juga umat beragama bahkan mayoritas mereka bergama Islam. Kenapa nilai-nilai Islam itu seakan tidak meresap dan terimplementasikan dalam kehidupan kesehariannya. Pada sisi inilah kita dapat memberi catatan atas sikap banyak kalangan yang masih selalu melihat manusia dari sisi fisik dengan pelekatan peran sains dan teknologi terlepas dari sisi non fisik yang merupakan domain nilai-nilai agama menjadi tidak fungsional. Untuk itu manusia harus memahami hakekat dirinya dari sisi agama, oleh karena hakekat diri hanya bisa dipahami dari sudut pandang ajaran agama (Islam).83

82 Penanganan kasus seperti ini semestinya dilakukan dengan hati-hati penuh dengan kearifan dan memerlukan waktu lama. Membawa masalah tersebut langsung ke ranah hukum sebagai sebuah tindak pidana tentu saja tidak menyelesaikan masalah karena soal keyakinan beragama (pengalaman mistik) adalah soal pribadi manusia dengan Tuhannya.

83 Problema yang kini ummat Islam hadapi adalah umumnya ummat Islam belum bisa me-mahami posisi entitas agama dengan benar bahkan meme-mahami apa itu ajaran agama (Islam) saja kita masih banyak tersalah. Akibatnya ajaran agama masih di sejajarkan dengan sains dan teknologi. Hukum-hukum agama Islam (Syari’at dan Fiqhi) masih ditempatkan berada di bawah status hukum negara. Sehingga kita sangat merasa bersalah bila melanggar hukum-hukum negara dan sebaliknya kita masih menganggap hal yang biasa saja bila melanggar hukum-hukum agama.

Dalam dokumen Legalitas Spiritual dalam Penegakan Hukum (Halaman 104-139)

Dokumen terkait