• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. BERBAGAI TEORI TUJUAN HUKUM

A. Teori Etis

Teori pertama yang kita bahas adalah, teori “Etis”, yang mengajarkan pada azasnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk mewujudkan keadilan. Keadilan adalah salah satu entitas yang prob-lematik di dalam dunia hukum, baik secara konsepsional terlebih lagi di dalam implementasinya. Karen Lebacqz,47 menyatakan, bahwa dewasa

47 Karen Lebacqz, 1986, Teori-Teori Keadilan, Bandung, Nusa Media, hlm. 1

51 ini, barangkali tidak ada pekikan yang lebih lantang daripada seruan

‘keadilan’ dan tidak ada hujatan yang lebih sering terlontar daripada teriakan ‘ketidak-adilan’. Sayangnya, jeritan keadilan dan hujatan ketidak-adilan masih marak muncul dimana-mana.

Lebih lanjut dikatakan, bahwa keadilan mirip cerita gajah yang diteliti oleh para peneliti buta. Setiap peneliti merasakan bagian yang berbeda: kaki, telingan, gading, sehingga masing-masing melukiskan makhluk ini dengan cara yang berbeda-beda pula, gemuk dan kuat, tipis dan lentur, halus dan keras. Sementara si gajah itu sendiri (sang keadi-lan) tidak pernah bisa dikenal seluruhnya oleh deskripsi individual manapun. Seringkali bahkan pelukisannya nampak bertentangan. Men-gapa? Karena setiap individu hanya menawarkan sesuatu bagi pende-fenisiannya.48

Penggalan dari kutipan di atas telah cukup menggambarkan be-tapa sulitnya soal keadilan itu. Keadilan adalah soal individu dan tetntu saja rasa keadilan itu sangat individual. Apa yang adil menurut seseorang tentu saja belum tentu menurut saya dan anda. Keadilan se-jatinya adalah harga diri individu.

Dalam buku Apeldoorn49 Aristoteles mengajarkan dua jenis kead-ilan yaitu: Pertama, keadkead-ilan distributif adalah keadkead-ilan yang mem-berikan bagian kepada tiap-tiap orang sesuai dengan jasanya. Keadilan distributif adalah keadilan yang memberikan perbedaan atau keseim-bangan. Keadilan distributif tidak setuju dengan persamaan atau pen-yama-rataan. Setiap orang akan diberikan bagian sesuai dengan hak-hak dan perannya.

Implementasi keadilan distributif ini misalnya dapat di lihat pada Undang Undang Dasar 1945 Pasal 27 yang selengkapnya sebagai beri-kut:

Ayat (1) Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Ayat (2) Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

48 Asep Warlan Yusuf, “Hukum Dan Keadilan,” Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum (PJIH) 2, no. 1 (2015): 1–13.

49 Apeldoorn, 1980, Op. Cit. hlm. 23

52 Ayat (3) Setiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya

pembelaan Negara.

Tentu saja bagaimana keterlibatan setiap warga negara dalam hukum, pemerintahan, memperoleh pekerjaan dan dalam pembelaan negara tergantung kepada kemampuan masyarakat atau individu yang ada untuk memenuhi kriteria yang ada. Bahwa semua orang mempu-nyai hak yang sama untuk menjadi hakim di pengadilan akan tetapi per-syaratan yang harus dipenuhi tentu saja harus lah seorang yang ahli dibidang hukum. Hal seperti inilah yang disebut dengan keadilan dis-tributif atau keadilan yang membedakan atau keadilan yang menyeim-bangkan.

Hanya saja menurut Achmad Ali,50 bahwa saya sendiri jelas tidak mendukung pendapat yang menyatakan bahwa hukum hanyalah se-mata-mata untuk mewujudkan keadilan, karena bagaimana pun nilai keadilan itu terlalu subyektif dan abstrak. Beliau setuju kalau keadilan bersama-sama dengan kemanfaatan dan kepastian hukum dijadikan tujuan hukum secara prioritas, sesuai dengan kasus in konkreto, sesuai dengan kenyataan yang terjadi.

Kedua, keadilan commutatif adalah keadilan yang memberikan bagian yang sama kepada setiap orang. Keadilan ini biasa juga disebut dengan keadilan yang menyamakan atau mempersamakan. Keadilan yang memberikan bahagian yang sama kepada setiap orang, tanpa memperdulikan latar belakang dan jasa yang telah diperbuatnya. Kead-ilan komutatif banyak ditemukan dalam lapangan hukum perdata atau dalam hubungan-hubungan keperdataan.

Penerapan kedua jenis keadilan tersebut, baik keadilan distribu-tif maupun keadilan komutadistribu-tif dalam suatu “peristiwa hukum” (peri-stiwa sosial secara nyata), maka diperlukan ketelitian dan kearifan yang dalam. Hal tersebut disebabkan oleh karena rangkuman term-term hukum yang tertuang di dalam suatu pasal peraturan perundang-undangan memerlukan penafsiran-penafsiran untuk diterapkan atau dihubungkan dengan suatu peristiwa konkrit.

50 Achmad Ali, 1988, Menguak Tabir Hukum, Jakarta, Pustaka Prima, hlm. 65.

53 Sulitnya mewujudkan keadilan di dalam realitas menurut Ach-mad Ali,51 berawal dari pandangan para pakar yang beraliran “Etis”

yang menyatakan bahwa tujuan hukum adalah semata-mata untuk mewujudkan keadilan. Meskipun para penganut aliran etis mengemukakan bahwa tujuan hukum adalah keadilan, akan tetapi arti keadilan hingga kini masih menjadi pembahasan. Apa yang dimaksud dengan “adil” dan apa pula yang dimaksud dengan “tidak adil” sangat ditentukan oleh penilain dari orang-orang yang menghendaki di-wujudkannya keadian tersebut dalam peristiwa konkrit yang diala-minya.

Masalah mendasar aliran etis di dalam menempatkan keadilan sebagai tujuan hukum adalah pada pemahaman dan implementasi keadilan tersebut. Keadilan terlalu dipandang sesuatu yang gampang mewujudkannya. Padahal persoalan keadilan adalah persoalan sub-stansi yang tidak bisa dilepaskan dengan hakikat diri dan kedirian manusia. Soal keadilan sebagaimana teori etis akan semakin parah ketika kita melihatnya di dalam ranah implementasi oleh aparat pene-gak hukum: polisi dalam penyelidikan dan penyidikan, jaksa dalam penuntutan dan hakim di dalam memberikan putusan. Soal keadilan bukanlah semata soal benar salah atau menang kalah akan tetapi soal kemanusian secara hakiki. Sebuah pertanyaan yang tentu saja akan su-lit di jawab oleh aparat penegak hukum terkait adalah: Ketika seorang pelaku kejahatan (misalnya: pencurian, pembunuhan, pemerkosaan atau peledakan yang dilakukan oleh seorang teororis) diproses dan di-hukum maka masalahnya dianggap sudah selesai. Seringkali kita hanya berfokus kepada bentuk hukuman kepada si pelaku kejahatan atau ter-pidana, misalnya dengan menuntut hukuman penjara seberat-be-ratnya. Tapi dengan memenjarakan si terpidana, apa bentuk keadilan yang di dapatkan korban, keadilan bagi masyarakat umum dan keadilan bagi keluarga terpidana.52

51 Achmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosilogis), Jakarta, Chan-dra Pratama, hlm. 85.

52 Lihat Kompasiana.com tanggal 16 Juli 2013, artikel dari, Azwarisiregar, Keadilan dan Kepas-tian Hukum dalam Islam. Di contoh kan kasus korupsi yang dilakukan oleh mantan bendahara-wan Partai Demokrat Nazaruddin setelah mengkorup uang Negara ratusan milyar, Negara harus mengeluarkan uang puluhan milyar untuk menangkapnya di luar negeri dan kemudian mengadilinya di Pengadilan Negeri Jakarta, lalu dipenjara dan semua kebutuhannya di bayar

54 Terlepas dari pandangan Abdoerraoef,53 Qur’an mengatakan bahwa keadilan itu bukanlah tujuan hukum. Keadilan adalah suatu alat untuk menyempurnakan hukum. Abdoerraoef jelas agak keliru pemikirannya oleh karena menganggap tujuan hukum untuk keadilan hanya dalam proses akhirnya. Dalam dunia peradilan misalnya soal keadilan itu harus ada tidak hanya dalam keadilan substanstifnya saja akan tetapi juga harus diawali dengan keadilan proseduralnya.

Untuk itulah Agama Islam telah mengajarkan dan memberikan tuntunan secara lebih komprehensif dan mendalam, sebagaimana di atur di dalam Surat An-Nisaa (Surat ke empat) ayat 58 sebagai berikut:

ْاوُمُك ۡح ت ن أ ِساهنلٱ نۡي ب مُت ۡم ك ح ا ذِإ و ا هِل ۡه أ َٰٰٓى لِإ ِتَٰ ن َٰ م ۡلۡٱ ْاوُّد ؤُت ن أ ۡمُكُرُمۡأ ي هللَّٱ هنِإ۞

اهمِعِن هللَّٱ هنِإ ِِۚل ۡد عۡلٱِب

ا ٗري ِص ب اَۢ عيِم س نا ك هللَّٱ هنِإ ٰٓۗٓۦِهِب مُكُظِع ي ٥٨

Alih bahasa Indonesianya adalah:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apa-bila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengaja-ran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah maha mendengar lagi maha melihat”.

Selanjutnya di dalam Surat An-Nisaa (Surat ke empat) ayat 135 ditegaskan sebagai berikut:

ۡو ل و ِ ه ِللَّ ءٰٓا د هُش ِط ۡسِقۡلٱِب نيِم َٰهو ق ْاوُنوُك ْاوُن ما ء نيِذهلٱ ا هُّي أَٰٰٓ ي۞

ۡنُك ي نِإ ِۚ نيِب رۡق ۡلۡٱ و ِنۡي دِل َٰ وۡلٱ ِو أ ۡمُكِسُفن أ َٰٰٓى ل ع

ِرۡعُت ۡو أ ْآٰۥ ُوۡل ت نِإ و ِْۚاوُلِدۡع ت ن أ َٰٰٓى و هۡلٱ ْاوُعِبهت ت لَ ف ۖا مِهِب َٰى ل ۡو أ ُ هللَّٱ ف ا ٗريِق ف ۡو أ اًّيِن غ ا مِب نا ك هللَّٱ هنِإ ف ْاوُض

ا ٗريِب خ نوُل مۡع ت ١٣٥

Alih bahasa Indonesianya adalah:

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biar-pun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum

oleh Negara. Dengan kejadian ini kita tentu bertanya, keadilan apa yang telah didapatkan oleh Negara, oleh bangsa Indonesia? Bukankah hanya kerugian semata dan pada akhirnya hanya akan menyuburkan perilaku korupsi? Di mana letak rasa keadilan dalam kasus ini?

53 Abdoerraoef, 1970, Al-Qur’an dan Ilmu Hukum, Jakarta, Bulan Bintang, hlm. 40-41.

55 kerabatmu. Jika ia kaya atau pun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran, dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”.

Perspektif ajaran Agama Islam di atas telah memperlihatkan dan memerintahkan dengan komprehensif dan dalam bahwa persoalan keadilan secara instrinsik padanya juga melekat soal “ke-imanan”.

Tuntutan untuk menetapkan hukum, menjadi saksi dan menerapkan keadilan hatta terhadap ibu-bapak dan karib kerabat kita, semuanya harus dilakukan dengan adil. Kita dilarang keras untuk memutar-balik-kan kata-kata yang biasanya di jadimemutar-balik-kan dasar untuk mempermainmemutar-balik-kan atau memperjual-belikan hukum dan keadilan. Jelasnya berbuat adil adalah perintah Tuhan sebagaimana diperintahkan di dalam Kitab Suci Al-Qur’an. Sikap dan perilaku sebagian aparat penegak hukum atau pihak-pihak terkait untuk tidak mau berbuat adil adalah suatu bentuk pembangkangan terhadap perintah Allah SWT yang secara terminolo-gis hukum adalah terkategori sebagai orang-orang kafir.

Keadilan terletak pada tegangan antara menyamakan dan mem-bedakan. Untuk itu guna terwujudnya “keadilan” (misalnya dalam se-buah tindak pidana) maka persyaratan utamanya adalah seluruh proses-proses yang menyertainya seperti: penyelidikan dan penyidi-kan oleh pihak kepolisian, penuntutan oleh pihak kejaksaan, pemerik-saan seluruh berkas perkara termasuk saksi-saksi di dalam per-sidangan semuanya harus berjalan sebagaimana adanya tanpa ada sedikit pun permainan, rekayasa atau penipuan. Keadilan tidak lah identik dengan kepuasaan atau kesenangan, dalam hal tertentu keadi-lan bisa berwujud kepahitan atau ketidak senangan. Yang pasti soal keadilan adalah soal kejujuran, keimanan dan kepatuhan kepada Allah SWT demi keselamatan dunia dan akhirat. Sejatinya setiap umat be-ragama haruslah menjadi pilar utama penegak keadilan, oleh karena soal keadilan adalah soal perintah Tuhan yang tentu saja tidak ada per-bantahan, kecuali jika kita termasuk dalam golongan umat beragama (Islam) hanya nama sebagaimana tercantum di dalam kartu tanda penduduk (KTP). Terkhusus kepada segenap aparat penegak hukum,

56 tentu kita bertanya, sudah kah kita memahami hal-hal tersebut sebagai satu modal akhlak, modal spiritualitas dalam diri kita agar bisa maju kedepan menjadi penegak keadilan.

Beberapa konsep yang memerlukan penjelasan, antara lain: per-ilaku moral (moral behavior), perper-ilaku tidak bermoral (immoral behav-ior), perilaku di luar kesadaran moral (unmoral behavbehav-ior), dan perkem-bangan moral (moral development) itu sendiri. Perilaku moral adalah perilaku yang mengikuti kode moral kelompok masyarakat tertentu.

Moral dalam hal ini berarti adat kebiasaan atau tradisi. Perilaku tidak bermoral berarti perilaku yang gagal mematuhi harapan kelompok so-sial tersebut. Ketidakpatuhan ini bukan karena ketidakmampuan me-mahami harapan kelompok tersebut, tetapi lebih disebabkan oleh ketidaksetujuan terhadap harapan kelompok sosial tersebut, atau ka-rena kurang merasa wajib untuk mematuhinya. Perilaku di luar kesadaran moral adalah perilaku yang menyimpang dari harapan ke-lompok sosial yang lebih disebabkan oleh ketidakmampuan yang ber-sangkutan dalam memahami harapan kelompok sosial. Perkembangan moral bergantung pada perkembangan intelektual seseorang.

Etika sebagai disiplin ilmu berhubungan dengan kajian secara kritis tentang adat kebiasaan, nilainilai, dan norma perilaku manusia yang di-anggap baik atau tidak baik. Dalam etika masih dijumpai banyak teori yang mencoba untuk menjelaskan suatu tindakan, sifat, atau objek per-ilaku yang sama dari sudut pandang atau perspektif yang berlainan.

Berikut ini beberapa teori etika:

1. Egoisme

Rachels (2004) memperkenalkan dua konsep yang berhubungan dengan egoisme. Pertama, egoisme psikologis, adalah suatu teori yang menjelaskan bahwa semua tindakan manusia dimotivasi oleh kepent-ingan berkutat diri (self servis). Menurut teori ini, orang bolah saja ya-kin ada tindakan mereka yang bersifat luhur dan suka berkorban, na-mun semua tindakan yang terkesan luhur dan/ atau tindakan yang suka berkorban tersebut hanyalah sebuah ilusi. Pada kenyataannya, setiap orang hanya peduli pada dirinya sendiri. Menurut teori ini, tidak ada tindakan yang sesungguhnya bersifat altruisme, yaitusuatu tindakan yang peduli pada orang lain atau mengutamakan kepentingan orang lain dengan mengorbankan kepentingan dirinya. Kedua, egoisme etis,

57 adalah tindakan yang dilandasi oleh kepentingan diri sendiri (self-in-terest). Tindakan berkutat diri ditandai dengan ciri mengabaikan atau merugikan kepentingan orang lain, sedangkan tindakan mementingkan diri sendiri tidak selalu merugikan kepentingan orang lain. Berikut ada-lah pokok-pokok pandangan egoisme etis:

a. Egoisme etis tidak mengatakan bahwa orang harus membela kepentingannya sendiri maupun kepentingan orang lain;

b. Egoisme etis hanya berkeyakinan bahwa satu-satunya tuga adalah kepentingan diri;

c. Meski egois etis berkeyakinan bahwa satu-satunya tugas adalah membela kepentingan diri, tetapi egoisme etis juga tidak menga-takan bahwa anda harus menghindari tindakan menolong orang lain d. Menurut paham egoisme etis, tindakan menolong orang lain

diang-gap sebagai tindakan untuk menolong diri sendiri karena mungkin saja kepentingan orang lain tersebut bertautan dengan kepentingan diri sehingga dalam menolong orang lain sebenarnya juga dalam rangka memenuhi kepentingan diri.

e. Inti dari paham egoisme etis adalah apabila ada tindakan yang menguntungkan orang lain, maka keuntungan bagi orang lain ini bukanlah alasan yang membuat tindakan itu benar.

Yang membuat tindakan itu benar adalah kenyataan bahwa tin-dakan itu menguntungkan diri sendiri. Alasan yang mendukung teori egoisme:

a. Argumen bahwa altruisme adalah tindakan menghancurkan diri sendiri. Tindakan peduli terhadap orang lain merupakan gangguan ofensif bagi kepentingan sendiri. Cinta kasih kepada orang lain juga akan merendahkan martabat dan kehormatan orang tersebut.

b. Pandangan terhadap kepentingan diri adalah pandangan yang pal-ing sesuai dengan moralitas akal sehat. Pada akhirnya semua tinda-kan dapat dijelastinda-kan dari prinsip fundamental kepentingan diri.

Alasan yang menentang teori egoisme etis:

a. Egoisme etis tidak mampu memecahkan konflik-konflik kepent-ingan.

b. Kita memerlukan aturan moral karena dalam kenyataannya sering kali dijumpai kepentingan-kepentingan yang bertabrakan.

58 c. Egoisme etis bersifat sewenang-wenang. Egoisme etis dapat

dijadi-kan sebagai pembenaran atas timbulnya rasisme.

2. Utilitarianisme

Menurut teori ini, suatu tindakan dikatakan baik jika membawa manfaat bagi sebanyak mungkin anggota masyarakat (the greatest hap-piness of the greatest number). Paham utilitarianisme sebagai berikut:

a. Ukuran baik tidaknya suatu tindakan dilihat dari akibat, konsek-uensi, atau tujuan dari tindakan itu, apakah memberi manfaat atau tidak;

b. dalam mengukur akibat dari suatu tindakan, satu-satunya parame-ter yang penting adalah jumlah kebahagiaan atau jumlah ketidakba-hagiaan;

c. kesejahteraan setiap orang sama pentingnya. Perbedaan paham util-itarianisme dengan paham egoisme etis terletak pada siapa yang memperoleh manfaat.

Egoisme etis melihat dari sudut pandang kepentingan individu, sedangkan paham utilitarianisme melihat dari sudut pandang kepent-ingan orang banyak (kepentkepent-ingan orang banyak). Kritik terhadap teori utilitarianisme:

a. Utilitarianisme hanya menekankan tujuan/mnfaat pada pencapaian kebahagiaan duniawi dan mengabaikan aspek rohani.

b. Utilitarianisme mengorbankan prinsip keadilan dan hak individu /minoritas demi keuntungan mayoritas orang banyak.

3. Deontologi

Paradigma teori deontologi saham berbeda dengan paham ego-isme dan utilitarianego-isme, yang keduanya sama-sama menilai baik bu-ruknya suatu tindakan memberikan manfaat entah untuk individu (ego-isme) atau untuk banyak orang/kelompok masyarakat (utilitarian-isme), maka tindakan itu dikatakan etis. Sebaliknya, jika akibat suatu tindakan merugikan individu atau sebagian besar kelompok masyara-kat, maka tindakan tersebut dikatakan tidak etis. Teori yang menilai suatu tindakan berdasarkan hasil, konsekuensi, atau tujuan dari tinda-kan tersebut disebut teori teleologi Sangat berbeda dengan paham tel-eologi yang menilai etis atau tidaknya suatu tindakan berdasarkan

59 hasil, tujuan, atau konsekuensi dari tindakan tersebut, paham deon-tologi justru mengatakan bahwa etis tidaknya suatu tindakan tidak ada kaitannya sama sekali dengan tujuan, konsekuensi, atau akibat dari tin-dakan tersebut. Konsekuensi suatu tintin-dakan tidak boleh menjdi pertim-bangan untuk menilai etis atau tidaknya suatu tindakan.

Kant berpendapat bahwa kewajiban moral harus dilaksanakan demi kewajiban itu sendiri, bukan karena keinginan untuk memperoleh tujuan kebahagiaan, bukan juga karena kewajiban moral iu diperinta-hkan oleh Tuhan. Moralitas hendaknya bersifat otonom dan harus ber-pusat pada pengertian manusia berdasarkan akal sehat yang dimiliki manusia itu sendiri, yang berarti kewajiban moral mutlak itu bersifat rasional. Walaupun teori deontologi tidak lagi mengkaitkan kriteria ke-baikan moral dengan tujuan tindakan sebagaimana teori egoisme dan tlitarianisme, namun teori ini juga mendapat kritikan tajam terutama dari kaum agamawan. Kant mencoba membangun teorinya hanya ber-landaskan pemikiran rasional dengan berangkat dari asumsi bahwa ka-rena manusia bermartabat, maka setiap perlakuan manusia terhadap manusia lainnya harus dilandasi oleh kewajiban moral universal. Tidak ada tujuan lain selain mematuhi kewajiban moral demi kewajiban itu sendiri.

4. Teori Hak

Suatu tindakan atau perbuatan dianggap baik bila perbuatan atau tindakan tersebut sesuai dengan HAM. Menurut Bentens (200), teori hak merupakan suatu aspek dari deontologi (teori kewajiban) karena hak tidak dapat dipisahkan dengan kewajiban. Bila suatu tindakan merupakan hak bagi seseorang, maka sebenarnya tindakan yang sama merupakan kewajiban bagi orang lain. Teori hak sebenarnya didsarkan atas asumsi bahwa manusia mempunyai martabat dan semua manusia mempunyai martabat yang sama. Hak asasi manusia didasarkan atas beberapa sumber otoritas, yaitu

a. Hak hukum (legal right), adalah hak yang didasarkan atas sis-tem/yurisdiksi hukum suatu negara, di mana sumber hukum tertinggi suatu negara adalah Undang-Undang Dasar negara yang bersangkutan.

60 b. Hak moral atau kemanusiaan (moral, human right), dihubungkan

dengan pribadi manusia secara individu, atau dalam beberapa kasus dihubungkan dengan kelompok bukan dengan masyarakat dalam arti luas. Hak moral berkaitan dengan kepentingan individu sepan-jang kepentingan individu itu tidak melanggar hak-hak orang lain c. Hak kontraktual (contractual right), mengikat individu-individu

yang membuat kesepakatan/kontrak bersama dalam wujud hak dan kewajiban masing-masing kontrak. Teori hak atau yang lebih dikenal dengan prinsip-prinsip HAM mulai banyak mendapat dukungan masyarakat dunia termasuk dari PBB. Piagam PBB sendiri merupakan salah satu sumber hukum penting untuk penegakan HAM. Dalam Piagam PBB disebutkan ketentuan umum tentang hak dan kemerdekaan setiap orang. PBB telah mendeklarasikan prinsip-prinsip HAM universal pada tahun 1948, yang lebih dikenal dengan nama Universal Declaration of Human Rights. (UdoHR). Diaharap-kan semua negara di dunia dapat menggunaDiaharap-kan UdoHR sebagai da-sar bagi penegakan HAM dan pembuatan berbagai undang-un-dang/peraturan yang berkaitan dengan penegakan HAM. Pada in-tinya dalam UdoHR diatur hak-hak kemanusiaan, antara lain mengenai kehidupan, kebebasan dan keamanan, kebebasan dari penahanan, peangkapan dan pengasingan sewenang-wenang, hak memperoleh memperoleh peradilan umum yang bebas, independen dan tidak memihak, kebebasan dalam mengeluarkan pendapat, menganut agama, menentukan sesuatu yang baik atau buruk menurut nuraninya, serta kebebasan untuk berkelompok secara damai.

5. Teori Keutamaan (Virtue Theory)

Teori keutamaan berangkat dari manusianya (Bertens, 2000).

Teori keutamaan tidak menanyakan tindakan mana yang etis dan tin-dakan mana yang tidak etis. Teori ini tidak lagi mempertanyakan suatu tindakan, tetapi berangkat dari pertanyaan mengenai sifat-sifat atau karakter yang harus dimiliki oleh seseorang agar bisa disebut sebagai manusia utama, dan sifat-sifat atau karakter yang mencerminkan manusia hina. Karakter/sifat utama dapat didefinisikan sebagai dispo-sisi sifat/watak yang telah melekat/dimiliki oleh seseorang dan

61 memungkinkan dia untuk selalu bertingkah laku yang secara moral dinilai baik. Mereka yang selalu melakukan tingkah laku buruk secar amoral disebut manusia hina. Bertens (200) memberikan contoh sifat keutamaan, antara lain: kebijaksanaan, keadilan, dan kerendahan hati.

Sedangkan untuk pelaku bisnis, sifat utama yang perlu dimiliki antara lain: kejujuran, kewajaran (fairness), kepercayaan dan keuletan.

6. Teori Etika Teonom

Sebagaimana dianut oleh semua penganut agama di dunia bahwa ada tujuan akhir yang ingin dicapai umat manusia selain tujuan yang bersifat duniawi, yaitu untuk memperoleh kebahagiaan surgawi. Teori etika teonom dilandasi oleh filsafat kristen, yang mengatakan bahwa karakter moral manusia ditentukan secara hakiki oleh kesesuaian hub-ungannya dengan kehendak Allah. Perilaku manusia secara moral di-anggap baik jika sepadan dengan kehendak Allah, dan perilaku manusia dianggap tidak baik bila tidak mengikuti aturan/perintah Allah SWT se-bagaiman dituangkan dalam kitab suci.

Sebagaimana teori etika yang memperkenalkan konsep kewajiban tak bersyarat diperlukan untuk mencapai tujuan tertinggi yang bersifat mutlak. Kelemahan teori etika Kant teletak pada penga-baian adanya tujuan mutlak, tujuan tertinggi yang harus dicapai umat manusia, walaupun ia memperkenalkan etika kewajiban mutlak. Moral-itas dikatakan bersifat mutlak hanya bila moralMoral-itas itu dikatakan dengan tujuan tertinggi umat manusia. Segala sesuatu yang bersifat mutlak tidak dapat diperdebatkan dengan pendekatan rasional karena semua yang bersifat mutlak melampaui tingkat kecerdasan rasional yang dimiliki manusia.

Dengan menggunakan model pengembangan teori etika ber-dasarkan paradigma/pemahaman atas hakikat manusia, dapat dipa-hami mengapa sampai saat ini telah berkembang beragam teori dengan argumentasi /sudut pandang penalaran yang berbeda. Para-digma/pemahaman tentang hakekat manusia akan menentukan tujuan hidup atau nilai-nilai yang ingin dicapai. Nilai-nilai tersebut malatarbe-lakangi setiap paham/teori etika dan norma moral yang ada. Teori dan norma moral ini selanjutnya menjadi pedoman dalam setiap tindakan yang dilakukan. Tindakan yang dilakukan secara berulang-ulang akan

62 membentk kebiasaan, kebiasaan akan membentuk karakter, dan karak-ter menentukan seberapa efektif nilai-nilai yang diharapkan dapat tercapai. Nilai-nilai yang telah direalisasi akan menjadi bahan refleksi untuk mengkaji kembali paradigma sebagai manusia dan tujuan hidup yang ingin direalisasikan.

Teori egoisme berangkat dari pemikiran para penganutnya bahwa makna hidup setiap orang adalah untuk merealisasikan kepent-ingan diri secara individu. Di sini yang dikejar adalah nilainilai kenik-matan duniawi secara individu. Untk depat merealisasikan kepentingan individu ini, setiap orang harus menghormati hak dan kebebasan setiap orang. Sejalan dengan teori egoisme, muncul teori hak. Manusia dicip-takan bukan untuk menikmati kebahagiaan duniawi, tetapi untk men-capai nilai-nilai tertinggi dalam bentuk kebahagiaan surgawi. Pola pikir inilah yang melatarbelakangi munculnya teori teonom, suatu teori yang lebih menekankan pada pencapaian kebahagiaan di akhirat. Teori util-itarianisme juga dilandasi oleh pola pikir hakikat manusia untuk men-capai kebahagiaan duniawi, sama seperti teori egoisme. Teori egoisme lebih menekankan pada kepentingan individu, sedangkan teori utilitar-ianisme lebh menekankan pada kepentingan kelompok/masyarakat.

Makin banyak anggota kelompok/masyarakat yang memperoleh manfaat dari suatu tindakan, berarti tindakan tersebut makin baik dan makin bermoral. Dengan mengupayakan kebahagiaan, teori hak dan te-ori kewajiban (deontologi) mencoba mengulas dari sudut pandang an-tara hak dan kewajiban individu dengan hak dan kewajiban masyara-kat. Teori deontologi lebih menekankan pentingnya kewajiban setiap orang, sedangkan teori hak lebih menyoroti dari sisi hak setiap orang.

Bila seseorang menuntut haknya, berarti orang lain punya kewajiban untuk menghormati hak seseorang tersebut. Teori keutamaan lebih menyoroti karakter manusia daripada moralitas tindakan.

Dalam dokumen Legalitas Spiritual dalam Penegakan Hukum (Halaman 60-72)

Dokumen terkait