• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara dengan karakteristik lanskap hutan yang sangat beragam. Karakteristik berbagai tipe lanskap hutan di Indonesia tidak semua sama. masing-masing memiliki sifat yang spesifik dan mempunyai permasalahan yang berbeda-beda. Karakteristik berbagai tipe lanskap hutan di masing-masing daerah administrasi di Kepulauan Sumatera memiliki sifat yang spesifik dan mempunyai permasalahan yang beragam. Driving force yang menjadi pemicu terjadinya deforestasi di masing-masing daerah administrasi yang ada di Kepulauan Sumatera juga berbeda-beda. Pembentukan tipologi deforestasi menggunakan driving force

sosial ekonomi dilakukan untuk mengelompokan daerah administrasi kabupaten/kota yang ada di Kepulauan Sumatera.

Secara administratif Kepulauan Sumatera terbagi dalam 10 provinsi dan 141 kabupaten/kota. Karakteristik berbagai tipe lanskap hutan masing-masing daerah administrasi di Kepulauan Sumatera memiliki sifat yang spesifik dan mempunyai permasalahan yang beragam. Driving force yang menjadi pemicu terjadinya deforestasi di masing-masing daerah administrasi yang ada di Kepulauan Sumatera juga berbeda-beda. Pembentukan tipologi deforestasi untuk mengelompokan daerah administrasi kabupaten/kota yang ada di Kepulauan Sumatera menjadi penting untuk dilakukan untuk melihat driving force yang menjadi pemicu deforestasi pada masing-masing tipologi.

Pengertian tipologi dapat diartikan sebagai pengklasifikasian atau pengelompokan obyek berdasarkan kesamaan sifat-sifat dasar menjadi tipe-tipe tertentu. Pengertian ini dimodifikasi dari Oxford English Dictionary (Soares dan Stevenson 2009). Beberapa penelitian mendefinisikan tipologi sebagai pengelompokan tipe tertentu berdasarkan variabel atau karakteristik yang dominan (utama) melalui berbagai metode pembobotan atau kelompok, dan pemilihan faktor yang paling mencirikan karakter obyek (Valbuena et al. 2008; Lastini 2012; Nielsen-Pincus et al. 2015).

Pengelompokan daerah-daerah administrasi berdasarkan faktor-faktor dominan yang menjadi pemicu terjadinya deforestasi menjadi penting untuk dilakukan. Pengelompokan ini dimaksudkan untuk mengetahui pengelompokan daerah-daerah administrasi dalam hal potensi peluang terjadinya deforestasi. Pengelompokan dalam bentuk tipologi deforestasi juga bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor pemicu terjadinya deforestasi dan pola spasial deforestasi yang terjadi. Identifikasi dinamika pada beberapa indikator lanskap metrik dapat digunakan untuk mengetahui fragmentasi dan pola spasial deforestasi yang terjadi (Gunawan et al. 2010; Pang et al. 2013) pada masing-masing tipologi. Penelitian pada bab ini bertujuan untuk membangun tipologi deforestasi berdasarkan driving factor sosial ekonomi pada daerah administrasi kabupaten/kota di Kepulauan Sumatera serta mendapatkan gambaran pola spasial deforestasi yang terjadi pada masing-masing tipologi yang terbentuk.

Metodologi

Data Penelitian

Pemilihan data sosial ekonomi sebagai dasar untuk membagi daerah administrasi kabupaten/kota yang ada di Kepulauan Sumatera didasari oleh keterbataan ketersediaan data dan beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa keempat faktor tersebut sebagai faktor pemicu terjadinya deforestasi. Beberapa penelitian menyebutkan faktor kepadatan penduduk (Dolisca et al. 2007; Entwisle

et al. 2008; Romijn et al. 2013). jumlah keluarga pertanian (Etter et al. 2006; Pacheco 2006; Prasetyo et al. 2009; Setiawan et al. 2015). jumlah penduduk miskin (Khan dan Khan 2009) serta Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) (Romijn et al. 2013) sebagai driving factor terjadinya deforestasi. Data sosial ekonomi yang dipakai sebagai driving force deforestasi dalam penelitian ini bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS).

Penentuan Pengelompokan Deforestasi

Metode pengelompokan yang dipakai dalam penelitian ini adalah analisis

furthest neighbor clustering dengan unit terkecil adalah kabupaten/kota. Pengolahan data cluster kabupaten tersebut menggunakan software SPSS. Analisis

cluster merupakan teknik multivariat dengan tujuan utama untuk mengelompokan objek-objek berdasarkan karakteristik yang dimilikinya. Analisis Cluster

mengklasifikasi objek-objek sehingga setiap objek yang paling dekat kesamaannya dengan objek lain berada dalam cluster yang sama. Cluster-cluster yang terbentuk memiliki homogenitas internal yang tinggi dan heterogenitas eksternal yang tinggi (Ediyanto et al. 2013).

Clustering merupakan serangkaian proses untuk mengelompokkan observasi/objek ke dalam suatu kelas atau klaster yang benar dalam suatu set kategori yang disusun. Pembangunan tipologi dilakukan menggunakan pendekatan

clustering. menggunakan jarak euclidean yang terstandarisasi (Standardized Euclidean Distance). Penggunaan jarak euclidean yang terstandarisasi didasari pertimbangan adanya perbedaan rentang nilai dan satuan peubah-peubah yang dipakai pada pengelompokan tipologi. Jarak antara dua data dihitung dengan rumus

JK

SdED (Standardized Euclidean Distance ):

         

n i i ik ij JK S x x SdED 1 2 2 ) ( [6] Keterangan:

Si = Keragaman dari peubah ke-i Xij = nilai peubah ke i dari klaster j Xik = nilai peubah ke i dari klaster j

Penentuan Tingkat Akurasi Pengelompokan

Tingkat akurasi tipologi deforestasi ini dtentukan dengan cara menghitung

overall accuracy antara pengelompokan daerah administrasi hasil clustering

dengan data kelas laju deforestasi masing-masing daerah administrasi di Kepulauan Sumatera. Laju deforestasi dihitung berdasarkan hasil analisis klasifikasi tutupan lahan menggunakan citra Terra MODIS dengan menggunakan rumus laju deforestasi [5]. Analisis akurasi dilakukan dengan membuat matriks kontingensi dengan menghitung besarnya overall accuracy (OA) dengan persamaan [3].

Analisis Pola Spasial Deforestasi

Pola sebaran spasial patch hutan yang terdeforestasi dianalisis menggunakan peubah-peubah metrik lanskap. Pola spasial dimaksudkan adalah analisis terhadap fragmentasi, bentuk serta penyebaran, terhadap patch-patch hutan yang terdeforestasi. Pola sebaran spasial (spatial pattern) deforestasi pada tiap tipologi deforestasi yang telah terbentuk dianalisis antara lain jumlah patch, kepadatan patch, rata-rata luas patch, jarak rata-rata antar patch, Clumpiness Index,

serta Mean Shape Index. Pada penelitian ini besarnya nilai-nilai lanskap metrik

patch hutan yang terdeforestasi dianalisis pada skala class metrics, periode 2000 - 2006 dan 2006 – 2012 menggunakan software Fragstats 4.2.1.

Patch density (PD) adalah banyaknya jumlah patch pada setiap luasan 100 ha unit lanskap. Nilai PD yang semakin besar mengindikasikan semakin terfragmentasi kelas penutupan lahan tersebut (McGarigal dan Marks 1995). Besarnya PD dihitung menggunakan persamaan:

= � × ×

Keterangan:

PD = jumlah patch hutan per 100 ha; N = jumlah patch hutan

A = luas lanskap hutan

Mean of Euclidean Nearest-Neighbor Distance (ENN) merupakan rata-rata jarak euclidean antar pacth terdekat dalam kelas yang sama. Nilai ENN lebih besar dari 0 sampai tak terhingga, semakin besar nilai ENN menunjukan patch tersebut makin terisolasi atau terfragmentasi. Besarnya ENN dihitung menggunakan persamaan:

ENN = hij [8] Keterangan:

ENN = Euclidean Nearest-Neighbor

hij = jarak dari patch ij ke tetangga terdekat patch dalam kelas yang sama (m)

Shape Index (SHAPE) merupakan ukuran keteraturan bentuk patch. Nilai SHAPE mendekati 1 mengindikasikan bentuk patch makin teratur, sedangkan nilai [7]

SHAPE semakin jauh dari satu menunjukan bentuk patch yang semakin tidak teratur. Rumus SHAPE dihitung menggunakan persamaan:

� = . 5

√�

Keterangan:

Pij = keliling patch ij. aij = luas patch ij.

Indeks clumpiness adalah indeks yang menyatakan tingkat distribusi spasial dalam suatu lanskap. Indeks clumpiness menunjukkan rentang nilai antara -1 hingga 1. Nilai yang mendekati -1 menunjukkan patch terdistribusi secara tersebar (uniformly distributed), nilai yang mendekati 0 berarti patch tersebar secara acak (randomly distributed) dan nilai 1 menunjukkan bahwa patch/kelas terdistribusi secara mengelompok (clumply distributed) (McGarigal dan Marks 1995). Indeks

clumpiness dihitung menggunakan persamaan:

= [ �� �= ��] [10] = [ −� < ; < 5. −� −� ] [11] Keterangan:

gii = jumlah piksel patch kelas i yang berbatasan dan bersesuaian berdasarkan pada perhitungan ganda

gik = jumlah piksel patch kelas i yang berbatasan kelas i dan k berdasarkan perhitungan ganda

Pi = proporsi lanskap yang ditempat oleh patch kelas ke i.

Hasil dan Pembahasan

Pengujian Akurasi Tipologi

Hasil pengujian akurasi tipologi deforestasi terhadap pengelompokan daerah administrasi kabupaten/kota yang ada di Kepulauan Sumatera dapat dilihat pada Tabel 23 dan Tabel 24.

Tabel 23 Rekapitulasi hasil pengujian pengelompokkan menjadi 2 tipologi daerah administrasi kabupaten di Kepulauan Sumatera berdasarkan analisis klaster

No Jumlah Peubah Overall Accuracy (%)

1 1 Peubah (P1) 73.1

2 2 Peubah (P1, P2) 58.1

3 3 Peubah (P1, P2, P3) 46.2

4 4 Peubah (P1, P2, P3, P4) 51.6

Keterangan: P1 = laju pertambahan jumlah keluarga pertanian, P2 = laju pertambahan PDRB, P3 = laju pertambahan jumlah penduduk miskin, P4 = laju pertambahan kepadatan penduduk

Tabel 24 Rekapitulasi hasil pengujian pengelompokan menjadi 3 tipologi daerah administrasi kabupaten di Kepulauan Sumatera berdasarkan analisis klaster

No Jumlah Peubah Overall Accuracy (%)

1 1 Peubah (P1) 64.5

2 2 Peubah (P1, P2) 48.4

3 3 Peubah (P1, P2, P3) 18.3

4 4 Peubah (P1, P2, P3, P4) 49.5

Hasil pengujian pada Tabel 2 menunjukan bahwa nilai overall accuracy

terbaik dengan nilai akurasi sebesar 73.1% adalah pengelompokan menjadi dua tipologi dengan satu peubah yakni pertambahan laju jumlah keluarga pertanian sebagai variabel kunci. Besarnya nilai rata-rata nilai laju deforestasi untuk tipologi 1 (laju deforestasi rendah) sebesar 1,156.5 ha/th dan tipologi 2 (laju deforestasi tinggi) sebesar 3,968.8 ha/th. Tabel 3 menunjukan hasil pengujian overall accuracy

terbaik pada pengelompokan menjadi tiga tipologi adalah dengan satu peubah pertambahan laju jumlah keluarga pertanian dengan nilai akurasi sebesar 64.5% dengan rata-rata nilai laju deforestasi untuk tipologi 1 (laju deforestasi rendah) sebesar 1,156.5 ha/th tipologi 2 (laju deforestasi sedang) sebesar 3,564.5 ha/th dan tipologi 3 (laju deforestasi tinggi) sebesar 3,997.7 ha/th. Dendogram hasil analisis

furthest neighbor clustering selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1.

Tipologi deforestasi terpilih pada penelitian ini adalah model pengelompokan dua tipologi dengan 1 peubah (faktor laju pertambahan jumlah keluarga pertanian) sebagai penentunya, hal ini dilakukan dengan pertimbangan nilai overall accuracy

pada pengelompokan ini memberikan nilai terbesar diantara seluruh kombinasi peubah yang ada. Daerah administrasi kota/kabupaten yang tergolong ke dalam tipologi terpilih dapat dilihat pada Tabel 25.

Tabel 25 Daerah administrasi kabupaten yang tergolong dalam masing-masing model tipologi terpilih

Tipologi Kabupaten/Kota

Tipologi 1 (laju deforestasi rendah)

Simeulue, Aceh Singkil, Aceh Selatan, Aceh Timur, Aceh Barat, Aceh Besar, Pidie, Bireuen, Sabang, Mandailing Natal, Tapanuli Tengah, Toba Samosir, Asahan, Simalungun, Dairi, Karo, Deli Serdang, Langkat, Sibolga, Tanjung Balai, Tebing Tinggi, Medan, Binjai, Kep, Mentawai, Tanah Datar, Padang Pariaman, Agam, Lima Puluh Koto, Pasaman, Padang, Solok, Padang Panjang, Bukit Tinggi, Payakumbuh, Indragiri Hilir, Siak, Kampar, Pekan Baru, Dumai, Karimun, Natuna, Batam, Riau Kepulauan, Batang Hari, Kerinci, Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, Tebo, Bungo, Jambi, Ogan Komering Ilir, Musi Rawas, Palembang, Bangka, Belitung, Pangkal Pinang, Rejang Lebong, Bengkulu, Tanggamus, Lampung Timur, Lampung Utara, Way Kanan, Bandar Lampung

Tipologi 2 (laju deforestasi tinggi)

Aceh Tenggara, Aceh Tengah, Aceh Utara, Nias, Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, Labuhan Batu, Pesisir Selatan, Solok, Sijunjung, Sawahlunto, Kuantan Singingi, Indragiri Hulu, Pelalawan, Rokan Hulu, Bengkalis, Rokan Hilir, Merangin, Sarolangun, Muaro Jambi, Ogan Komering Ulu, Muara Enim

Sumber : data BPS tahun 2000

Daerah administrasi kabupaten/kota yang tergabung dalam tipologi 1 dan 2 terletak menyebar di sepanjang Kepulauan Sumatera mulai dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) di sebelah utara sampai Provinsi Lampung di sebelah selatan. Daerah administrasi kabupaten/kota dengan laju deforestasi rendah yang tergabung dalam tipologi 1 terkosentrasi pada pesisir timur Provinsi Sumatera Utara, pesisir barat Provinsi NAD, pesisir timur Provinsi Lampung, Provinsi Bangka Belitung dan Provinsi Riau Kepulauan. Sementara itu daerah administrasi kabupaten/kota dengan laju deforestasi rendah yang tergabung dalam tipologi 2 terkosentrasi pada wilayah tengah Provinsi NAD, Provinsi Riau, wilayah selatan Provinsi Sumatera Utara, serta bagian barat Provinsi Lampung. Secara dominan pengelompokan daerah administrasi kabupaten/kota yang tergolong pada tipologi 1 terletak di bagian utara Kepulauan Sumatera, sedangkan untuk tipologi 2 dominan di bagian selatan. Peta penyebaran daerah administrasi kabupaten /kota pada masing-masing tipologi yang terbentuk disajikan dalam Gambar 9 berikut ini.

Gambar 9 Pembagian tipologi deforestasi administrasi kabupaten/kota di Kepulauan Sumatera

Tipologi 1 (tingkat deforestasi rendah) didominasi oleh daerah perkotaan yang relatif lebih maju dan daerah-daerah kabupaten/kota yang mempunyai luas hutan yang relatif tidak luas. Jumlah kabupaten/kota yang tergolong pada tipologi 1 berjumlah 63. Jumlah ini lebih banyak dibandingkan dengan jumlah kabupaten/kota yang termasuk dalam tipologi 2 (30 kabupaten/kota). Tipologi 2 (tingkat deforestasi tinggi) didominasi oleh kabupaten yang mempunyai luas hutan relatif lebih luas dibandingkan dengan kabupaten/kota yang tergolong dalam tipologi 1.

Meningkatnya ekspansi pertanian terutama sektor perkebunan kelapa sawit di Kepulauan Sumatera telah menjadi faktor utama yang menyebabkan tingginya laju deforestasi di daerah tersebut. Meningkatnya luas pertanian/perkebunan dapat diiringi dengan peningkatan jumlah keluarga pertanian. Sehingga secara tidak langsung peningkatan jumlah keluarga pertanian merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya deforestasi. Hasil penelitian ini sejalan penelitian Gatto et al.

(2015) dan Setiawan et al. (2015) yang menyebutkan tingkat konversi hutan menjadi areal pertanian/perkebunan yang tinggi di Sumatera telah menyebabkan laju deforestasi yang tinggi di daerah tersebut.

Penelitian Geist dan Lambin (2002) juga menyebutkan hasil analisis dari 152 studi kasus menunjukkan bahwa faktor utama yang mendorong terjadinya deforestasi di hutan tropis antara lain pertumbuhan penduduk dan perubahan pola

pertanian. Hasil penelitian lain yang telah dilakukan Prasetyo et al. (2009) menyebutkan bahwa persentase populasi pertanian di Pulau Jawa menjadi salah satu faktor yang berpengaruh dalam pemodelan spasial deforestasi di Pulau Jawa. Hasil-hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa peningkatan luas pertanian/perkebunan yang diiringi oleh meningkatnya jumlah keluarga pertanian di banyak tempat menjadi faktor utama terjadinya deforestasi di daerah-daerah tersebut.

Pola Sebaran Spasial Deforestasi pada Tipologi 1 dan 2

Gambar 10 menginformasikan pada tipologi 1 luas penutupan lahan hutan pada tahun 2000 teridentifikasi seluas 5,710,456.3 ha (23.3%), kemudian pada tahun 2006 teridentifikasi seluas 5,071,262.5 ha (20.7%), dan pada tahun 2012 menurun menjadi 4,962,081.3 ha (20.2%). Laju deforestasi pada tipologi 1 periode 2000 – 2006 sebesar 106,532.3 ha/tahun, kemudian menurun pada periode 2006 – 2012 sebesar 18,196.9 ha/tahun. Pada tipologi 2 luas penutupan lahan hutan pada tahun 2000 teridentifikasi seluas 6,438,043.8 ha (28.3%), kemudian pada tahun 2006 teridentifikasi seluas 5,324,962.5 ha (23.4%), dan pada tahun 2012 menurun menjadi 4,996,800.0 ha (22.0%). Laju deforestasi tipologi 2 pada periode 2000 – 2006 sebesar 185,513.5 ha/tahun, kemudian menurun pada periode 2006 – 2012 sebesar 54,693.8 ha/tahun. Laju deforestasi yang terjadi pada kedua periode waktu pengamatan di tipologi 2 lebih besar dibandingkan laju deforestasi yang terjadi pada tipologi 1.

Gambar 10 Luas penutupan kelas hutan pada masing-masing tipologi pada tahun 2000, 2006 dan 2012

Deforestasi di tipologi 1 dan tipologi 2 banyak terjadi pada daerah-daerah yang memiliki ketinggian tempat rendah dan di pinggir hutan. Dinamika patch

hutan yang terdeforestasi berdasarkan pemantauan citra satelit Terra MODIS MOD13Q1 pada periode 2000 - 2006 serta 2006 - 2012 pada tipologi 1 ditunjukkan pada Gambar 11, sedangkan untuk tipologi 2 ditunjukkan pada Gambar 12.

1,000,000.0 2,000,000.0 3,000,000.0 4,000,000.0 5,000,000.0 6,000,000.0 7,000,000.0 2000 2006 2012 Lu as (h a) Tahun Tipologi 1 Tipologi 2

Gambar 11 Distribusi patch hutan yang terdeforestasi pada tipologi 1, a) periode 2000-2006, b) periode 2006-2012

Gambar 12 Distribusi patch hutan yang terdeforestasi pada tipologi 2, a) periode 2000-2006, b) periode 2006-2012

a b

Gambar 13 Dinamika temporal landscape metric patch hutan yang terdeforestasi pada masing-masing tipologi

Hasil analisis dinamika landscape metric kelas penutupan hutan pada masing-masing tipologi dapat dilihat pada Gambar 13. Fragmentasi patch hutan yang terdeforestasi terjadi pada tipologi 1 dan tipologi 2 yang ditunjukan oleh dinamika indikator lanskap metrik berupa semakin meningkatnya jumlah patch hutan dalam ukuran luasan yang lebih kecil (Gambar 13a), semakin meningkatnya kepadatan

patch (Gambar 13b), semakin menurunnya rata-rata luas patch (Gambar 13c), serta semakin meningkatnya jarak antar patch (Gambar 13d). Tingkat fragmentasi hutan pada tipologi 1 lebih besar dibandingkan tipologi 2, hal ini bisa dilihat dari lebih tingginya indikator lanskap metrik jumlah patch, kepadatan patch, jarak rata-rata antar patch, serta lebih rendahnya indikator lanskap metrik rata-rata ukuran patch

hutan yang terdeforestasi pada tipologi 1.

3300 3585 3870 2000 - 2006 2006 - 2012 Number of Patch Tipologi 1 Tipologi 2 0.04 0.06 0.08 2000 - 2006 2006 - 2012 Patch Density Tipologi 1 Tipologi 2 500 650 800 2000 - 2006 2006 - 2012

Mean of Patch Area

Tipologi 1 Tipologi 2

1750.0 1875.0 2000.0

2000 - 2006 2006 - 2012

Mean of Euclidean Nearest Neighbor Distance Tipologi 1 Tipologi 2 1.36 1.38 1.40 2000 - 2006 2006 - 2012 Shape Index Tipologi 1 Tipologi 2 0.78 0.80 0.82 2000 - 2006 2006 - 2012 Clumpiness Tipologi 1 Tipologi 2 a f e c d b

Fragmentasi hutan meningkat dengan adanya deforestasi (Reddy et al. 2013; Newman et al. 2014), hal ini terjadi pada penutupan hutan di tipologi 1 dan tipologi 2. Dampak dari fragmentasi hutan dapat mengakibatkan rusaknya biota hutan, termasuk hilangnya habitat bagi spesies tertentu yang sensitif (Mendoza et al. 2005), meningkatkan kompetisi dari spesies umum (Laurance et al. 2009) dan isolasi genetik sub populasi (Goosem 2007). Fragmentasi hutan terjadi jika hutan yang luas dan menyambung terpecah menjadi blok-blok lebih kecil karena pembangunan jalan, pertanian, urbanisasi atau pembangunan lain. Fragmentasi menyebabkan berkurangnya fungsi hutan sebagai habitat berbagai spesies tumbuhan dan satwaliar (Rusak dan Dobson 2008).

Kerusakan hutan di seluruh dunia merupakan faktor utama perubahan struktur lanskap. Komposisi lanskap berubah seiring hutan ditebang dan digantikan oleh tanaman pertanian atau untuk penggunaan lain. Konfigurasi berubah seiring dengan hutan yang tersisa terfragmentasi menjadi beberapa fragment (patches) hutan yang lebih kecil (Gunawan et al. 2010). Konversi hutan menjadi penggunaan lain seperti perkebunan kelapa sawit baik yang dilakukan dalam skala kecil oleh masyarakat maupun dalam skala besar seperti yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan menjadi penyebab deforestasi yang mengakibatkan fragmentasi hutan di tipologi 1 dan tipologi 2.

Pola distibusi spasial patch hutan yang terdeforestasi dapat diindikasikan oleh nilai clumpinnes (McGarigal dan Marks 1995). Gambar 13f menunjukkan indeks

clumpiness cenderung mengalami penurunan dari periode 2000-2006 ke periode 2006-2012. Hal ini menunjukan pola pengelompokan patch hutan yang terdeforestasi mempunyai trend atau kecenderungan penyebaran dari mengelompok ke acak. Nilai indeks clumpinnes yang lebih besar dari 1 menunjukan pola distribusi spasial lanskap hutan pada tipologi 1 dan tipologi 2 adalah mengelompok. Namun demikian, pola pengelompokan patch hutan yang terdeforestasi pada tipologi 2 lebih mengelompok dibandingkan lanskap hutan pada tipologi 1. Deforestasi telah mengakibatkan lanskap hutan yang tersisa pada tipologi 1 dan 2 cenderung mengelompok pada wilayah bukit atau pegunungan (Zhang et al. 2010), dimana hutan yang tersisa umumnya berada pada wilayah yang curam, berbukit dan sulit aksesibilitasnya.

Bentuk patch hutan yang terdeforestasi pada tipologi 1 dan 2 pada periode 2000-2006 ke periode 2006-2012 cenderung mengalami penurunan nilai, hal ini menunjukan bentuk patch hutan yang terdeforestasi makin teratur. Kecenderungan

patch hutan yang terdeforestasi semakin teratur mengindikasikan pola deforestasi akibat pembukaan hutan yang terorganisir yang menghasilkan patch-patch teratur semakin banyak. Bentuk patch hutan yang terdeforestasi pada tipologi 1 relatif lebih teratur jika dibandingkan bentuk patch hutan yang terdeforestasi pada tipologi 2.

Pola distribusi spasial patch hutan yang terdeforestasi yang mengelompok mengidentifikasikan bahwa deforestasi yang terjadi di tipologi 1 dan tipologi 2 disebabkan oleh pembukaan hutan dalam spot-spot yang terjadi relatif luas dan terorganisir seperti pembukaan hutan untuk lahan pertanian dan perkebunan. Pembukaan hutan ini bisa dilakukan oleh perusahaan perkebunan besar maupun oleh masyarakat. Namun demikian, pada tipologi 1 dimana patch hutan yang terdeforestasi lebih terfragmentasi dan mempunyai rata-rata patch hutan yang lebih kecil mengindikasikan kalau deforestasi yang disebabkan oleh pembukaan hutan untuk areal pertanian dan perkebunan dalam spot-spot yang relatif kecil yang

disebabkan oleh pembukaan hutan oleh masyarakat dan perkebunan dalam skala kecil. Aksesibilitas jaringan jalan pada tipologi 1 yang lebih banyak dibandingkan pada tipologi 2 juga turut memicu terjadinya fragmentasi. Hal ini mungkin terjadi dikarenakan tipologi 1 didominasi oleh kabupaten/kota yang relatif lebih maju dibandingkan dengan kabupaten/kota yang ada pada tipologi 2.

Patch hutan berukuran relatif besar berada di bagian lanskap hutan yang mempunyai elevasi tinggi (daerah berbukit dan bergunung) dengan aksesibilitas rendah, sedangkan yang berukuran relatif kecil berada di bagian elevasi rendah dengan aksesibilitas relatif lebih mudah (Cabral et al. 2007; Munroe et al. 2007). Fenomena ini juga terjadi pada masing-masing tipologi, dimana patch-patch hutan banyak tersisa pada Kawasan Taman Nasional yang memiliki aksesibilitas rendah dan elevasi yang tinggi. Sedangkan patch-patch hutan kecil banyak terdapat di daerah yang memiliki elevasi rendah dan aksesibilitas tinggi.

Simpulan

Model tipologi deforestasi terpilih berdasarkan driving force deforestasi di Kepulauan Sumatera adalah model tipologi dua klaster dengan satu peubah yakni laju pertambahan keluarga pertanian sebagai peubah penentunya. Tipologi 1 merupakan daerah administrasi kabupaten/kota dengan rata-rata laju deforestasi rendah (1,156.5 ha/th), sedangkan tipologi 2 merupakan daerah administrasi kabupaten/kota dengan rata-rata laju deforestasi tinggi (3,968.8 ha/th).

Pola spasial patch hutan yang terdeforestasi pada tipologi 1 dan tipologi 2 hampir sama yakni mengelompok dengan bentuk yang kurang teratur, namun demikian kondisi penutupan hutan pada tipologi 1 lebih terfragmentasi jika dibandingkan dengan kondisi hutan pada tipologi 2. Hal ini mengindikasikan deforestasi yang terjadi di kedua tipologi dipengaruhi oleh hal yang hampir sama. Deforestasi yang terjadi akibat pembukaan areal perkebunan pada skala kecil di tipologi 1 lebih banyak jika dibandingkan tipologi 2. Sebaliknya deforestasi yang terjadi akibat pembukaan areal perkebunan dalam skala besar lebih banyak terjadi di tipologi 2 dibandingkan tipologi 1.

Dokumen terkait