• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemodelan Spasial Deforestasi Menggunakan Pendekatan Tipologi Di Kepulauan Sumatera

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemodelan Spasial Deforestasi Menggunakan Pendekatan Tipologi Di Kepulauan Sumatera"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

PEMODELAN SPASIAL DEFORESTASI MENGGUNAKAN

PENDEKATAN TIPOLOGI DI KEPULAUAN SUMATERA

NURDIN SULISTIYONO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pemodelan Spasial Deforestasi Menggunakan Pendekatan Tipologi di Kepulauan Sumatera

adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Nurdin Sulistiyono

(4)

RINGKASAN

NURDIN SULISTIYONO. Pemodelan Spasial Deforestasi Menggunakan Pendekatan Tipologi di Kepulauan Sumatera. Dibimbing oleh I NENGAH SURATI JAYA, LILIK BUDI PRASETYO dan TATANG TIRYANA.

Dalam kurun waktu dua dekade terakhir, masyarakat internasional menaruh perhatian yang besar terhadap persoalan deforestasi. Pemantauan luas hutan merupakan suatu hal yang penting dan diperlukan dalam skema REDD. Monitoring diperlukan sebagai peringatan bahaya deforestasi. Monitoring penutupan lahan/hutan dalam skala regional yang luas memerlukan waktu dan biaya yang besar. Penggunaan citra satelit resolusi rendah seperti Terra MODIS MOD13Q1 merupakan salah satu solusi untuk melakukan pemantauan penutupan hutan dalam level regional maupun nasional.

Tingginya tingkat deforestasi yang terjadi di Kepulauan Sumatera diduga dipicu oleh berbagai faktor. Penelitian ini meneliti bagaimana perilaku deforestasi terkait dengan tipologi daerah, serta bagaimana deforestasi sedang dipengaruhi oleh banyak faktor seperti fisik, biologi, sosial, ekonomi dan / atau budaya masyarakat setempat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk merumuskan model spasial deforestasi berdasarkan faktor pemicu dalam setiap tipologi di Kepulauan Sumatera. Kelas tipologi dikembangkan atas dasar faktor sosio-ekonomi menggunakan ukuran jarak standar-euclidean dan keanggotaan setiap cluster ditentukan dengan menggunakan metode tetangga terjauh. Metode regresi logistik digunakan untuk memodelkan dan memperkirakan distribusi spasial deforestasi. Studi ini menemukan bahwa tipologi deforestasi di Kepulauan Sumatera dapat diklasifikasikan menjadi dua kelas tipologi dengan tingkat laju peningkatan jumlah keluarga pertanian sebagai faktor penentunya. Model spasial deforestasi pada tipologi 1 dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu jumlah keluarga pertanian, elevasi, dan jarak dari jalan; sementara pada tipologi 2 terdapat lima faktor dominan yang mempengaruhi model deforestasi, yaitu, jumlah keluarga pertanian, kemiringan, elevasi, jarak dari jalan dan jarak dari sungai.

Hasil pemantauan perubahan penutupan lahan hutan menggunakan citra satelit Terra MODIS MOD13Q1 dalam kurun waktu tahun 2000- 2012, luas penutupan hutan di Kepulauan Sumatera terus mengalami penurunan dengan cepat. Hasil pemantauan penutupan hutan setelah dikurangi luas HTI diperkirakan pada tahun 2000 seluas 12,150,500.0 ha (25.7%), kemudian menurun pada tahun 2006 menjadi 10,398,324.8 ha (22.0%) dan pada tahun 2012 terdeteksi seluas 9,960,893.3 ha (21.0%). Hasil penutupan lahan hutan yag dihasilkan pada penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan penutupan hutan oleh Kementerian Kehutanan dengan selisih 9.5 – 19.3% lebih rendah. Berdasarkan analisis post clasification comparison, laju deforestasi pada periode 2000 – 2006

sebesar 292,029.2 ha/tahun dan menurun pada periode tahun 2006 – 2012 sebesar 72,905.3 ha/tahun.

Hasil pengujian akurasi tipologi deforestasi terhadap pengelompokan daerah administrasi kabupaten/kota yang ada di Kepulauan Sumatera menunjukan bahwa nilai overall accuracy terbaik dengan nilai akurasi sebesar 73.1% adalah

(5)

deforestasi untuk tipologi 1 (laju deforestasi rendah) sebesar 1,156.5 ha/th dan tipologi 2 (laju deforestasi tinggi) sebesar 3,968.8 ha/th.

Kondisi penutupan patch hutan yang terdeforestasi di tipologi 1 lebih

terfragmentasi dibandingkan dengan tipologi 2. Pola spasial patch hutan yang

terdeforestasi deforestasi pada kedua tipologi berdasarkan indeks clumpiness

menunjukan pola yang mengelompok. Namun demikan kondisi pengelompokan penutupan hutan di tipologi 2 lebih besar dibandingkan pada tipologi 1. Hal ini menunjukan deforestasi akibat pembukaan hutan untuk perkebunan yang terjadi di tipologi 2 lebih banyak dilakukan oleh perkebunan besar, sebaliknya di tipologi 1 pembukaan hutan untuk perkebunan lebih banyak dilakukan oleh masyarakat dan perusahaan perkebunan dalam skala kecil.

Hasil analisis regresi logistik diperoleh model spasial dari deforestasi di tipologi 1 adalah Logit (deforestasi) = 1.355 + (0.012 * total keluarga pertanian) - (0.08 * elevasi) - (0.019 * jarak dari jalan), sedangkan model spasial deforestasi pada tipologi 2 adalah logit (deforestasi) = 1.714 + (0.007 * total keluarga pertanian) - (0021 * kemiringan) - (0.051 * elevasi) - (0.038 jarak dari jalan) + (0.039 * jarak dari sungai). Hasil uji validasi model deforestasi pada tahun 2000 - 2006 memiliki nilai akurasi keseluruhan sekitar 68.5% (tipologi 1) dan 74.5% (tipologi 2), model deforestasi di tahun 2006 - 2012 memiliki nilai Overall Accuracy sebesar 65.4% (tipologi 1) dan 72.2% (tipologi 2).

Urutan faktor pemicu deforestasi dimulai dari faktor pemicu yang mempunyai kontribusi terbesar pada tipologi 1 berturut-turut adalah; ketinggian tempat, jarak dari jalan, jumlah keluarga pertanian, sedangkan pada tipologi 2 peluang terjadinya deforestasi dipengaruhi oleh faktor pemicu deforestasi ketinggian tempat, jarak dari jalan, slope, jarak dari sungai, dan jumlah keluarga pertanian. Model spasial deforestasi tahun 2000 – 2006 yang dihasilkan cukup baik digunakan untuk memprediksi peluang terjadinya deforestasi yang terjadi pada tahun 2006 – 2012 dengan nilai overall accuracy sebesar 65.4% untuk tipologi 1

dan 72.2% untuk tipologi 2.

(6)

SUMMARY

NURDIN SULISTIYONO. Spatial Modeling of Deforestation Using Typology Approach in Sumatra Islands. Supervised by I NENGAH SURATI JAYA, LILIK BUDI PRASETYO and TATANG TIRYANA.

In the last two decades, the international community has given great attention to the issues of deforestation. Forest monitoring is an important part of REDD scheme. Monitoring plays a role in the case of a warning for the danger of deforestation. Monitoring of forest/land cover on a regional scale using field measurement system may time consuming and costly. The use of low resolution imageries Terra MODIS MOD13Q1 satellite data could be one of the solutions for forest monitoring activities to provide forest cover information either at regional or national level.

High rate deforestation occurred in Sumatra Islands had been allegedly triggered by various factors. This study examined how the deforestation behaviour was related to the area typology, as well as how the deforestation is being affected by many factors such as physical, biology, social, economy and/or culture of the local community. The objective of this study wasto formulate a spatial model of deforestation based on triggered factors within each typology in Sumatra Islands. The typology classes were developed on the basis of socio-economic factors using the standardized-euclidean distance measure and the membership of each cluster was determined using the furthest neighbor method. The logistic regression method was used for modeling and estimating the spatial distribution of deforestation.The study found that deforestation typology could be classified into two classes, referred to as typology one and typology two using the rate of increasing farmers household factor. The spatial deforestation model in typology one has been mainly affected by three factors i.e. sum of household farmer, elevation, and distance from road ; while in typology two, there are five dominant factors affecting the deforestation model, i.e., sum of household farmer, slope, elevation, distance from road and distance from river.

Result of land cover change using Terra MODIS (MOD13Q1) imageries

occurred in Sumatra between 2000 –2012 period, the coverage of forest area in the Islands of Sumatra continues to decline rapidly. Forest area excluding timber estate in 2000 was about at 12,150,500.0 ha (25.7%), then decreased in 2006 to 10,398,324.8 ha (22.0%) and by 2012 it was detected at 9,960,893.3 ha (21.0%). The study shows that the deforestation rate in 2000 to 2006 was 292,029.2 ha per year, while in 2006 to 2012 the deforestation rate decreased to 72,905.3 ha per year. These results tend to be lower compared to the results of classification by the Ministry of Forestry (MoF) by using Landsat imagery. The difference percentage of MoF and MODIS classification was in the range of 9.5 – 19.3%.

(7)

The selected typological deforestation was two-typology classification model with the increase rate of farming households as a determining factor.

The condition of forest cover in the typology 1 more fragmented than the typology 2. The spatial pattern of deforestation in the second typology based clumpiness index showed clumped patterns. However, so the grouping condition of forest cover in the typology of 2 greater than the typology 1. This shows the deforestation due to clearing for plantations occur in the second typology is mostly done by large estates, on the contrary in the typology 1 clearing for plantations is mostly done by the community and small-scale plantations.

The results of logistic regression analysis obtained spatial model of deforestation in typology one is Logit (deforestation) = 1.355 + (0.012*total of farmer household) – (0.08*elevation) – (0.019*distance from road) and spatial model of deforestation in typology two is logit (deforestation) = 1.714 + (0.007*total of farmer household) – (0.021*slope) – (0.051*elevation) - (0.038 distance from road) + (0.039* distance from river). The result of validation test of deforestation model in 2000 – 2006 has a value of overall accuracy about 68.5% (typology one) and 74.5% (typology two), model of deforestation in 2006 – 2012 has value of overall accuracy about 65.4% (typology one) and 72.2% (typology two).

The sequence starts from the drivers factors of deforestation in the typology 1 were altitude, distance from the road, the number of farm households. The sequence starts from the driving factors of deforestation in the typology 2 were influenced by factors of altitude, distance from the road, slope, distance from the river, and the number of farm households. The spatial model of deforestation in 2000 - 2006 produced quite well used to predict the probability of deforestation that occurred in the year 2006 - 2012 with a value of 65.4% overall accuracy for the typology 1 and 72.2% for the typology 2.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

PEMODELAN SPASIAL DEFORESTASI MENGGUNAKAN

PENDEKATAN TIPOLOGI DI KEPULAUAN SUMATERA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir M Buce Saleh, MS

(Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB) Dr Samsuri, S Hut, MSi

(Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian USU) Penguji pada Ujian Terbuka: Dr Ir Iwan Setiawan, MSc

(Pusat Pendidikan dan Latihan Kehutanan Bogor) Dr Samsuri, S Hut, MSi

(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga disertasi dengan judul “Model Spasial Deforestasi Menggunakan Pendekatan Tipologi di Kepulauan Sumatera” dapat diselesaikan. Disertasi ini diajukan sebagai salah syarat untuk menyelesaikan studi pada Program Doktor Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian dan disertasi dibiayai ini oleh Direktorat Jenderal Pendidikan melalui beasiswa BPPS serta bantuan penelitian Rektor Universitas Sumatera Utara. Bagian dari disertasi ini telah dipublikasikan pada International Journal of Sciences: Basic and Applied Research (IJSBAR) dengan judul Detection of Deforestation Using Low Resolution Satellite Images in the Islands of Sumatra 2000-2012

Volume 24 (1): 350-366 tahun 2015 dan Journal of Tropical Forest Management dengan judul Spatial Model of Deforestation in Sumatran Islandsusing typological approach Volume 21 (2): 99-109 tahun 2015.

Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada:

1. Prof Dr Ir I Nengah Surati Jaya, MAgr selaku Ketua Komisi Pembimbing yang dengan penuh kesabaran memberikan arahan, motivasi dan pembelajaran yang diberikan kepada penulis secara langsung maupun tidak langsung selama menempuh pendidikan

2. Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc yang dengan kerelaan dan kesabarannya menjadi mitra diskusi untuk membuka cakrawala berpikir lebih komprehensif khususnya dalam permodelan spasial.

3. Dr Tatang Tiryana, S Hut, MSc yang memberikan arahan cara menulis ilmiah yang baik dan benar serta pengelolaan sumberdaya hutan.

4. Dr Ir M Buce Saleh MS selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup atas koreksi, komentar dan sarannya serta pencerahan mengenai pemodalan spasial sehingga disertasi ini menjadi lebih baik.

5. Dr Samsuri, S Hut, MSi selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup dan sidang promosi atas masukan, koreksi, komentar dan sarannya untuk perbaikan disertasi menjadi lebih baik.

6. Dr Ir Iwan Setiawan, MSc selaku penguji luar komisi pada sidang promosi atas masukan, koreksi, komentar dan sarannya untuk perbaikan disertasi menjadi lebih baik.

7. Seluruh penyelenggara dan pelaksana Sekolah Pascasarjana IPB, terutama pengelola Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan yang memberikan pelayanan terbaiknya selama studi terlebih lagi selama masa penyelesaian studi.

8. Rektor Universitas Sumatera Utara yang memberikan bantuan biaya studi dan biaya penelitian.

9. Segenap warga laboratorium Remote Sensing dan GIS (Ruang Alos) yang penuh kekeluargaan dan semangat saling membantu sehingga menciptakan suasana di laboratorium yang nyaman dan kondusif.

10. Bapak Yudi Setiawan dan Ida Bagus Ketut Wedastra yang telah dengan sabar melayani diskusi penelitian khususnya mengenai MODIS.

(13)

12. Istri dan anak-anak tercinta, kedua orang tua penulis yang selalu memberikan semangat dan doa sehingga penulis mampu untuk menjalani pendidikan ini dengan sabar.

13. Semua pihak yang telah memberikan dukungan sehingga penulisan disertasi ini dapat diselesaikan.

Bogor, Agustus 2015

(14)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xv

DAFTAR LAMPIRAN xvi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Novelty Penelitian 5

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 6

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 7

Waktu dan Tempat Penelitian 7

Iklim 8

Kondisi Biofisik 8

Kondisi Sosial Ekonomi 10

Fungsi Kawasan 12

DETEKSI DEFORESTASI MENGGUNAKAN CITRA SATELIT

RESOLUSI SPASIAL RENDAH 14

Pendahuluan 14

Metodologi 15

Hasil Dan Pembahasan 21

Simpulan 29

TIPOLOGI DAN POLA SPASIAL DEFORESTASI 30

Pendahuluan 30

Metodologi 31

Hasil dan Pembahasan 33

Simpulan 41

MODEL SPASIAL DEFORESTASI 42

Pendahuluan 42

Metode Penelitian 43

Hasil dan Pembahasan 52

Simpulan 62

PEMBAHASAN UMUM 64

SIMPULAN DAN SARAN 70

Simpulan 70

(15)

DAFTAR ISI (Lanjutan)

DAFTAR PUSTAKA 71

LAMPIRAN 78

(16)

DAFTAR TABEL

1 Kelas kelerengan (slope) pada tiap provinsi di Kepulauan

Sumatera ... 9 2 Kelas ketinggian pada tiap provinsi di Kepulauan Sumatera ... 9 3 Rekapitulasi data kepadatan penduduk tahun 2000 – 2011

pada tiap provinsi di Kepulauan Sumatera ... 10 4 Rekapitulasi data jumlah keluarga pertanian tahun 2003 - 2011

pada tiap provinsi di Kepulauan Sumatera ... 11 5 Rekapitulasi data jumlah penduduk miskin tahun 2002 - 2012

pada tiap provinsi di Kepulauan Sumatera ... 11 6 Rekapitulasi data PDRB tahun 2003 - 2011 pada tiap provinsi di

Kepulauan Sumatera ... 12 7 Data kawasan hutan pada tiap provinsi di Kepulauan Sumatera ... 13 8 Data penyebaran HTI pada tiap provinsi di Kepulauan Sumatera .... 13 9 Jumlah citra satelit Terra MODIS MOD13Q1 yang digunakan

untuk mendeteksi deforestasi di Kepulauan Sumatera ... 15 10 Informasi yang terkandung dalam band pixel reliability citra

satelit Terra MODIS MOD13Q1 ... 17 11 Matrik keterpisahan klasifikasi terbimbing citra Terra MODIS

MOD13Q1 tahun 2000 ... 21 12 Matrik keterpisahan klasifikasi terbimbing citra Terra MODIS

MOD13Q1 tahun 2006 ... 21 13 Matrik keterpisahan klasifikasi terbimbing citra Terra MODIS

MOD13Q1 tahun 2012 ... 22 14 Matrik kesalahan pada klasifikasi terbimbing citra Terra MODIS

MOD13Q1 tahun 2000 ... 22 15 Matrik kesalahan pada klasifikasi terbimbing citra Terra MODIS

MOD13Q1 tahun 2006 ... 22 16 Matrik kesalahan pada klasifikasi terbimbing citra Terra MODIS

MOD13Q1 tahun 2012 ... 23 17 Hasil uji validasi klasifikasi penutupan lahan menggunakan citra

satelit Terra MODIS MOD13Q1 dibandingkan dengan klasifikasi penutupan lahan oleh Kementerian Kehutanan tahun 2000 ... 24 18 Hasil uji validasi klasifikasi penutupan lahan menggunakan citra

satelit Terra MODIS MOD13Q1 dibandingkan dengan klasifikasi penutupan lahan oleh Kementerian Kehutanan tahun 2006 ... 24 19 Hasil uji validasi klasifikasi penutupan lahan menggunakan citra

satelit Terra MODIS MOD13Q1 dibandingkan dengan klasifikasi penutupan lahan oleh Kementerian Kehutanan tahun 2012 ... 24 20 Perbandingan luas penutupan lahan hutan hasil klasifikasi

menggunakan Satelit Terra MODIS MOD13Q1 dengan data penutupan lahan Kementerian Kehutanan menggunakan citra satelit landsat ... 25 21 Rekapitulasi luas hutan pada masing-masing Provinsi

di Kepulauan Sumatera ... 26 22 Rekapitulasi luas hutan per fungsi kawasan di Kepulauan

(17)

23 Rekapitulasi hasil pengujian pengelompokkan menjadi 2 tipologi daerah administrasi kabupaten di Kepulauan

Sumatera berdasarkan analisis klaster ... 34 24 Rekapitulasi hasil pengujian pengelompokan menjadi 3

tipologi daerah administrasi kabupaten di Kepulauan

Sumatera berdasarkan analisis klaster ... 34 25 Daerah administrasi kabupaten yang tergolong

dalam masing-masing model tipologi terpilih ... 35 26 Data yang digunakan untuk membangun model

spasial deforestasi ... 44 27 Hasil pemilihan faktor pemicu pada model deforestasi tipologi 1 .... 55 28 Hasil pemilihan faktor pemicu pada model deforestasi tipologi 2 .... 56 29 Nilai peluang deforestasi pada berbagai nilai faktor pemicu

deforestasi di Tipologi 1 ... 67 30 Nilai peluang deforestasi pada berbagai nilai faktor pemicu

deforestasi di Tipologi 2 ... 67

a) periode 2000-2006, b) periode 2006-2012 ... 38 12 Distribusi patch hutan yang terdeforestasi pada tipologi 2,

a) periode 2000-2006, b) periode 2006-2012 ... 38 13 Dinamika temporal landscape metric patch hutan yang

terdeforestasi pada masing-masing tipologi ... 39 14 Tahapan pembentukan model deforestasi menggunakan

(18)

15 Faktor pemicu deforestasi: a) kepadatan penduduk (X1), b) jumlah

keluarga pertanian (X2), c) jumlah penduduk miskin (X3), d) PDRB

(X4), e) slope (X5), f) elevasi (X6), g) jarak dari sungai (X7),

h) jarak dari pusat pemukiman (X8), i) jarak dari jalan (X9) ... 53

16 Penempatan piksel sampel penyusun model spasial

deforestasi tahun 2000 – 2006 pada tipologi 1 ... 54 17 Penempatan piksel sampel penyusun model spasial

deforestasi tahun 2000 – 2006 pada tipologi 2 ... 54 18 Hubungan faktor pemicu deforestasi dengan peluang

deforestasi pada tipologi 1 ... 56 19 Hubungan faktor pemicu deforestasi dengan peluang

deforestasi pada tipologi 2 ... 58 20 a) Sebaran nilai peluang deforestasi tahun 2006 – 2012 tipologi 1

berdasarkan model regresi logistik, b) Model prediksi deforestasi tahun 2006 – 2012 tipologi 1 berdasarkan model regresi logistik .... 60 21 a) Sebaran nilai peluang deforestasi tahun 2006 – 2012 tipologi 2

berdasarkan model regresi logistik, b) Model prediksi deforestasi tahun 2006 – 2012 tipologi 2 berdasarkan model regresi logistik .... 61

DAFTAR LAMPIRAN

1 Output SPSS dendogram menggunakan metode furthest

neighbor clustering ... 78

2 Hasil uji korelasi antar peubah x yang menjadi driving factor

deforestasi tipologi 1 ... 80 3 Hasil uji korelasi antar peubah x yang menjadi driving factor

deforestasi tipologi 2 ... 81 4 Output spss regresi logistik biner model spasial deforestasi

tipologi 1 dengan nilai terstandarisasi ... 82 5 Output spss regresi logistik biner model spasial deforestasi

(19)
(20)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan tropika merupakan salah satu kekayaan alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Melalui fungsinya sebagai penyedia jasa ekositem, hutan tropika di Indonesia diyakini mempunyai berbagai macam manfaat dan kegunaan diantaranya sebagai habitat yang paling sesuai bagi berbagai macam jenis satwa dan sebagai tempat penyimpan cadangan karbon. Melalui proses penyimpanan karbon oleh pohon-pohon yang ada di hutan, proses pemanasan global dapat ditekan. Hutan tropika mempunyai peranan penting dalam isu perubahan iklim dan keanekaragaman hayati. Isu perubahan iklim menjadi perhatian yang serius mengingat dampak yang dapat ditimbulkannya, perubahan iklim telah mengancam kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya di dunia sebagai akibat dari akumulasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfir (Heal dan Kriström 2002).

Hutan tropika di Kepulauan Sumatera memiliki manfaat yang sangat besar, baik manfaat sosial, ekonomi, budaya, politik maupun ekologi. Sebagai gambaran besarnya manfaat hutan yang berada di Kepulauan Sumatera, hasil penelitian van Beukering et al. (2003) menyebutkan besarnya manfaat nilai ekonomi total dari

Taman Nasional Gunung Leuseur (TNGL) sebesar US$ 316 juta/tahun, nilai ini merupakan total dari manfaat ekonomi suplai air, perikanan, pencegah banjir, pertanian, energi, ekoturisme, keanekaragaman hayati, penyimpan karbon, pencegahan kebakaran hutan, hasil hutan non kayu, serta hasil hutan kayu. TNGL hanya merupakan salah satu dari 11 taman nasional yang ada di Kepulauan Sumatera. Hutan di Kepulauan Sumatera juga merupakan habitat bagi lebih dari 10,000 spesies tanaman, 201 spesies mamalia, dan 580 spesies avifauna (Whitten

et al. 2000).

Hutan di Indonesia mengalami deforestasi sebesar 1.7 % pada kurun waktu 1990-2000, kemudian laju deforestasi mengalami penurunan menjadi 0.5 % dalam kurun waktu 2000-2010. Angka laju deforestasi Indonesia lebih tinggi dibanding dengan rata-rata deforestasi negara-negara Asia Tenggara yang berada pada angka 1 % periode 1990-2000 dan 0.4% dalam kurun waktu 2000-2010 (Sumargo et al.

2011). Deforestasi yang terus berlangsung di Indonesia saat ini disebabkan oleh banyak faktor. Penebangan liar (illegal logging), pembukaan hutan untuk

perkebunan serta kebakaran hutan merupakan penyebab utama kerusakan hutan di Indonesia (Sunderlin dan Resosudarmo 1997; Margono et al. 2012).

Keberadaan hutan di Kepulauan Sumatera terus mengalami tekanan, seiring perkembangan waktu keberadaan hutan tropika terus mengalami penurunan dalam hal kuantitas (luas) maupun kualitasnya melalui proses deforestasi dan degradasi hutan. Data yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan menyebutkan luas penutupan hutan pada tahun 2011 sebesar 14.84 juta ha (Kementerian Kehutanan 2012), kemudian menurun pada tahun 2012 seluas 13.97 juta ha (Kementerian Kehutanan 2014). Sementara itu, hasil penelitian Margono et al. (2012)

(21)

Deforestasi didefinisikan sebagai perubahan dari hutan ke non hutan secara permanen. Menurut FAO (Food and Agriculture Organization) deforestasi adalah

konversi hutan menjadi penggunaan lain atau pengurangan berjangka panjang atas penutupan tajuk di bawah 10 persen. Data yang dikeluarkan oleh Forest Watch Indonesia (FWI) menyebutkan laju deforestasi di Pulau Sumatera sebesar

412,421.9 ha/th (Sumargo et al. 2011).

Deforestasi dalam skala besar di daerah tropis yang disebabkan oleh kegiatan penyediaan lahan-lahan untuk pertanian/perkebunan merupakan salah satu contoh dari perubahan penggunaan lahan yang berdampak besar terhadap keanekaragaman hayati, tanah, degradasi dan kemampuan bumi untuk mendukung kebutuhan manusia (Lambin et al. 2003). Dampak dari deforestasi dan degradasi hutan tropika

berupa kerusakan hutan telah menjadi isu penting pada tingkat global, hal ini dikarenakan besarnya dampak secara kumulatif terhadap keanekaragaman hayati, produktivitas tanah serta iklim global (Geist dan Lambin 2001; Laurance et al.

2014).

Deforestasi memicu terjadinya perubahan iklim global karena menurunnya daya serap hutan terhadap emisi karbon. Besarnya kandungan karbon yang tidak terserap menimbulkan kenaikan temperatur dan pergeseran musim. Salah satu dampaknya adalah kebakaran hutan dan naiknya permukaan air laut. Deforestasi juga menjadi salah satu pemicu peningkatan temperatur rata-rata tahunan Indonesia yang diperkirakan sebesar 0.3o C sejak tahun 1990 yang terjadi konsisten sepanjang

tahun pada semua musim (Boer dan Faqih 2004).

Disisi lain dalam skala lanskap, proses deforestasi seringkali diiringi dengan proses fragmentasi. Fragmentasi suatu lanskap dicirikan oleh jumlah dan ukuran serta distribusi bagian-bagian dalam lanskap tersebut. Semakin besar jumlah patch,

dan semakin kecil ukurannya dan makin tersebar di dalam suatu lanskap, maka lanskap tersebut semakin terfragmentasi (Rutledge 2003). Fragmentasi akan membagi suatu lanskap/ekosistem ke dalam bagian-bagian kecil patch sebagai

akibat dari kegiatan manusia, seperti pembangunan lahan pertanian, pemukiman dan industri. Jika didifinisikan, fragmentasi dalam ekosistem adalah: (1) meningkanya jumlah patch; (2) menurunnya ukuran rata-rata patch dan (3)

meningkatnya panjang total edge, dimana edge adalah perbatasan antara dua patch

yang berbeda kelas.

Melihat banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan oleh deforestasi, maka berbagai upaya untuk mengurangi dampak deforestasi dan degradasi berbagai telah dilakukan oleh negara-negara di dunia salah satunya melalui program REDD. Program REDD pada dasarnya ditujukan untuk memperlambat laju deforestasi dan degradasi hutan dengan memberikan kredit karbon. Dana yang diberikan digunakan untuk kegiatan konservasi karbon, yang berdampak untuk memperlambat laju deforestasi degradasi hutan (CIFOR 2009). Dalam perkembangannya melalui mekanisme REDD+ aspek konservasi dan peningkatan cadangan karbon hutan, serta pengelolaan yang berkelanjutan terhadap sumberdaya hutan juga bisa dimasukan sebagai salah satu mekanisme yang dapat diberikan insentif. Hal penting yang harus diketahui dalam mekanisme REDD+ ini adalah informasi besarnya perubahan penutupan dan penggunaan lahan yang telah terjadi. Deforestasi merupakan bagian dari mekanisme perubahan penutupan lahan.

(22)

karakteristik ekosistem biofisik hutannya, serta kondisi sosial ekonomi masyarakatnya yang berbeda-beda juga menyebabkan faktor pendorong terjadinya deforestasi menjadi beragam pada setiap daerah. Geist dan Lambin (2001) telah melakukan studi tentang deforestasi yang terjadi di hutan tropis termasuk Indonesia. Hasil studi ini menemukan bahwa faktor utama yang mendorong terjadinya deforestasi pada hutan tropis adalah: perluasan lahan untuk pertanian, penebangan kayu dan pembangunan infrastruktur. Sedangkan faktor yang melandasinya adalah: faktor ekonomi, institusi dan kebijakan, teknologi, sosial budaya, dinamika pertumbuhan penduduk dan faktor lain seperti: karakteristik lahan, sifat-sifat biofisik tanaman/lahan dan gejolak sosial.

Berdasarkan uraian di atas, pemodelan spasial deforestasi pada skala regional (Kepulauan Sumatera) berdasarkan faktor-faktor pendorong dengan mengintegrasikan model statistik, sistem informasi geografis serta penginderaan jarak jauh melalui pemodelan spasial deforestasi menjadi penting untuk dilakukan. Pemodelan spasial ini akan berguna dalam hal menyediakan informasi bagi pengambil kebijakan yang berkaitan dengan aspek spasial di Kepulauan Sumatera.

Perumusan Masalah

Penelitian-penelitian yang dilakukan Allen dan Barnes (1985); Meyer dan Turner (1992); Pahari dan Murai (1999) menyebutkan perubahan penggunaan lahan termasuk deforestasi pada skala global disebabkan oleh permasalahan pertambahan penduduk. Hasil penelitian Rudel (1989) terhadap 36 negara yang memiliki hutan tropis, menyebutkan faktor pertumbuhan penduduk merupakan faktor yang memainkan peranan penting terhadap penyebab terjadinya deforestasi. Penelitian kuantitatif yang menyebutkan faktor umum seperti kemakmuran dan pertumbuhan populasi penduduk sebagai penyebab deforestasi dinilai telah mengabaikan faktor spesifik seperti faktor biofisik, kedekatan (proximity) dan faktor sosial ekonomi

lainnya (Rudel 2007). Kebijakan yang dihasilkan dari penyederhanaan permasalahan penyebab deforestasi dengan menganggap faktor pemicu deforestasi sama pada setiap daerah dinilai kurang tepat.

Indonesia adalah negara dengan karakteristik lanskap hutan yang sangat beragam. Karakteristik berbagai tipe lanskap hutan di Indonesia tidak semua sama, masing-masing memiliki sifat yang spesifik dan mempunyai permasalahan yang berbeda-beda. Hal ini juga terjadi di masing-masing daerah administrasi kabupaten/kota di Kepulauan Sumatera, dimana faktor pemicu (driving force)

terjadinya deforestasi pada masing-masing daerah tersebut berbeda-beda. Pengelompokan daerah-daerah administrasi berdasarkan faktor-faktor dominan yang menjadi pemicu terjadinya deforestasi menjadi penting untuk dilakukan. Pengelompokan ini dimaksudkan untuk mengetahui pengelompokan daerah-daerah administrasi dalam hal potensi peluang terjadinya deforestasi.

Identifikasi faktor pemicu deforestasi diantaranya dapat dilakukan dengan melakukan penelitian pemodelan spasial deforestasi. Beberapa penelitian mengenai model spasial deforestasi pernah dilakukan pada beberapa tempat di Kepulauan Sumatera diantaranya Melati (2012) di Provinsi Riau. Mulyanto dan Jaya (2004) di HPH PT. Duta Maju Timber Provinsi Sumatera Barat, serta Linkie et al. (2004) di

(23)

deforestasi dalam cakupan yang lebih luas yakni negara Indonesia, termasuk Sumatera di dalamnya. Berdasarkan beberapa penelitian tersebut faktor pemicu yang menjadi penyebab deforestasi di berbagai tempat di Kepulauan Sumatera berbeda-beda.

Dilain pihak, dalam strategi penyusunan baseline dalam mekanisme REDD+,

pengetahuan akan model spasial deforestasi menjadi penting untuk diketahui. Model spasial deforestasi ini nantinya dapat digunakan untuk memprediksi lokasi serta besarnya deforestasi dimasa yang datang. Fenomena perubahan penutup/penggunaan lahan pada dasarnya merupakan fenomena yang dapat dikaji dengan pendekatan spasial.

Kepulauan Sumatera memiliki luas wilayah 47,322,331.3 ha dan merupakan salah satu pulau besar yang ada di Indonesia. Dengan cakupan luas wilayah yang besar perlu dipikirkan bagaimana upaya untuk memantau dinamika penutupan hutan yang terjadi pada berbagai waktu. Monitoring ini diperlukan untuk mengetahui laju deforestasi dan lokasi dimana terjadinya deforestasi.

Verhagen (2007) mengemukakan bahwa pemodelan penggunaan lahan menggunakan pendekatan regresi logistik telah menjadi salah satu pendekatan yang paling sering digunakan selama dua dekade terakhir. Penelitian pemodelan perubahan penggunaan lahan menggunakan regresi logistik telah banyak dilakukan di berbagai tempat di dunia. Deforestasi sebagai bagian dari model perubahan penggunaan lahan juga dapat dimodelkan menggunakan pendekatan ini. Dalam penelitian ini pemodelan deforestasi dilakukan berdasarkan faktor-faktor pemicu deforestasi pada masing-masing tipologi deforestasi yang terbentuk.

Gambar 1 berikut ini menggambarkan kerangka pemikiran yang dipakai pada penelitian ini.

(24)

Perumusan masalah penelitian berdasarkan uraian tersebut sebelumnya disusun dalam bentuk pertanyaan penelitian. Pertanyaan penelitian yang muncul dalam penelitian ini, antara lain :

1. Bagaimana mengatasi permasalahan ketersediaan data dan informasi penutupan lahan hutan secara cepat dalam cakupan wilayah yang luas seperti Kepulauan Sumatera?

2. Bagaimana tipologi dan pola spasial deforestasi yang terjadi di Kepulauan Sumatera?

3. Bagaimana model spasial deforestasi dengan menggunakan pendekatan tipologi serta faktor-faktor apa yang menjadi pemicu terjadinya deforestasi di masing-masing tipologi yang terbentuk?

Novelty Penelitian

Penelitian deteksi deforestasi menggunakan data citra satelit resolusi spasial rendah Terra MODIS MOD13Q1 pada umumnya memanfaatkan data kanal

Enhanced Vegetation Index (EVI) dan kanal Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) (Lunetta et al. 2006; Clark et al. 2010; Spruce et al. 2011; Setiawan

dan Yoshino 2013; Setiawan et al. 2015). Hasil penelitian yang disajikan pada

disertasi ini menunjukkan bahwa penggunaan metode sederhana dengan memanfaatkan kanal pixel reliability dan vi quality sebagai kanal yang memberikan

informasi kualitas data mampu digunakan untuk mendeteksi deforestasi dengan tingkat akurasi yang cukup baik.

Penelitian pemodelan deforestasi pada skala global/regional yang luas belum memperhatikan tipologi wilayah (Allen dan Barnes 1985; Rudel 1989; Meyer dan Turner 1992; Pahari dan Murai 1999; Brun et al. 2015). Kebaharuan lain

dari disertasi ini adalah membangun model spasial deforestasi berdasarkan citra satelit resolusi spasial rendah Terra MODIS MOD13Q1 dengan memperhatikan tipologi wilayah yang disusun berdasarkan karakteristik faktor sosial ekonomi yang menjadi pemicu deforestasi. Hasil temuan penting pada penelitian ini menunjukan faktor pemicu deforestasi di Kepulauan Sumatera bervariasi atau tidak sama pada masing-masing tipologi wilayah yang terbentuk. Hal ini menunjukan penanganan deforestasi pada skala global/regional tidak bisa disamaratakan untuk semua tempat.

Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk membangun model spasial deforestasi pada skala regional yang luas di Kepulauan Sumatera. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah :

1. Mendapatkan informasi perubahan penutupan lahan hutan menggunakan citra satelit resolusi spasial rendah Terra MODIS MOD13Q1 secara cepat pada kurun waktu tahun 2000 sampai tahun 2012.

2. Membangun tipologi deforestasi berdasarkan driving factor sosial ekonomi

(25)

3. Membangun model spasial deforestasi berdasarkan faktor-faktor yang menjadi pemicunya pada masing-masing tipologi deforestasi yang terbentuk.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari dilakukannya penelitian pemodelan spasial deforestasi dengan menggunakan pendekatan tipologi ini antara lain :

1. Memberikan masukan bagi pengambil kebijakan mengenai faktor-faktor yang dapat menjadi pemicu terjadinya deforestasi pada masing-masing tipologi sehingga dapat dilakukan upaya-upaya yang dapat meminimalisir terjadinya deforestasi di masa yang akan datang.

2. Memberikan informasi pemodelan spasial deforestasi yang dapat digunakan untuk memprediksi kemungkinan terjadinya deforestasi baik dari segi kuantitas (luas) dan lokasi (spasial) di masa yang akan datang yang sangat berguna dalam penyusunan baseline dalam mekanisme REDD dan mitigasi

(26)

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kepulauan Sumatera yang terletak pada kordinat 95,0o BT 109.2o BT dan 6,0o LU 6.2o LS Indonesia seperti ditunjukkan pada

Gambar 2. Secara administrasi Pulau Sumatera dibagi menjadi 10 provinsi dan 141 kabupaten/Kota dengan luas total Pulau Sumatera sebesar 47,322,331.3 ha. Pemilihan lokasi penelitian di Pulau Sumatera didasari oleh fakta bahwa Pulau Sumatera adalah pulau ke 3 terbesar di Indonesia dengan laju deforestasi yang cukup tinggi. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2014 – Juni 2015. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Geographic Information System – Remote Sensing, Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

(27)

Iklim

Kepulauan Sumatera tergolong daerah tipe iklim A (sangat basah) yang puncak musim hujannya jatuh antara Oktober dan Januari, kadang hingga Februari. Berdasarkan iklim ini, KepulauanSumatera memiliki hutan gambut yang umumnya berada di daerah tipe iklim A atau B, yaitu di pantai timur Sumatera, hutan hujan tropis, dan hutan muson. Selain itu juga memiliki Hutan hujan tropis yang umumnya menempati daerah tipe iklim A dan B pula. Jenis hutan ini menutupi sebagian besar Pulau Sumatera. Hutan Mangrove berada di pantai timur Sumatera. Dari pola hujan Sumatera Utara termasuk tipe hujan equatorial artinya puncak

hujan terjadi dua kali setahun pada saat posisi matahari berada di atas equator. Atau tepatnya puncak curah hujan terjadi satu bulan setelah matahari tepat di atas khatulistiwa: yaitu bulan April/Mei atau Oktober/November.

Oldeman menyebutkan, Sumatera Utara bagian timur (pantai timur dan lereng timur) semakin menuju pantai atau hilir, curah hujan semakin rendah atau tipe E2, sebaliknya semakin menuju ke lereng pegunungan atau hulu curah hujan semakin tinggi (tipe C1, B1 atau A). Bahkan di Langkat dan Simalungun daerah hulu merupakan tipe A, artinya bulan basah lebih dari 9 bulan atau hampir sepanjang tahun terjadi hujan. Sebaliknya di bagian barat (pantai barat-lereng barat) curah hujan semakin besar menuju pantai (hilir) dan semakin kecil menuju lereng pegunungan atau hulu. Demikian juga di pantai barat tipe iklimnya A artinya hampir sepanjang tahun hujan terjadi.

Curah hujan untuk bagian timur Sumatera Utara di hulu lebih besar dari di hilir, sementara di bagian barat hilir lebih besar dari di hulu. Daerah Aliran Sungai (DAS) dipantai timur umumnya panjang dan luas sehingga potensi air hujan yang ditangkap cukup besar dan perlu pengelolaan yang serius supaya supaya tidak banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. DAS di bagian barat rata-rata kecil dan tidak panjang, kecuali DAS Batang Natal. Perkembangan perkotaan mengakibatkan curah hujan di lereng yang menghadap pantai dan perkotaan pun akan bertambah besar, sebab angin ke arah lereng akan didorong angin laut yang kuat, hal ini mengakibatkan hujan orografis akan semakin mudah terbentuk, maka

intensitas hujan pun akan semakin tinggi. Hujan orografis dapat terjadi dengan

mudah di Sumatera dikarenakan oleh adanya deretan Pegunungan Bukit Barisan, dimana masa udara dipaksa naik oleh adanya pegunungan tersebut, sehingga terjadilah hujan orografis tersebut.

Kondisi Biofisik

Kondisi atau jenis tanah yang terdapat di Kepulauan Sumatera antara lain

alluvial Hidromorfik Kuning, Organosol, Podsolik Merah Kuning, Podsolik Coklat, Latosol, Litosol, Andosol, dan ada beberapa jenis tanah lainnya yang juga tersebar

di seluruh wilayah. Kepulauan Sumatera berada pada iklim tropis basah, dengan kondisi tersebut menyebabkan curah hujan yang banyak. Sehingga hidrologi di sana atau keadaan akuifer di Kepulauan Sumatera mudah ditemukan hampir disemua

wilayah Kepulauan Sumatera.

(28)

disajikan dalam Tabel 1, sedangkan distribusi kelas ketinggian tiap provinsi yang ada di Kepulauan Sumatera disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 1 Kelas kelerengan (slope) pada tiap provinsi di Kepulauan Sumatera

No Provinsi Kelas Slope Total

Sumber :data olahan DEM Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM)

Tabel 2 Kelas ketinggian pada tiap provinsi di Kepulauan Sumatera

No Provinsi Kelas Ketinggian (mdpl) Total

0 - 200 200 - 700 700 - 1200 1200 - 2000 > 2000

Sumber :data olahan DEM Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM)

(29)

ketinggian diatas 700 mdpl. Pegunungan Bukit Barisan dengan beberapa puncaknya yang melebihi 3.000 m di atas permukaan laut, merupakan barisan gunung berapi aktif, berjalan sepanjang sisi barat pulau dari ujung utara ke arah selatan; sehingga membuat dataran di sisi barat pulau relatif sempit dengan pantai yang terjal dan dalam ke arah Samudra Hindia dan dataran di sisi timur pulau yang luas dan landai dengan pantai yang landai dan dangkal ke arah Selat Malaka, Selat Bangka dan Laut China Selatan.

Kondisi Sosial Ekonomi

Secara administratif Kepulauan Sumatera terbagi dalam 10 Provinsi yakni Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, Riau Kepulauan, Bangka Belitung, Sumatera Selatan dan Lampung serta 141 kabupaten/kota pada tahun 2012. Data penyebaran kepadatan penduduk pada tiap provinsi disajikan pada Tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3 Rekapitulasi data kepadatan penduduk tahun 2000 – 2011 pada tiap

3 Kepulauan Bangka Belitung 499.0 623.9 855.7

4 Kepulauan Riau 128.0 213.3 213.3

Sumber : Badan Pusat Statistik tahun 2000, 2006, 2012

Sebaran kepadatan penduduk per provinsi di Pulau Sumatera tidak tersebar secara merata. Provinsi yang mempunyai kepadatan penduduk tertinggi pada tahun 2012 adalah Provinsi Sumatera Utara yang mencapai 1,728.2 jiwa/km2 dan yang

terendah adalah Provinsi Riau dengan kepadatan penduduknya sekitar 213.3 jiwa/km2 (Tabel 3). Kepadatan penduduk yang rendah memungkinkan adanya

(30)

Tabel 4 Rekapitulasi data jumlah keluarga pertanian tahun 2003 - 2011 pada tiap provinsi di Kepulauan Sumatera

No Provinsi

Jumlah Keluarga Pertanian (Keluarga)

2003 2006 2011

1 Bengkulu 372,400.0 276,187.7 415,696.0

2 Jambi 327,000.0 456,407.6 415,192.0

3 Kepulauan Bangka Belitung 106,200.0 98,974.7 114,712.0 4 Kepulauan Riau 38,200.0 54,192.0 77,663.0 5 Lampung 1,638,100.0 1,263,456.3 1,642,604.0 6 Nanggroe Aceh Darussalam 635,468.4 664,744.3 722,380.4

7 Riau 592,745.3 596,904.5 709,433.3

8 Sumatera Barat 678,459.2 682,218.6 677,915.2 9 Sumatera Selatan 1,600,600.0 1,044,243.0 1,712,576.0 10 Sumatera Utara 1,416,852.2 1,431,496.1 1,503,996.2 Total 7,406,025.0 6,568,825.2 7,992,168.1 Sumber : Data Potensi Desa, Badan Pusat Statistik Tahun 2003, 2006, 2011

Pada tahun 2011 provinsi dengan jumlah keluarga pertanian yang besar adalah Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Lampung dan Provinsi Sumatera Utara. Ketiga Provinsi tersebut mempunyai jumlah keluarga pertanian yang mencapai lebih dari 1.5 juta KK (Tabel 4). Provinsi dengan jumlah keluarga pertanian paling sedikit adalah Provinsi Kepulauan Riau.

Tabel 5 Rekapitulasi data jumlah penduduk miskin tahun 2002 - 2012 pada tiap provinsi di Kepulauan Sumatera

3 Kepulauan Bangka Belitung 106,200 117,400 70,200

4 Kepulauan Riau 38,200 92,900 83,800

5 Lampung 1,638,100 1,622,400 1,169,000

6 Nanggroe Aceh Darussalam 1,177,300 1,135,200 856,400

7 Riau 635,000 564,900 481,300

8 Sumatera Barat 496,300 578,600 398,100

9 Sumatera Selatan 1,600,600 1,447,000 1,041,700 10 Sumatera Utara 1.853,600 1,871,600 1,351,100

Total 8,244,700 8,094,400 6,032,500

Sumber : Data dan Informasi Kemiskinan, Buku 2, Badan Pusat Statistik tahun 2003, 2006, 2012

(31)

kemudian Provinsi Lampung (1.16 juta jiwa) dan Provinsi Sumatera Selatan (1.04 juta jiwa). Kepulauan Bangka Belitung dan Kepulauan Riau adalah provinsi dengan jumlah penduduk miskin terkecil yaitu secara berturut-turut 70.2 ribu jiwa dan 83.8 ribu jiwa (Tabel 5).

3 Kepulauan Bangka Belitung 5,347.2 15,619.0 34,087.0

4 Kepulauan Riau 10,299.2 37,592.0 67,932.0

5 Lampung 22,207.7 47,491.0 106,581.0

6 Nanggroe Aceh Darussalam 28,137.1 54,472.0 79,889.0

7 Riau 44,239.8 166,088.0 338,912.0

8 Sumatera Barat 22,371.8 51,386.0 108,933.0

9 Sumatera Selatan 35,275.8 95,003.0 204,638.0

10 Sumatera Utara 61,194.2 147,399.0 339,214.0

Total 242.438.9 652.054.0 1.371.507.0

Sumber : Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota di Indonesia, Badan Pusat Statistik tahun 2003, 2006, 2012

Jumlah PDRB total seluruh provinsi selama periode 2003-2011 telah mengalami kenaikan sekitar 1,058.1 milyar. Provinsi dengan jumlah penduduk miskin tertinggi pada tahun 2011 adalah Provinsi Sumatera Utara yang mencapai 339.2 milyar, sedangkan PDRB terendah adalah Provinsi Bengkulu dengan nilai PDRB 22.3 milyar (Tabel 6).

Fungsi Kawasan

Kawasan hutan di Kepulauan Sumatera terdiri dari Hutan Konservasi (HK) seluas 4.9 juta ha, Hutan Lindung (HL) seluas 5.5 juta ha dan Hutan Produksi (HP) seluas 12.2 juta ha (Tabel 7). Total luas kawasan hutan di Kepulauan Sumatera sebesar 22.7 juta ha atau sebesar 48.1% dari luas daratan Kepulauan Sumatera. Kawasan hutan berdasarkan fungsinya ini tersebar di seluruh provinsi yang ada di Kepulauan Sumatera.

(32)

Tabel 7 Data kawasan hutan pada tiap provinsi di Kepulauan Sumatera

No Provinsi Fungsi Kawasan Total

APL HL HP HK Tubuh Air

1 Bengkulu 1,069,956.3 251,887.5 208,475.0 445,731.3 4,018.8 1,980,068.8

2 Jambi 2,775,718.8 181,356.3 1,244,418.8 704,837.5 6.3 4,906,337.5

3 Kepulauan Bangka Belitung 1,013,962.5 183,650.0 439,787.5 34,881.2 5,787.5 1,678,068.7

4 Kepulauan Riau 224,862.5 104,681.3 435,256.3 16,700.0 2,643.8 784,143.7

5 Lampung 2,446,731.3 317,037.5 208,300.0 398,625.0 13,987.5 3,384,681.3

6 Nanggroe Aceh Darussalam 2,296,443.8 1,742,800.0 754,843.8 845,006.2 13,087.5 5,652,181.3

7 Riau 3,403,700.0 227,762.5 4,618,218.8 625,812.5 67,362.5 8,942,856.3

8 Sumatera Barat 1,835,468.8 792,493.8 777,037.5 769,387.5 20,968.8 4,195,356.2

9 Sumatera Selatan 5,312,550.0 563,318.8 2,113,387.5 728,812.5 3,256.3 8,721,325.0

10 Sumatera Utara 4,044,868.8 1,189,931.3 1,413,737.5 423,793.7 4,981.3 7,077,312.5

Total 24,385,487.5 5,554,918.7 12,213,462.5 4,993,587.5 136,100.0 47,322,331.3

Sumber : Kementerian Kehutanan, 2012

Keterangan : APL=Areal Penggunaan Lain, HL=Hutan Lindung, HP=Hutan Produksi, HK=Hutan Konservasi

Selain pengusahaan hutan alam, di Pulau Sumatera juga terdapat Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI). Provinsi dengan luas HTI terbesar adalah Provinsi Riau dan Provinsi Sumatera Selatan dimana secara berturut-turut mencapai 1,735,912.5 ha dan 1,550,325.0 ha, selanjutnya adalah Provinsi Jambi dengan luasan HTI mencapai 707,075.0 ha. Luas HTI pada masing-masing provinsi disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Data penyebaran HTI pada tiap provinsi di Kepulauan Sumatera

No Provinsi Luas HTI (ha) Prosentase (%)

1 Bengkulu - 0.00

2 Jambi 707,075.0 0.14

3 Kepulauan Bangka Belitung 83,262.5 0.02 4 Kepulauan Riau - 0.00

5 Lampung 144,981.3 0.03

6 Nanggroe Aceh Darussalam 242,131.3 0.05

7 Riau 1,735,912.5 0.35

8 Sumatera Barat 84,287.5 0.02

9 Sumatera Selatan 1,550,325.0 0.32

10 Sumatera Utara 360,225.0 0.07

Total 4,908,200.0

(33)

DETEKSI DEFORESTASI MENGGUNAKAN CITRA

SATELIT RESOLUSI SPASIAL RENDAH

Pendahuluan

Penutupan hutan menjadi hal penting dalam menjaga iklim global, penyimpanan karbon, hidrologi serta keanekaragaman hayati (Achard et al. 2002;

Ozanne et al. 2003; FAO 2012). Deforestasi sebagai bagian dari perubahan

penggunaan lahan dalam skala regional telah menjadi isu lingkungan global disamping isu mengenai degradasi lahan, keanekaragaman hayati, ketahanan pangan serta kelestarian lingkungan (Olson et al. 2004; Foley et al. 2005). Gullison et al. (2007) menyebutkan dalam hasil penelitiannya bahwa pada tahun 1990 emisi

gas rumah kaca sebesar 17% telah diakibatkan oleh deforestasi di hutan tropis. Peningkatan emisi gas rumah kaca diyakini dapat berdampak secara global dengan meningkatnya suhu permukaan bumi.

Pemantauan hutan merupakan bagian penting dalam skema REDD. Pemantauan memegang peranan dalam hal peringatan untuk bahaya deforestasi.

United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) telah

menekankan pentingnya ketersediaan data penutupan hutan yang akurat dan konsisten dalam pemantauan deforestasi. Hal ini penting untuk menghitung besarnya emisi gas rumah kaca. Salah satu masalah teknis yang ditekankan oleh UNFCC dalam mekanisme REDD adalah bahwa semua perkiraan harus transparan, konsisten dan seakurat mungkin, serta terbuka untuk dinilai secara independen (Achard et al. 2010; Eckert et al. 2011).

Pemantauan hutan/lahan pada skala regional yang luas dengan sistem pengukuran lapangan memerlukan waktu lama dan biaya yang besar. Metode yang cepat dan akurat diperlukan untuk mendeteksi perubahan penutupan lahan khususnya lahan hutan. Tujuan utama dari penginderaan jauh adalah untuk mendapatkan informasi terkini mengenai penutupan lahan (Hansen et al. 2008)

termasuk di dalamnya pemantauan penutupan hutan (Portillo-Quintero et al. 2012).

Teknologi penginderaan jauh merupakan sarana yang cukup ampuh untuk memperoleh informasi mengenai perubahan penutupan lahan dengan memahami dinamika perubahan di permukaan tanah (Herold et al. 2006; Galford et al. 2008).

Data dari citra satelit untuk pendeteksian perubahan vegetasi sangat terkait dengan resolusi spasial, resolusi temporal dan resolusi spektral. Semakin sering pemantauan perubahan lahan yang dilakukan, informasi yang dihasilkan lebih baik, untuk itu diperlukan citra satelit dengan resolusi temporal yang tinggi (Wedastra et al. 2013).

(34)

Vegetation Index (NDVI), kanal biru, kanal merah, and NIR dan kanal MIR, dengan

komposit 16 harian yang dapat digunakan untuk mengurangi awan dan piksel-piksel lainnya yang tidak bagus.

Penelitian mengenai dinamika perubahan penutupan lahan dengan menggunakan citra satelit Terra MODIS MOD13Q1 telah banyak dilakukan. Penggunaan kanal EVI dan NDVI yang terdapat di dalam citra satelit Terra MODIS MOD13Q1 telah banyak digunakan untuk mendeteksi perubahan penutupan lahan termasuk untuk mendeteksi deforestasi. Dinamika temporal nilai-nilai indeks tersebut berguna untuk membedakan kondisi permukaan tanah, termasuk perubahan dan distribusi penutupan lahan (Lunetta et al. 2006; Setiawan dan

Yoshino 2013). Deteksi deforestasi pada penelitian ini menggunakan pendekatan yang berbeda yakni menggunakan pendekatan post classification comparison

seperti yang telah dilakukan oleh Wedastra et al. (2013). Penelitian pada bab ini

bertujuan untuk mendapatkan informasi perubahan penutupan lahan hutan dan besarnya laju deforestasi menggunakan citra satelit resolusi spasial rendah Terra MODIS MOD13Q1 secara cepat pada kurun waktu tahun 2000 sampai tahun 2012.

Metodologi

Data

Data citra satelit Terra MODIS MOD13Q1 dengan resolusi spasial 250 m yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Badan Antariksa Amerika Serikat atau NASA (National Aeronautics and Space Administration) dengan cara

mendownload melalui internet pada alamat website di http://modis.gsfc.nasa.gov atau di https://lpdaac.usgs.gov/data_access/data_pool (LPDAAC 2014a). Data citra satelit MODIS ini merupakan data level 2, komposit 16 hari. MODIS level-2 dihasilkan dari produk level -1 dimana isi data utama adalah nilai geofisik untuk setiap piksel, yang berasal dari data level-1 dengan menerapkan kalibrasi sensor, koreksi atmosfir, dan algoritma biooptik. Setiap produk level -2 ini berhubungan dengan cakupan geografis dari produk level 1-A dan disimpan dalam format HDF (LPDAAC 2014b). Data citra satelit Terra MODIS MOD13Q1 yang dipakai dalam penelitian ini adalah tahun 2000, 2006 dan 2012, sementara data vektor Hutan Tanaman Indonesia (HTI) bersumber dari Kementerian Kehutanan Replubik Indonesia Tahun 2012.

Tabel 9 Jumlah citra satelit Terra MODIS MOD13Q1 yang digunakan untuk mendeteksi deforestasi di Kepulauan Sumatera

No Tahun Jumlah Raw Data Jumlah Data

Layer

1 2000 80 20

2 2006 80 20

3 2012 80 20

(35)

Cakupan citra satelit Terra MODIS MOD13Q1 untuk Kepulauan Sumatera memerlukan 4 tiles (h27v08, h27v09, h28v08, h28v09). Pembagian grid dari cakupan data citra satelit Terra MODIS MOD13Q1 dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Grid horizontal dan vertical akusisicitra MODIS (Sumber : https://lpdaac.usgs.gov)

Analisis penutupan lahan dilakukan secara multiwaktu dimaksudkan untuk mendapatkan informasi perubahan penutupan lahan yang akan dijadikan dasar dalam penentuan luas dan laju deforestasi. Deteksi perubahan tutupan hutan menggunakan metode post classification comparison sebagaimana yang diuraikan

pada Howarth dan Wickware (1981) serta Jaya dan Kobayashi (1995). Analisis klasifikasi citra Terra MODIS MOD13Q1 menggunakan klasifikasi terbimbing (Supervised classification) dengan metode peluang maksimum (maximum likelihood classifier). Pengolahan citra digital dilakukan dengan bantuan perangkat

lunak pemroses citra Erdas Imagine. Susunan komposit citra yang dipakai adalah kanal MIR pada layer merah, kanal NIR pada layer hijau, serta kanal blue pada layer biru (Wedastra et al. 2013).

Pembuatan data set (Stacking)

Produk data citra satelit Terra MODIS MOD13Q1 memiliki 12 kanal yaitu, NDVI, EVI, VI Quality detailed QA, red reflectance, Near infrared (NIR), Blue, Middle Infrared (MIR), view zenith angle, sun zenith angel, relative azimuth angle, composite day of the year, dan pixel reliability summary QA. Setiap perekaman

(36)

dengan melakukan koreksi terhadap garis pantai data vektor peta dasar tematik kehutanan tahun 2006.

Pemilihan data (Masking)

Produk data komposit 16 harian dari Terra MODIS MOD13Q1 masih mengandung data kurang baik yang disebabkan oleh adanya awan atau nilai reflektansi yang buruk, sehingga perlu dilakukan pemilihan (masking) agar data

yang dipakai adalah data yang bagus. Proses masking dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Er Mapper dan digunakan formula sederhana untuk menghilangkan awan.

Pemilihan data didasarkan pada informasi data dari web MODIS, dimana kanal yang menentukan adalah kanal Pixel Reliability dan VI Quality (Solano et al.

2010). Data dikatakan bagus jika Pixel Reliability bernilai 0 dan dikatakan tidak

bagus jika semakin tinggi nilai Pixel Reliability (lebih besar dari 0). Band VI Quality digunakan untuk masking, jika ternyata hasil masking menggunakan Pixel Reliability masih kurang mencukupi untuk mengetahui informasi tutupan lahan

yang dibutuhkan. Informasi mengenai kanal Pixel Reliability dapat dilihat pada

Tabel 10 berikut ini.

Tabel 10 Informasi yang terkandung dalam band pixel reliability citra satelit Terra

MODIS MOD13Q1 Nilai Pixel

Reliability

Kualitas data Keterangan

-1 Tidak ada data Tidak dapat diproses

0 Data baik Dapat digunakan

1 Data marginal Berguna, lihat informasi QA lainnya

2 Salju Objek tertutup salju

3 berawan Objek tertutup awan

Sumber : https://lpdaac.usgs.gov

Pada penelitian ini data yang diutamakan digunakan adalah yang mempunyai nilai pixel reliability bernilai 0, tetapi jika masih belum bisa menutupi semua

wilayah maka di tambah dengan data citra yang mempunyai nilai pixel reliability 1

pada daerah-daerah yang belum tertutupi. Proses masking dilakukan pada semua data set citra Terra Modis mulai liputan ke 049 sampai ke 353 pada tiga tahun pengamatan untuk selanjutnya dilakukan penggabungan (mosaik) pada seluruh

(37)

Gambar 4 Proses penggabungan citra Terra MODIS MOD13Q1 yang telah dimasking

Klasifikasi Penutupan lahan

Klasifikasi penutupan lahan Terra MODIS 13Q1 dilakukan menggunakan metoda klasifikasi terbimbing (Otukeia dan Blaschke 2010; Churches et al. 2014).

Pada penelitian ini kelas penutupan lahan dikategorikan kedalam tiga kelas yakni kelas hutan, kelas non hutan dan kelas tubuh air dan awan. Proses klasifikasi dimulai dengan membuat training area pada citra satelit Terra MODIS MOD13Q1 berdasarkan citra resolusi tinggi dengan bantuan google earth dan data lapangan.

Evaluasi terhadap area contoh (training area) yang telah dibuat untuk klasifikasi

lahan dilakukan berdasarkan nilai separabilitas. Pengukuran separabilitas dilakukan untuk memperoleh kualitas ketelitian klasifikasi. Metode yang dipilih yaitu

Transformed Divergence (TD) karena baik dalam mengevaluasi keterpisahan antar

kelas penutupan lahan, juga memberikan estimasi yang terbaik untuk pemisahan kelas penutupan lahan (Jaya 1996). Nilai TD antar kelas penutupan lahan dapat dihitung menggunakan fomula (Swain dan Davis 1978; Singh 1984) [2].

Dij = .5 tr[ Ci − Cj Cj− − Ci] + .5 tr[ Ci+ CjMi − Mj Mi − Mj T] [1]

TD = [ − exp [−D8 ]] [2]

Keterangan:

i and j = dua kelas yang dibandingkan Ci = matrik kovarian matrix dari kelas i M = rata-rata vektorkelas i

tr = matrix algebra T = fungsi transpos

(38)

Analisis tingkat separabilitas diperlukan untuk menunjukan keterpisahan statistik antar kelas penutupan lahan berdasarkan rata-rata digital number tiap kelas penutupan lahan yang diklasifikasikan sehingga kita dapat menyimpulkan apakah suatu kelas perlu dilakukan penggabungan dengan kelas lain atau tidak. Kriteria nilai TD yang digunakan dalam memisahkan kelas-kelas penutupan lahan dalam penelitian ini menggunakan kriteria (Mather et al. 1990; Jaya dan Kobayashi 1995; Jensen 1996) :

1. tidak terpisah : ≤ 1600

2. Jelek keterpisahannya : 1601 – 1699 3. Sedang keterpisahannya : 1700 – 1899 4. Baik keterpisahannya 1900 – 1999, dan 5. Sangat baik keterpisahannya : 2000

Validasi Hasil Klasifikasi Penutupan Lahan

Proses validasi dilakukan pada penutupan lahan terakhir yakni penutupan lahan tahun 2012 dengan melakukan ground truth pada citra google earth (Setiawan et al. 2015) dan data lapangan. Proses validasi ini dilakukan dengan melihat

penutupan lahan yang dominan pada grid sampel dengan ukuran 250 x 250 m yang dipilih secara acak (Gambar 5).

Gambar 5 Proses ground truth menggunakan google earth

Uji akurasi juga dilakukan dengan cara membandingkan hasil klasifikasi penutupan lahan dari citra satelit Terra MODIS MOD13Q1 dengan hasil klasifikasi penutupan lahan yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan. Pengkelasan kembali (reclass) pada penutupan lahan oleh Kementerian Kehutanan dilakukan

(39)

penutupan lahan pemukiman, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur semak, perkebunan, sawah, savana dan tanah terbuka. Pengujian dilakukan pada piksel sampel yang dipilih secara acak.

Analisis akurasi hasil klasifikasi akan dilakukan dengan cara menghitung nilai overall accuraccy dan kappa accuracy dengan persamaan (Jensen 1996;

N = Jumlah semua piksel yang digunakan untuk pengamatan r = Jumlah baris/lajur pada matriks kesalahan (jumlah kelas) Xkk = Jumlah piksel pada kelas bersangkutan (pada diagonal matriks)

Xk+ = ∑Xij (jumlah semua kolom pada baris ke-i)

X+k = ∑Xij (jumlah semua kolom pada lajur ke-j)

Akurasi dihitung dengan menggunakan rumus overall accuracy dan Kappa Accuracy. Kappa Accuracy dipergunakan karena memperhitungkan semua elemen

dalam matrik kontingensi. Akurasi kappa juga digunakan untuk menguji

kesignifikanan antara dua matrik kesalahan dari metode yang berbeda atau kombiansi band yang berbeda (Jaya 1996). Overall accuracy, termasuk producer

dan user accuracy menggambarkan kebenaran, tetapi tidak mempertimbangkan

kemungkinan kesamaan (agreement) peta berkaitan dengan data referensi.

Analisis Deforestasi

Deforestasi didefinisikan sebagai perubahan penutupan hutan menjadi non hutan yang bersifat permanen. Perubahan penutupan lahan hutan yang terjadi pada Hutan Tanaman Industri (HTI) dalam penelitian ini tidak dimasukan dalam perhitungan deforestasi, hal ini disebabkan aktifitas penebangan yang terjadi di HTI adalah aktifitas yang reguler yang tidak permanen sifatnya. Data vektor penyebaran HTI yang dipakai dalam penelitian ini bersumber dari Kementerian Kehutanan Tahun 2013.

Berdasarkan hasil dari klasifikasi citra Terra MODIS multiwaktu, selanjutnya dilakukan analisis perubahan tutupan lahan. Analisis perubahan tutupan lahan dilakukan dengan cara menumpang tindihkan (overlay) citra hasil klasifikasi

pada tiap waktu, yaitu tahun 2000 – 2006 dan tahun 2006 – 2012. Overlay matriks dari dua citra hasil klasifikasi ini akan menghasilkan matriks transisi yang menyatakan besarnya luas atau jumlah piksel suatu kelas tutupan lahan pada citra tahun pertama yang berubah menjadi kelas tutupan lahan lain pada tahun berikutnya. Rumus laju deforestasi yang dipakai adalah:

=

� −� [5] [3]

(40)

Keterangan :

r = laju deforestasi

t2 = tahun pada waktu akhir

t1 = tahun pada waktu awal

A2 = luas hutan hutan pada waktu akhir

A1 = luas hutan pada tahun waktu awal

Hasil Dan Pembahasan

Analisis Separabilitas dan Matrik Kesalahan

Hasil analisis separabilitas pada penelitian ini secara umum menunjukkan kisaran dari baik sampai sangat baik, hal ini bisa dilihat dari pembacaan nilai statistik hasil klasifikasi penutupan lahan tahun 2000, 2006 dan 2012 dimana secara keseluruhan mempunyai nilai rata-rata separabilitas lebih dari 1900. Nilai separabilitas (keterpisahan) antar kelas yang dibuat dalam klasifikasi terbimbing tersebut termasuk ke dalam kategori sangat baik keterpisahannya, sehingga training area yang digunakan sebagai sample dalam pengkelasan penutupan lahan yang

telah dibuat dapat dipergunakan. Hasil analisis separabilitas selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 11 - 13.

Tabel 11 Matrik keterpisahan klasifikasi terbimbing citra Terra MODIS MOD13Q1 tahun 2000

No Penutupan Lahan Hutan Non Hutan

Tubuh Air dan Awan

1 Hutan 0 1970 1999

2 Non Hutan 1970 0 1952

3 Tubuh Air dan Awan 1999 1952 0

Tabel 12 Matrik keterpisahan klasifikasi terbimbing citra Terra MODIS MOD13Q1 tahun 2006

No Penutupan Lahan Hutan Non Hutan

Tubuh Air dan Awan

1 Hutan 0 1999 2000

2 Non Hutan 1999 0 1995

(41)

Tabel 13 Matrik keterpisahan klasifikasi terbimbing citra Terra MODIS

Hasil uji akurasi dari pengklasifikasian citra digital dengan metode klasifikasi terbimbing dalam penelitian ini termasuk baik, hal ini dapat dilihat dari tingginya nilai overall accuracy dan nilai kappa accuracy yang dihasilkan. Semakin tinggi

akurasinya, baik overall accuracy maupun kappa accuracy maka pengklasifikasian

yang dilakukan semakin baik. Hasil overall accuracy yang dihasilkan pada

klasifikasi penutupan lahan tahun 2000, 2006 dan 2012 berturut-turut sebesar 95.1%, 95.7% dan 95.2%, sedangkan nilai kappa accuracy masing-masing sebesar

92.3%, 93.5% dan 92.5%. Nilai kappa accuracy ini menunjukkan bahwa dari

seluruh piksel yang digunakan pada training area, sebesar 92.3%, 93.5% dan

92.5% dari piksel-piksel tersebut dapat dikelaskan dengan benar. Hasil analisis

confusion matrix selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 14 - 16.

Tabel 14 Matrik kesalahan pada klasifikasi terbimbing citra Terra MODIS MOD13Q1 tahun 2000

No Kelas Penutupan Lahan Data Rujukan Tahun 2000

Hutan Hutan Non Tubuh Air dan Awan Total Baris AccuracyUser’s

Tabel 15 Matrik kesalahan pada klasifikasi terbimbing citra Terra MODIS MOD13Q1 tahun 2006

(42)

Tabel 16 Matrik kesalahan pada klasifikasi terbimbing citra Terra MODIS klasifikasi citra satelit Terra MODIS MOD13Q1 tahun 2000 berjumlah 4,468 dengan tingkat akurasi pembuat sebesar 97.8 % (Tabel 14), jumlah piksel hutan tahun 2006 berjumlah 1,873 piksel dengan akurasi pembuat sebesar 95.7% (Tabel 15), dan jumlah piksel hutan tahun 2012 berjumlah 2,436 dengan akurasi pembuat sebesar 94.4% (Tabel 16). Nilai akurasi pembuat (produser’s accuracy) untuk kelas

hutan pada klasifikasi di atas sudah bagus, yakni nilainya yang lebih dari 90%.

Validasi Klasifikasi Penutupan Lahan

Hasil Pengujian akurasi terhadap hasil klasifikasi penutupan lahan tahun 2012 dengan citra google earth menunjukan nilai overall accuracy 76.4% dan nilai Kappa Accuracy sebesar 56.7% dari 538 grid sampel yang dipilih secara acak.

Hasil uji Overall Accuracy ini lebih rendah dari hasil penelitian Spruce et al. (2011)

di Wilayah dataran tinggi mid-Appalachian, Amerika Serikat dengan nilai Overall Accuracy 79% . Hasil penelitian Clark et al. (2010) juga melaporkan nilai Overall Accuracy hasil klasifikasi lahan citra satelit MODIS MOD13Q1 di Dry Chaco

ecoregion, Amerika Selatan dengan nilai 79.3%, nilai Produce’s Accuracy dari sebesar 51.4% (perkebunan) sampai 95.8% (vegetasi berkayu), nilai User’s

Accuracy dari 58.9% (semak) sampai 100% (air).

Besar kecilnya hasil validasi ground truth ini sangat dipengaruhi oleh banyak

sedikitnya piksel yang bercampur dalam suatu kelas tertentu. Adanya aktivitas manusia yang dalam menyebabkan deforestasi tetapi dalam skala patch-patch yang

kecil kurang dari 6.25 ha sebagai ukuran terkecil piksel citra satelit Terra MODIS MOD13Q1 yang digunakan dalam penelitian ini, sehingga tidak terdeteksi sebagai deforestasi (Setiawan et al. 2015) juga ikut berpengaruh. Selain itu, besar kecilnya

hasil akurasi ini juga dipengaruhi oleh kualitas citra satelit Terra MODIS MOD13Q1 hasil mosaik dari liputan hari ke 049 sampai liputan hari ke 353 yang dihasilkan dalam penelitian ini. Hasil masking citra satelit Terra MODIS MOD13Q1 yang dihasilkan pada masing-masing liputan masih terdapat awan yang disebabkan oleh kurang sempurnanya atau kurang tepatnya band pixel reliability

Gambar

Gambar 1 berikut ini menggambarkan kerangka pemikiran yang dipakai pada
Gambar 2  Lokasi Penelitian
Tabel 1  Kelas kelerengan (slope) pada tiap provinsi di Kepulauan Sumatera
Tabel 4 Rekapitulasi data jumlah keluarga pertanian tahun 2003 - 2011 pada tiap
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara semi terstruktur (Sugiyono, 20011 : 73) atau interview bebas terpimpin ( Suharsimi Arikunto, 1997 :146), yaitu

Lebih lanjut, Lowental (Junus, 1986:19) mengatakan bahwa untuk melihat reaksi dan penerimaan pembaca terhadap suatu karya sastra diperlukan perhatian terhadap iklim

Permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah bagaimana melakukan perbaikan pada sifat fisis dan sifat mekanis tanah lempung dengan kapur dan spent catalist

kini lembaga penyiaran telah lemah dan lalai dalam memonitoring penyiara di Indonesia. Hukum etika penyiaran dan s yari’at penyiaran dalam Islam tidak beda jauh. Sama

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah nilai-nilai pendidikan akhlak dalam surat Yusuf ayat 13-25 yaitu: akhlak terhadap diri sendiri meliputi.. nilai Jujur,

Dari laporan keuangan tersebut baik pihak eksternal maupun pihak internal perusahaan dapat meramalkan, membandingkan, dan menilai dampak keuangan yang timbul dari

[r]

Kehidupan beragama antara jemaat Gereja Kristen Jawa (GKJ) Slawi dengan masyarakat muslim di desa Balapulang Kulon ini terjalin harmonis atau rukun tidak ada