Kemampuan Citra Satelit Resolusi Rendah dalam Monitoring Penutupan Lahan Hutan
Penggunaan citra satelit resolusi rendah Terra MODIS MOD13Q1 dapat digunakan untuk mendeteksi perubahan penutupan hutan. Pendekatan menggunakan klasifikasi terbimbing pada liputan citra satelit Terra MODIS MOD13Q1 tahun 2012 menghasilkan nilai overall accuracy sebesar 76.4%. Sementara itu hasil perbandingan penutupan lahan hutan yang dihasilkan pada penelitian ini dengan hasil penutupan lahan hutan oleh Kementerian Kehutanan menggunakan citra satelit landsat menghasilkan nilai yang cenderung
underestimate (lebih rendah). Perbedaan ukuran piksel citra satelit yang digunakan serta perbedaan metodologi diduga menjadi salah satu penyebabnya.
Deteksi penutupan lahan hutan di Kepulauan Sumatera pada tahun 2000, 2006 dan 2012 menggunakan citra satelit resolusi spasial rendah Terra MODIS MOD13Q1 memberikan informasi bahwa telah terjadi penurunan luas hutan pada tiap tahunnya. Laju deforestasi pada periode 2000 – 2006 teridentifikasi sebesar 292,029.2 ha/tahun kemudian menurun pada periode tahun 2006 – 2012 menjadi sebesar 72,905.3 ha/tahun. Laju deforestasi terbesar terjadi di Provinsi Riau dengan laju deforestasi sebesar 59,024.5 ha/tahun (2.6%).
Laju deforestasi pada periode waktu tahun 2000 – 2006 lebih tinggi dibandingkan laju deforestasi pada periode waktu tahun 2006 – 2012. Margono et al. (2012) dan Setiawan et al. (2015) mengemukakan bahwa penyebab utama deforestasi di Sumatera adalah maraknya pembukaan perkebunan kelapa sawit dan pembukaan HTI pulp dan kertas. Deforestasi juga disebabkan oleh faktor kebijakan pemerintah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat (Ma dan Xu 2010), sementara itu Sunderlin dan Resosudarmo (1997) mengatakan bahwa perkebunan, petani rakyat (sistem perladangan berpindah), transmigrasi spontan, transmigrasi umum, pengusahaan tanah sewa, pertanian tradisional, pembalakan liar dan kebakaran hutan adalah penyebab terjadinya deforestasi di Indonesia.
Tipologi dan Pola Spasial Deforestasi
Penentuan tipologi deforestasi pada daerah administrasi kabupaten/kota yang ada di Kepulauan Sumatera menghasilkan dua tipologi yakni daerah administrasi kabupaten/kota dengan laju deforestasi rendah (tipologi 1) dan daerah administrasi kabupaten/kota dengan laju deforestasi tinggi (tipologi 2). Hasil pengelompokan menggunakan furthest neighbor clustering menghasilkan overall accuracy sebesar 73.1% dengan faktor pertambahan jumlah keluarga pertanian sebagai faktor penentunya.
Analisis metrik lanskap menghasilkan indeks clumpiness sebagai indikator penyebaran spasial patch hutan yang terdeforestasi. Patch hutan yang terdeforestasi cenderung menyebar mengelompok pada kedua tipologi yang diteliti. Hal ini menunjukkan bahwa gangguan hutan terkonsentrasi pada titik-titik tertentu saja sehingga patch hutan yang tersisa mengelompok pada area dengan topografi sulit dan aksesibilitas rendah. Namun demikian, tingkat pengelompokan patch hutan yang terdeforestasi cenderung menurun dari tahun 2000 hingga tahun 2012. Kondisi
ini menunjukkan bahwa penutupan hutan yang tersisa juga mengalami konsentrasi gangguan yang berbeda pada beragai periode waktu.
Gangguan terhadap hutan yang terjadi antara lain penebangan, dan perambahan sampai pembukaan hutan untuk penggunaan lain seperti untuk pertanian dan perkebunan. Penebangan dan perambahan memunculkan patch hutan berukuran relatif kecil, sedangkan pembukaan hutan untuk areal perkebunan memunculkan patch hutan yang berukuran relatif lebih besar.
Kondisi penutupan hutan di tipologi 1 lebih terfragmentasi dibandingkan dengan tipologi 2. Pola spasial deforestasi berdasarkan indeks clumpiness pada kedua tipologi menunjukan pola yang mengelompok dengan bentuk yang kurang teratur. Namun demikan kondisi pengelompokan penutupan hutan di tipologi 2 lebih besar dibandingkan pada tipologi 1. Hal ini menunjukan deforestasi akibat pembukaan hutan untuk perkebunan yang terjadi di tipologi 2 lebih banyak dilakukan oleh perkebunan besar, sebaliknya di tipologi 1 pembukaan hutan untuk perkebunan lebih banyak dilakukan oleh masyarakat dan perusahaan perkebunan dalam skala kecil.
Model Spasial Deforestasi
Model spasial deforestasi tahun 2000 – 2006 yang dihasilkan pada penelitian ini cukup baik digunakan untuk mempredisi peluang terjadinya deforestasi yang terjadi pada tahun 2006 – 2012 dengan nilai overall accuracy sebesar 65.4% untuk tipologi 1 dan 72.2% untuk tipologi 2. Dengan demikian model spasial deforestasi menggunakan pendekatan regresi logistik yang dihasilkan pada penelitian ini dapat digunakan untuk memprediksi deforestasi di masa yang akan datang.
Pemodelan spasial deforestasi yang dihasilkan pada penelitian ini masih mempunyai beberapa kelemahan diantaranya masalah ketersediaan data. Data faktor pemicu (variable X) jaringan jalan yang dipakai pada pemodelan merupakan data tahun 2005 dan dianggap tidak ada perubahan selama pemodelan. Padahal kenyataanya data jaringan jalan mengalami perubahan seiring dengan perkembangan waktu. Data faktor pemicu jumlah keluarga pertanian sebagai data pembangun model juga bukan data tahun 2000, melainkan data tahun 2003. Ketidakkonsistenan data yang dipakai untuk membangun model mungkin akan bisa mempengaruhi besar kecilnya tingkat akurasi pemodelan yang dihasilkan.
Urutan faktor-faktor pemicu deforestasi dari yang mempunyai kontribusi terbesar terhadap peluang terjadinya deforestasi pada tipologi 1adalah ketinggian tempat, jarak dari jalan, jumlah keluarga pertanian. Sedangkan pada tipologi 2urutan faktor-faktor pemicu deforestasi adalah faktor ketinggian tempat, jarak dari jalan, slope, jarak dari sungai,dan jumlah keluarga pertanian. Faktor pemicu deforestasi pada tipologi 2 lebih komplek dibandingkan pada tipologi 1. Faktor elevasi dan kedekatan dari jalan merupakan faktor pemicu yang paling dominan pada kedua tipologi.
Pendekatan menggunakan regresi logistik telah menjadi salah satu pendekatan yang paling sering digunakan selama dua dekade terakhir untuk prediksi pemodelan penggunaan lahan (Verhagen 2007). Dinamika perubahan penutupan/penggunaan dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor, yaitu kualitas inherent lahan, pengaruh penutup/penggunaan lahan di sekitarnya (neighboring effects), dan kebutuhan akan lahan untuk kegiatan tertentu (Singh 2003). Model prediksi penggunaan lahan yang baik sedapat mungkin mempertimbangkan ketiga faktor
tersebut. Salah satu model yang mampu memasukkan 3 (tiga) faktor tersebut dalam pemodelan prediksi perubahan penutup/penggunaan lahan adalah model Cellular Automata (CA).
Model CA dalam kajian prediksi perubahan penutup/penggunaan lahan pada hakikatnya dapat diintegrasikan dengan model lain (Liu et al. 2005; Wijaya dan Susilo 2013). Pemanfaatan model CA yang diintegrasikan dengan model lain dimaksudkan untuk mengoptimalkan akurasi serta presisi pemodelan. Model perubahan penggunaan lahan yang mengintegrasi antara CA dengan Markov telah banyak dilakukan. Pendekatan ini mampu menghitung peluang terjadinya perubahan penggunaan lahan dan besarnya perubahan yang terjadi. Namun demikian pendekatan ini belum bisa mengakomodasi driving force perubahan penggunaan lahan (Arsanjani et al. 2013).
Dilain pihak pendekatan regresi logistik memiliki keunggulan dapat mengakomodir driving force perubahan penutupan/penggunaan lahan, tetapi memiliki kelemahan dalam hal tidak mampu menentukan besarnya perubahan yang terjadi. Integrasi antara model regresi logistik dengan CA-Markov dimungkinkan untuk mengeleminir kekurangan pada model regresi logistik maupun CA-Markov dengan cara mengganti peta peluang perubahan penggunaan lahan yang dihasilkan dari model CA-Markov dengan model peluang perubahan penggunaan lahan yang dihasilkan dari model regresi logistik. Model integrasi antara CA-Markov dengan regresi logistik biner telah dicobakan diantaranya oleh Arsanjani et al. (2013)untuk mensimulasi pengembangan perkotaan di Kota Tehran, Iran.
Implikasi penggunaan model spasial deforestasi di Kepulauan Sumatera salah satunya adalah dapat digunakan untuk kepentingan upaya mitigasi atau pencegahan terjadinya deforestasi di masa yang akan datang. Tabel 29 dan 30 berikut ini memberikan informasi mengenai besarnya peluang deforestasi pada berbagai kombinasi nilai faktor pemicu. Daerah dengan warna hijau merupakan daerah yang memiliki nilai peluang deforestasi rendah, sedangkan daerah dengan warna orange merupakan daerah dengan peluang deforestasi tinggi. Upaya mitigasi deforestasi lebih ditekankan pada daerah-daerah yang masih berhutan yang memiliki nilai peluang deforestasi tinggi (warna orange).
Daerah-daerah berhutan pada tipologi 1 dengan nilai elevasi rendah, dekat dengan jalan serta mempunyai jumlah keluarga pertanian yang tinggi cenderung akan memiliki peluang terdeforestasi tinggi (Tabel 29). Daerah-daerah seperti ini banyak dijumpai disepanjang timur pantai timur Pulau Sumatera, dimana sebagian besar merupakan ekosistem hutan dataran rendah dan ekosistem hutan mangrove. Ancaman terbesar hutan pada daerah ini adalah perubahan fungsi hutan menjadi pertanian dan perkebunan serta tambak.
Tabel 29 Nilai peluang deforestasi pada berbagai nilai faktor pemicu deforestasi di Tipologi 1 jtani 25 25 255 255 25 25 255 255 elevasi jjalan 25 25 0.3058 0.3058 0.8744 0.8744 0.3058 0.3058 0.8744 0.8744 25 25 0.3058 0.3058 0.8744 0.8744 0.3058 0.3058 0.8744 0.8744 25 25 0.3058 0.3058 0.8744 0.8744 0.3058 0.3058 0.8744 0.8744 25 25 0.3058 0.3058 0.8744 0.8744 0.3058 0.3058 0.8744 0.8744 25 255 0.0055 0.0055 0.0809 0.0809 0.0055 0.0055 0.0809 0.0809 25 255 0.0055 0.0055 0.0809 0.0809 0.0055 0.0055 0.0809 0.0809 25 255 0.0055 0.0055 0.0809 0.0809 0.0055 0.0055 0.0809 0.0809 25 255 0.0055 0.0055 0.0809 0.0809 0.0055 0.0055 0.0809 0.0809 255 25 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 255 25 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 255 25 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 255 25 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 255 255 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 255 255 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 255 255 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 255 255 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 Tabel 30 Nilai peluang deforestasi pada berbagai nilai faktor pemicu deforestasi di
Tipologi 2
jsungai 25 25 25 25 255 255 255 255
slope 25 25 255 255 25 25 255 255
elevasi jjalan jtani
25 25 25 0.5285 0.5285 0.8486 0.8486 0.9999 0.9999 1.0000 1.0000 25 25 25 0.5285 0.5285 0.8486 0.8486 0.9999 0.9999 1.0000 1.0000 25 25 255 0.0089 0.0089 0.0429 0.0429 0.9860 0.9860 0.9972 0.9972 25 25 255 0.0089 0.0089 0.0429 0.0429 0.9860 0.9860 0.9972 0.9972 25 255 25 0.0002 0.0002 0.0009 0.0009 0.5852 0.5852 0.8759 0.8759 25 255 25 0.0002 0.0002 0.0009 0.0009 0.5852 0.5852 0.8759 0.8759 25 255 255 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0111 0.0111 0.0534 0.0534 25 255 255 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0111 0.0111 0.0534 0.0534 255 25 25 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0662 0.0662 0.2619 0.2619 255 25 25 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0662 0.0662 0.2619 0.2619 255 25 255 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0006 0.0006 0.0028 0.0028 255 25 255 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0006 0.0006 0.0028 0.0028 255 255 25 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0001 0.0001 255 255 25 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0001 0.0001 255 255 255 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 255 255 255 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
Hutan pada daerah elevasi rendah, dekat dengan jalan, mempunyai jumlah keluarga pertanian yang tinggi, jarak dari sungai jauh serta slope yang rendah pada tipologi 2 akan mempunyai peluang terdeforestasi yang tinggi (Tabel 30). Daerah berhutan yang dekat dengan sungai tetapi memiliki topografi yang slope yang datar, elevasi rendah, jarak dari jalan rendah serta jumlah keluarga pertanian rendah juga mempunyai nilai peluang deforestasi yang tinggi. Begitu juga daerah berhutan yang jauh dari sungai tetapi memiliki topografi yang slope yang datar, elevasi rendah, jarak dari jalan rendah serta jumlah keluarga pertanian besar juga mempunyai nilai peluang deforestasi yang tinggi. Daerah-daerah berhutan seperti ini biasanya banyak dijumpai pada daerah yang dekat dengan areal pertanian/perkebunan.
Hasil dari penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi pembuat kebijakan dalam hal mitigasi deforestasi. Model spasial deforestasi yang terbentuk pada penelitian ini memberikan informasi adanya faktor-faktor pemicu deforestasi yang berbeda-beda pada pada masing-masing tipologi. Faktor-faktor pemicu terjadinya deforestasi dapat digolongkan ke dalam dua kategori yakni faktor-faktor pemicu yang bersifat relatif dapat dikelola atau dikendalikan dan faktor-faktor pemicu deforestasi yang bersifat relatif susah untuk dikelola atau dikendalikan. Pada tipologi 1 faktor pemicu deforestasi yang dapat dikendalikan berupa faktor jumlah keluarga pertanian dan faktor jarak dari jalan sedangkan faktor yang susah untuk dikendalikan berupa faktor elevasi. Pada tipologi 2 faktor pemicu deforestasi yang dapat dikendalikan berupa faktor jumlah keluarga pertanian dan faktor jarak dari jalan sedangkan faktor yang susah untuk dikendalikan berupa faktor elevasi, slope dan jarak dari sungai.
Perhatian pemerintah terhadap keberadaan areal hutan yang tergolong pada daerah-daerah yang mempunyai peluang deforestasi tinggi seperti yang dicantumkan pada Tabel 29 dan 30 perlu ditingkatkan. Implikasi kebijakan yang bisa diambil diantaranya adalah meminimalisir pembangunan infrastruktur jalan yang melewati daerah-daerah berhutan, baik pada tipologi 1 maupun tipologi 2. Hal ini disebabkan faktor kedekatan jalan merupakan salah satu faktor pemicu yang memiliki kontribusi besar terhadap peluang terjadinya deforestasi di tipologi 1 dan tipologi 2. Hal ini sesuai dengan simulasi pemodelan penelitian Brun et al. (2015) yang mengatakan bahwa deforestasi di Indonesia dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi seperti kemudahan aksesibilitas jalan dan tingginya nilai ekonomi dari komoditas pertanian.
Upaya meminimalisir perkembangan jumlah keluarga pertanian yang mengusahakan komoditas pertanian/perkebunan pada lahan yang tidak sesuai fungsi peruntukannya perlu ditingkatkan. Pola pertanian/perkebunan yang tidak sesuai dengan peruntukannya yang dimaksud disini adalah pola pertanian/perkebunan dengan jalan membuka lahan yang peruntukannya untuk hutan. Kedepan pola intensifikasi pertanian perlu lebih ditekankan lagi dibandingkan ekstensifikasi pertanian di Kepulauan Sumatera.
Pemodelan spasial deforestasi pada skala global (Kepulauan Sumatera) dengan menggunakan pendekatan tipologi laju deforestasi seperti yang dilakukan pada penelitian ini, telah menghasilkan faktor pemicu deforestasi yang berbeda-beda pada masing-masing tipologi. Hasil penelitian ini menegaskan bahwa faktor pemicu deforestasi di setiap tempat berbeda dan tidak bisa disamaratakan. Penelitian - penelitian yang menyederhanakan permasalahan deforestasi dengan menyebutkan faktor pertumbuhan penduduk (Allen dan Barnes 1985; Meyer dan
Turner 1992; Pahari dan Murai 1999) sebagai penyebab deforestasi pada skala global menjadi kurang tepat. Informasi yang terlalu menyederhanakan faktor pemicu deforestasi dapat menghasilkan kebijakan yang kurang tepat dalam penanganan permasalahan deforestasi.