• Tidak ada hasil yang ditemukan

UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

Dalam dokumen TESIS OLEH CHOIRUN PARAPAT / HK (Halaman 54-0)

BAB I : PENDAHULUAN

C. Ketentuan Perundang-Undangan Yang Mengatur Wewenang

2. UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

74 Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Lima Windu Sejarah Kejaksaan Republik Indonesia, (Jakarta: Kejaksaan Agung RI, 1985), hal. 8-12.

75 Yesmil Anwar dan Adang, Sistim Peradilan Pidana, Konsep, Komponen, &

Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), hal.

197.

76 Ibid., hal. 200.

77 Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 2 UU Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan.

78 Pasal 1 angka 6 huruf b KUHAP.

79 Pasal 1 angka 2 UU No.16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan.

Sedangkan kejaksaan adalah lembaga atau institusi di mana tempat bernaungnya para jaksa.

Melalui pendekatan sejarah, kejaksaan dikelompokkan dalam dua periodisasi yaitu periode sebelum kemerdekaan dan periode setelah kemerdekaan.

3. Kejaksaan Sebelum Periode Kemerdekaan

Pada masa kerajaan Hindu di Jawa berkuasa belum ditemui lembaga penuntutan dalam urusan penegakan hukum adat untuk bertindak sebagai jaksa.

Sejarah kerajaan yang paling berpengaruh pada masa itu adalah Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Prabu Hayam Wuruk dengan seorang patih yang disbut Mahapatih Gajah Mada hanya menunjukkan beberapa jabatan yang dinakaman dhyaksa, adhyaksa, dan dharmadhyaksa.80 Tetapi sebutan ini bukan bertugas untuk melakukan penuntutan melainkan tugasnya adalah untuk hakim pengadilan.81

Pada masa awal penjajahan tahun 1602 dengan masuknya VOC82 ke Indonesia, Belanda membentuk beberapa peraturan hukum, mengangkat para pejabat yang akan menjaga kepentingan-kepentingannya dengan membentuk badan-badan peradilan sendiri (schepenenbank) yang bertugas sebagai penuntut umum disebut dengan officier van justitie sebagai perwira kehakiman.83 Tugas officier van justitie di masa ini bertindak sebagai penuntut keadilan dan Gubernur Belanda sebagai ketuanya dan Bupati terkemuka sebagai anggotanya, sedangkan dalam perkara kecil, jaksa yang mengadili bertindak sebagai hakim atas nama Bupati setempat.84

80 http://kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=3, diakses tanggal 1 Oktober 2014.

Sejarah Kejaksaan di Situs Resmi Kejaksaan Republik Indonesia.

81 Marwan Effendy, Kejaksaan,….Op. cit., hal. 55-58.

82 VOC singkatan dari Verenigde Oost Indische Compagnie.

83 RM. Surachman dan Andi Hamzah, Op. cit., hal. 2.

84 Marwan Effendy, Kejaksaan,….Op. cit., hal. 59-60.

Pada abad XVII Kerajaan Mataram yang berada di bawah perintah Amangkurat I dan kesultanan-kesultanan di Cirebon tidak lagi menggunakan kata Jawa Kuno (kawi) atau Sangskerta dhyaksa tetapi telah digunakan dengan Bahasa Jawa yaitu “Jeksa”. Para jeksa di masa itu mempunyai tugas dan wewenang sebagai hakim, juga melaksanakan pekerjaan kepaniteraan dan penuntutan, bahkan adakalanya jeksa pada masa itu dapat bertindak sebagai pembela.85

Pada tahun 1808 s/d 1811 di masa Pemerintahan Daendels mempersempit kekuasaan pengadilan Schepenen yang dibentuk oleh Kompeni. Kekuasaan schepenenbank (Pengadilan schepenen) semula memiliki yurisdiksi Jakarta dan Daerah Jawa Barat serta melakukan peradilan menerapkan hukum Belanda, kemudian diperkecil yurisdiksinya hanya meliputi Kota Jakarta dan sekitarnya. Sehingga penuntut yang disbut fiscaal dilakukan oleh seorang Jaksa Besar (Groot-Djaksa).

Seorang bawahan Landdrost yang diberi gelas Schouten dibebani tugas melakukan penyidikan sedangkan Landgericht memeriksa dan memutus perkara-perkara perdata dan pidana yang tidak termasuk ke dalam kekuasaan Landraad.86

Setelah kekuasaan Daendels berakhir, kemudian berkuasa Pemerintahan Raffles (1811-1816) dengan mengubah badan-badan peradilan di Indonesia pada masa itu. Raffles mengeluarkan instruksi dengan membentuk badan pengadilan untuk golongan penduduk Bumi Putera di bagi dalam dua badan peradilan yaitu peradilan untuk kota sekitarnya (untuk Bangsa Eropa) dan peradilan untuk daerah-daerah

85 Ibid., hal. 60-61.

86 R. Tresna, Peradilan di Indonesia Dari Abad ke Abad, (Jakarta: W. Versluys N.V.

Amsterdam, 1957), hal. 25.

pedesaan. Pengdilan untuk Bangsa Eropa berada di Batavia, Semarang, dan Surabaya serta daerah-daerah setiktarnya diberi juga wewenang untuk mengadili penduduk Bumi Putera yang berdomisili di sekitar itu.87

Untuk kota (Batavia, Semarang, dan Surabaya) masing-masing ditempatkan satu Court of Justice untuk perkara-perkara perdata dan pidana bagi golongan penduduk Bumi Putera. Sedangkan Court of Justice yang berada di Batavia berfungsi sebagai Pengadilan Banding. Selain itu, di Batavia didirikan Supreme Court sebagai badan peradilan yang memeriksa dan memutus perkara di tingkat pertama dan terakhir. Susunan Court of Justice terdiri dari seorang hakim ketua, dan dua orang hakim anggota serta satu orang penuntut umum yang disebut dengan fiscal, sedangkan Supreme Court terdiri dari seorang hakim ketua, dan tiga orang hakim anggota, serta seorang advocate fiscal.

88

Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia, jaksa kemudian disebut dengan istilah Openbaar Ministerie89

87 Ibid.

88 Ibid., hal. 30.

89 Pada masa pendudukan Belanda, badan yang ada relevansinya dengan jaksa dan Kejaksaan antara lain adalah Openbaar Ministerie.

yang memiliki tugas pokok antara lain:

mempertahankan segala peraturan negara, melakukan penuntutan terhadap semua tindak pidana, dan melaksanakan putusan pengadilan. Lembaga Openbaar Ministerie ini menitahkan pegawai-pegawainya berperan sebagai Magistraat dan Officier van Justitie di dalam sidang Landraad (Pengadilan Negeri), Jurisdictie Geschillen (Pengadilan Justisi) dan Hooggerechtshof (Mahkamah Agung ) di bawah perintah

langsung dari Residen atau Asisten Residen.90 Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda ini, kejaksaan lebih terlihat sebagai perpanjangan tangan penguasa penjajah di masa itu, khususnya dalam menerapkan delik-delik yang berkaitan dengan hatzaai artikelen91 yang terdapat di dalam Wetboek van Strafrecht (WvS).92

Pada masa Pemerintahan Jepang di Indonesia sejak tanggal 8 Maret 1942 sampai dengan tanggal 16 Agustus 1945 ditetapkan 6 (enam) jenis badan peradilan umum di Jawa dan Madura dan setiap badan peradilan tersebut ditempatkan kantor Kejaksaan (Kensatsu Kyoku). Kensatsu Kyoku diberi tugas: mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggran, menuntut perkara, menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal, dan mengurus pekerjaan lain-lain yang wajib dilaksanakan menurut hukum.

93

Penyidikan menjadi salah satu tugas umum Kejaksaan sejak dari Kejaksaan Pengadilan Negeri (Tihoo Kensatsu Kyoku) hingga Kejaksaan Pengadilan Tinggi

90 http://kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=3, diakses tanggal 30 September 2014.

Sejarah Kejaksaan di Situs Resmi Kejaksaan Republik Indonesia.

91 http://id.shvoong.com/law-and-politics/contract-law/2077195-hatzaai-artikelen-menghantar-demokrasi-jadi/, diakses tanggal 1 Oktober 2014. Ditulis oleh: Ali Imran, dengan judul, “Hatzai Artikelen, Menghantar Demokrasi Menjadi Impoten”. Hatzaai artikelen, merupakan pasal-pasal yang mengatur berkenaan dengan penyebaran rasa kebencian terhadap warga sipil dan pemasungan para aktivis. Dahulu pada masa Kolonial Belanda, pasal ini dijadikan alat politik, untuk mengamankan kekuasaannya di Indonesia, dan pada masa Orde Baru, pasal tersebut tetap dipertahankan demi kepentingan kekuasaannya. Sesudah menginjak usia tua Negara Indonesia terbebas dari kaum penjajah, usia 60 tahun merupakan satu generasi, yang dalam hal ini tentu seharusnya sudah ada kedewasaan demokrasi yang tertanam dalam ruh masyarakat Bangsa Indonesia. Pada abad XVI dalam era penjajahan imperialisme dan kolonialisme di Inggris lahir sebuah produk hukum yang otoriter, yakni undang-undang pidana sebagai konsumsi publik itu menyebar kebelahan bumi melalui penjajah, dan hal ini dipakai oleh kolonial untuk mematahkan perlawanan pergerakan kebangsaan dikalangan pemimpin pribumi. Istilah ini di Negara Amerika Serikat yang dijajah oleh Inggris dikenal dengan sebutan The Law Of Sedition, sedangkan di Indonesia yang dijajah Belanda dikenal dengan sebutan Hatzaai Artikelen.

92 R. Tresna, Op. cit., hal. 35.

93 Marwan Effendy, Kejaksaan,….Op. cit., hal. 65.

(Kootoo Kensatsu) dan Kejaksaan Pengadilan Agung (Saiko Kensatsu Kyoku). Jepang pun mengubah bidang penuntutan dengan menghilangkan Magistraat dan Officier van Justitie. Tugas dan wewenangnya kemudian dibebankan kepada Penuntut Umum Bumi Putera (Jaksa) di bawah pengawasan Kepala Kantor Kejaksaan bersangkutan yakni seorang Jaksa Jepang. Dengan bertolak pada masa pendudukan Jepang ini, Jaksa menjadi satu-satunya penuntut umum.94

Sejak itu, jaksa benar-benar menjadi Pegawai Penuntut Umum (Tjo Kensatsu Kyokuco) dan berada di bawah pengawasan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kootoo Kensatsu Kyokuco).

95 Peranan Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntut secara resmi difungsikan pertama kali oleh Undang-Undang Pemerintah di zaman pendudukan tentara Jepang Nomor 1/1942 yang kemudian diganti oleh Osamu Seirei Nomor 3/1942, Nomor 2/1944 dan Nomor 49/1944.96

4. Kejaksaan Setelah Periode Kemerdekaan

Setelah Indonesia merdeka, jaksa menjadi satu-satunya lembaga penuntut umum tetap dipertahankan dalam Negara Republik Indonesia. Hal itu ditegaskan dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yang diperjelas oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 1945. Isinya mengamanatkan bahwa sebelum Negara Republik Indonesia membentuk badan-badan dan peraturan negaranya sendiri sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar, maka segala badan dan peraturan

94 Ibid., hal. 66. Lihat juga: R. Tresna,…Op. cit., hal. 42.

95 Rusli Muhammad, Op. cit, hal. 94.

96http://kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=3, diakses tanggal 1 Oktober 2014. Artikel berjudul, “Sejarah Kejaksaan”, dipublikasikan di website Kejaksaan Republik Indonesia.

yang ada masih berlaku. Ketentuan ini sama dengan ketentuan yang digariskan dalam Osamu Seirei Nomor 3/1942, Nomor 2/1944 dan Nomor 49/1944 tetap mempertahankan lembaga Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntutan di Negara Republik Indonesia.

Namun pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS Tahun 1950) dalam bentuk federal yang terdiri dari pusat (federal) dan daerah-daerah, maka susunan Kejaksaan pada masa itu masih terdiri dari Kejaksaan Tingkat Pusat dan Kejaksaan Tingkat Daerah-Daerah Bagian. Kejaksaan pada masa RIS berada di bawah Departemen Kehakiman. Pada tingkat pusat (federal) hanya ada satu instansi kejaksaan yaitu Kejaksaan Agung RIS sebagai Kejaksaan tingkat tertinggi di masa RIS. Masa RIS hanya 7 (tujuh) bulan 20 (dua puluh) hari, RIS belum sempat mengangkat Jaksa Agung Muda dan tidak terdapat keterangan mengenai hubungan fungsional antara Jaksa Agung RIS dan para Jaksa Agung Muda.97

Pada masa demokrasi parlementer (Tahun 1950-1959), Kejaksaan tetap berada di bawah Departemen Kehakiman.98

97 Marwan Effendy, Kejaksaan,….Op. cit., hal. 67-68.

98 http://kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=3, Op. Cit.

Seharusnya setelah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada masa parlementer ini, Kejaksaan Agung dari bekas negara bagian dibubarkan tetapi kenyataannya tidak demikian. Keberadaan Jaksa Agung dari bekas negara bagian tersebut tetap dipertahankan dan diadakan untuk menangani kasus-kasus lama yang belum terselesaikan dan tidak diberikan tugas untuk menangani kasus-kasus baru.

Pada masa demokrasi terpimpin (Tahun 1959-1965) sehubungan dengan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 s/d 11 Maret 1966 terjadi perubahan dalam status Kejaksaan dari lembaga Non Departemen (di bawah Departemen Kehakiman) menjadi lembaga yang berdiri sendiri, bernama Departemen Kejaksaan Republik Indonesia. Dasar hukum perubahan ini adalah Putusan Kabinet Kerja I tanggal 22 Juli 1960 yang kemudian diperkuat dengan Keputusan Presiden Nomor 204 Tahun 1960 tanggal 15 Agustus 1960 yang asasnya berlaku surut mulai tanggal 22 Juli 1960.

Selanjutnya Pemerintah mensyahkan usulan dari DPR-GR dengan mengeluarkan UU Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia.99 Pada masa berlakunya UU Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia ini, Kejaksaan adalah alat negara penegak hukum yang bertugas sebagai penuntut umum100, penyelenggaraan tugas Departemen Kejaksaan dilakukan oleh Menteri/Jaksa Agung sedangkan susunan organisasi Departemen Kejaksaan Kejaksaan diatur dengan Keputusan Presiden.101

99 Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) mengeluarkan Surat Nomor 5263/DPR-GR/1961 tanggal 30 Juni 1961 dan Surat Nomor 5261/DPR-GR/1961 tanggal 30 Juni 1961 perihal Pengesahan Rancangan Undang-Undang Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia, yang disampaikan kepada Presiden untuk disahkan. Akhirnya Pemerintah mensyahkan usulan tersebut dengan mengeluarkan UU Nomor 15 Tahun 1961 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia.

100 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia.

101 Pasal 5 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia.

Kejaksaaan pada masa orde baru (Tahun 1966-1998) mengalami beberapa kali perubahan dalam kekuasaannya baik pergantian pimipinan102, organisasi, dan tata kerjanya. Organisasi kejaksaan pada masa ini berada di bawah koordinasi Wakil Perdana Menteri Pertahanan dan Keamanan. Berdasarkan Surat Keputusan Wakil Perdana Menteri Bidang Pertahanan dan Keamanan Nomor Kep/A/16/1966 tanggal 20 mei 1966 dilakukan perubahan dan pembaharuan mengenai pokok-pokok organisasi Kementerian Kejaksaan, perubahan penting pada masa itu adalah:103

a. Menteri/Jaksa Agung memimpin langsung Kementerian Kejaksaan dengan dibantu oleh tiga orang Deputi Menteri/Jaksa Agung, masing-masing dalam bidang intelijen/operasi, khusus dan pembinaan, dan seorang pengawas umum (Inspektur Jenderal).

b. Ketiga deputi dan pengawas umum dalam melaksanakan tugasnya dipimpin dan dikoordinasikan oleh Menteri/Jaksa Agung.

c. Di bawah para deputi terdapat direktorat-direktorat, bagian, biro, dan seksi, sedangkan di bawah pengawasan umum hanya ada inspektorat-inspektorat.

Kejaksaan Republik Indonesia terus mengalami berbagai perubahan, perkembangan dan dinamika secara terus-menerus sesuai dengan kurun waktu dan perubahan sistem pemerintahan. Sejak awal eksistensinya, hingga kini Kejaksaan Republik Indonesia telah mengalami 22 (dua puluh dua) periode kepemimpinan Jaksa

102 Perubahan pimpinan pertama kali terjadi pada tanggal 27 Maret 1966 dengan digantinya Menteri/Jaksa Agung sehari sebelum dibubarkannya Kabindet Dwikora yang disempurnakan dan diganti dengan Kabinet Dwikora Disempurnakan. Ketika itu organisasi kejaksaan di bawah koordinasi Wakil Perdana Menteri Pertahanan dan Keamanan yang merangkap Menteri Angkatan Darat, Letjen Soeharto.

103 Marwan Effendy, Kejaksaan,….Op. cit., hal. 70.

Agung.104

Susunan organisasi Kejaksaan Republik Indonesia setelah berlakunya Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1991 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia tanggal 20 November 1991, adalah:

Seiring dengan perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, kedudukan pimpinan, organisasi, serta tata cara kerja Kejaksaan Republik Indonesia, juga mengalami berbagai perubahan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat, serta bentuk negara dan sistem pemerintahan.

Pada masa orde baru ada perkembangan baru menyangkut perubahan dari UU Nomor 15 Tahun 1961 menjadi UU Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Perkembangan itu mencakup perubahan mendasar pada susunan organisasi serta tata cara institusi kejaksaan yang didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1991 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia tanggal 20 November 1991.

105

a. Jaksa Agung;

b. Wakil Jaksa Agung;

c. Jaksa Agung Muda Pembinaan;

d. Jaksa Agung Muda Intelijen;

e. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum;

f. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus;

g. Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara;

h. Jaksa Agung Muda Pengawasan;

i. Pusat;

j. Kejaksaan di Daerah:

1) Kejaksaan Tinggi;

2) Kejaksaan Negeri.

104 http://kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=3, diakses tanggal 30 September 2014.

Sejarah Kejaksaan di Situs Resmi Kejaksaan Republik Indonesia.

105 Pasal 4 Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1991 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia.

Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia setelah berlakunya Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1991 hingga sampai saat ini (masa orde reformasi tahun 1998-sekarang) masih tetap berlaku. Akan tetapi mengenai tugas-tugas Kejaksaan terus mengalami perubahan. Selain penuntutan, tugas dan fungsi yang berkaitan dengan wewenang Jaksa Agung pada masa orde reformasi diberi lagi kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) sesuai dengan UU Nomor 26 Tahun 1999 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia. Undang-undang ini memperluas kewenangan Kejaksaan untuk melakukan penyidikan, termasuk UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomo 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga memberikan kewenangan kepada Kejaksaan melakukan penyidikan.

Kejaksaan juga mengalami pengurangan kewenangan di sisi lain dengan dibentuknya KPK. Berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dan Keppres Nomor 266/M/2003, KPK menyerap sebahagian kewenangan penyidikan yang selama ini diperankan oleh Kejaksaan untuk perkara-perkara besar, tanpa mengurangi kewenangan penyidik Kepolisian Republik Indonesia berdasarkan KUHAP dan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.

Munculnya KPK sebagai penyidik dalam perkara tindak pidana koruspi menunjukkan bahwa kondisi di mana sulitnya untuk “menyeret” (memproses hukum) para koruptor yang berlindung di balik kekuatan kroni-korninya. Pengalaman kinerja Kejaksaan Agung tidak efektif dan mengalami banyak hambatan dalam melakukan

penyidikan terhadap perkara Mantan Presiden Soeharta menjadi starting point pembentukan KPK di samping banyak faktor lain yang menjadi penghalang.106 Selain itu, khusus untuk perkara-perkara tipikor, lembaga kejaksaan bukan lagi satu-satunya lembaga penuntutan perkara tipikor, tetapi UU Nomor 30 Tahun 2002, KPK juga diberi tugas melakukan penuntutan terhadap perkara tipikor.107

Berbagai dinamika situasi dan kondisi yang dihadapi oleh Kejaksaan di masa orde reformasi tidak jauh beda dengan yang dihadapi di masa orde baru. Namun hal yang menarik adalah digantinya UU Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia108 menjadi UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.

Susunan organisasi kejaksaan berdasarkan UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan dipersingkat dengan sunanan Kejaksaan yang hanya terdiri dari Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Agung.109

Berdasarkan Pasal 30 UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan semakin mempertegas tugas dan wewenang Kejaksaan, antara lain: tetap melakukan penyidikan dalam perkara tertentu, penuntutan, eksekutor putusan pengadilan, dapat bertindak sebagai Jaksa Pengacara Negara (JPN), melakukan pengawasan dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum.

106 Kejaksaan Agung RI, Profil Jaksa Agung Republik Indonesia dari Masa ke Masa, (Jakarta: Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 2003), hal. 33-40. Lihat juga Marwan Effendy, Kejaksaan,….Op. cit., hal. 73.

107 Pasal 6 huruf c UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

108 Sebelumnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961.

109 Pasal 5 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

B. Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)

Istilah korupsi berasal dari Bahasa Latin yaitu corruptie atau cooruptus. Kata corruptie berasal dari Bahasa Latin yang paling tua yaitu corrumpore.110 Kata-kata tersebut kemudian diikuti di Eropa seperti Bahasa Inggris yaitu cooruption, corrupt, Bahasa Perancis yaitu corruption, Bahasa Belanda yaitu corruptie (korruptie).111 Ensiklopedia Indonesia mendefinisikan corruptio sebagai penyuapan, corrumpore sebagai merusak dan secara luas diartikan sebagai gejala perilaku para pejabat badan-badan negara yang menyalahgunakan kewenangannya sehingga terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.112

Pemikiran dari Prodjohamidjojo, memberikan makna yang hampir sama tentang istilah korupsi. Menurutnya istilah corruptio atau corruptus menunjukkan kekuasaan atau kebobrokan. Pada mulanya pemahaman masyarakat tentang korupsi mempergunakan sumber kamus yang berasal dari bahasa Yunani Latin corruptio yang berarti perbuatan yang tidak baik, buruk, curang, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, melanggar norma-norma agama materil, mental, dan hukum.

113

Lilik Mulyadi memberikan pandangannya mengenai pengertian korupsi secara lebih luas, korupsi merupakan kejahatan, kebusukan, menyangkut suap, perilaku

110 Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Normatif, Teoritis, Praktik, dan Masalahnya, (Bandung: Alumni, 2007), hal. 78.

111 Andi Hamzah, Korupsi Di Indonesia, Masalah dan Pemecehannya, (Jakarta: Gramedia, 1984), hal. 9.

112 Ensiklopedia Indonesia, Jilid 4, (Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve dan elsevier Publishing Project, 1983), hal. 1876.

113 Prodjohamidjojo, M., Penerapan Pembuktian Terbaik Dalam Delik Korupsi (UU No.31 Tahun 1999), (Bandung: Mandar Maju, 2001), hal. 7.

tidak normal, perbuatan bejat, dan ketidakjujuran. Perbuatan ini menjadi tercela karena mengambil yang bukan haknya, tetapi yang berhak untuk itu adalah seluruh warga negara. Perbuatan korupsi kenyataannya menimbulkan keadaan yang bersifat buruk misalnya perbuatan yang jahat dan tercela atau kebejatan moral, penyuapan dan bentuk ketidakjujuran.114

Lembaga Transparancy International mengartikan korupsi sebagai suatu perbuatan yang menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan publik untuk keuntungan pribadi.115

Menurut IGM Nurdjana, unsur menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan (menyangkut sektor publik dan sektor swasta) memiliki akses bisnis dalam mencari keuntungan materi. Keuntungan materi tersebut berupa keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Korupsi tidak selalu hanya untuk pribadi orang yang menyalahgunakan kekuasaan dan kawan-kawannya, tetapi juga untuk memenuhi kepentingan anggota keluarganya.

Berdasarkan pengertian dari Transparancy International tersebut, dapat dipahami bahwa ada tiga unsur penting dalam pengertian tersebut, kepercayaan publik, dan keuntungan pribadi.

116

Kemudian menurut Partanto P.A., dan Al Barry, M.D., mengatakan korupsi mengandung pengertian kecurangan, penyelewenangan atau penyalahgunaan jabatan

114 Lilik Mulyadi, Op. cit., hal. 78-79.

115 P. Pope, Strategi Pemberantasan Korupsi Elemen Sistem Integrias Nasional, (Jakarta:

Transparansi Internasional Indonesia, Yayasan Obor Pancasila, 2003), hal. 6.

116 IGM Nurdjana, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi ”Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 15.

untuk kepentingan diri sendiri, dan pemalsuan.117

Pandangan dari A. Gardiner dan David J. Olson, memberikan beberapa pengertian korupsi dalam berbagai sudut pandangnya yaitu:

Pengertian ini terlalu sempit dalam menerjemahkan arti korupsi, hanya untuk kepentingan diri sendiri, padahal pada faktanya korupsi dilakukan secara berkelompok, bahkan hasil korupsi bisa dibagi-bagikan kepada orang lain atau kelompok-kelompok tertentu yang istilah populernya disebut dengan “korupsi berjamaah”.

118

1. Rumusan korupsi dari sisi pandang pasar, yaitu suatu tindakan seorang abdi negara (pegawai negeri) yang berjiwa korupsi menganggap instansinya sebagai perusahaan dagang sehingga dalam pekerjaannya diusahakan sedapat mungkin pendapatannya bertambah.

2. Rumusan korupsi menekankan pada titik berat perilaku pejabat Pemerintah yang menyimpang dari kewajiban-kewajiban normal dari suatu peran instansi Pemerintah demi kepentingan pribadi, keluarga, golongan, kawan atau teman.

3. Rumusan korupsi menekankan pada titik berat kepentingan umum, bahwa hak-hak yang dikorupsi adalah hak-hak kepentingan umum.

4. Rumusan korupsi menekankan pada perbuatan suap, yaitu suatu perbuatan yang memberikan berupa hadiah kepada seseorang yang menyangkut lingkup jabatannya di bidang kepentingan umum (publik) seperti pejabat Pemerintah.

117 Partanto P.A., dan Al Barry, M.D., Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), hal.

375.

118 A. Gardiner dan David J. Olson dalam IGM. Nurdjana, Op. cit., hal. 16-17.

5. Rumusan korupsi menekankan dari sisi pandang sosiologi, yaitu korupsi adalah penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi seperti halnya sebagai gejala sosial yang rumit.

Rumusan dari A. Gardiner dan David J. Olson tersebut di atas, pada satu sisi semakin menunjukkan subjektifitas pelakunya yaitu tindakan dari para abdi negara (pegawai negeri). Namun di sisi lain, bila diperhatikan dari rumusannya yang mengatakan korupsi dipandang dari sudut gejala sosial yang rumit, maka subjektifitas pelaku korupsi tidak saja tindakan dari para abdi negara.

Rumusan dari A. Gardiner dan David J. Olson tersebut di atas, pada satu sisi semakin menunjukkan subjektifitas pelakunya yaitu tindakan dari para abdi negara (pegawai negeri). Namun di sisi lain, bila diperhatikan dari rumusannya yang mengatakan korupsi dipandang dari sudut gejala sosial yang rumit, maka subjektifitas pelaku korupsi tidak saja tindakan dari para abdi negara.

Dalam dokumen TESIS OLEH CHOIRUN PARAPAT / HK (Halaman 54-0)