• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)

Dalam dokumen TESIS OLEH CHOIRUN PARAPAT / HK (Halaman 66-74)

BAB I : PENDAHULUAN

B. Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)

Istilah korupsi berasal dari Bahasa Latin yaitu corruptie atau cooruptus. Kata corruptie berasal dari Bahasa Latin yang paling tua yaitu corrumpore.110 Kata-kata tersebut kemudian diikuti di Eropa seperti Bahasa Inggris yaitu cooruption, corrupt, Bahasa Perancis yaitu corruption, Bahasa Belanda yaitu corruptie (korruptie).111 Ensiklopedia Indonesia mendefinisikan corruptio sebagai penyuapan, corrumpore sebagai merusak dan secara luas diartikan sebagai gejala perilaku para pejabat badan-badan negara yang menyalahgunakan kewenangannya sehingga terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.112

Pemikiran dari Prodjohamidjojo, memberikan makna yang hampir sama tentang istilah korupsi. Menurutnya istilah corruptio atau corruptus menunjukkan kekuasaan atau kebobrokan. Pada mulanya pemahaman masyarakat tentang korupsi mempergunakan sumber kamus yang berasal dari bahasa Yunani Latin corruptio yang berarti perbuatan yang tidak baik, buruk, curang, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, melanggar norma-norma agama materil, mental, dan hukum.

113

Lilik Mulyadi memberikan pandangannya mengenai pengertian korupsi secara lebih luas, korupsi merupakan kejahatan, kebusukan, menyangkut suap, perilaku

110 Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Normatif, Teoritis, Praktik, dan Masalahnya, (Bandung: Alumni, 2007), hal. 78.

111 Andi Hamzah, Korupsi Di Indonesia, Masalah dan Pemecehannya, (Jakarta: Gramedia, 1984), hal. 9.

112 Ensiklopedia Indonesia, Jilid 4, (Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve dan elsevier Publishing Project, 1983), hal. 1876.

113 Prodjohamidjojo, M., Penerapan Pembuktian Terbaik Dalam Delik Korupsi (UU No.31 Tahun 1999), (Bandung: Mandar Maju, 2001), hal. 7.

tidak normal, perbuatan bejat, dan ketidakjujuran. Perbuatan ini menjadi tercela karena mengambil yang bukan haknya, tetapi yang berhak untuk itu adalah seluruh warga negara. Perbuatan korupsi kenyataannya menimbulkan keadaan yang bersifat buruk misalnya perbuatan yang jahat dan tercela atau kebejatan moral, penyuapan dan bentuk ketidakjujuran.114

Lembaga Transparancy International mengartikan korupsi sebagai suatu perbuatan yang menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan publik untuk keuntungan pribadi.115

Menurut IGM Nurdjana, unsur menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan (menyangkut sektor publik dan sektor swasta) memiliki akses bisnis dalam mencari keuntungan materi. Keuntungan materi tersebut berupa keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Korupsi tidak selalu hanya untuk pribadi orang yang menyalahgunakan kekuasaan dan kawan-kawannya, tetapi juga untuk memenuhi kepentingan anggota keluarganya.

Berdasarkan pengertian dari Transparancy International tersebut, dapat dipahami bahwa ada tiga unsur penting dalam pengertian tersebut, kepercayaan publik, dan keuntungan pribadi.

116

Kemudian menurut Partanto P.A., dan Al Barry, M.D., mengatakan korupsi mengandung pengertian kecurangan, penyelewenangan atau penyalahgunaan jabatan

114 Lilik Mulyadi, Op. cit., hal. 78-79.

115 P. Pope, Strategi Pemberantasan Korupsi Elemen Sistem Integrias Nasional, (Jakarta:

Transparansi Internasional Indonesia, Yayasan Obor Pancasila, 2003), hal. 6.

116 IGM Nurdjana, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi ”Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 15.

untuk kepentingan diri sendiri, dan pemalsuan.117

Pandangan dari A. Gardiner dan David J. Olson, memberikan beberapa pengertian korupsi dalam berbagai sudut pandangnya yaitu:

Pengertian ini terlalu sempit dalam menerjemahkan arti korupsi, hanya untuk kepentingan diri sendiri, padahal pada faktanya korupsi dilakukan secara berkelompok, bahkan hasil korupsi bisa dibagi-bagikan kepada orang lain atau kelompok-kelompok tertentu yang istilah populernya disebut dengan “korupsi berjamaah”.

118

1. Rumusan korupsi dari sisi pandang pasar, yaitu suatu tindakan seorang abdi negara (pegawai negeri) yang berjiwa korupsi menganggap instansinya sebagai perusahaan dagang sehingga dalam pekerjaannya diusahakan sedapat mungkin pendapatannya bertambah.

2. Rumusan korupsi menekankan pada titik berat perilaku pejabat Pemerintah yang menyimpang dari kewajiban-kewajiban normal dari suatu peran instansi Pemerintah demi kepentingan pribadi, keluarga, golongan, kawan atau teman.

3. Rumusan korupsi menekankan pada titik berat kepentingan umum, bahwa hak-hak yang dikorupsi adalah hak-hak kepentingan umum.

4. Rumusan korupsi menekankan pada perbuatan suap, yaitu suatu perbuatan yang memberikan berupa hadiah kepada seseorang yang menyangkut lingkup jabatannya di bidang kepentingan umum (publik) seperti pejabat Pemerintah.

117 Partanto P.A., dan Al Barry, M.D., Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), hal.

375.

118 A. Gardiner dan David J. Olson dalam IGM. Nurdjana, Op. cit., hal. 16-17.

5. Rumusan korupsi menekankan dari sisi pandang sosiologi, yaitu korupsi adalah penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi seperti halnya sebagai gejala sosial yang rumit.

Rumusan dari A. Gardiner dan David J. Olson tersebut di atas, pada satu sisi semakin menunjukkan subjektifitas pelakunya yaitu tindakan dari para abdi negara (pegawai negeri). Namun di sisi lain, bila diperhatikan dari rumusannya yang mengatakan korupsi dipandang dari sudut gejala sosial yang rumit, maka subjektifitas pelaku korupsi tidak saja tindakan dari para abdi negara.

Bila dipandang dari sisi gejala sosial yang rumit, maka masyarakat (selain abdi negara) yang menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi juga termasuk dalam rumusan A. Gardiner dan David J. Olson tersebut. Contohnya, orang yang berjualan barang dagangannya di atas bahu jalan raya milik umum, juga termasuk dalam rumusan ini sebagai perbuatan korupsi.

Kemudian pendapat Brooks tentang rumusan korupsi adalah “dengan sengaja melakukan kesalahan atau kelalaian tugas yang diketahui sebagai kewajiban atau tanpa hak menggunakan kekuasaan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang sedikit banyak bersifat pribadi”. Sayed Hussein Alatas tidak sependapat dengan Brooks dan mengatakan definisi Brooks sangat luas sehingga perlu dimodifikasi agar dapat juga mencakup nepotisme, sebab korupsi pada umumnya melibatkan

orang-orang terdekat, teman-teman dalam satu instansi bahkan antar instansi, dan keluarga.119

119 Brooks dalam Sayed Hussein Alatas, Korupsi Sebab Sifat dan Fungsi, (Jakarta: LP3ES, 1987), hal. 1, lihat juga Prodjohamidjojo, M., Op. cit., hal. 11.

Pemikiran Sayed Hussein Alatas ini tampaknya mendasarkan pengertian pada

“korupsi berjamaah”, korupsi tidak saja dapat dilakukan oleh orang seorang secara sendiri-sendiri, tetapi cenderung dilakukan secara bersama-sama, atau bahkan melibatkan orang-orang terdekat, keluarga, dan teman sejawat. Bukan tidak mungkin korupsi dilakukan secara sendiri, tetapi yang paling umum terjadi dalam praktik adalah perbuatan itu dilakukan lebih dari satu orang atau melibatkan orang lain.

Korupsi erat kaitannya dengan Kolusi dan Nepotisme (KKN), masalah ketiga unsur ini bukan saja sebagai masalah nasional suatu negara, tetapi sudah menjadi masalah dunia internasional yang harus dicegah dan diberantas. Ketiga kata ini memiliki batasan yang sangat tipis karena dalam praktik, sering kali menjalin hubungan dalam satu kesatuan tindakan yang utuh dan merupakan unsur-unsur dari perbuatan korupsi.

Ketercelaan terhadap korupsi karena perbuatan tersebut menyangkut pengambilan dana-dana atau uang negara yang menjadi hak bagi semua orang atau warga negara dalam satu negara tertentu. Pada faktanya perilaku korupsi dilakukan secara sistemik, misalnya antara korupsi, kolusi, dan nepotisme selalu memiliki korelasi kuat dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya.

Menimbang, mengingat, dan memperhatikan dampak yang ditimbulkan dari perbuatan korupsi, baik dalam lingkup nasional maupun internasional, masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dicegah dan diberantas. Pembiaran dengan segala persoalan menyangkut lemahnya penegakan hukum terhadap korupsi, membuat sebuah negara menemukan kesulitan dalam membangun menuju negara yang sejahtera, adil, dan makmur.

Sementara menurut Suyatno, mendefinisikan korupsi begantung pada disiplin ilmu yang dipergunakan. Menurutnya, pengertian korupsi harus didefinisikan menjadi 4 (empat) jenis yaitu:120

1. Discretionary corruption, yaitu korupsi yang dilakukan karena danya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya bersifat sah, namun bukanlah merupakan praktik-praktik yang dapat diterima oleh anggota organisasi;

2. Illegal corruption, yaitu suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, dan peraturan tertentu;

3. Marceney corruption, ialah suatu jenis tindakan untuk memperoleh keuntungan pribadi melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan;

4. Ideological corruption, yaitu jenis korupsi illegal maupun discretionay yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok.

Pendapat Suyatno tersebut memandang korupsi pada suatu pengecualian, bilamana dapat dilaksanakan dengan sutuasi dan kondisi tertentu dan wajib diambil keputusan, jika tidak bisa mendatangkan malapetaka atau bahkan kerugian negara yang lebih dahsyat. Prinsip dalam pengecualian ini menurutnya adalah diskresi.

Prinsip diskresi ada sehubungan dengan adanya kebebasan pejabat publik dalam

120 Suyatno, Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), hal. 17.

mengambil kebijakan (beschiking) yang terkadang harus menimbulkan risiko, tuduhan korupsi atau pujian.

Korupsi merupakan suatu perbuatan yang melawan hukum baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merugikan perekonomian atau keuangan negara. Secara substantif perbuatan itu dipandang sebagai perbuatan yang tercela, bertentangan dengan nilai-nilai keadilan masyarakat. Sehingga oleh pembuat undang-undang dikriminalisasi menjadi tindak pidana korupsi dalam suatu undang-undang-undang-undang.

Sebagaimana menurut M. Lubis dan Scott J.C., korupsi adalah tingkah laku yang menguntungkan kepentingan diri sendiri dengan merugikan orang lain, oleh para pejabat pemerintah yang langsung melanggar batas-batas hukum atas tingkah laku tersebut, sedangkan menurut norma-norma pemerintah dapat dianggap korupsi adalah tercela apabila hukum dilanggar atau tidak berada dalam tindakan sesuai dengan wewenang.121

121 M. Lubis dan Scott, J.C., Korupsi Politik, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), hal.

19.

Pandangan ini sejalan dengan tujuan untuk mengkriminalisasi korupsi menjadi sejenis tindak pidana di dalam suatu undang-undang.

Pandangan tentang korupsi akan ambivalen jika diukur dari perbuatan yang tercela saja, namun untuk dapat dihukum atau tidak dapat dihukum sebagai perbuatan tercela, maka harus terlebih dahulu dikriminalisasi menjadi sebuah tindak pidana dalam suatu undang-undang. Hal ini sejalan dengan asas legalitas yang ditentukan di dalam Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana yang berarti menegaskan suatu prinsip kepastian hukum di dalam negara hukum.

Walaupun sebahagian kalangan memberikan pengertian korupsi juga menyangkut makna yang lebih luas termasuk yang tidak diatur dalam undang-undang, namun pengertian tersebut tidak bisa diakomodasi dalam penegakan hukum korupsi, sebab Indonesia menganut sistim hukum eropa kontinental yang berprinsip pada kepastian hukum yang ditentukan dalam undang-undang. Sehingga pengertian-pengertian yang sangat sederhana dan terlalu luas itu tidak dapat dijadikan tolok ukur atau standar untuk menghukum pelaku korupsi.

Pengertian korupsi yang menjadi tolok ukur untuk mengatakan suatu perbuatan itu sebagai tindak pidana adalah perbuatan yang telah dilarang di dalam UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah melalui UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK). Sehingga pemahaman tentang korupsi hanya dibatasi pada pengertian yuridis saja di dalam UUPTPK

Pembatasan ini ditekankan agar makna korupsi tidak meluas dalam hubungannya dengan kewenangan aparat penegak hukum menangani perkara-perkara pidana khususnya perkara tipikor. Pengertian tipikor hanya difokuskan pada ruang lingkup perbuatan yang dilarang dalam UUPTPK saja. Sehingga dengan dikriminalisasinya korupsi ke dalam UUPTPK, maka kata korupsi menjadi sebuah tindak pidana yang disebut dengan tipikor yang berarti dilarang oleh hukum di Indonesia atau perbuatan korupsi terkategori sebagai perbuatan yang illegal.

C. Ketentuan Perundang-Undangan Yang Mengatur Wewenang Kejaksaan

Dalam dokumen TESIS OLEH CHOIRUN PARAPAT / HK (Halaman 66-74)