• Tidak ada hasil yang ditemukan

UU Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Perdagangan Orang

Bab V berisi tentang kesimpulan dari keseluruhan skripsi ini serta saran dari penulis mengenai permasalahan dalam skripsi ini

PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN EKSPLOITASI

B. Menurut Undang-Undang di Luar KUHP

4. UU Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Perdagangan Orang

Tindak pidana perdagangan orang (TPPO) sudah barang tentu merupakan tindak pidana yang sangat melanggar hak asasi manusia yang mana tidak hanya terlihat dari bentuk tindakannya namun juga akibat yang ditimbulkan bagi korban tindak pidana perdagangan orang khususnya pada anak.93

Jaminan terhadap perlindungan atas anak yang menjadi korban perdagangan orang (child trafficking) secara umum telah diamanatkan di dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 28 b ayat (2) yaitu “Hak anak untuk kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.94

Tindak pidana perdagangan orang yang saat ini masih menjadi permasalahan dalam kehidupan masyarakat. Perdagangan orang yang dilakukan meliputi proses perekrutan hingga hingga tindakan jual beli orang. Adanya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang sebagai perlindungan atas tindakan perdagangan orang.

Kebijakan hukum dalam ranah perdagangan orang tidak hanya menyangkut elemen pemerintah pusat namun juga terkait dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Undang-undang sebagai instrumen peraturan yang ada di

92 Ibid, pasal 65.

93

http://jurnalhukumdanperadilan.org/index.php/jurnalhukumperadilan/article/view/36/46

Indonesia dilandasi adanya kebijakan daerah untuk melindungi warganya.

Perdagangan orang tidak lepas dari berbagai pihak. Hal ini menyangkut berbagai aspek elemen masyarkat yang terlibat di dalamnya. Diperlukan pencegahan yang menyeluruh agar tidak terjadi perdagangan orang. Dalam hal ini pemangku jabatan sekaligus penegak hukum harus berperan dalam penindakan dan perlindungan atas perdagangan orang.

Secara historis, perdagangan orang dapat dikatakan sebagai perbudakan dan juga melanggar hak asasi manusia. Kondisi ini berkembang pada masyarakat ekonomi yang memiliki tingkat ekonomi lemah, pemahaman agama atau moralitas yang kurang, dan bergantung pada kelompok masyarakat ekonomi kuat.

Alasan yang diberikan oleh korban umumnya perbuatan mereka adalah legal dengan dasar perjanjian. Pelanggaran hak asasi manusia yang berupa perbudakan umumnya berupa perampasan kebebasan dari seseorang, yang dilakukan oleh kelompok ekonomi kuat kepada kelompok ekonomi lemah. Maka, atas dasar itu pencegahan perdagangan orang dalam perspektif pelanggaran hak asasi manusia harus dilakukan secara komprehensif dan integral, yang dapat dilakukan melalui tataran kebijakan hukum pidana dengan cara legislasi, eskekusi, dan yudikasi.

Perdagangan orang adalah bentuk kejahatan yang resikonya rendah namun besar perolehan keuntungannya. Sifat kejahatannya yang sangat sistematis dan mekanisme-mekanisme canggih yang digunakan berpadu dengan kenyataan masih banyaknya negara yang belum memiliki hukum ataupun peraturan perundang-undangan sebagai instrumen untuk memberantas kejahatan ini. Walaupun begitu, kalaupun sudah ada penegakan hukumnya masih lemah, sehingga banyak terjadi

47

kasus dimana pelaku kejahatan perdagangan orang dilepaskan dengan mudahnya sedangkan korbannya diperlakukan sebagai penjahat. Persoalan perdagangan orang saat ini telah menjadi suatu keprihatinan bagi dunia internasional. Hal ini mengingat sejumlah pelanggaran Hak Asasi Manusia (dan untuk selanjutnya disingkat menjadi HAM) dianggap sebagai penyebab dan sekaligus akibat dari perdagangan orang. Pelanggaran HAM yang dimaksud seperti kerja paksa, eksploitasi seksual dan tenaga kerja, kekerasan, serta perlakuan sewenang-wenang terhadap para korbannya. Para pelaku perdagangan orang secara licik telah mengeksploitasi kemiskinan, memanipulasi harapan dan kepolosan dari para korbannya dengan menggunakan ancaman, intimidasi dan kekerasan untuk membuat para korban menjalani perhambaan terpaksa, menjalani, menjalani perhambaan karena hutang (debt bondage), dan perkawinan terpaksa atau palsu, terlibat dalam pelacuran terpaksa atau untuk bekerja dibawah kondisi yang sebanding dengan perbudakan untuk keuntungan bagi si pedagang.

UU No. 21 tahun 2007 ditujukan untuk memberantas perdagangan orang antara lain melalui upaya pencegahan, perlindungan, penindakan dan integrasi masyarakat, dengan harapan masyarakat dapat terlindungi. Dengan maraknya kasus perdagangan orang ini termasuk yang belum dapat ditangani lebih lanjut maka upaya pencegahan perdagangan berdasarkan UU No. 21 tahun 2007 menjadi sangat signifikan terutama ditinjau dari sisi pertahanan terhadap keselamatan bangsa dari adanya ancaman perdagangan manusia.

Perdagangan orang juga harus memenuhi unsur-unsur lainnya yang ditetapkan dalam Pasal-pasal 2, 3, 4, 5 dan 6 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yaitu: 95

1. Jika perbuatan sebagaimana dimaksud di atas mengakibatkan orang tereksploitasi.

2. Setiap orang yang memasukkan orang ke wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah negara Republik Indonesia atau dieksploitasi di negara lain.

3. Setiap orang yang membawa Warga Negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia.

4. Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi.

5. Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dari sekolah, apabila keluarga mengalami krisis ekonomi atau krisis pangan.

Pada saat era globalisasi seperti sekarang ini, perbudakan marak kembali dalam wujudnya yang illegal dan terselubung berupa perdagangan orang melalui bujukan, ancaman penipuan dan rayuan untuk direkrut dan dibawa ke daerah lain bahkan ke luar negeri untuk diperjualbelikan dan diperkerjakan di luar

95 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

49

kemauannya sebagai pekerja seks, pekerja paksa dan atau bentuk-bentuk eksploitasi lainnya.

Saat ini, perdagangan orang merupakan masalah yang menjadi perhatian luas di asia bahkan seluruh dunia. Perdagangan orang terjadi tidak hanya menyangkut di dalam Negara Indonesia saja yaitu perdagangan orang ke Negara-negara lain. Maraknya isu perdagangan orang ini diawali dengan semakin meningkatnya pencari kerja bak laki-laki maupun perempuan bahkan anak-anak untuk bermigrasi ke luar daerah sampai ke luar negeri guna mencari pekerjaan.

Kurangnya pendidikan dan keterbatasan informasi ang dimiliki menyebabkan mereka sangat rentan terjebak dalam perdagangan orang

Anak-anak dan perempuan merupakan pihak yang rentan menjadi korban trafficking dan eksploitasi. Mereka yang menjadi korban sebagian besar berasal dari kelompok masyarakat yang rentan. Faktor-faktor yang melatarbelakangi Kasus Perdagangan Anak (Child Trafficking) antara lain:96

1. Kurangnya Kesadaran: Banyak anak dibawah umur yang bermigrasi untuk mencari kerja baik di Indonesia ataupun di luar negeri tidak mengetahui adanya bahaya child trafiking dan tidak mengetahui cara-cara yang dipakai untuk menipu atau menjebak mereka dalam pekerjaan yang disewenang-wenangkan atau pekerjaan yang mirip perbudakan.

96

https://www.kpai.go.id/artikel/temuan-dan-rekomendasi-kpai-tentang-perlindungan-2. Kemiskinan: Kemiskinan telah memaksa banyak keluarga untuk merencakanan strategi penopang kehidupan mereka termasuk memperkerjakan anak-anaknya karena jeratan hutang.

3. Keinginan Cepat Kaya: Keinginan untuk memiliki materi dan standar hidup yang lebih tinggi memicu terjadinya migrasi dan membuat keluarga anak yang bermigrasi rentan terhadap child trafiking.

4. Faktor Budaya: Faktor-faktor budaya berikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya child trafiking:

a) Peran Anak dalam Keluarga: Kepatuhan terhadap orang tua dan kewajiban untuk membantu keluarga membuat anak-anak rentan terhadap trafiking.

Buruh/pekerja anak, anak bermigrasi untuk bekerja, dan buruh anak karena jeratan hutang dianggap sebagai strategi-strategi keuangan keluarga yang dapat diterima untuk dapat menopang kehidupan keuangan keluarga.

b) Perkawinan Dini: Perkawinan dini mempunyai implikasi yang serius bagi para anak perempuan termasuk bahaya kesehatan, putus sekolah, kesempatan ekonomi yang terbatas, gangguan perkembangan pribadi, dan seringkali, juga perceraian dini. Anak-anak perempuan yang sudah bercerai secara sah dianggap sebagai orang dewasa dan rentan terhadap trafiking disebabkan oleh kerapuhan ekonomi mereka.

c) Jeratan Hutang: Praktek menyewakan tenaga anggota keluarga untuk melunasi pinjaman merupakan strategi penopang kehidupan keluarga yang dapat diterima

51

oleh masyarakat. Anak yang ditempatkan sebagai buruh karena jeratan hutang khususnya, rentan terhadap kondisi-kondisi yang sewenang-wenang dan kondisi yang mirip dengan perbudakan.

5. Kurangnya Pencatatan Kelahiran: Orang tanpa pengenal yang memadai lebih mudah menjadi mangsa trafiking karena usia dan kewarganegaraan mereka tidak terdokumentasi. Anak-anak yang ditrafik, misalnya, lebih mudah diwalikan ke orang dewasa manapun yang memintanya.

6. Kurangnya Pendidikan: Orang dengan pendidikan yang terbatas memiliki lebih sedikit keahlian/skill dan kesempatan kerja dan mereka lebih mudah ditrafik karena mereka bermigrasi mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian.

7. Korupsi & Lemahnya Penegakan Hukum: Pejabat penegak hukum dan imigrasi yang korup dapat disuap oleh pelaku trafiking untuk tidak mempedulikan kegiatan-kegiatan yang bersifat kriminal. Para pejabat pemerintah dapat juga disuap agar memberikan informasi yang tidak benar pada kartu tanda pengenal (KTP), akte kelahiran, dan paspor yang membuat buruh migran lebih rentan terhadap trafiking karena migrasi ilegal. Kurangnya budget/anggaran dana negara untuk menanggulangi usaha-usaha trafiking menghalangi kemampuan para penegak hukum untuk secara efektif menjerakan dan menuntut pelaku trafiking.

Pada dasarnya bentuk-bentuk atau model perlindungan terhadap korban kejahatan dapat diberikan kepada korban tindak pidana perdagangan orang, untuk dapat mendalami bentuk-bentuk atau model perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada korban, yaitu sebagai berikut: 97

1. Pemberian Restitusi dan Kompensasi

2. Layanan Konseling dan Pelayanan/Bantuan Medis 3. Bantuan Hukum

4. Pemberian Informasi

Selain itu, UU ini juga memberikan perhatian yang besar terhadap penderitaan korban sebagai akibat tindak pidana perdagangan orang dalam berbagai macam bentuk-bentuk perlindungan hukum, diantaranya: hak restitusi, rehabilitasi dan lain-lain yang diatur dalam beberapa pasal di UU ini, yang harus dilakukan oleh Negara khususnya bagi yang mengalami penderitaan fisik, psikis, dan sosial akibat tindak pidana perdagangan orang.

Perlindungan hukum bagi korban yang menjadi korban perdagangan orang sangatlah penting, maka dilakukan berbagai upaya agar mereka mendapatkan hak untuk menjadi manusia yang bermanfaat sebelum kembali ke tengah-tengah masyarakat. Serta upaya pemberdayaan secara ekonomi dan pendidikan agar korban tidak terjebak kembali dalam perdagangan orang.

97 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita Edisi 1, (Jakarta: Raja Grafido Persada), 2007, hlm. 166- 167.

53

Perlindungan korban, pada dasarnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari permasalahan hak asasi manusia, dan hak korban itu sendiri merupakan bagian yang tak terisahkan dari konsep hak asasi manusia. Karena itu, bila hak asasi manusia tersebut terancam atau diganggu, perlu adanya jaminan perlindungan hukum bagi korban.

Undang-undang No. 21 Tahun 2007 yaitu, Pasal 43 s/d 55 secara garis besar berisikan tentang bagaimana saksi dan korban dalam tindak pidana perdagangan orang itu mendapatkan perlindungan hukum sehingga hak-hak saja bisa terpenuhi.

Pasal 43 s/d Pasal 55 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 secara umum memuat atau mengatur hal-hal sebagai berikut: 98

1. Mengacu pada UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban.

2. Saksi, korban dan keluarga berhak memperoleh kerahasiaan identitas.

3. Korban berhak memperoleh restitusi dalam bentuk ganti kerugian.

4. Korba berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi social, pemulangan.

5. Untuk melindungi korban di setiap provinsi, kab/kota wajib dibentuk pelayanan khusus dan pelayanan terpadu.

Korban kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana, tidak memperoleh perlindungan sebanyak

98 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

yang diberikan undang-undang kepada pelaku kejahatan. Akibatnya, setelah pelaku kejahatan telah dijatuhi sanksi pidana oleh pengadilan, kondisi korban tidak dipedulikan. Padahal keadilan dan penghormatan Ham tidak hanya berlaku terhadap pelaku kejahatan saja, tetapi juga korban kejahatan yang akibatnya dapat dirasakan seumur hidup.

Penyelesaikan perkara pidana, seringkali hukum terlalu mengedepankan hak-hak tersangka atau terdakwa, sementara hak-hak korban diabaikan, sebagaimana dikemukakan oleh Andi Hamzah bahwa, “ Dalam membahas hukum acara pidana khususnya yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia, ada kecenderngan untuk mengupas hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak tersangka tanpa memperhatikan pula hak-hak para korban”.99

Selain itu, korban kejahatan kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai, baik perlindungan yang sifatnya immateriil amupun materiil, korban ditempatkan sebagai alat bukti yang memberikan keterangan, yaitu hanya sebagai saksi, sehingga kecil kemungkinan untuk memperoleh keleluasaan untuk memperjuangkan haknya, belum lagi adanya tekanan-tekanan atau ancaman-ancaman dari pihak-pihak tertentu dantrauma atau ketakutan serta perasaan tidak aman. Jadi, korban hanya pelengkap atau sebagai bagian dari alat bukti bukan pencari keadilan.

Kaitannya dengan upaya perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perdagangan orang, maka upaya perlindungan hukum bagi masyarakat

99 Andi Hamzah, Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Bandung, Binacipta, 1986, hal.33.

55

menjadi penting. Hal tersebut disebabkan masyarakat baik kelompok maupun perorangan dapat sewaktu-waktu menjadi korban kejahatan perdagangan orang.

Perlindungan terhadap korban juga untuk melindungi korban, sehingga dapat melaksanakan hak dan kewajiban secara manusia dan seimbang kembali seperti sebelum menjadi korban tindak pidana perdagangan orang.

BAB III

PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU EKSPLOITASI