• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab V berisi tentang kesimpulan dari keseluruhan skripsi ini serta saran dari penulis mengenai permasalahan dalam skripsi ini

PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN EKSPLOITASI

B. Menurut Undang-Undang di Luar KUHP

3. Perlindungan Terhadap Anak Saksi

Anak sebagai saksi sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak:

“Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut anak saksi adalah anak yang belum berumur 18 tahun yang dapat memberikan keterangan

guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri”.

Pengaturan mengenai saksi anak alam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak diatur dalam Bab VII pada Pasal 89 s/d Pasal 91. Pada Pasal 89 disebutkan bahwa Anak Korban dan/atau Anak Saksi berhak atas semua perlindungan dan hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

UU SPPA ini memberikan kemudahan bagi anak saksi atau anak korban dalam memberikan keterangan di pengadilan. Saksi/korban yang tidak dapat hadir untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan dengan alasan apapun dapat memberikan keterangan di luar sidang pengadilan melalui perekaman elektronik yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan setempat, dengan dihadiri oleh Penyidik atau Penuntut Umum, dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya yang terlibat dalam perkara tersebut. Anak saksi/korban juga diperbolehkan memberikan keterangan melalui pemeriksaan jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi audiovisual. Pada saat memberikan keterangan dengan cara ini, anak harus didampingi oleh orang tua/Wali, Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lainnya (Pasal 58 ayat (3) UU SPPA).

Perlindungan terhadap anak merupakan kewajiban dan tanggung jawab kita semua, anak korban harus mendapatkan perhatian dan perlindungan terhadap hak-haknya. Penanganan perkara anak yang berhadapan dengan hukum khususnya korban anak, harus ditangani secara khusus baik represif maupun tindakan preventif demi menciptakan masa depan anak yang baik dan sejahtera.

39

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak membagi tiga bagian terhadap anak yang perkara dengan hukum, hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa: 88

“Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut sebagai anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.”

Dari ketentuan Pasal 1 ayat (4) tersebut dapat kita ketahui bahwa yang dimaksud dengan anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami suatu tindak pidana. Kasus yang dialami oleh anak akhir-akhir ini cendrung mengalami peningkatan hal ini dapat kita lihat dari pemberitaan yang ada baik melalui media cetak maupun elektronik, melihat kondisi yang ada dibutuhkan suatu upaya yang serius dalam menanggulangi tindak kekerasan terhadap anak. Peran aktif dari para aparat penegak hukum dalam menanggulangi kejahatan terhadap anak sangat diperlukan sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 90 ayat (1) menjelaskan bahwa Anak korban dan Anak saksi berhak atas“ upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, baik di dalam lembaga maupun di luar lembaga”. Yang dimaksud dengan rehabilitasi medis tersebut adalah proses kegiatan pengobatan secara terpadu dengan memulihkan kondisi fisik anak, anak korban dan atau anak saksi. Kemudian yang dimaksud dengan rehabilitasi sosial adalah proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik,

mental maupun sosial, agar anak korban, dan atau anak saksi dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan di masyarakat.

Selain hak-hak anak sebagai korban yang didapat berupa ganti kerugian, terdapat beberapa hak anak sebagai korban untuk mendapatkan bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial. Bantuan rehabilitasi psikososial adalah bantuan yang diberikan oleh psikolog kepada korban yang menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaan korban. Tujuan dari kewajiban mengganti kerugian, yaitu:

a. Meringankan penderitaan korban

b. Sebagai unsur yang meringankan hukuman yang akan dijatuhkan c. Sebagai salah satu cara merehabilitasi terpidana, dan

d. Mempermudah proses peradilan.

3. Undang-Undang No. 31 Tahun Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Perlindungan hukum merupakan suatu bentuk pelayanan yang wajib diberikan oleh pemerintah untuk memberikan rasa aman kepada setiap warga masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Negara bertanggung jawab atas perlindungan Hak Asasi Manusia merupakan suatu hal yang sangat penting. Seperti yang jelas diurauikan dalam Pasal 28I ayat (4) Undang-undang Dasar (UUD) Tahun 1945 yang berbunyi: “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”

41

Pentingnya perlindungan hukum terhadap setiap masyarakat inilah yang menjadi salah satu alasan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang di undangkan pada 11 Agustus 2006. Dalam Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, diatur pula tentang sebuah lembaga yang bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban, yang dinamakan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). LPSK bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan bantuan kepada saksi dan korban. Lingkup perlindungan oleh LPSK adalah pada semua tahap proses peradilan pidana, agar saksi dan/atau korban merasa aman ketika memberikan keterangan

Penjelasan Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan bahwa: Perlindungan Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana di Indonesia belum diatur secara khusus. Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya mengatur perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa untuk mendapat perlindungan dari berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, sudah saatnya perlindungan Saksi dan Korban diatur dengan undang-undang sendiri.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak (selanjutnya disebut Undang-Undang Perlindungan Anak) berlaku apabila korban adalah anak, yaitu orang yang belum mencapai usia 18 tahun.

Anak yang menjadi korban tindak pidana adalah anak yang telah mengalami penderitaan fisik/psikis/seksual/sosial sebagai akibat perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan orang/kelompok orang/lembaga/negara.

Sehubungan perlindungan ABH (sebagai tersangka, terdakwa, terpidana atau sebagai korban, saksi atau pihakpihak yang berhadapan dengan hukum), kiranya pemahaman terhadap perundangundangan yang terkait sangat diperlukan.89 Untuk itu di dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban ini terdapat perlidungan terhadap anak sebagai korban kejahatan khususnya kejahatan seksual, berhak memperoleh perlindungan seperti:

Pasal 5 ayat (1)

“Saksi dan Korban berhak:

a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya;

b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;

c. Memberikan keterangan tanpa tekanan;

d. Mendapat penerjemah; Hak ini diberikan kepada Saksi dan Korban yang tidak menguasai bahasa Indonesia;

e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;

f. Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus; Yang dimaksud dengan “informasi” adalah dalam bentuk keterangan lisan dan tertulis;

89 Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban & Saksi, Jakarta, Sinar Grafika, 2011, hal.74

43

g. Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;

h. Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;

i. Dirahasiakan identitasnya;

j. Mendapat identitas baru;

k. Mendapat tempat kediaman sementara;

l. Mendapat tempat kediaman baru;

m. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;

n. Mendapat nasihat hukum;

o. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir; dan/atau

p. Mendapat pendampingan.”

Pasal 6 ayat (1)

“Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, korban tindak pidana terorisme, korba tindak pidana perdagangan orang, korban tindak pidana penyiksaan, korba tindak pidana kekerasan seksual dan korba penganiayaan berat, selain berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak mendapatkan:

a. Bantuan medis; dan

b. Bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis.”

“Bantuan medis” yang dimaksud pada pasal diatas adalah bantuan yang diberikan untuk memulihkan kesehatan fisik korban, termasuk melakukan pengurusan dalam hal korban meninggal dunia misalnya, pengurusan jenazah hingga pemakaman. Sedangkan yang dimaksud dengan “rehabilitasi psikososial”

adalah semua bentuk pelayanan dan bantuan psikologis serta sosial yang ditujukan untuk membantu meringankan, melindungi dan memulihkan kondisi fisik,

sosialnya kembali secara wajar, antara lain LPSK berupaya melakukan peningkatan kualitas hidup korban dengan melakukan kerja sama dengan instansi terkait yang berwenang berupa bantuan pemenuhan sandang, pangan, papan, bantuan memperoleh pekerjaan, atau bantuan kelangsungan pendidikan. Yang dimaksud dengan “rehabilitasi psikologis” adalah bantuan yang diberikan oleh psikolog kepada korban yang menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaan korban.

Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undangundang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menganut pengertian korban dalam arti luas, yaitu seseorang yang mengalami penderitaan fisik atau mental atau ekonomi saja, tetapi bisa juga kombinasi diantara ketiganya. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang menyebutkan :90

“Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”.

Perundang-undangan dimaksud melarang prakti-praktik perbudakan, praktik serupa perbudakan, perdagangan budak, perdagangan perempuan dan semua tindakan lain dengan tujuan serupa.91 Perlindungan HAM terhadap anak akibat perdagangan orang adalah wajib karena setiap anak berhak mendapat perlindungan dari perbuatan eksploitasi seksual, pelecehan, penculikan,

90 Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

91 Pasal 20 UU HAM.

45

perdagangan anak, dan berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat aditif lainnya, berkaitan dengan obat-obatan terlarang.92

4. UU Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana