• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Obesitas

2.2.1 Definisi

Obesitas adalah ketidakseimbangan energi dengan pengeluaran energi dan asupan energi yang melebihi, serta didefinisikan sebagai indeks massa tubuh (IMT) > 25 menurut kriteria asia pasifik. Peningkatan massa lemak tubuh juga dinyatakan dalam kelainan metabolik yang meningkat selama dua dekade terakhir secara signifikan. Obesitas menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia, serta menjadi faktor resiko untuk berbagai penyakit diantaranya hipertensi, stroke, penyakit hepatobilier, perlemakan hati dan lainnya.1

Penyebab dari obesitas adalah multifaktorial, seperti herediter (gen), pola makan (asupan energi), aktivitas fisik termasuk diantaranya adalah kurang berolahraga, gangguan hormonal (cushing, hipotiroid, cedera hipotalamus), budaya, status sosial ekonomi.1,13

2.2.2 Epidemiologi

Sekitar 1,2 miliar orang didunia memiliki kelebihan berat badan (overweight) dan 300 juta dari mereka terkena obesitas. Menurut WHO obesitas merupakan satu dari 10 resiko masalah kesehatan yang paling dapat dicegah. Di Amerika Serikat setidaknya 300.000 kematian setiap tahun terjadi akibat obesitas, namun dikaitkan dengan penyakit lainnya seperti hipertensi, obesitas, hiperkolesterolemia dan penyakit hati. Prevalensi angka kejadian obesitas di Eropa dan negara maju lainnya yaitu 15-20% dari populasi. Hsil penelitian melaporkan bahwa angka obesitas juga terjadi peningkatan di regio Asia Pasifik yang dikaitkan pula dengan meningkatnya angka kejadian dm tipe 2.30 Prevalensi peningkatan angka kejadian obesitas di dunia yaitu dari tahun 1980 hingga 2013 adalah 28,8% menjadi 36,9 untuk laki-laki, serta 29,8% menjadi 38% untuk

perempuan.8

Sedangkan di Indonesia berdasarkan data Riskesdas tahun 2007, prevalensi nasional obesitas sentral pada penduduk umur ≥15 tahun adalah 18,8%, serta menurut jenis kelamin 13,9 untuk laki-laki dan 23,8 untuk perempuan. Data nasional ini juga mejelaskan masalah gizi pada penduduk dewasa di atas 18 tahun adalah 12,6% kurus, dan 21,7% gabungan kategori berat badan lebih dan obese, yang bisa juga disebut obesitas. Presentase obesitas berdasarkan provinsi DKI Jakarta sendiri yaitu 15%, menduduki 3 provinsi dengan angka kejadian tertinggi di Indonesia. Prevalensi tertinggi untuk obesitas adalah di Provinsi Sulawesi Utara 37,1%, dan yang terendah adalah 13,0 persen di provinsi Nusa Tenggara Timur.9

2.2.3 Patogenesis

Melibatkan interaksi antara sitokin, hormon dan neurotransmiter. Adiposit mensekresikan sejumlah hormon dan sitokin yang dikenal sebagai "adipokin" dalam Tabel 2.9. Adipokin berperan dalam pengaturan asupan makanan, penyimpanan lipid dan metabolisme, sensitivitas insulin, sistem alternatif komplemen, homeostasis vaskular, regulasi tekanan darah, angiogenesis, inflamasi, respon imun, reproduksi wanita dan regulasi metabolisme energi. Akumulasi lemak viseral menyebab disfungsi adiposit yang menghasilkan perubahan dalam regulasi dan interaksi hormon serta sitokin yang berkontribusi terhadap penyebab dan komplikasi obesitas.1

Pengatuan nafsu makan dan kenyang terjadi melalui regulasi neuroendokrin untuk kebiasaan makan, metabolisme energi, dan massa lemak tubuh. Rangkaian ini kompleks dan diatur oleh rangkaian dinamis molekul sinyal dari periferal yang bekerja pada kontrol central termasuk batang otak, hipotalamus, dan sistem saraf otonom. Ketidakseimbangan sistem ini biasanya berhubungan dengan asupan kalori yang berlebihan yang erat kaitannya dengan peningkatan berat badan dan obesitas.1

Nukleus arkuatus (ARC) di hipotalamus memiliki dua set neuron dengan efek yang berlawanan yang saling berinteraksi untuk mengatur dan menyeimbangkan asupan makanan dan metabolisme energi. Satu set neuron menghasilkan neuropeptida Y (NPY) dan agouti-related protein (AGRP) yang

merangsang man dan menurunkan metabolisme (anabolik). Set neuron lainnya

mensitesis pro-opiomelanocortin (POMC) produksi peptida dan kokain serta

amphetamine regulated transcripsi (CART), yang selanjutnya dikenal dengan

neuron POMC/CART. Mereka menghambat makan dan meningkatkan

metabolisme (katabolik). Kedua set neuron tersebut mengaktifkan neuron orde kedua di hipotalamus yang meningkat atau menurunkan nafsu makan serta

metabolisme energi dalam gambar 2.6.1

Gambar 2.6 Kontrol Neuroendokrin dalam Asupan Makan; Leptin dan Insulin

Menurunkan Nafsu Makan dan Meningkatkan Rasa Kenyang1

Molekul yang merangsang makan disebut dengan orexins yaitu hipocretins dari hipotalamus, termasuk kedalam peptida yang berfungsi sebagai neurotransmiter untuk merangsang makan. Sedangkan molekul yang menghambat makan disebut dengan anorexins lihat tabel 2.10. Efek periferal jalur sinyal tersebut ditransmisikan melalui sistem saraf dan endokrin otonom utuk mengatur

nafsu makan, asupan makanan, dan metabolisme energi. 1

Tabel 2.9 Hormon dan Adipokin yang Disekresikan oleh

Jaringan Adiposa1

Hormon / Adipokin " Leptin

-Kenyang (penekan nafsu makan/kelaparan) dan regulasi kebiasaan makan di hipotalamus

-Sympathoaktivasi -Insulin Sensitizing

-Berperan dalam reproduksi, angiogenesis, respon imun, kontrol tekanan darah dan osteogenesis

" Adiponektin -Insulin Sensitizing

-Anti-Inflamasi -Anti-atherogenik " Resistin

-Meningkatkan resistensi insulin dan kadar glukosa darah -Menghambat diferensiasi adiposit dan berfungsi sebagai

feedback regulasi adipogenesis " Vistatin (dari lemak viseral) " Vaspin

- Insulin Sensitizing

Regulator Metabolisme Lipoprotein Lipoprotein lipase

Apolipoprotein E

Cholesterol ester transfer protein

Sitokin Inflamasi

Tumor necrosis factor-alpha Interleukins (IL-6, IL-8, IL-10)

Plasminogen activator inhibitor-1 Monocyte chemoattractant protein-1

Hormon dan sitokin lain Estrogen

Angiotensinogen Faktor jaringan

Transforming growth factor-beta Insulin-like growth factor

Nitric oxide synthase

Acylation stimulating protein

Adipophilin AdipoQ Monobutyrin

Tabel 2.10 Contoh Neuropeptida yang Berpengaruh dalam Kebiasaan Makan1

Orexins (Stimulasi nafsu makan) Neuropeptide Y (NPY)

Melanin-concentrating hormone (MCH) Agouti-related protein (AGRP)

Ghrelin Galanin

Orexins A and B Peptide YY (PYY) Cortisol

Anorexins (Penghambat nafsu makan) Leptin

Insulin

Cholecystokinin (CCK)

Corticotropin-releasing hormone (CRF) Urocortin (a CRF satiety signaling hormone)

Cocaine- and amphetamine-regulated transcript (CART) Alpha-melanocyte-stimulating hormone (α-MSH)

Bombesin Serotonin Calcitonin

Banyak hormon yang berbeda dalam mengendalikan nafsu makan, kenyang, dan berat badan. Sumber hormon tersebut dari perut seperti ghrelin, dari usus peptida YY, cholecystokinin (CCK) dan glukagon like peptida (GLP-1), dari pankreas insulin, dan dari jaringan adiposa leptin adiponektin dan resistin. Hormon tersebut beradar dalam darah dengan konstentrasi sebanding dengan massa lemak tubuh, dan bertindak sebagai sinyal perifer ke nukleus arkuatus di hipotalamus dimana terjadi pengaturan nafsu makan (asupan makanan) dan metabolisme (pengeluaran) diatur. 1

Leptin dan insulin biasanya mengurangi nafsu makan dengan menghambat neuron NPY/AGRP sirkuit anabolik dan merangsang neuron POMC/CART sirkuit katabolik lihat gambar 2.6. Ghrelin, CCK, dan hormon lainnya merangsang nafsu makan dengan aktivasi NPY/AGRP. Sedangkan peptida YY (PYY) menghambat neuron ini dan mengurangi nafsu makan. Hormon lainnya dapat dilihat pada tabel 2.9. Kejadian obesitas sering dikaitkan dengan peningkatan kadar leptin, insulin, ghrelin dan PYY dalam sirkulasi plasma. Interaksi hormon ini pada tingkat hipotalamus dapat menjadi faktor penting pada massa lemak yang berlebihan.

Reseptor leptin dalam hipotalamus berfungsi mengatur rasa kenyang dan berat badan. Kadar leptin yang rendah pada saat berpuasa biasanya merangsang asupan makanan dan mengurangi pengeluaran energi, sedangkan tingkat leptin yang

tinggi menghambat asupan makanan dan meningkatkan pengeluaran energi.1

Sekresi leptin meningkat seiring dengan peningkatan adiposit dalam ukuran dan jumlah atau disebut dengan hiperleptinemia. Tingginya kadar leptin pada obesitas tidak efektif lagi dalam menghambat asupan makanan dan meningkatkan pengeluaran energi keadaan ini dikenal dengan resistensi leptin. Resistensi leptin ini mengganggu sinyal pusat kenyang dihipotalamus dan memerintahkan makan berlebihan sehingga terjadi peningkatan berat badan. Penyebab dari resistensi leptin tidak diketahui secara pasti, namun diduga berkaitan dengan defect dalam transportasi leptin, ketidakmampuan leptin menyebrangi sawar darah otak, perubahan dalam efek permisif leptin pada urocortin (molekul sinyal kenyang), atau defek pada reseptor leptin. Hiperleptinemia juga merangsang sistem saraf simpatis, peradangan kronik, stress oksidatif, hipertrofi ventrikel dan dapat berkontribusi dalam patogenesis hipertensi, aterosklerosis dan penyakit kardiovascular terkait obesitas.1

Ghrelin diproduksi oleh lambung pada saat kelaparan dan merangsang asupan makanan dan menyebabkan perubahan metabolik yang mengarah ke peningkatan berat badan dan massa lemak tubuh. Ghrelin juga merangsang pelepasan hormon pertumbuhan (GH) dari sel-sel hipofisis anterior, pelepasan asam lambung, motilitas lambung, dan mempengaruhi fungsi pankreas. Leptin dan ghrelin saling melengkapi, namun sinyal antagonis mencerminkan perubahan akut dan kronis dalam keseimbangan energi efek yang dimediasi oleh hipotalamus neuropeptida, seperti NPY dan AGRP. Ghrelin plasma menurun pada obesitas, dan perannya dalam memberikan kontribusi terhadap obesitas belum didefinisikan. Leptin dapat mengatur kadar ghrelin.1

Adiponektin mempunyai sifat meningkatkan kepekaan insulin dan kadar plasma menurun dengan obesitas viseral, berkontribusi dalam resistensi insulin, penyakit kardiovascular dan sindroma metabolik. Penderita obesitas, terutama mereka dengan perluasan jaringan adiposa viseral memiliki peningkatan risiko untuk penyakit arteri koroner akibat dyslipidemia, hipertensi, dan faktor-faktor

yang mendorong trombosis dan peradangan. Penurunan kadar adiponektin berhubungan dengan peningkatan tanda peradangan, seperti IL-6 dan TNF-α. Adiponektin mampu berfungsi sebagai protein plasma anti-inflamasi dan anti aterogenik dan memiliki peran penting dalam remodeling vaskuler yang artinya menjadi terbatas pada individu dengan obesitas. 1

Obesitas dikaitkan dengan resistensi insulin, yang merupakan predisposisi individu terkena dm tipe 2. Resistensi insulin mungkin berhubungan dengan sebuah defek reseptor insulin atau post reseptor dikaitkan efek perubahan dalam fungsi transporter glukosa. Kelebihan insulin mungkin juga merupakan respon terhadap masukan kalori yang berlebihan. Terjadi peningkatan signifikan kadar resistin pada pasien obesitas yang dianggap memiliki efek antagonis aksi insulin dan mediator dari inflamasi. 1

2.2.4 Diagnosis

Obesitas berkaitan bukan hanya dengan berat badan namun juga distribusi lemak dalam tubuh. Dapat dikenali seperti wajah membulat, pipi tembam, dagu rangkap, leher yang relatif pendek, payudara membesar, dada membusung, kedua tungkai membentuk huruf X, dan pada anak laki-laki penis tampak kecil. Banyak cara yang digunakan untuk mengukur akumulasi lemak dalam tubuh, diantaranya dengan menggunakan indeks massa tubuh (IMT) dan dengan mengukur lingkar perut. Namun cara yang paling banyak diguakan adalah dengan menggunakan IMT, dengan rumus :

Kemudian hasilnya dilihat dalam tabel 2.11 menurut kriteria Asia-Pasifik, sedangkan berdasarkan penghitungan lingkar perut WHO menganjurkan sebaiknya diukur di pertengahan pada batas bawah iga dan krista iliaka, dengan menggunakan ukuran pita secara horizontal pada saat akhir ekspirasi dengan kedua tungkai dilebarkan 20-30 cm. Pasien diminta untuk tidak menahan perutnya hasilnya dapat dilihat dalam tabel 2.12.13

Tabel 2.11 Klasifikasi Berat Badan Berlebih dan Obesitas Berdasarkan IMT Menurut Kriteria Asik Pasifik13

Klasifikasi IMT (kg/m2) Underweight < 18,5 Normal 18,5-22,9 Overweight ≥23,0-24,9 Obesitas I ≥25,0-29,9 Obesitas II ≥30,0

Tabel 2.12 Klasifikasi Berat Badan Berlebih dan Obesitas Berdasarkan IMT serta Lingkar Perut Menurut Kriteria Asik Pasifik13

Resiko Ko-Morbiditas Lingkar Perut Klasifikasi IMT (kg/m2) <90 cm (laki-laki) ≥90 cm (laki-laki) <80 cm (perempuan) ≥80 cm (perempuan) Underweight <18,5 Rendah (namun risiko

meningkat pada masalah klinis lain)

Sedang

Normal 18,5-22,9 Sedang Meningkat

Overweight ≥23,0

Berisiko 23,0-24,9 Meningkat Moderat

Obes I ≥25,0-29,9 Moderat Berat

Obes II ≥30,0 Berat Sangat Berat

2.2.5 Prognosis dan Komplikasi

Peningkatan lemak viseral sangat berhubungan erat dengan sindroma metabolik (hipertrigliserida, penurunan HDL, peningkatan LDL, hipertensi dan resistensi insulin) kemudian menjadi faktor resiko terhadap kejadian jantung iskemik dan dm tipe 2. Dapat pula berkembang menjadi osteoartritis oleh karena stress

mekanis akibat ketidakmampuan menahan beban terutama pinggul dan lutut yang kemudian menyebabkan inflamasi dan berakhir pada erosi kartilago. Obesitas juga menjadi faktor resiko untuk terjadinya kanker, namun mekanisme secara pasti belum diketahui namun sampai saat ini diduga salah satunya akibat stress oksidatif dan sistem nuklear faktor kappa beta namun masih menjadi bahan evaluasi. Komplikasi yang dapat terjadi pada seluruh sistem dapat dilihat dalam tabel 2.13.1

Tabel 2.13 Komplikasi yang Mungkin Terjadi Akibat Obesitas Diberbagai Sistem13,30

2.2.6 Tata Laksana

Modifikasi perilaku adalah pendekatan ini menjadi strategi utama dalam standar pengobatan obesitas, namun bila cara ini tidak berhasil dilanjutkan dengan terapi lainnya seperti penggunaan obat. Intervensi perilaku ini biasanya dibuat oleh seorang psikolog, terapis perilaku, ahli gizi atau olahragawan guna mendorong individu untuk membuat pilihan gaya hidup sehat dengan memasukan

Sistem Komplikasi yang terjadi

Saraf (Psikososial) Judge di lingkungan sosial serta diskriminasi

Gastrointestinal Kolelitiasis, pankreatitis, hernia abdomen, GERD,

penyakit hati.

Metabolik Endokrin Sindroma metabolik, resistensi insulin, toleransi glukosa terganggu, DM tipe II, dyslipidemia.

Kardiovascular Hipertensi, penyakit jantung koroner, gagal jantung

kongestif, aritmia, cor pulmonale, stroke iskemik, thrombosis vena dalam, emboli paru.

Respirasi Abnormalitas fungsi paru, obstructive sleep apnea,

sindrom hipoventilasi obesitas

Muskuloskeletal Osteoarthritis, gout arthritis, low back pain

Genikologi Gangguan menstruasi, infertilitas, Poliksitik ovary

sindrom.

Genitourinaria Inkontinensia Urin

Ophtalmologi Katarak

Neurologi Hipertensi intrakranial idiopatik (pseudotumor cerebri)

Kanker Esophagus, colon,rektum, empedu, prostat, payudara,

peningkatan aktivitas fisik dan modifikasi kebiasaan makan terutama. Kegiatan ini harus selalu berada dibawah kontrol/ pengawasan dan apabila perubahan ini dapat terjadi walaupun kecil dianggap baik karena diharapkan mampu bertahap. Pada obesitas cara ini juga dapat dikombinasikan dengan pengobatan kognitif perilaku, dijelaskan bahwa dengan penurunan berat badan mampu menurunkan stigma sosial yang terjadi tentang kelebihan berat badan, meningkatkan kepercayaam diri dan mengurangi ketidakpuasan atas postur tubuh sendiri.30

Selanjutnya modifikasi dalam hal asupan makanan, dirancang untuk membuat perubahan pola makan yang termasuk didalamnya adalah sarapan, ukuran porsi makan yang terkontrol, penghentian minuman tinggi kalori dan makanan ringan, penurunan frekuensi makan diluar. Selain itu terdapat pula intervensi makanan, dijelaskan dalam guideline American Heart Association (AHA) :

1. Jumlah asupan lemak harus kurang dari 30% energi

2. Asupan lemak jenuh harus kurang dari 10% dari total energi

3. Asupan lemak tak jenuh ganda sebaiknya tidak lebih dari 10% dari total energi 4. Asupan lemak tak jenuh tunggal harus membuat sisa asupan lemak total, sekitar 10% sampai 15% dari total energi

5. Asupan kolesterol sebaiknya tidak lebih dari 300 mg /hari

6. Asupan Natrium sebaiknya tidak lebih dari 3000 mg (3 g) per hari

AHA dalam pedoman dietnya juga merekomendasikan pilihan makanan sebagai berikut :

1. Tidak lebih dari 5-8 sendok teh lemak dan minyak per hari, termasuk lemak yang digunakan dalam memasak

2. Enam ons atau kurang untuk daging tidak berlemak, ikan, atau unggas tanpa kulit

3. Tidak lebih dari tiga atau empat kuning telur per minggu

4. Dua sampai empat porsi susu tanpa lemak atau rendah lemak dan produk olahan susu per hari

5. Lima atau lebih porsi buah dan sayuran per hari

Cara lain yang digunakan dengan aktivitas fisik terutama olahraga. Apabila upaya penurunan berat badan diatas dirasa belum berhasil upaya lain

yang dilakukan adalah dengan suplemen penurunan berat badan. Terdapat banyak sekali suplemen yang dijual dipasarkan namun yang paling populer dan efektif adalah ephedra dan kafein. Walupun belakangan ini ephedra dilarang penggunaannya namun hasil penelitian menunjukan bukti yang efektif penggunaan ephedra bersama kafein serta dijelaskan pada orang dewasa muda dengan kelebihan berat badan tidak terdapat efek samping yang terlihat dalam klinis akibat suplemen tersebut. Suplemen lain yang tidak populer namun memiliki efek terhdap penurunan berat badan adalah kalsium dan ekstrak teh hijau. Kalsium telah terbukti menekan metabolisme lemak selama periode asupan kalori tinggi dan meningkatkan metabolisme lemak selama pembatasan kalori, lalu untuk ekstrak teh hijau berperan dalam meningkatkan pengeluaran energi dan merangsang thermogenesis jaringan adiposit coklat.30

Terapi menggunakan obat menjadi pertimbangan pada pasien obesitas dengan IMT > 30 atau > 27 dengan faktor resiko dan telah mengalami kegagalan dalam program diet, olahraga dan terapi perilaku. Sibutramin adalah agen yang tidak menstimulasi sekresi serotonin, yag berarti mempengaruhi pemasukan makanan oleh karena peningkatan aktivitas noradrenergik dan serotonin di saraf pusat. Dalam sebuah penelitian selama satu tahun sibutramin dikonsumsi 10 mg setiap hari dan hasilnya dapat menurunkan 4,8kg. Terdapat obat lain seperti orlistat bekerja sebagai penghambat gastrointestinal lipase. menyebabkan penurunan aktivitas enzim di usus.30

Pilihan terakhir dalam penatalaksanaan obesitas dengan terapi bedan yaitu operasi bariatrik. Menjadi pilihan bagi pasien dengan IMT > 40 atau 35 s/d 40 namun dengan faktor resiko penyakit tinggi atau memiliki kondisi fisik yang mengganggu gaya hidup terkait dengan obesitas. Terdapat dua prosedur dalam operasi salah satunya vertikal banded gastroplasty dimana dibuat kantong kecil terbatas disekitar kurvaktura minor lambung, yang kedua dengan bypass lambung dimana dibuat kantong lambung proksimal berbentuk Y dari usus halus. Namun diperlukan pengawasan seumur hidup setelah dilakukan terapi bedah ini. Terdapat pula komplikasi setelah operasi bariatrik ini diantaranya adalah emboli paru, gagal pernafasan, kebocoran pencernaan akibat robeknya jahitan, obstruksi stomal atau stenosis, dan perdarahan. Resiko kematian setelah operasi ini antara 1%dan 2%,

tetapi meningkat signifikan pada pasien dengan insufisiensi pernapasan akibat obesitas.30

Dokumen terkait