• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh: Agnes Tuti Rumiati, MSc Dr.Ir Eddy Soedjono, MSc *

FOTO: AGUS TR

dak dikenakan iuran tiap bulan, namun karena terjadi kerusakan pemandian umum dan beberapa pipa maka sekitar tahun 1980-an dilakukan penarikan iuran setiap bulannya. Pada tahun 1997 mulai dipasang meter air dan ditetap- kan harga air adalah sebesar Rp.50/m3. Mulai tahun 2003 Dusun Cakar Ayam ju- ga diwajibkan membayar iuran tiap bu- lannya. Besarnya iuran yang dibayar ber- variasi jumlahnya, Rp. 1.000-Rp. 3.000 tergantung jumlah keluarga, penggunaan pompa air, serta besarnya debit pemakai- an tiap-tiap konsumen.

Uang iuran juga digunakan untuk pemeliharaan pipa yang dilakukan oleh bagian teknis. Petugas ini mengontrol pipa setiap tiga hari untuk mengetahui adanya kebocoran atau tersumbatnya pipa serta mengatur debit air.

Keterbatasan dana membuat pe- meliharaan pipa tidak maksimal dan seadanya (misalnya penyambungan pi- pa bocor dengan ban bekas). Kondisi pi- pa sudah kurang memenuhi syarat. Ba- nyak pipa yang bocor dan putus. Pipa di hulu sering tersumbat. Padahal tidak ada air valvesehingga untuk mengelu- arkan udara dan mengurangi tekanan, pipa dilubangi atau digergaji di tempat- tempat tertentu.

Pengembangan program pertama kali dilakukan pada tahun 1990 dengan memasang meter air di setiap rumah konsumen HIPAM. Program ini diulang lagi tahun 1997. Ini dimaksudkan agar pemakaian air terkontrol. Sayangnya banyak warga yang tak mau dan tak mampu memasang meter air. Akibatnya iuran pun tak jalan. Mereka ini memilih menggali sumur. Meter air hanya ber- jalan 1-3 tahun.

Gagal

Mengapa warga enggan berpartisi- pasi dalam HIPAM ini? Menurut penu- turan warga, daerah pelayanannya tidak merata ke seluruh warga, semakin hari debit yang keluar semakin kecil, bahkan kadang mati, banyak pipa yang rusak

dan tidak diperbaiki dan kepengurusan yang tidak terorganisasi dengan baik termasuk dalam transparansi pengelo- laan dana.

Kenyataan itu bisa terjadi karena organisasi HIPAM itu sendiri tidak di- persiapkan dengan baik sejak awal dan tidak ada aturan main yang jelas terha- dap pengelolaannya. Kepengurusan ti- dak memiliki kemampuan teknis dan manajemen yang dibutuhkan. Ini bisa dirasakan setelah organisasi itu berjalan cukup lama. Bahkan pengelola ini pun tidak mampu menghitung debit air dan merencanakan pola distribusinya seca- ra tepat termasuk bagaimana pemeliha- raan sarana dan prasarananya.

Faktor lain yang menyebabkan ke- gagalan yakni manajemen keuangan. Jumlah iuran dan biaya pasang baru ti- dak sesuai dengan besarnya biaya ope- rasional termasuk honorarium petugas. Hal ini menyebabkan petugas kurang profesional pada saat menangani per- soalan teknis. Terkadang petugas harus merogoh kocek sendiri untuk perbaikan pipa bocor. Sedangkan biaya perawatan tidak ada. Kondisi ini semakin ambura- dulketika manajemen keuangan diam- bil alih oleh kepala desa.

Penyebab lain yang tak bisa diabai- kan yakni pengurangan debit air yang kemungkinan disebabkan oleh peng- gundulan hutan. Dari tahun ke tahun debit air yang mengalir semakin menge- cil. Ini ditengarai akibat penebangan liar di sekitar sumber air. Di samping itu, ada warga yang menggunakan pom- pa air untuk menyedot air langsung da- ri pipa dan ada kebocoran di pipa akibat ulah warga.

Rekomendasi

Kondisi sistem penyediaan air di Bleberan masih mungkin dipertahan- kan. Hanya saja perlu ada perbaikan manajemen. Debit air 40 liter/detik yang ada saat ini diperkirakan mampu melayani 10 ribu KK atau 40.000 jiwa. Ini jauh lebih besar dari jumlah KK di

Bleberan yang hanya 980 KK atau 3.460 jiwa. Beberapa pembenahan yang harus dilakukan diantaranya:

1. Evaluasi sistem perpipaan yang ada. Selanjutnya perlu dikaji kemungkin- an pengembangan agar dapat mem- perluas cakupan layanan.

2. Penetapan aturan main pemakaian air seperti misalnya semua pe- langgan harus memasang meter air, tidak boleh memotong saluran dan menyedot air langsung dari pipa menggunakan pompa listrik. Aturan main juga meliputi hak dan ke- wajiban pengguna air (termasuk iuran bulanan untuk biaya penggu- naan air)

3. Peningkatan kualitas SDM pengelo- la, seperti misalnya peningkatan kemampuan teknis pemeliharaan, penyambungan pipa, distribusi air dan sebagainya.

4. Penyempurnaan manajemen ke- uangan. Jumlah iuran untuk pasang baru dan bulanan perlu ditinjau kembali, apakah sudah sesuai de- ngan biaya operasional yang dibu- tuhkan. Secara sederhana dapat di- hitung cost and benefit-nya se- hingga tidak sampai rugi dan bah- kan dapat digunakan untuk pe- ngembangan. Pengelolaan keuangan di dalam manajemen HIPAM sendi- ri perlu dilakukan pembenahan. Alokasi dana untuk gaji pengelola, perawatan infrastruktur dan alokasi untuk pengembangan perlu dipikir- kan dengan cermat.

5. Perlu sosialisasi kepada warga ten- tang pengelolaan air karena kesadar- an warga adalah kunci utama agar pengelolaan air dapat dilakukan de- ngan sebaik-baiknya. Toleransi antar- warga sangat penting karena air sa- ngat dibutuhkan semua warga. „

*) Dosen Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya (ITS) tergabung dalam Unit Pengkajian Pengembangan Potensi Daerah (UP3D-LPPM-ITS)

WAWA S A N

Percik

„

Oktober 2006 „

M

atahari baru keluar dari per- aduannya. Otong, murid ke- las 2 madrasah ini sudah siap dengan peralatannya. Sebuah keranjang bambu yang di sampingnya diikatkan tali siap menemaninya. Hamparan sam- pah di Bantar Gebang telah menanti.

Ia sempat bercanda dulu dengan adiknya, Oman yang berumur enam ta- hun. Sekitar pukul 07.00, ia berangkat. Ia tidak sendiri tapi dengan kakaknya Embi (14 tahun) dan juga Oman. Otong dan Embi ditugaskan oleh orang tuanya untuk mengasuh Oman. Jadilah mereka bertiga bekerja sambil bermain.

Sebelumnya Otong bukanlah pe- ngais sampah Bantar Gebang. Hanya kondisilah yang memaksanya menjadi pemulung. Suatu ketika ibunya harus melahirkan adiknya dengan operasi cesar. Itu butuh biaya besar yaitu Rp. 7 juta. Keluarga dengan enam anak ini tak memiliki uang sebanyak itu. Satu-satu- nya jalan adalah menjual hartanya yakni sebuah sepeda motor. Kendaraan roda dua ini laku dijual sebesar Rp. 8 juta. Biaya operasi pun tertutupi. Uang sisa Rp. 1 juta kemudian dijadikan uang muka untuk mengambil kredit motor baru. Yang jadi persoalan kemudian, mereka harus mencicil uang kredit bu- lanan sebesar Rp. 460 ribu. Maka jadi- lah seluruh keluarga harus membanting tulang untuk mengejar uang setoran itu.

Kakak Otong tertua bekerja di toko material di Bekasi. Tapi gajinya pas- pasan. Kakak perempuan lainnya mem- bantu ibunya berjualan sayur-sayuran di pasar. Hasil mereka tak bisa meme- nuhi seluruh kebutuhan rumah tangga. Imbasnya, Otong pun harus rela menja- di pemulung, pekerjaan yang tidak per-

lu keahlian dan kebetulan rumah dekat dengan Bantar Gebang.

Di TPA Bantar Gebang, Otong me- ngais sampah plastik dan lainnya yang laku dijual. Ia pun berpacu dengan para pemulung lain yang kebanyakan remaja dan dewasa. Setelah keranjang penuh, Otong membawa sampah tersebut ke pinggir TPA. Di sana 'bahan' uang itu dionggokkan. Ia pun kembali mengais sampah lagi hingga waktunya tiba. Sam- pah plastik itu nantinya dimasukkan ke dalam karung dan kemudian dibawa pulang.

Kalau hari sekolah, Otong pulang pukul 12.00. Sesampai di rumah, ia se- gera mandi dan makan siang. Setelah itu ia menuju ke sekolahnya di Blok Ka- um, Kelurahan Sumur Batu. Di sekolah semiformal inilah Otong belajar layak- nya anak-anak seusianya. Hanya saja sekolah ini tidak mengeluarkan ijazah atau sertifikat sehingga lulusannya ti- dak bisa melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi.

Bila hari libur, Otong bersama adik dan kakaknya berangkat ke TPA pukul 07.00 WIB pagi dan pulang pukul 15.00 WIB atau 16.00 WIB. Mereka tak perlu pulang tengah hari karena biasanya ibu mereka mengirimkan makan siang ke TPA. Namun seringkali anak-anak ini tidak makan siang sebab tidak dikirimi nasi. Mereka hanya bisa minum yang mereka bawa dari rumah.

Otong menceritakan, pernah suatu saat ia bersama kakak dan adiknya me- nunggu kiriman nasi ibunya. Tapi nasi yang ditunggu-tunggu tak kunjung da- tang. Padahal perut sudah keroncongan dan tak dapat ditahan. Akhirnya Otong memutuskan pulang ke rumah, sekitar pukul 14.00 WIB. Sampai di rumah Otong bertanya pada ibunya, ''Kenapa tidak dikirim nasi.'' Ibunya dengan en- teng menjawab, ''Kenapa kamu pulang sebelum pukul tiga sore.'' Otong hanya bisa terheran-heran.

Kerasnya kehidupan di Bantar Ge- bang memberi pelajaran bagi anak-anak

Dokumen terkait