Dari Redaksi 1
Suara Anda 2
Laporan Utama
Habis Kering, Datanglah Banjir 3
'Panen Hujan' ala Gunung Kidul 9
Wawancara
Dirjen Bangda: Anggarkan Air Bersih untuk Desa! 10
Teropong
Simalakama Bantar Gebang 13
Review Master Plan Pengelolaan Sampah DKI Jakarta 15
Wawasan
Pembangunan Air Minum dan Kemiskinan 18
Strategi Menciptakan Sistem Laporan PDAM 21
Dari Plato ke Kebijakan AMPL-BM 23
Kegagalan HIPAM di Desa Bleberan 29
Kisah
Pemulung Anak dari Bantar Gebang 31
Reportase
Pengomposan Komunal, Alternatif Penanganan Sampah Perumahan 33
Inovasi
Tempat Kencing Tanpa Air Penyiram 35
Abstrak
Dampak Investasi Air Minum terhadap Pertumbuhan Ekonomi
dan Distribusi Pendapatan di DKI Jakarta 36
Peraturan
Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) 37
Pojok ISSDP
Choice Model 38
Seputar PLAN INDONESIA
Plan Indonesia dalam Program Air dan Sanitasi Lingkungan 41
Info Buku 42
Info Situs 43
Info CD 44
Seputar WASPOLA 45
Seputar AMPL 48
Pustaka AMPL 50
Agenda 51
Klinik IATPI 52
Majalah Percikdapat diakses di situs AMPL: http://www.ampl.or.id
Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
Diterbitkan oleh:
Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
(Pokja AMPL)
Penasihat/Pelindung:
Direktur Jenderal Cipta Karya DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM
Penanggung Jawab:
Direktur Permukiman dan Perumahan, BAPPENAS
Direktur Penyehatan Air dan Sanitasi, DEPKES
Direktur Pengembangan Air Minum, Dep. Pekerjaan Umum Direktur Pengembangan Penyehatan
Lingkungan Permukiman, Dep. Pekerjaan Umum Direktur Bina Sumber Daya Alam dan
Teknologi Tepat Guna, DEPDAGRI Direktur Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup, DEPDAGRI
Pemimpin Redaksi:
Oswar Mungkasa
Dewan Redaksi:
Supriyanto, Johan Susmono, Indar Parawansa, Bambang Purwanto
Redaktur Pelaksana:
Maraita Listyasari, Rewang Budiyana, Rheidda Pramudhy, Joko Wartono,
Essy Asiah, Mujiyanto
Desain/Ilustrasi:
Rudi Kosasih
Produksi:
Machrudin
Sirkulasi/Distribusi:
Agus Syuhada
Alamat Redaksi:
Jl. Cianjur No. 4 Menteng, Jakarta Pusat. Telp./Faks.: (021) 31904113
http://www.ampl.or.id e-mail: [email protected]
[email protected] [email protected]
Redaksi menerima kiriman tulisan/artikel dari luar. Isi berkaitan dengan air minum dan penyehatan lingkungan
dan belum pernah dipublikasikan. Panjang naskah tak dibatasi.
W
aktu terus berlalu. Alham-dulillahkita masih bertemu dengan hari bahagia, Idul Fitri. Di hari kemenangan ini, awak Percik dan seluruh staf sekretariat Kelompok Kerja Air Minum dan Pe-nyehatan Lingkungan (AMPL) me-nyampaikan Selamat Idul Fitri 1427 H, Mohon Maaf Lahir dan Batin, Minal Aidin wal Faizin. Semoga kita semua kembali menjadi orang yang bersih dari dosa dan menjaga kesu-cian itu pada hari-hari berikutnya.Pembaca, keprihatinan terus me-nerpa negeri ini. Kekeringan cukup lama kita rasakan terutama di Jawa dan Nusa Tenggara. Akses masyarakat terhadap air minum yang memang masih rendah makin menurun. Me-reka mengonsumsi air untuk minum apa adanya. Ketersediaan menjadi persoalan. Mereka tak bisa mencari alternatif lain. Sementara pemerintah daerah sendiri tampak tak mampu memenuhi kebutuhan warganya. Per-usahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang menjadi tulang punggung penye-diaan air minum di daerah, mengha-dapi persoalan sendiri: kurang pa-sokan untuk pelanggannya. Makanya, boro-boro untuk membantu warga
gratis lagi, PDAM sibuk memperta-hankan diri.
Dalam waktu yang tak lama kita akan menghadapi musim hujan. Tentu ini berkah. Tapi bagi sebagian wilayah, mi-salnya, kota besar seperti Jakarta, hujan bisa menjadi petaka. Air hujan yang diharapkan kedatangannya, akan meng-genangi kota. Lagi-lagi masyarakat tak bisa menghindar. Ungkapan yang sering muncul: 'Ini sudah biasa'.
Akankah kita terus menganggap semuanya biasa? Sejatinya kekeringan, kebanjiran bisa dihindari kalau kita mau. Keduanya bukan merupakan fenomena alam yang datang tiba-tiba. Semuanya bisa diprediksikan. Pertanyaan kenapa itu terus terulang terjadi? Perhatian ke arah sana masih kurang. Mungkin pro-gram yang memihak ke penanggulangan keduanya kurang populer. Itulah Indonesia.
Pembaca, selain membahas topik utama mengenai kekeringan dan kebanjiran, Percik mengadakan wa-wancara dengan Dirjen Bina Pemba-ngunan Daerah, Departemen Dalam Negeri, untuk mengetahui bagaimana kondisi pembangunan di daerah dan kaitannya dengan penyediaan air mi-num dan penyehatan lingkungan. Di
rubrik Teropong, kami mengetengah-kan TPA Bantar Gebang yang pada awal September lalu gunungan sam-pahnya longsor sehingga menimbul-kan korban jiwa. Dan masih terkait dengan kondisi di sana, di rubrik Ki-sah, kami muat tentang pemulung anak yang menggantungkan hidupnya di TPA terbesar di Indonesia tersebut. Tak ketinggalan, di rubrik Repor-tase, kami mengangkat kerja sama antara Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan masyarakat pinggiran kota dalam mengelola sampah secara man-diri sehingga tidak membebani TPA. Model-model seperti ini bisa dila-kukan di mana saja, tentu dengan ada keluwesan pemikiran di dalamnya.
Pembaca, berbagai masalah AMPL tampaknya terus bergulir silih berganti. Setiap saat muncul isu baru. Dan kami merasakan permasalahan ini masih belum mendapatkan perhatian serius. Padahal dampak buruk AMPL ber-pengaruh langsung terhadap kondisi manusia-manusia Indonesia. Kita ber-harap, ada hal baru muncul di masa-masa mendatang yang bisa meng-hasilkan perbaikan. Bersama kita bisa, menjadikan AMPL lebih diperhatikan. Wassalam.
Selamat
Hari Raya
Idul Fitri
1427 H
Mohon Maaf
Lahir
dan Bathin
M E N G U C A P K A NPompa Air Tanpa Motor
Saya berkeinginan untuk menda-patkan informasi mengenai pompa air tanpa motor (PATM) seperti di Goron-talo, yang saya lihat di situs AMPL. Mo-hon kiranya redaksi dapat membantu saya mengenai:1. Apa saja langkah-langkah yang ha-rus saya tempuh untuk mendapat-kan pemasangan alat tersebut? 2. Apakah mungkin daerah saya bisa
mendapatkan bantuan dana dari pemerintah dalam pemasangan alat PATM tersebut seperti di Goron-talo?
Saya ingin jika mungkin alat terse-but dapat dipasang di daerah saya di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Hal ini karena saya melihat fungsi dan kegu-naan alat ini mungkin dapat membantu daerah saya yang kesulitan air bersih.
Leonardo FoEnale Surabaya
Untuk mengetahui lebih jauh me-ngenai informasi tentang pompa air tanpa mesin, silakan Anda meng-hubungi PT. Tirta Anugerah Nusanta-ra yang beNusanta-ralamat di Hotel Mahadria Lt. 4 Jl. Ki Mas Jong No. 12 Serang Banten. Telp. 0254-220270/220268 up. Ade Purnama (Dirut). Sedangkan soal bantuan dana, Anda bisa ber-hubungan dengan instansi terkait di pemerintah daerah setempat. (Redak-si)
Masukan dan Saran
Menindaklanjuti surat dari Direk-tur Permukiman dan Perumahan No. 5411/Dt.6.3/09/2006 tanggal 04 Sep-tember 2006 perihal Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkung-an, maka kami memberikan masukan dan saran sebagai berikut.a) Penampilan maupun penataan su-dah lumayan bagus
b) Artikel masalah penyehatan ling-kungan sudah cukup banyak c) Artikel tentang air minum
dira-sakan masih kurang padahal na-manya Media Informasi Air Minum
d) Buang ruang/rubrik suara ling-kungan, limbah, dan air minum; berisi surat pembaca dan tanggap-an redaksi/pakar
e) Rubrik lingkungan, limbah, dan air minum di negara tetangga yang patut dicontoh.
Demikian masukan dan saran kami, terima kasih atas perhatiannya.
Ir. Agus Sutyoso, MSi Direktur Utama PDAM Kota Semarang Jl. Kelud Raya Semarang
Kami sangat berterima kasih atas saran dan masukan Anda. Semua masukan dan saran akan kami per-timbangkan. Semoga Percik ke depan bertambah baik dan sesuai dengan keinginan para pembacanya. Selain itu kami juga mengundang Anda untuk mengisi/ mengirimkan tulisan yang sesuai dengan kapasitas Anda. Kami berharap sumbangan pemikiran Anda dapat menjadi pelajaran bagi pembaca lainnya. (Redaksi)
Indonesia Terbelakang
Beberapa waktu lalu, Bank Pem-bangunan Asia (ADB) bekerja sama dengan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengeluarkan laporan menge-nai program pengurangan jumlah kemiskinan di beberapa negara Asia Pasifik yang diumumkan di Manila. Laporan itu mengetengahkan kinerja beberapa negara dalam program terse-but.Negara yang tergolong paling maju memberantas kemiskinan, yakni Chi-na, Malaysia, Thailand, Palau, Viet-nam, Armenia, Azerbaijan, dan Kir-gistan. Selain itu, negara yang ter-golong mengalami penurunan niat pada pengurangan kemiskinan adalah Fiji, Kazakstan, Samoa, dan Uzbekistan. Kelompok berikut tergo-long harus berjuang lebih keras, yakni India, Afganistan, dan Nepal. Ke-lompok terakhir yaitu negara yang ter-golong terbelakang dalam pengurang-an kemiskinpengurang-an. Negara itu adalah Banglades, Indonesia, Laos, Mongolia, Myanmar, Pakistan, Papua Nugini, dan Filipina.
Penilaian ADB itu tampaknya cocok dengan kondisi yang ada. Jumlah orang miskin terlihat tak berkurang justru bertambah. Pengemis dan gelan-dangan makin banyak. Busung lapar dan penyakit akibat kesulitan ekonomi tak berkurang. Pertanyaannya seka-rang, mana janji-janji pemerintah un-tuk mengentaskan kemiskinan itu? Pertanyaan yang sama patut pula di-sampaikan kepada partai-partai politik dan wakil rakyat. Mana janji-janjimu dulu mau menyejahterakan rakyat? Jangan hanya pejabat, birokrat, dan wakil rakyat saja yang sejahtera, sementara rakyat tambah melarat.
Meddy Chandra Ciputat, Tangerang
S U A R A
A N DA
Percik
Oktober 2006
B
erita kekeringan hampir setiap hari menghiasi media massa ce-tak dan elektronik akhir-akhir ini. Begitu sulitnya masyarakat me-menuhi kebutuhan air untuk kehidupan mereka sehari-hari, bahkan untuk mi-num sekalipun. Mereka rela berjalan berkilo-kilo meter hanya untuk mencari seteguk air buat minum dan memasak. Itupun belum tentu kualitasnya meme-nuhi syarat. Jumlahnya pun sangat ter-batas karena harus berbagi denganwar-ga lainnya. Janwar-gan ditanya soal air un-tuk kebutuhan mandi, cuci, dan kakus, mungkin tak ada.
Kondisi ini hampir terjadi di seluruh wilayah Pulau Jawa. Sejauh mata me-mandang, wilayah di pinggiran jalur utama Pulau Jawa terlihat kering keron-tang. Daun-daun dahan berguguran. Hutan jati bak tiang-tiang pancang. Rumput-rumput meranggas. Sebagian terlihat bekas terbakar. Tanah-tanah pertanian retak-retak. Lahan-lahan
per-Habis Kering,
Datanglah Banjir
Habis Kering,
Datanglah Banjir
Kondisi lingkungan
di Indonesia terdegradasi
cukup parah.
Suatu saat kekeringan
datang, di saat lain banjir
melanda.
Padahal kejadian itu
seha-rusnya bisa diprediksikan.
Akankah ini terus
terulang?
FOTO:MUJIYANTO
tanian tak bisa dimanfaatkan. Panen pun tak datang.
Kekeringan tidak hanya melanda wi-layah di luar kota. Di beberapa kota pun air sulit didapatkan. Bahkan di Jakarta, beberapa saat warga sempat mengeluh. Air bersih tak mengalir. Pasokan air ke dua perusahaan swasta di Jakarta ku-rang. Akibatnya, distribusi air ke pe-langgan terganggu. Warga tak bisa ber-buat banyak. Untungnya mereka masih bisa membeli air isi ulang/kemasan/air keliling untuk kebutuhan vitalnya ken-dati dengan harga yang lebih mahal. Ta-pi bagaimana nasib mereka yang miskin dan jauh dari jangkauan air bersih?
Ibarat peribahasa 'sudah jatuh ter-timpa tangga', kondisi kekeringan itu sebentar lagi akan disambut dengan da-tangnya musim hujan. Bagi sebagian orang, kedatangan berkah dari langit ini patut disambut gembira karena tanah-tanah akan kembali terairi. Namun bagi sebagian yang lain, hujan adalah ben-cana. Banjir akan segera tiba. Derita ke-kurangan air akan berganti menjadi de-rita karena banjir.
Ironisme ini pun hampir tiap tahun terjadi. Sayangnya, tindakan untuk mengantisipasinya tak terlihat. Belum ada upaya bersama yang signifikan dan melibatkan semua stakeholder. Wal-hasil, kekeringan dan kebanjiran seolah menjadi sebuah rutinitas yang harus diterima oleh rakyat jelata.
Kekeringan Tahunan
Kekeringan yang melanda wilayah Jawa sebenarnya bukan sesuatu yang datang dengan tiba-tiba. Artinya, jauh-jauh hari keadaan itu bisa diprediksi. Perhitungan analisa neraca air atau ke-seimbangan air yang membandingkan antara kebutuhan dan ketersediaan air yang dilakukan oleh Direktorat Pengairan dan Irigasi Bappenas pada 2005, menunjukkan bahwa berdasar-kan data tahun 2003, sekitar 77 persen wilayah di luar Jabodetabek mengalami defisit air antara satu sampai delapan
Percik
Oktober 2006
Kabupaten / Kota
J A W A B A R A T Madiun & Kota Madiun
Magetan Bogor & Depok & Kota Bogor
Tangerang & Kota Tangerang Bekasi & Kota Bekasi
Serang & Kota Cilegon
Karawang & Purwakarta
Wilayah Sungai
Jumlah Bulan Defisit 2003 2005 2010 2015 2020 2025
6 6 6 6 6 7
Defisit Maksimum (m³/det) 2003 2005 2010 2015 2020 2025 -9.71 -9.81 -10.13 -10.52 -10.96 -11.46
-26.75 -27.27 -28.68 -30.23 -31.94 -33.85 -14.47 -14.15 -13.42 -12.77 -12.18 -11.64
-48.99 -48.13 -46.11 -44.33 -42.80 -41.59
-1.94 -2.16 -2.76 -3.40 -4.09 -4.86 -0.61 -0.63 -0.69 -0.74 -0.81 -0.88
-25.72 -25.85 -26.20 -26.59 -27.05 -27.57
-32.57 -32.58 -32.63 -32.71 -32.83 -32.99
-16.68 -16.66 -16.64 -16.67 -16.75 -16.91 -18.52 -18.44 -18.27 -18.14 -18.04 -17.97 -20.64 -20.77 -21.17 -21.66 -22.27 -23.03
-12.92 -12.94 -13.00 -13.07 -13.14 -13.22
-11.45 -11.48 -11.56 -11.67 -11.80 -11.94
-2.40 -2.58 -3.20 -4.05 -5.20 -6.76 -1.07 -1.10 -1.18 -1.27 -1.38 -1.51 -19.09 -19.13 -19.25 -19.37 -19.51 -19.66
-16.33 -16.37 -14.67 -16.63 -16.82 -17.07 -5.49 -5.48 -5.47 -5.45 -5.44 -5.42
-21.89 -21.95 -22.13 -22.34 -22.57 -22.84
-0.85 -0.83 -0.79 -0.75 -0.70 -0.66
-28.93 -28.77 -28.41 -28.07 -27.76 -27.50
-15.53 -15.82 -16.78 -18.19 -20.16 -22.89 -28.34 -28.25 -28.02 -27.79 -27.57 -27.35
-32.62 -32.87 -33.52 -34.19 -34.87 -35.56 -42.28 -43.77 -47.73 -52.03 -56.69 -61.77
-25.46 -25.51 -25.68 -25.89 -26.16 -26.51
-26.87 -26.46 -25.47 -24.54 -23.65 -22.82 -56.23 -55.62 -54.20 -52.95 -51.90 -51.09
-12.08 -12.11 -12.23 -12.38 -12.58 -12.81 -13.07 -13.04 -12.98 -12.94 -12.90 -12.88 -16.52 -16.35 -15.95 -15.57 -15.21 -14.88 -10.42 -10.77 -11.81 -13.13 -14.80 -16.90
-0.2 -1.5 -4.9 -8.7 -13.1 -18.0
N/A: data tidak tersedia
Tabel 1.
Kabupaten/Kota di Pulau Jawa yang mengalami Defisit Tinggi
bulan. Sedangkan di wilayah Jabodeta-bek hanya 50 persen yang defisit.
Angka itu didapatkan dengan mem-perhitungkan faktor ketersediaan air dari daerah aliran sungai (yang merupa-kan ketersediaan air permukaan) dan kebutuhan air dari tiap daerah (meliputi kebutuhan air untuk domestik, perkota-an, industri, perikanperkota-an, peternakan dan irigasi).
Data neraca air tahun 2003 menun-jukkan total kebutuhan air di Pulau Ja-wa dan Bali sebesar 38,4 miliar meter kubik pada musim kemarau. Kebutuhan itu dapat dipenuhi sekitar 25,3 miliar kubik atau sekitar 66 persen. Defisit ini diperkirakan akan semakin tinggi pada tahun 2020 mengingat jumlah pendu-duk bertambah dan aktivitas perekono-mian meningkat.
Secara umum kondisi kekeringan ini disebabkan tiga faktor yakni perubahan iklim global seperti hujan dan keke-ringan terjadi di luar bulan-bulan bia-sanya disertai perubahan iklim lainnya, faktor lingkungan, dan manajemen dan infrastruktur sumber daya air. Secara khusus, penyebab kekeringan di luar faktor iklim global antara lain:
Kerusakan catchment areasehingga mengancam keberlanjutan daya du-kung sumber daya air;
Penurunan kinerja infrastruktur sumber daya air;
Eksploitasi air tanah yang berlebi-han mengakibatkan penurunan mu-ka air tanah, land subsidence, dan intrusi air laut;
Rendahnya kualitas pengelolaan hidrologi;
Kondisi neraca air diklasifikasikan menjadi empat yaitu normal, defisit rendah, defisit sedang, dan defisit ting-gi. Kondisi normal menunjukkan tidak terjadi defisit sepanjang tahun. Jika jumlah bulan defisit mencapai tiga bulan maka ini diklasifikasikan sebagai defisit rendah. Empat hingga enam bulan defisit diklasifikasikan menjadi defisit sedang. Dan lebih dari enam
Gambar 1
Proyeksi Neraca Air Kabupaten/Kota di Jawa dan Madura
Sumber : Hasil Analisis
= Normal = Tidak Defisit
= Defisit Rendah = Defisit Sedang
1.
2.
3.
bulan defisit diklasifikasikan sebagai defisit tinggi. Tabel 1 menunjukkan daerah de-ngan defisit tinggi.
Jika kondisi ini dibiarkan, artinya tanpa ada intervensi infrastruktur, di-perkirakan kondisi neraca air defisit ini akan meningkat. Beberapa kabupa-ten/kota pada tahun 2010 diperkirakan akan mengalami defisit yang semakin membesar, antara lain Kabupaten Ngawi di wilayah sungai (WS) Bengawan Solo dan Kota Surabaya di WS Brantas. Proyeksi kondisi neraca air di Jawa dan Madura ditunjukkan pada gambar 1.
Kondisi neraca air yang defisit akan berpengaruh terhadap ketersediaan air. Yang paling terkena dampak kekeringan ini yaitu pertanian, industri, perkotaan, air minum, dan lainnya. Namun dari sektor-sektor itu air minum mendapat prioritas penanganan karena menyangkut kebu-tuhan vital manusia. Tabel 2 menunjukkan daerah yang mengalami defisit air minum dan prediksi hingga tahun 2025.
Kondisi Air Tanah
Kendati mengalami kekeringan, Pulau
Jawa sebenarnya masih menyimpan potensi air tanah. Ini karena Pulau Jawa memiliki cekungan air tanah. Paling tidak ada 80 cekungan yang tersebar sepanjang Jawa dan Madura. Air tanah yang ada belum semuanya termanfaatkan. Kalau pun ada yang sudah dimanfaatkan seperti di kota-kota besar, cara pemanfaatannya pun tak terkendali. Akibatnya muncul masalah baru seperti penurunan muka air tanah (Bandung, Jakarta, dan Semarang), penurunan kualitas air tanah (Bandung dan Semarang), penyebaran air payau/ asin (Jakarta dan Semarang), dan pe-nurunan muka tanah (Bandung, Jakarta, dan Semarang).
Potensi air tanah yang ada cukup be-sar. Tabel 3 s/d 8 menunjukkan potensi air tanah berdasarkan wilayah administrasi.
Banjir Mengancam
Bulan-bulan ini hujan diperkirakan akan turun. Guyuran hujan akan menghidupkan kembali tanah-tanah yang kering. Roda ekonomi akan berputar kembali setelah berhenti be-berapa saat, khususnya di sektor
per-tanian. Namun bagi beberapa daerah, hujan dikhawatirkan akan menyebab-kan banjir. Kekhawatiran ini muncul terutama di daerah yang biasa menga-lami banjir secara periodik alias lang-ganan.
Faktor penyebab terjadinya banjir berbeda-beda di setiap wilayah. Be-berapa penyebab utama terjadinya ban-jir antara lain pendangkalan/agradasi dasar sungai (sedimentasi), luapan air sungai melalui tanggul, saluran draina-se kurang baik, efek backwater, dan pintu pengendali banjir tak berfungsi.
Hampir semua aliran sungai di Jawa membawa sedimen dalam jumlah besar dari hulu dan mengikis lahan di sepan-jang daerah aliran sampai ke muara. Akibatnya muncul endapat di daerah muara. Sedimentasi tersebut menye-babkan kapasitas tampungan sungai men-jadi berkurang. Di samping itu, penam-bangan pasir terjadi di sungai-sangat besar sehingga pada beberapa tempat menga-lami degradasi dasar sungai.
Debit air yang besar akibatnya tak bisa ditampung oleh badan-badan air di daerah pantai/muara. Air kemudian mengalir ke samping melewati tanggul sehingga menggenangi lahan pertanian dan daerah-daerah yang relatif datar. Tanggul-tanggul sungai di hulu dapat mengurangi banjir yang terjadi di dae-rah hulu, tetapi justru menyebabkan bertambah luasnya area yang terkena banjir di daerah hilir. Kondisi itu bertambah buruk ketika saluran drai-nase tidak berfungsi dengan baik. Be-lum lagi ada efekbackwater yang terja-di terja-di bagian hulu karena perubahan arus air di bagian hilir. Arus air yang berbalik ini -- karena pertemuan antara anak sungai dan sungai utama, pemben-dungan, dan penyempitan -- akan me-nyebabkan banjir tak dapat dihindari.
Banjir juga terjadi karena area tang-kapan air (catchment area) lenyap. Penggundulan hutan dan pola tanam yang salah ikut andil di dalamnya. Akibat tidak ada catchment area, air
Percik
Oktober 2006
6
L A P O R A N
U TA M A
Tabel 2
Kabupaten/Kota di Pulau Jawa yang mengalami Defisit Air Minum
No.
Kabupaten / Kota JAWA BARAT Bogor & Depok & Kota Bogor
Tangerang & Kota Tangerang
Wilayah Sungai
Defisit Maksimum (m³/det) 2003 2005 2010 2015 2020 2025 -0.51 -0.54 -0.64 -0.74 -0.85 -0.96
-1.67 -1.75 -1.98 -2.22 -2.49 -2.78 -0.47 -0.50 -0.55 -0.61 -0.67 -0.73
-0.17 -0.23 -0.39 -0.57 -0.75 -0.95
- - - - -0.27 -0.78 -0.38 -0.40 -0.44 -0.48 -0.53 -0.58
- - -0.09 -0.35 -0.63 -0.94
-1.43 -1.42 -1.39 -1.36 -1.33 -1.30
- - - - -0.30 -0.83
- - -0.11 -0.55 -1.06 -1.63
-0.08 -0.11 -0.18 -0.26 -0.34 -0.43 - - -0.05 -0.19 -0.35 -0.52
-0.52 -0.51 -0.47 -0.44 -0.41 -0.38
-0.54 -0.56 -0.64 -0.72 -0.81 -0.90 -0.47 -0.50 -0.56 -0.62 -0.69 -0.77 -0.69 -0.70 -0.75 -0.81 -0.86 -0.92 -0.24 -0.28 -0.38 -0.49 -0.61 -0.75
- - - -2.6
- - - - -0.2 -3.5
Tabel 3.
Potensi Air Tanah di Propinsi Banten
Tabel 4.
Potensi Air Tanah di Propinsi DKI Jakarta
1
Potensi Air Tanah
35,27
Potensi Air Tanah
2,85
Potensi Air Tanah
4,18
Potensi Air Tanah
35,59
Potensi Air Tanah di Propinsi Jawa Barat
Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama. Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama. Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.
Tabel 6.
Potensi Air Tanah di Propinsi Jawa Tengah
Tabel 7.
Potensi Air Tanah di Propinsi DIY
1
Potensi Air Tanah
1,89
dengan mudah mengalir ke sungai. Kondisi ini makin diperparah dengan penebingan sungai dan karakter sungai yang curam sehingga air mengalir begi-tu deras menuju hilir. Padahal daya tampung hilir, seperti Jakarta, Sema-rang, dan kota-kota besar tak memadai. Banjir tak dapat ditolak.
Berdasarkan data Departemen Pe-kerjaan Umum, banjir di Pulau Jawa se-bagian besar terjadi di wilayah pantai
utara dan pantai sela-tan, wilayah cekungan, serta kota-kota besar. Pada tahun 2002, ter-jadi 72 keter-jadian banjir yang menggenangi se-kitar 81,9 ribu hektar wilayah permukiman dan pertanian. Jumlah ini meningkat menjadi 104 kejadian pada tahun 2003 yang me-nggenangi sekitar 91,1 ribu hektar. Sebaran wilayah rawan banjir di Pulau Jawa dapat dili-hat pada Gambar 2.
Sistem pengenda-lian bahaya banjir me-lalui pendekatan infra-struktur telah berlang-sung lama. Lihat saja ada North Java Flood Control Project dan South Java Flood Con-trol Project di Jawa Tengah, Citarum Flood Control Project di Bandung Selatan, Ciliwung Cisadane River Flood Control Projectdan pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) di Jakarta, juga ada pro-yek pengembangan perkotaan seperti Bandung Urban Development Project (BUDP) dan Surabaya Urban Deve-lopment Project (SUDP). Namun, laju pembangunan infrastruktur pengendali banjir yang membutuhkan biaya besar tersebut tidak mampu mengantisipasi
magnitude (besaran) dan frekuensi banjir yang terjadi. 'Musim banjir' pun selalu datang.
Tantangan ke Depan
Kebutuhan air untuk rumah tangga, perkotaan, industri, dan pertanian se-makin hari sese-makin meningkat seiring pertambahan penduduk dan peningkat-an aktifitas perekonomipeningkat-an. Di sisi lain telah terjadi perubahan tata guna lahan yang menyebabkan perubahan perilaku hidrologis sehingga mempengaruhi pola ketersediaan air. Kondisi ini semakin diperparah oleh menurunnya daya du-kung lingdu-kungan akibat kerusakan catchment area. Bisa diduga, kekering-an dkekering-an kebkekering-anjirkekering-an akkekering-an silih bergkekering-anti datang. Tidak itu saja, beberapa kabu-paten/kota bahkan telah menyalakan lampu merah untuk memenuhi kebu-tuhan warganya.
Mau tidak mau, penanganan kabu-paten/kota yang telah mengalami krisis penyediaan air minum melalui inter-vensi infrastruktur dan kegiatan terkait, harus mendapat prioritas. Selain itu, perlu penyesuaian kembali alokasi air antarjenis kebutuhan, khususnya untuk irigasi di Pulau Jawa. Tentu ini bukan hal yang mudah. Perlu ada kajian men-dalam. Lebih dari itu, penanganan sum-ber daya air di Jawa memerlukan siner-gi dan integrasi.
Direktorat Pengairan dan Irigasi Bappenas, mengusulkan program pe-ngelolaan sumber daya air di Pulau Ja-wa berdasarkan prioritas penanganan
Percik
Oktober 2006
8
Tabel 8
Potensi Air Tanah di Propinsi Jawa Timur
Gambar 2. Lokasi Rawan Banjir di Pulau Jawa
Potensi Air Tanah
2,08
segera (jangka pendek), jangka mene-ngah, dan jangka panjang.
Penanganan jangka pendek yang perlu segera dilakukan yaitu:
1. Rehabilitasi lahan dan konservasi sumber daya air, antara lain melalui: (a) reboisasi lahan kritis yang melibatkan masyarakat melalui penanaman tana-man produktif; (b) penurunan laju sedi-mentasi melalui rehabilitasi dan stabili-sasi tebing sungai; (c) mengurangi peri-ode genangan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air irigasi; dan (d) pengelolaan banjir (flood management) yang terintegrasi dengan rehabilitasi lahan.
2. Upaya penyadaran masyarakat tentang penanggulangan banjir dan kekeringan, antara lain melalui: (a) penyadaran masyarakat tentang pe-nanggulangan banjir dan kekeringan; (b) peningkatan kesiagaan masyarakat menghadapi banjir dan kekeringan; (c) kampanye hemat air; (d) pengembang-an sistem peringatpengembang-an dini bpengembang-anjir; (e) Pengembangan institusi pengelola sum-ber daya air; (f) peningkatan sumsum-ber daya manusia dalam pengelolaan sum-ber daya air; (g) penanganan konflik pe-manfaatan air melalui peningkatan ma-najemen sumber daya air; (h) pence-gahan alih fungsi lahan melalui pembe-rian insentif dan sertifikasi; serta (i) peningkatan peran lembaga rehabilitasi lahan dan konservasi air.
3. Intervensi infrastruktur pada lo-kasi-lokasi mendesak dan prioritas, me-lalui: (a) Pembangunan waduk, em-bung, dan lumbung air pada daerah de-fisit air dan rawan banjir; dan (b) Pe-netapan daerah rawan banjir dan penyi-apan fasilitasnya.
Prioritas menengah diperlukan untuk menjaga kesinambungan pro-gram-program pada prioritas segera, antara lain:
Peningkatan efisiensi penggunaan air pada daerah yang berpotensi defisit air tinggi antara lain melalui rehabilitasi jaringan irigasi dan alokasi air yang efisien;
Pengendalian dan penataan penam-bangan Galian C di badan sungai; Pengembangan industri hasil hutan dan pertanian di tingkat lokal; Pengembangan rencana rehabilitasi lahan berbasis teknologi informasi; Peningkatan fasilitasi desain infra-struktur sederhana tingkat lokal; dan
Penyusunan basis data dan infor-masi banjir dan kekeringan di Pulau Jawa termasuk konsep pengelolaan data yang berkelanjutan.
Prioritas jangka panjang mencakup perencanaan penanganan banjir dan kekeringan secara berkelanjutan, antara lain:
Perumusan kebijakan dan strategi implementasi strategi makro secara terintegrasi yang bersifat lintas sek-tor dan lintas wilayah;
Penyusunan skenario pembiayaan dari berbagai sumber yang dalam jangka panjang menitikberatkan pada sumber-sumber dana langsung dari masyarakat; dan
Pengembangan operasi dan pemeli-haraan infrastruktur berbasis ma-syarakat.
Program itu akan berjalan dengan baik bila didukung komitmen yang kuat dari semua stakeholder. Kalau tidak, kondisi Indonesia akan bertambah buruk. Sekarang terserah kita. MJ
D
esa Bunder, Kecamatan Patok, Kabupaten Gunung Kidul, DIY tergolong daerah kering. Lahan di daerah ini hampir sepanjang tahun hanya ditanami singkong. Namun se-jak desa itu menjadi lokasi proyek percontohan pengembangan teknolo-gi panen hujan dan aliran permuka-an, lahan singkong itu telah menjadi lahan padi.Teknologi yang diterapkan cu-kup sederhana yakni menampung air hujan dan aliran permukaan (air yang mengalir di permukaan tanah) pada jaringan hidrologi di sebuah penampungan dengan ukuran pan-jang 20 meter, lebar 5 meter, dan kedalaman sekitar 3 meter. Waduk kecil ini mampu menampung aliran permukaan kurang lebih 300 meter kubik.
Air ini dipergunakan untuk ber-bagai keperluan. Di desa ini, air itu terutama untuk mengairi sawah. Air ini tidak hanya tersedia pada musim hujan, tapi juga di musim kering
sehingga persoalan bercocok tanam berbagai jenis tanaman tersele-saikan.
Teknik penampungan air ini selain mengumpulkan air juga berfungsi menurunkan kecepatan aliran per-mukaan, mengurangi volume air yang mengalir, dan menyimpannya untuk keperluan musim kemarau.
Teknologi penampung air hujan dan aliran permukaan seperti ini ide-al diterapkan di kawasan Puncak mi-salnya, guna menahan laju aliran dan mengurangi volume air yang meng-alir. Usaha lahan kering di berbagai daerah yang memiliki defisit air pun bisa dibantu dengan model ini. Lagi pula dananya tak sebesar memba-ngun waduk/bendungan.
Waduk kecil ini bisa dibuat ribuan di sepanjang Kali Ciliwung dan kali-kali lainnya mulai dari hulu hingga hilir. Bila ini dilakukan, dampaknya akan luar biasa. Produksi pertanian akan naik. Kekeringan dan kebanjir-an sekaligus teratasi. MJ
'Panen Hujan'
ala Gunung Kidul
1.
2.
3.
4.
5.
6.
1.
2.
B
agaimana kondisi pembangun-an daerah secara umum? Visi pembangunan daerah sekarang itu merupakan bagian dari paradigma nasional. Paradigma pembangunan na-sional ini adalah dengan lahirnya UU Pemerintahan Daerah No. 32, maka se-bagian besar kewenangan pemerintah pusat sudah diberikan ke daerah. Maka daerah mendapatkan kesempatan ber-peran lebih besar terutama untuk mela-kukan pembangunan yang tujuannya menyejahterakan rakyat dan membe-rikan pelayanan yang terbaik. Karena itu inisiatif, kreasi memang harus tum-buh di daerah. Makanya istilah pemba-ngunan daerah kita ubah paradigmanya menjadi daerah membangun. Daerah membangun lebih bersifat mereka sen-dirilah yang memikirkan apa yang akan direncanakan, dibutuhkan, dan dilaksa-nakan sampai dibangun oleh daerah sendiri dengan caranya sendiri dalam upaya menyejahterakan rakyatnya. Itu inti dari paradigma sekarang ini.Apakah daerah sudah
meng-ikuti paradigma ini?
Seyogyanya ya. Sebagian besar dae-rah itu sudah bermain sesuai itu. Me-reka sudah mengurus dirinya dengan sangat optimal. Semuanya sudah tahu. UU No. 32 ini kan baru tahun 2004. Tapi sebenarnya lebih awal UU No 22 tahun 1999 telah memberikan kewe-nangan itu. Sejak terjadi perubahan re-formasi pemerintahan dari UU 574 ke UU 22 itu sebenarnya penyambungan saja. Jadi UU 22 itu sudah berlangsung tujuh tahun bahwa kewenangan selu-ruhnya diberikan kepada daerah kecuali kewenangan yang bersifat mutlak dari pemerintah pusat. Daerah sudah ber-main itu sekarang. Masalahnya adalah pencapaian dari daerah ini perlu digi-ring satu visi dan misi yang membangun visi dan misi kabinet Indonesia Bersatu. Dia sebenarnya merupakan subsistem pembangunan nasional. Ini yang menu-rut hemat saya masih perlu didorong.
Apa persoalannya sehingga daerah belum berjalan searah de-ngan pusat?
Itu ada hubungannya dengan ke-mampuan daerah membaca visi nasio-nal dan visi propinsi. Mestinya visi nasional turun menjadi visi propinsi. Visi propinsi kemudian turun menjadi visi kabupaten/kota. Sehingga kalau se-luruh visi ini mencapai sasarannya, ma-ka kita berharap ama-kan terbangun visi propinsi dan nasional. Nah, sebagian besar daerah belum bisa mengait-kait-kan antara propinsi dan nasional. Aki-batnya, kadang-kadang sudah banyak yang dilakukan oleh daerah itu, tapi secara tidak langsung belum mendu-kung visi propinsi dan nasional. Karena alasan misalnya saya kan otonom. Ya. Kamu otonom dalam bingkai Negara kesatuan. Pencapaian tujuan daerah itu dalam rangka mencapai tujuan nasio-nal. Sistem seperti itu yang harus di-tumbuhkembangkan.
Artinya daerah masih memiliki egositas tersendiri?
Ya. Dengan alasan otonom dan sum-ber daya, perkembangan sosial politik kemasyarakatan, dan dengan alasan visi dan misi daerah sekarang ini amat di-tentukan oleh visi dan misi bupati se-suai dengan hasil pilkada. Karena visi dan misi bupati itulah yang menjadi RPJMD. Tidak semua bupati yang ter-pilih bisa memahami secara utuh apa yang menjadi sumber daya kabupaten. Pendekatannya lebih banyak pada bagaimana you memilih saya. Tetapi pemahaman terhadap kabupaten/kota secara detil lemah karena mereka lebih banyak outsider, orang dari luar. Na-mun, itu pada saat awal, seperti ini bisa dipahami. Pada masa-masa yang akan datang, calon bupati itu harus tahu per-sis daerahnya sehingga bisa menum-buhkembangkan daerah. Bayangkan
WAWA N C A R A
Percik
Oktober 2006
10
Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Depdagri,
H Syamsul Arief Rivai
:
Anggarkan Air Bersih untuk Desa!
Sejak era otonomi daerah, geliat pembangunan seolah berpin-dah ke daerah. Dengan sumber daya yang dimilikinya, daerah berlomba membangun daerahnya. Terkadang, begitu asyiknya mereka dengan daerahnya, pemerintah daerah lupa menyesuaikan visi dan misi pembangunannya dengan visi dan misi pembangunan nasional. Akibatnya, seolah-olah pembangunan di daerah berjalan maunya pemda sendiri.
Dampak dari perilaku tersebut yakni pembangunan yang tidak terarah secara nasional. Sektor-sektor yang seharusnya menjadi pri-oritas bersama diabaikan hanya gara-gara itu tidak berdampak
langsung bagi pendapatan daerah. Kondisi ini tidak menguntungkan masyarakat, sebaliknya hanya menjadi ambisi para kepala daerah. Sektor air minum dan penyehatan lingkungan pun jadi korban. Apresiasi pemerin-tah daerah terhadap bidang ini masih kurang. Bagaimana sebenarnya ini bisa terjadi? Untuk menjawabnya,
Percik mewawancarai Dirjen Bina Pembangunan Daerah. Berikut petikannya.
sekarang orang Jakarta jadi bupati Tu-lungagung, apa yang dia tahu di sana kecuali dari dokumen, angka dan seba-gainya. Itu tidak cukup kalau dia tidak tahu kondisi sosial kemasyarakatan. La-hirlah visinya. Rakyat memilih dan dia memenangkannya. Itulah yang kemudi-an menjadi RPJMD. Apakah itu cocok, belum tahu kita. Apakah dia juga me-neliti visi propinsi sebelumnya? Belum tentu, sehingga tidak nyambung.
Seharusnya visi dan misi dae-rah itu seperti apa agar memiliki kesinambungan?
Pertama haruslah merupakan ba-gian dari visi dan misi nasional. Walau-pun ada spesifikasi sesuai kondisi dae-rah masing-masing. Katakanlah kalau daerah itu pantai, maka visinya daerah pantai. Tapi kalau visi ini ditarik pasti mendukung visi nasional mengurangi kemiskinan. Kalau dulu ada yang nama-nya sistem perencanaan pembangunan nasional. Sebenarnya ini bisa dijadikan mekanisme. Kita kan ada rakorbang. Dimulai dari tingkat desa dulu, bottom up, kemudian ke kecamatan, terus ke kabupaten, propinsi. Mestinya memba-ngun visi harus belajar dari mekanisme ini. Baru bisa nyambung.
Bagaimana upaya Bangda membina daerah menuju ke arah yang diharapkan?
Kita sekarang lagi mempersiapkan rancangan peraturan pemerintah ten-tang perencanaan pembangunan dae-rah. Kita harapkan secara bottom up semua harus terkait. Mulai dari rencana pembangunan tingkat perdesaan, keca-matan, kabupaten/kota, propinsi, sam-pai ke tingkat nasional. Bolehlah tiap desa punya visi. Tapi ada kegiatan di desa yang merupakan bagian dari tujuan kecamatan dan seterusnya. Nah itu kita susun. Mendahului itu sudah kita membuat surat edaran menteri dalam negeri. Kebutuhan daerah akan perencanaan itu harus lahir, kalau
menunggu PP lama, maka kita menge-luarkan surat edaran Mendagri tentang penyusunan RPJMP daerah. Jadi visi dan misi bupati itu harus diikat dengan peraturan daerah supaya jangan dia janji-janji pada kampanye satu atau dua, tapi setelah jadi lupa janjinya. Ini agar rakyat bisa memiliki mekanisme kalau bupati melanggar janjinya. Rakyat bisa bilang 'bupati melanggar Perda'.
Jadi selama ini belum ada ikatan yang bersifat hierarki?
Belum. Di dalam peraturan pe-merintah itulah kita harapkan. Dan itu maunya undang-undang No. 32.
Apakah itu tidak membatasi ruang gerak dari daerah?
Tidak. Karena begini, yang dipilih daerah berupa visi dan misi itu adalah dasar penyusunan kebijakan. Dia menyusun visi dan misi berdasarkan data, tidak berdasarkan khayalan. Ha-rus hasil penelitian. Jadi tidak akan mungkin membatasi kalau memiliki da-ta dan pengeda-tahuan yang cukup menge-nai daerahnya.
Kita beralih ke sektor AMPL. Bagaimana pandangan Anda ter-hadap kepedulian daerah
terha-dap hal ini?
Kesadaran rakyat di daerah terha-dap air bersih itu yang perlu diting-katkan. Kita punya program AMPL yang memberikan perhatian khusus terhadap kebutuhan air bersih. Bahkan tahun 2015, 80 persen penduduk di dunia harus mengonsumsi air bersih. Perso-alannya sekarang, di daerah rakyat asal minum. Pokoknya air itu karena keli-hatan jernih dianggap bersih. Padahal belum tentu sehat. Nah makanya perlu ditumbuhkan kesadaran akan penting-nya air yang bersih dan sehat. Yang ke-dua, yang di kota agak lumayan karena ada PDAM. Masalahnya, PDAM itu dikelola secara tidak profesional se-hingga 80 persen PDAM itu merugi. Itu bagaimana? Tetapi air bersih itu meru-pakan suatu yang sangat vital karena di situlah sumber energi sekaligus bisa menjadi sumber penyakit kalau kita tidak jaga. Apalagi musim kering se-karang ini di mana-mana orang mene-riakkan kebutuhan air. Bagaimana pe-merintah daerah menyiapkan itu. Saya melihat di RAPBD, daerah terlalu per-caya PDAM. Padahal PDAM kan hanya di ibukota kabupaten. Yang namanya kecamatan itu tidak terurus. Makanya kita di Bangda ini bekerja sama dengan Care dan WASPOLA untuk memenuhi
FOTO:DPR.GO.ID
kebutuhan air bersih itu. Penduduk yang tinggal di luar ibukota kabupaten itu jauh lebih banyak. Mereka memper-oleh air dari sungai atau sumur, yang mereka semua tidak memiliki pengeta-huan. Misalnya asin-asin sedikit minum aja. Dia tidak tahu dalam jangka pan-jang berbahaya bagi kesehatan.
Kalau kesadaran pemerintah daerahnya sendiri?
Umumnya daerah itu sadar kalau air bersih itu perlu. Karena itu mereka gan-tungkan harapannya pada PDAM. Cuma jangkauan PDAM itu hanya di kota. Mestinya di APBD itu ada anggar-an untuk air bersih di kecamatanggar-an, air bersih di desa, dan pusat-pusat konsen-trasi penduduk. Inilah yang merupakan bagian dari bantuan asing yang masuk ke kita yang membantu masyarakat perdesaan.
Tapi kebanyakan daerah hanya menganggarkan sangat kecil di bidang ini, berarti belum priori-tas?
Ya, bukan prioritas. Prioritas itu jus-tru fisik, infrasjus-truktur. Seolah-olah air dapat sendiri lah. Memang mereka minum, buktinya tidak ada yang mati kehausan, tapi apakah air yang diminum itu layak. Itu yang tidak dike-tahui.
Adakah upaya pemerintah pu-sat agar daerah memberi prioritas untuk sektor ini?
Usaha kita adalah menjaring kerja sama dengan negara-negara donor karena bicara soal air minum ini ong-kosnya mahal, tetapi menyentuh ba-nyak orang. Kita dengan Bappenas, PU, Kesehatan, ada program WASPOLA dan WSLIC bersama-sama mendorong me-nyediakan air bersih. Tapi ini terbatas sifat dan lokasinya. Kita berharap dae-rah lain yang melihat itu kemudian mengikuti pemikiran itu. Menurut saya, kesadaran akan kepentingan air bersih
itu oleh banyak pemda kurang diper-hatikan. Usaha kita memberi contoh. WSLIC itu adalah proyek contoh bagai-mana mengelola air bersih dan penye-hatan lingkungan.
Berarti daerah masih memiliki kendala keterbatasan dana?
Iya.
Bisakah daerah didorong un-tuk mandiri?
Begini. Ini masalah persepsi. Bahwa air minum seolah-olah mudah dipero-leh odipero-leh rakyat. Tahu nggak.Daerah itu sudah pinter juga lho minum air ke-masan. Bahkan ada bupati membuat air kemasan itu karena dia tahu air itu tidak cukup. Ada istri bupati yang ngurusini, bikin pabrik. Tapi bukan itu solusinya. Karena rakyat itu daya belinya rendah, air minum dan air untuk keperluan rumah tangga itu jumlah yang dibu-tuhkan terus menerus dan banyak, sehingga solusinya bukan dengan air kemasan. Penyelesaiannya harus de-ngan menemukan sumber air dan se-kaligus menjadikan air itu menjadi air yang layak pakai. Itu bisa masuk melalui program dan harus didukung oleh APBD.
Apakah kita perlu regulasi untuk menjaga lingkungan kita?
Itu pasti. Karena air ada hubungan-nya lingkungan terutama hutan, maka se-karang ini kencang sekali rambu-rambu-nya. Bukan lagi perlu, sekarang sudah main. Terutama untuk pembabatan hutan, itu sudah kencang kita larang. Di lain pihak, kebutuhan akan kayu tinggi sekali. Dan kita tidak menyiapkan semacam alternatif, kalau bukan kayu apa? Sekarang saya di Bangda sedang memikirkan menyusun kebijakan bahwa jangan lagi pakai kayu. Solusinya adalah kalau untuk kepentingan pembangunan fisik maka dengan baja ringan. Saya gubernur di Sulawesi Barat, dan itu sudah mulai berlaku di sana. Tidak ada lagi bangunan yang menggunakan kayu. Harus pakai baja ringan. Padahal di sana banyak kayu. Kalau mau ambil ting-gal potong, tapi itu mengganggu ringan. Harus ada kebijakan. Kalau tidak orang akan tetap butuh kayu meskipun dilarang, maka lahirlah illegal logging. Sementara kalau baja ringan belum banyak rakyat yang familiar dengan itu. Padahal itu sekaligus antigempa dan antirayap. Maka dalam rangka penyelamatan air, salah satu upayanya adalah perlindungan hutan. Hutan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam siklus hidrologi. MJ
WAWA N C A R A
Percik
Oktober 2006
12
FOTO:DPR.GO.ID
T
ragedi sampah terus menggela-yuti dunia persampahan Indo-nesia. Tahun lalu, puluhan orang meninggal akibat tertimbun sam-pah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuawigajah yang longsor. Tepat 8 September dinihari lalu, giliran trage-di itu menimpa para pemulung yang se-dang mengais rezeki di TPA Bantar Ge-bang, Bekasi. Lima orang meninggal du-nia dan beberapa orang terluka.Kedua tragedi itu berbeda modus-nya. Di Leuwigajah, hamparan sampah longsor dan menimpa permukiman penduduk yang lokasinya lebih rendah dari TPA itu (TPA berada di bukit). Se-dangkan di Bantar Gebang, sampah mengubur para pemulung yang berada di gundukan sampah yang tingginya mencapai hampir 20 meter.
Beberapa kalangan menuding pe-ngelola TPA Bantar Gebang, PT Patriot Bangkit Bekasi (PBB). Perusahaan yang dikontrak oleh Pemda DKI itu dianggap tidak profesional dalam menangani sampah di areal seluas 108 hektar terse-but. Perusahaan itu dianggap menga-baikan Prosedur Standar Operasi (SOP) yang telah ditetapkan. Seharusnya sam-pah dikelola dengan sistem sanitary landfill, tapi fakta di lapangan menun-jukkan perusahaan itu menggunakan sistem open dumping. Sedangkan Gu-bernur DKI Jakarta, Sutiyoso, justru menyalahkan para pemulung yang di-anggap telah memasuki daerah ber-bahaya di zone pembuangan sampah itu. Kecam-mengencam pun terus ber-langsung. Hingga saat ini belum ada so-lusi yang tepat untuk menanganinya.
Lepas dari itu, TPA Bantar Gebang yang terbagi dalam lima zone ini
me-mang telah syarat beban. Berdasarkan perjanjian sebelumnya, TPA yang mulai beroperasi tahun 1992 itu seharusnya ditutup pada Desember 2003. Namun rencana itu tak terjadi. Penggunaan TPA itu diperpanjang atas kesimpulan dan rekomendasi konsultan indepen-den. Evaluasi Pemantauan oleh konsul-tan independen-kerja sama Dinas Ke-bersihan DKI Jakarta, Pusat Penelitian Sumberdaya Manusia dan Lingkungan Hidup Universitas Indonesia dan Pusat Studi Pembangunan dan Lingkungan Universitas Islam "45" Bekasi-menyata-kan, ''Dengan asumsi volume yang ma-suk di TPA Bantar Gebang sesuai de-ngan kondisi tahun 2003 (20.000 m3/hari) serta berkurang karena diba-ngunnya TPA di tempat lain serta mengacu pada data Dinas Kebersihan tahun 2003 (14.000 m3/hari); di mana pengurangan volume sampah di TPA
ju-ga terjadi karena proses penguraian sampah dan juga karena pemadatan (50 persen) serta direduksi oleh pemulung (10 persen). Berdasarkan ketinggian sampah pada tahun 2003 untuk variasi ketinggian perencanaan sebesar 12 dan 15 meter, maka TPA Bantar Gebang ma-sih memiliki kapasitas penampungan untuk 417-1.015 hari."
Di sisi lain, Dinas Kebersihan DKI Jakarta pun tak bisa melepas begitu saja TPA tersebut. Pasalnya DKI belum me-miliki TPA alternatif. Rencana DKI membangun Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bojong, Keca-matan Kalapanunggal, Kabupaten Bo-gor yang menerapkan teknologi tinggi pun kandas karena penolakan oleh ma-syarakat. Mau tidak mau, TPA Bantar Gebang masih jadi tumpuan. DKI tentu tak ingin terjadi tragedi sampah seperti di Kota Bandung karena ketiadaan TPA.
Simalakama
BANTAR GEBANG
FOTO:BAGONG S
Sempat tersiar kabar, TPA itu akan diperluas. Ada tanah seluas 2,3 hektar di TPA tersebut yang bisa digunakan. Namun rencana itu terganjal. Banyak makelar yang bergentayangan sehingga harga tanah menjadi sangat mahal dan jauh dari harga NJOP (nilai jual objek pajak). Kalaupun TPA ini dimekarkan, kapasitasnya tetap tidak mencukupi un-tuk menampung sampah yang datang setiap hari 6.000 ton ke areal itu.
Pusat Pengkajian dan Pengembang-an Teknologi LingkungPengembang-an BPPT pernah melakukan penelitian mengenai ke-mungkinan rehabilitasi TPA Bantar Ge-bang tahun 2004. Berdasarkan kajian, TPA tersebut masih dapat direhabilitasi sehingga dapat digunakan menjadi TPA yang ramah lingkungan dan dapat digu-nakan secara berulang atau terus menerus. Sedangkan kandungan bahan organik yang ada di bawah tumpukan sampah di TPA dapat ditambang dan digunakan untuk reklamasi lahan kritis atau bekas pertambangan.
Hingga saat ini belum ada tindakan yang konkret untuk menangani TPA Bantar Gebang. Semua berjalan seperti biasa saja, kendati korban jiwa telah ja-tuh. ''Ini semua terjadi karena TPA Ban-tar Gebang menjadi ajang untuk men-cari uang. Semua saling berebut untuk mencari uang di sini,'' kata Bagong Su-yoto, Ketua Koalisi LSM untuk Per-sampahan Nasional. Ia menceritakan, ada bau politik di TPA terbesar ini. Par-tai-partai besar yang ikut menentukan keberlangsungannya. Belum lagi, pre-manisme pun tak kalah ganasnya.
Bagong yang pernah menjadi Koor-dinator Pokja Penanganan TPA Bantar Gebang ini mengungkapkan praktek po-litik uang ini pulalah yang menjadikan pengelolaan TPA tidak beres. ''Manaje-men fee yang kini besarnya 120 ribu rupiah per ton, diperas sana peras sini. Pokoknya semua minta jatah. Akibat-nya, uang yang seharusnya digunakan untuk mengelola persampahan ini habis untuk kegiatan non teknis. Operasi TPA
ini sangat sarat dengan premanisme dan KKN,'' jelasnya.
Menurutnya, penunjukan PT PBB pun tak lepas dari unsur itu. Perusa-haan ini seharusnya habis masa kon-traknya Juli 2006. Eh ternyata diper-panjang lagi dua kali enam bulan. Padahal sejauh ini PT PBB kualifikasi-nya belum diketahui. Modalkualifikasi-nya pun tak jelas, punya atau tidak. PBB juga tidak menggunakan teknologi tinggi apapun. Dan kalau bicara SDM-nya, tak ada yang tahu, apakah perusahaan itu me-miliki para ahli di bidang persampahan. Bagong heran mengapa perusahaan se-perti ini ditunjuk untuk mengelola TPA Bantar Gebang. ''Apakah DKI tidak me-miliki partner yang lebih baik?'' katanya seraya menambahkan telah terjadi KKN dalam penunjukan tersebut.
Selain itu, lanjutnya, sampai seka-rang tidak ada perjanjian tripartit yang melibatkan Pemda DKI, Pemkot Bekasi, dan pihak swasta. Yang ada hanya per-janjian antara DKI dan Kota Bekasi saja. Mata rantai yang tidak jelas ini pulalah yang menyebabkan pengelolaan sam-pah di Bantar Gebang menjadi seperti sekarang.
Bagong mengusulkan, sudah saat-nya DKI meminta dukungan pemerin-tah pusat seperti BPPT, Departemen Pe-kerjaan Umum, Kementerian Lingkung-an Hidup, dLingkung-an Bappenas untuk ikut membantu TPA Bantar Gebang.
Menu-rutnya, perlu ada minning (pengerukan) di TPA ini yang hasilnya bisa digunakan untuk pupuk tanaman keras misalnya.
Untuk jangka panjang, ia menya-rankan DKI harus menerapkan prinsip 3 R (reduce, reuse, danrecycle) sejak di sumber sampah. Selain itu pengom-posan pun bisa dilakukan di sumber-sumber sampah. Ini penting mengingat 44,63 persen sampah DKI merupakan sampah organik. ''Kalau ini berjalan, maka TPA hanya tinggal menerima sisanya. Dan itu tinggal sedikit,'' kata Bagong.
Pada kesempatan lain Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta, Rama Budi menyatakan persoalan penanganan sampah tidak hanya masalah teknis be-laka. Justru masalah non teknis yang le-bih besar. Pihaknya sendiri telah mem-pertimbangkan umur teknis TPA Bantar Gebang yang hampir habis. Maka DKI telah mengkaji ulang Master Plan Penge-lolaan Sampah Padat yang disusun oleh JICA tahun 1987. Dari hasil kajian yang selesai tahun 2005 itu diperoleh ren-cana aksi Pengelolaan Sampah DKI Jakarta 10 tahun ke depan (2005-2015). Action plan itu telah disesuaikan dengan berbagai aspek sesuai perkem-bangan permasalahan sampah yang berkembang baik aspek institusi, hu-kum, dan financial. Pendekatan dan strategi itu antara lain mengurangi dan memanfaatkan sampah sebanyak mungkin di sumber sebelum dibuang ke TPA; pemilahan; pembangunan fasilitas pengolah sampah di berbagai lokasi dan zonasi penanganan sampah; aplikasi teknologi tinggi; penanganan sampah B3 secara khusus; membuka peluang kerja sama regional dan swasta; dan perubahan paradigma masyarakat bah-wa sampah bisa menjadi sumber daya yang ekonomis. Strategi ini memasuk-kan konsep desentralisasi dan penggu-naan teknologi tinggi serta kerja sama regional. Kalau ini berjalan, beban TPA Bantar Gebang bisa berkurang. Perta-nyaannya, kapan? MJ
T E R O P O N G
Percik
Oktober 2006
14
Pusat Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi
Lingkungan BPPT pernah
melakukan penelitian mengenai
kemungkinan rehabilitasi
TPA Bantar Gebang tahun 2004.
Berdasarkan kajian, TPA tersebut
masih dapat direhabilitasi
sehingga dapat digunakan
menjadi TPA yang ramah
T
ragedi sampah longsor tempat pembuangan akhir (TPA) Ban-tar Gebang milik DKI Jakarta pada Jumat, 8 September 2006 mene-lan 5 jiwa dan 3 luka-luka merupakan indikasi buruknya pengelolaan sampah. Selama dua bulan terakhir terjadi empat kali sampah longsor di TPA itu. Namun pengelola tidak belajar dari sejarah hi-tam tersebut. Kebiasaan masa lalu terus berlangsung.Tidak mudah mengubah suatu sis-tem dan kultur yang telah berjalan pu-luhan tahun dalam pengelolaan sampah di DKI Jakarta dan Indonesia pada umum-nya. Pendekatan yang ditempuh DKI menekankan pada top-down policy, ha-nya pemerintah yang mengurusi sam-pah dengan manajemen tertutup. Pen-dekatan masa lalu tersebut menimbul-kan berbagai masalah.
Basis pengelolaan sampah di Jakar-ta adalah master plan1987-2005 yang disusun JICA, yang meliputi (1) pe-ngumpulan (colletion) seperti: pelayan-an door to door, sistem LPS (gerobak sampah), penyapuan (street sweeper); (2) pengangkutan (SPA besar 2 buah, SPA kecil 13 buah); (3) Pengangkutan dengan kontainer dan kompaktor; (4) Pembuangan akhir (disposal site) di belahan timur di TPA Bantar Gebang dan belahan Barat di Ciangir, Tange-rang. Sayangnya sampai sekarang calon TPA Ciangir tidak bisa dioperasikan ka-rena penolakan warga.
Sistem kumpul - angkut - buang me-rupakan sistem konvensional, yang ha-nya memindahkan masalah. Sampah Jakarta dibuang ke TPA Bantar Gebang dan terus menggunung. Dari 5 zona TPA Bantar Gebang, pada Juli 2006 se-muanya sudah penuh, yang semestinya TPA ditutup pada akhir Desember 2003
lalu. Lebih dari 27.966 m³ atau 6.000 ton/hari sampah dibuang ke TPA Ban-tar Gebang, terdiri dari 55,37% sampah organik dan 44,63% non-organik. Sam-pah itu dihasilkan oleh lebih 10 juta penduduk Jakarta.
Setelah Ciangir gagal, untuk meng-atasi kejenuhan TPA Bantar Gebang, Pemda DKI Jakarta membangun TPST Bojong Kalapanunggal-Bogor, dirintis awal 2001. Namun, TPST Bojong dito-lak warga sekitar. Berbagai alasan peno-lakan muncul mulai dari mulai keboho-ngan publik hingga penempatannya ti-dak sesuai dengan tata ruang (RTRW). Sementara itu pihak pengelola, menya-takan TPST tersebut menggunakan tek-nologi pengolah sampah (balla press) paling modern di Indonesia, yang dapat
menyerap 1.500 ton/hari sampah dari Jakarta.
Sekarang ini TPA Bantar Gebang menjadi satu-satunya tumpuan DKI Ja-karta, paling tidak untuk 2-3 tahun ke depan. Masalahnya, TPA Bantar Ge-bang dikelola tanpa memperhatikan standar baku (teknis), akibatnya me-nimbulkan pencemaran lingkungan (udara, tanah dan air). Seperti leachet yang tak tertampung oleh IPAS meng-alir hingga 15 km melewati Kali Asem, Kali Pedurenan, Perumahan Regency, Dukuh Zamrud/Kota Legenda, Duta Harapan, dan seterusnya. Leachet itu telah mencemari sawah-sawah petani akibatnya produktivitas padi turun drastis setiap tahun. Pencemaran itu bertambah ketika TPA Sumur Batu mu-lai dioperasikan pada Juni 2003, di-mana pengelolaannya lebih buruk lagi.
Pencemaran air tersebut
berpenga-Review Master Plan
Pengelolaan Sampah DKI Jakarta
GRAFIK TIMBULAN SAMPAH DI DKI JAKARTA TAHUN 2005 (6.000 ton/Hari)
Pemukiman
Pasar
Sekolah
Perkantoran
Industri
Lain-lain
Pemukiman
3.178 (52.97%)
Pasar
240 (4%)
Sekolah
319 (5.32%)
Perkantoran
1.641 (27.35%)
Industri
538 (8.97%)
Lain-lain
84 (1.4%)
Jakarta Pusat : 5.280 m3 Jakarta Utara : 4.408 m3 Jakarta Barat : 6.000 m3 Jakarta Selatan : 6.218 m3 Jakarta Timur : 6.060 m3 Jumlah : 27.966 m3 1. Organik : 55,37 % 2. An Organik. : 44,63 %
2.1. Kertas : 20,57 %
2.2. Plastik : 13,25 %
2.3. Kayu : 0,07 %
2.4. Kain/Trkstil : 0,61 %
2.5. Karet/Kulit Tiruan : 0,19 %
2.6. Logam/Metal : 1,06 %
2.7. Gelas/Kaca : 1,91 %
2.8. Sampah Bongkaran : 0,81 %
2.9. Sampah B3 : 1,52 %
2.10 Lain-lain (batu,pasir,dll) : 4,65 %
KOMPOSISI SAMPAH
VOLUME SAMPAH :
Sumber : WJEMP 2005
Oleh:
Bagong Suyoto*
Timbunan Sampah di DKI Jakarta tahun 2005
ruh langsung pada kualitas air sumur penduduk, yang kini tidak layak minum. Penduduk hanya mengandalkan air mineral dan sumur artesis. Sayangnya operasi sumur artesis tidak menjangkau seluruh penduduk sekitar TPA, yaitu Cikiwul, Ciketing Udik, dan Sumur Ba-tu, Kec. Bantar Gebang, dan Desa Ta-man Rahaya, Kec. Setu. Air sumur war-ga sudah tercemar tinja (e-coli) dan lo-gam berat. Pada umumnya sampah yang dibuang ke TPA bercampur-baur antara organik, non-organik dan sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) skala rumah tangga. Yang lebih sengsara adalah pemulung, mereka menggunakan air minum dan keperluan sehari-hari dengan air se-adanya dan tercemar.
Persoalan lain tentu berdampak pa-da kesehatan masyarakat. Berbagai pe-nyakit menyerang seperti ISPA, alergi kulit, radang paru-paru, asma, anemia, dan lain-lain. Gangguan kesehatan itu disebabkan oleh asap dari pembakaran sampah, tebaran debu sampah, bau bu-suk yang terbawa angin dan sebagainya.
Masalah lainnya akibat pengelolaan TPA yang buruk adalah semakin be-sarnya konflik sosial (vertikal dan hori-zontal), praktek KKN, premanisme dan vandalisme. Berbagai kepentingan
muncul di sini mulai dari Pemda DKI, Pemkot Bakasi, DPRD, Parpol, Ormas, LSM, pelapak, pemulung, hingga warga yang tinggal di sekitar TPA. Hal ini semakin tampak dan panas ketika MoU pemanfaatan TPA Bantar Gebang akan berakhir tiap tahun. Sampah pada akhirnya terjerembab dalam aras poli-tik, inilah yang dipahami sampah seba-gai komoditas politik. Pengelolaan sam-pah yang buruk akan menjadi gudang pemerasan, apalagi TPA itu di tempat orang lain.
Review Master Plan
Untuk mengatasi berbagai perma-salahan yang menyelimuti pengelolaan sampah Jakarta maka dilakukan review master plan 1987. Review 10 tahun ke depan (2005-2015) yang dimaksud adalah Solid Waste Management for Jakarta: Master Plan Review and Pro-gram Development, bagian dari Western Java Enviromental Mana-gement Project (WJEMP - IBRD Loan 4612-IND/IDA Credit 3519-IND). Ba-gian yang sangat penting dari WJEMP adalah Jabodetabek Waste Manage-ment Corporation(JWMC), yaitu pem-bentukan TPA Regional, direncanakan di Nambo, Bogor. Belajar dari penga-laman pengelolaan sampah selama ini
maka DKI perlu mengubah paradig-manya, menuju era baru pengelolaan sampah.
Sebagai ibukota negara, metropoli-tan Jakarta dibebani oleh berbagai masalah seperti pertambahan pen-duduk dan urbanisasi, perkembangan aktivitas ekonomi dan pembangunan modern. Sementara perilaku masyara-kat yang semakin konsumtif sulit di-tekan, termasuk pemakaian kantong/-pembukus dari plastik yang tidak ra-mah lingkungan. Semua berimplikasi pada timbulan dan komposisi sampah yang terus bertambah besar. Berpijak dari pengalaman masa lalu dan per-soalan yang mengikutinya, maka penge-lolaan sampah di Jakarta sudah wak-tunya mengandalkan teknologi canggih yang ramah lingkungan.
Pendekatan dan strategi berdasar-kan review master plan, yaitu tidak ter-pusat, ramah lingkungan, multi tekno-logi, tata regulator/operator, peran swasta dan masyarakat, pilah sampah/3 R (reduce, reuse, dan recycle), kerja sa-ma regional, pay as you throw. Sasaran program untuk jangka pendek, menen-gah dan panjang adalah (1) pengelolaan sampah yang efektif, efesien, ramah lingkungan dengan menggunakan tek-nologi modern; (2) tercapainya sinergi Pemda, swasta dan masyarakat; (3) ter-wujudnya sampah sebagai sumber daya. Sumber dana APBD, kemitraan, APL-2 (World Bank), grantdan peluang CDM. Pemprop DKI akan membangun 4 TPST di wilayah indoor, yaitu Duri Ko-sambi-Jakbar, Marunda-Jakut, Puloge-bang-Jaktim, dan Ragunan-Jaksel. Pa-da intinya sampah akan dikelola mulai dari sumber (pemilahan), diangkut ke SPA, dan disalurkan ke TPST. Sampah akan diolah menjadi kompos dan mate-rial yang berguna, daur ulang, dan juga akan diubah menjadi listrik (waste to energi). Pemprop DKI sudah melaku-kan penjajamelaku-kan dan MoU dengan se-jumlah perusahaan baik domestik mau-pun luar negeri. Dari luar negeri dapat disebut Kepple-Seghers, Singapura, dan
T E R O P O N G
Percik
Oktober 2006
FOTO: BAGONG S
perusahan Kanada.
Dalam laporan Potential Project Porfolio for Clean Development Mecha-nism in India and Indonesia (Maret 2006) ada dua tempat yang mendapat dukungan dari Kanada, yaitu waste to energymelalui insinerasi (Dinas Keber-sihan DKI) di Duri Kosambi, Jakarta Barat dan mechanical composting and manual sortingoleh Wira Gulfindo Sa-rana di Jakarta Utara--dua proyek pen-gelolaan sampah yang (akan) mendapat fasilitas CDM. Sedang di TPA Bantar Gebang, sebuah perusahaan dari Je-pang (Kajima) akan mengolah sampah juga menjadi listrik. Belakangan kalang-an GTZ Germkalang-an dkalang-an Bali Fokus sedkalang-ang menyusun studi kemungkiman berapa besar proyek tersebut dapat difasilitasi CDM. Mereka telah melakukan kunjung-an ke Bkunjung-antar Gebkunjung-ang pada bulkunjung-an April 2006 didampingi Kementerian Ling-kungan Hidup, Bappenas, dan Koalisi LSM untuk Persampahan Nasional.
Kunci Utama
Berdasarkan pengalaman, secanggih apa pun teknologi yang diterapkan un-tuk mengolah sampah, tidak akan ber-hasil tanpa adanya dukungan/partisipa-si masyarakat. Masyarakat, termasuk mereka yang tinggal di pinggiran TPA/TPST, kaum perempuan, pemu-lung dan sekor informal selayak diajak menyusun desain pengelolaan sampah, implementasi, monitoring dan review (berkala).
Master plan akan dapat dilaksa-nakan dengan sukses bila mengadopsi dan mengeloborasi Rekomendasi Se-miloka Pembahasan Rencana Aksi Pe-ngelolaan Sampah Jakarta 2005-2015 di Hotel Millenium Jakarta, 23 No-pember 2005. Semiloka tersebut meru-pakan kerja sama Koalisi LSM untuk Persampahan Nasional dan Dinas Kebersihan DKI. Tiga butir rekomen-dasi adalah: (1) Melakukan Review To-tal terhadap pelibatan berbagai stake-holder dalam pengelolaan sampah di
Jakarta, juga pemberdayaan masyara-kat dalam pengelolaan sampah, (2) Me-lakukan kaji ulang terhadap pemilihan lokasi tempat pembuangan akhir/ tem-pat pengolahan sampah terpadu (TPA-/TPST) yang berdekatan dengan permu-kiman penduduk, dan (3) Menyediakan berbagai alternatif dan kaji ulang peng-gunaan teknologi pengolahan sampah di Jakarta. Hendaknya menekankan teknologi yang ramah lingkungan, tidak menimbulkan pemborosan sumber alam dan sumber dana, melindungi ke-sehatan, dan dapat mendorong pening-katan kesejahteraan masyarakat.
Upaya ini dibarengi adanya pemi-sahan antara regulator, operator, dan pengawas. Tentu semuanya itu harus tertuang dalam klausul-klausul UU Per-sampahan, selanjutnya diturunkan da-lam PP dan Perda.
Sejauh ini kita belum memiliki UU Persampahan, informasi yang diterima penulis, bahwa RUU Pengelolaan Sam-pah masih diharmonisasi di Departe-men Hukum dan HAM. Saat ini RUU itu belum masuk program legislasi nasional (Prolegnas). Demi kepentingan
bersa-ma selayaknya pembahasan itu diperce-pat dan segera dikeluarkan amanat pre-siden (Ampres) guna dimasukkan da-lam Prolegnas dan segera diagenda di DPR RI. Banyak kalangan menunggu lahirnya RUU tersebut.
Berbagai persoalan sampah seperti kasus TPA Bantar Gebang, TPST Bo-jong, TPA Leuwigajah, kasus Bandung lautan sampah telah menciptakan stig-ma buruk dan merupakan bagian seja-rah hitam pengelolaan sampah di Indo-nesia. Kementerian Lingkungan Hidup menduga, apa yang dialami Bandung akan terulang di kota-kota lain. Jika su-atu hari TPA Bantar Gebang ditutup total, sementara Jakarta belum siap dengan implementasi master plan maka bahayanya akan lebih dahsyat beberapa kali lipat dibanding kasus sampah Ban-dung. Karena timbulan sampah Jakarta jauh lebih banyak dibanding Bandung. DKI harus mengambil langkah-langkah cepat, konkrit, terencana dan kompre-hensif untuk mengantisipasinya.
*) Ketua Koalisi LSM Untuk Persampahan Nasional, Ketua Dewan Daerah WALHI Jakarta
A
bad ke-21 dimulai dengan se-buah kondisi pembangunan manusia yang mendasar yang belum tertanggulangi, yaitu akses kepa-da layanan air minum, khususnya bagi penduduk miskin di daerah kumuh per-kotaan. Sementara akses ke air minum merupakan sumber daya atau modal da-sar bagi keberlangsungan hidup. Akses ke air minum merupakan salah satu komponen dalam klasifikasi kemiskinan (Howard, 2004). Kegagalan dalam pe-nyediaan air membawa dampak ke se-mua kelompok. Akan tetapi, yang paling besar dampaknya adalah terhadap pen-duduk miskin kota sehingga mereka se-makin tidak mampu keluar dari siklus kemiskinan.Beberapa faktor ditengarai menjadi penyebab minimnya akses air minum, khususnya bagi penduduk miskin, yaitu sebagai berikut.
Lahan yang ditempati bukan meru-pakan miliknya yang sah.
Pada daerah perkotaan, penyedia la-yanan air minum tidak melayani dae-rah permukiman liar, dengan pertim-bangan akan memberi legitimasi dan alasan bagi penduduk untuk terus menempati lokasi tersebut. Walau-pun kebijakan nasional menyatakan bahwa air minum diperuntukkan bagi semua orang, dalam prakteknya hal ini tidak akan terjadi pada penduduk di permukiman liar.
Kemampuan penduduk miskin sa-ngat terbatas untuk membayar bia-ya sambungan sekaligus di depan. Keterbatasan kemampuan untuk membayar biaya sambungan itu akan berakibat bahwa penduduk miskin ti-dak akan pernah memperoleh layan-an air perpipalayan-an. Harga satulayan-an air perpipaan jauh lebih rendah dari air
yang dijajakan keliling, tetapi biaya sambungan air perpipaan mahal (McIntosh, A. C, 2003).
Ketika tanggung jawab penyediaan air minum dialihkan ke swasta, ke-pentingan penduduk miskin bukan menjadi perhatian.
Perusahaan penyedia layanan air mi-num swasta tidak tertarik melayani penduduk miskin sebab penduduk miskin berkonsumsi rendah, mereka tidak mampu membayar biaya pema-sangan sekaligus di depan. Di sam-ping itu, mereka sering berlokasi di kawasan permukiman liar.
Bagi sebagian besar pengambil ke-putusan, penduduk miskin dianggap tidak mampu dan/atau tidak mau membayar.
Penduduk miskin dianggap tidak mampu untuk membayar. Walaupun
demikian, pada saat tertentu seperti menjelang pemilihan umum, pendu-duk miskin perkotaan memperoleh perhatian berupa janji perbaikan ling-kungan dan penyediaan air gratis. Lokasi tempat tinggal jauh dari ja-ringan perpipaan.
Ketika penduduk berlokasi di ka-wasan kumuh, atau berjarak jauh dari jaringan perpipaan, akses air minum menjadi berkurang.
Kekurangan air dan sanitasi ber-dampak pada kemiskinan melalui em-pat dimensi, yaitu (i) kesehatan, (ii) pendidikan, (iii) jender, dan (iv) penda-patan dan konsumsi (Bosch, Hom-mann, Sadoff dan Travers, 2000). Hal itu selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1.
Ketika penduduk miskin tidak mem-peroleh akses air minum, penduduk miskin khususnya di perkotaan me-nanggung konsekuensinya, di antaranya
WAWA S A N
Percik
Oktober 2006
Pembangunan Air Minum
dan Kemiskinan
Oleh:
Oswar Mungkasa
*
Kesehatan
Pendidikan
Pendapatan/ Konsumsi
- Penyakit terkait air dan sanitasi
- Malnutrisi karena diare
- Berkurangnya usia harapan hidup
-Tingkat kehadiran berkurang karena sakit, atau antri air
- Tingginya proporsi pengeluaran untuk air
- Berkurangnya potensi penda- patan karena sakit, berkurangnya kesempatan kerja yang memerlukan ketersediaan air.
Dimensi Kemiskinan
Dampak Utama
Kekura-ngan Air Minum dan Sanitasi
Gambar 1.
PENGARUH KETERSEDIAAN AIR MINUM TERHADAP BERAGAM DIMENSI KEMISKINAN
Sumber: Bosch dkk (2000)
a.
b.
c.
d.
e.
berupa (Johnstone dan Wood, 1999) (i) meningkatnya biaya bagi yang tidak memperoleh akses, (ii) berkurangnya konsumsi air, dan (iii) bertambahnya beban kesehatan dan timbulnya biaya ekonomi karena hilangnya produktivi-tas. Satu persatu akan dijelaskan beri-kut ini.
Meningkatnya biaya bagi yang tidak memperoleh akses.
Ketika penduduk tidak memperoleh akses, mereka mencari alternatif lain yang lebih mahal. Masyarakat miskin membeli 5-30 liter air per kapita/hari melalui "perantara" seperti pemilik rumah, kios air, dan penjaja keliling dengan harga yang jauh lebih mahal. Penduduk menghabiskan dana seki-tar 10-40 persen dari pendapatan un-tuk air minum dan mungkin memba-yar 10-100 kali tarif rata-rata (Black, 1996).
Sementara itu, RT pelanggan air per-pipaan umumnya hanya mengeluar-kan kurang dari 2 persen
(Satter-waithe, 1998). Hal itu selengkapnya da-pat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2. Sebagai perbandingan, di negara maju, pengeluaran air berkisar pada 0,5 sam-pai 2 persen dari pendapatan rata-rata (1,3 persen di Jerman dan Belanda, 1,2 persen di Perancis). Air minum diang-gap mahal jika pengeluaran melampaui
3 persen dari pendapatan rata-rata penduduk (Water Academy, 2004). Berkurangnya konsumsi air. Semakin besar biaya, waktu dan usa-ha yang dibutuhkan bagi konsumsi air, air yang dikonsumsi penduduk
miskin kemungkinan semakin jauh dari kebutuhan minimal.
Bertambahnya beban kesehatan dan timbulnya biaya ekonomi karena hi-langnya produktivitas.
Kekurangan akses ke air minum ber-kaitan ke penyakit baik yang langsung maupun yang tidak langsung. Banyak penduduk miskin terjangkit penyakit disebabkan oleh kurang la-yaknya air yang dikonsumsi. Akibat-nya, sebagian besar pendapatan habis untuk penanggulangan kesehatan se-hingga tidak cukup tersedia dana un-tuk kegiatan produktif. Selain itu, penduduk yang menderita sakit diare atau yang merawat keluarga yang sa-kit tidak akan dapat bekerja, yang berarti hilangnya produktivitas. (Sur-jadi, 2003)
Karakteristik pasar air minum di an-tara komunitas miskin menunjukkan hal-hal sebagai berikut. (i)Kinerja pe-nyedia air minum yang rendah lebih menyengsarakan penduduk miskin di-bandingkan yang kaya.Penduduk mis-kin biasanya tergantung pada gaji hari-an sehingga waktu yhari-ang terbuhari-ang untuk memperoleh air akan mengurangi ke-sempatan memperoleh penghasilan. (ii) Penduduk miskin membayar lebih
be-sar untuk air minum. Meskipun terda-pat persepsi bahwa penduduk miskin ti-dak mampu membayar, kenyataannya mereka membayar lebih besar daripada penduduk kaya, seperti membeli air dari penjaja keliling dengan harga yang
Tabel 1
PERBANDINGAN HARGA AIR MINUM PENJAJA KELILING DAN PERPIPAAN
Kota
Abidjan Bandung Dhaka
Ho Chi Minh, Vietnam Istanbul
Rasio harga air penjaja keliling terhadap
World Bank, 1998 ADB, 1993 World Bank, 1998
ADB, 1993 World Bank, 1998
Crane, 1994
World Bank, 1998 World Bank, 1998 World Bank, 1998 World Bank, 1998 David dan Ionesco, 1998
World Bank, 1998 Whittington dkk, 1991
World Bank, 1998 World Bank, 1998
Sumber: Diolah dari World Bank, 1998 dan Satterwaithe, 1998
Lokasi
Onitsha, Nigeria Manila, Filipina Addis Abeba, Ethiopia Port-au-Prince, Haiti 16,5 - 55,6 persen
Sumber
Whittington dkk, 1991 David dan Inocencio, 1998 Bahl dan Lihn, 1992 Fass, 1998
Cairneross dan Kinner, 1992
Sumber: Satterwaithe, 1998
Tabel 2.
PROPORSI PENGELUARAN AIR MINUM RUMAH TANGGA MISKIN PERKOTAAN
a.
b.