• Tidak ada hasil yang ditemukan

Originalitas Penelitian

BAB I : PENDAHULUAN

1.6 Originalitas Penelitian

Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian Anita (2016) dengan beberapa perbedaan diantaranya dari segi tahun penelitian yang berbeda tiga tahun dari tahun penelitian terdahulu, peneliti terdahulu melakukan penelitian ditahun 2016 dan peneliti melakukan penelitian di tahun 2019, lokasi yang diteliti diperkecil dari lokasi peneliti terdahulu di Kantor Akuntan Publik seluruh Sumatera sehingga berfokus pada dua lokasi penelitian yaitu Medan dan Pekanbaru, serta alat uji yang digunakan peneliti pun berbeda dengan alat uji peneliti terdahulu, alat uji yang peneliti gunakan adalah SPSS dengan melihat hasil dari pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen, namun peneliti terdahulu menggunakan SEM PLS dengan melihat hasil dari analisis variabel independen terhadap variabel dependen.

Tabel 1.1 Originalitas Penelitian

No Uraian Penelitian Terdahulu Penelitian Saat Ini

1 Variabel Independen

3 Variabel Moderasi - Komitmen Organisasi

4 Waktu Penelitian 2016 2019

5 Lokasi Penelitian Seluruh KAP Sumatera

KAP Wilayah Medan dan Pekanbaru

6 Alat Uji SEM PLS SPSS

BAB II

LANDASAN TEORI DAN TELAAH LITERATUR 2.1 Landasan Teori

2.1.1 Contingency Theory (Teori Kontinjensi)

Teori Kontinjensi yang dijelaskan oleh Fiedler (1964) didalam sebuah artikel yang berjudul a contingency model of leadership effectiveness merupakan teori organisasi yang mengklaim bahwa tidak ada cara terbaik untuk mengatur sebuah perusahaan, untuk memimpin sebuah perusahaan, atau untuk membuat keputusan.

Sebaliknya, tindakan yang optimal bergantung pada situasi internal dan eksternal.

Fiedler ingin menekankan bahwa proses kerja dalam sebuah organisasi, kepribadian pemimpin sangat dibutuhkan dan berkaitan erat dengan situasi dimana seseorang itu berkerja ataupun beroperasi.

Teori Kontinjensi menurut Fiedler (1964) dibagi atas dua gaya kepemimpinan yaitu task motivated (motivasi kerja) yang diartikan sebagai sikap yang menggambarkan gaya kepemimpinan yang berkaitan dengan menetapkan tujuan, menyusun tugas, dan mengukur kinerja. Pemimpin yang termotivasi oleh tugas akan fokus pada kegiatan seperti perencanaan, penjadwalan, mendefinisikan peran dan tanggung jawab, dan memberikan umpan balik yang berhubungan dengan kinerja (oxfordindex.oup.com). Gaya kepemimpinan yang berikutnya yaitu relationship motivated (motivasi hubungan/relasi) yang menggambarkan gaya kepemimpinan yang berkaitan dengan mempertahankan hubungan positif dalam kelompok, menghilangkan penyebab gesekan, dan mengangkat semangat kerja.

Pemimpin yang termotivasi hubungan akan menunjukkan kepercayaan bawahan,

menghormati ide-ide mereka, dan pertimbangan untuk perasaan mereka (oxfordindex.oup.com).

Otley (1980) menambahkan bahwa dalam pendekatan kontinjensi ini tidak ada sistem akuntansi yang berfungsi secara menyeluruh untuk semua organisasi.

Kesesuaian sistem akuntansi akan bergantung pada keadaan organisasi yang lebih spesifik. Pendekatan kontinjensi juga dijabarkan oleh Luthans (2006) melalui konsep Goals-Path sebagai berikut;

Gambar 2.1 Konsep Goals-Path

Luthans melanjutkan bahwa konsep teori kontinjensi goals path ini dapat digunakan atau secara aktual telah digunakan oleh seseorang yang memiliki jiwa kepemimpinan dalam segala situasi. Perkembangan seseorang yang memiliki jiwa kepemimpinan secara umum berorientasi mengenai apakah keberhasilan dalam situasi tertentu akan berkontinjensi pada perilaku pribadi mereka sendiri atau dikendalikan oleh kekuatan eksternal (Rotter, 1966).

15

2.2 Telaah Literatur

2.2.1 Dysfunctional Audit Behaviour (Perilaku Disfungsional Auditor) Perilaku Disfungsional Auditor terdiri dari tiga kata yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2016) memiliki arti kata tersendiri, yaitu perilaku yang diartikan tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan, disfungsi sebagai perihal tidak berfungsi secara normal atau terganggu fungsinya, kata terakhir yaitu auditor memiliki arti pengaudit. Pengertian ketiga kata tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2016) Perilaku Disfungsional Auditor merupakan reaksi seseorang yang bekerja dalam pengauditan terhadap lingkungan kerja diluar dari proses pengauditan seharusnya.

Literatur yang membahas perilaku disfungsional pada Auditor menjelaskan bahwa istilah perilaku disfungsional merupakan gambaran atas perilaku yang berkontribusi terhadap penurunan kualitas audit hingga berakhir pada kegagalan dalam melakukan pengauditan. (Otley and Pierce, 1996; Rhode, 1978; Alderman and Deitrick, 1978) dan mengubah atau mengganti langkah audit (Margheim and Pany, 1986). Perilaku disfungsional auditor dijelaskan oleh Otley dapat mempengaruhi kualitas audit baik secara langsung maupun tidak langsung.

Pengaruh secara langsung yang disebabkan oleh perilaku disfungsional auditor dapat berupa prematur sign-off dari tahapan pengauditan tanpa menyelesaikan prosedur yang telah ditetapkan, kurangnya perolehan bukti audit oleh auditor, altering/replacing of audit procedure (Alderman and Deitrick, 1982), memproses audit yang kurang akurat (Mc. Daniel, 1990) serta kesalahan yang ditimbulkan

dalam pelaksanaan tahapan-tahapan audit (Margheim and Pany, 1986). Sementara perilaku disfungsional yang dipengaruhi secara tidak langsung dapat berupa underreporting of time.

Altering/replacing of audit procedure adalah penggantian prosedur audit yang telah ditetapkan dalam standar auditing. Hal ini berpengaruh secara langsung terhadap kualitas audit dan dapat mengubah hasil audit.

Premature sign off merupakan suatu keadaan yang menunjukkan auditor menghentikan satu atau beberapa langkah audit yang diperlukan dalam prosedur audit tanpa menggantinya dengan langkah lain. Suatu proses audit sering gagal karena penghapusan prosedur audit yang penting dari prosedur audit daripada prosedur audit tidak dilakukan secara memadai untuk beberapa item.

Underreporting of time terjadi ketika auditor melakukan tugas audit tanpa melaporkan waktu yang sebenarnya. Underreporting of time menyebabkan keputusan personel kurang baik, menutupi kebutuhan revisi anggaran, dan menghasilkan time pressure untuk audit di masa datang yang tidak diketahui (Kartika dan Wijayanti, 2007). Time budget yang disebabkan oleh Underreporting of time tahun sebelumnya dapat menyebabkan auditor gagal untuk mengumpulkan cukup bukti, penemuan yang signifikan, dan prosedur dokumen yang tidak mereka lakukan (Otley and Pierce 1996; Donnelly et al., 2003; Nor et al., 2009).

2.2.2 Locus of Control

Locus of control dijelaskan sebagai konsep psikologis yang mengacu pada seberapa kuat seseorang yakin terhadap diri mereka sendiri bahwa mereka memiliki kendali atas situasi dan pengalaman yang mempengaruhi kehidupan pribadi mereka

17

(edglossary.org). Rotter (1966) turut menjabarkan bahwa locus of control merupakan bagian yang dikendalikan dari luar maupun dikendalikan dari dalam yang tingkat dimana seseorang mengharapkan reinforcement atau hasil dari perilaku mereka bergantung pada perilaku mereka sendiri atau karakteristik personal mereka ataupun tingkat dimana seseorang beranggapan bahwa reinforcement atau hasil adalah fungsi dari kesempatan, keberuntungan atau takdir bahwa kendali yang lain atau tidak dapat diperkirakan.

Locus of control memainkan peran penting dalan kinerja dibidang akuntansi seperti pada anggaran partisipasi (Brownel, 1982; Frucot and Shearon, 1991) serta konflik pada audit (Tsui and Gul, 1996). Locus of control juga mempengaruhi dysfunctional audit behavior, komitmen organisasi, turnover intention dan job satisfaction (Reed et al., 1994; Donnelly et al., 2003).

Dua sisi locus of control yang dijabarkan oleh Rotter (1966) yaitu internal control yang diartikan oleh Lefcourt and Martin (1983) sebagai suatu keyakinan yang dihasilkan dari interaksi antara individu dan peristiwa-peristiwa yang terjadi didalam diri individu itu sendiri. Sisi internal control juga secara langsung berpengaruh terhadap outcome, individu yang memiliki sisi ini cenderung bekerja lebih efektif dalam lingkungan yang mengizinkan mereka untuk lebih mengendalikan tindakan mereka.

Rotter (1966) juga menyatakan bahwa sisi lainnya yaitu external control yang juga diartikan oleh Lefcourt and Martina (1983) sebagai keyakinan terhadap segala peristiwa yang terjadi karena alasan yang tidak ada hubungannya dengan tingkah laku individu dan dengan demikian diluar kemampuan individu untuk mengontrol.

Dengan demikian, individu yang memiliki locus of external control beranggapan bahwa peristiwa yang terjadi pada diri mereka dipengaruhi oleh faktor yang ada diluar dirinya seperti keberuntungan. Berdasarkan penelitian terdahulu, terdapat pengaruh locus of control terhadap dysfunctional audit behavior diantaranya melalui penelitian Donnelly et al., (2003), Harini et al., (2011), Anita (2016).

2.2.3 Turnover Intention

Keinginan yang timbul dengan kesadaran penuh dari dalam diri seseorang untuk keluar dari organisasi atau tempat orang tersebut bekerja merupakan pengertian dari turnover intention yang dijelaskan oleh Robbins (2011) pada buku yang dirilis dengan judul “Perilaku Organisasi”. Pengertian lain datang dari Setiawan dan Ghozali (2006) yang mengartikan bahwa turnover intention sebagai penghentian atau keluar dari organisasi atau lingkungan tempat kerja individu secara permanen, dapat sebagai pensiunan sukarela, atau tidak suka pemecatan.

Turnover intentions berfungsi jika karyawan meninggalkan organisasi adalah karyawan yang dianggap layak untuk keluar. Kondisi ini merupakan peluang bagi orang yang termotivasi atau mampu lebih tinggi, memberikan kesempatan untuk promosi, dan mengeluarkan ide-ide baru dan segar untuk organisasi (Setiawan dan Ghozali, 2006).

Turnover intention dijadikan sebagai elemen kunci dalam model tindakan turnover pegawai dan behavioral intention menjadi prediktor terbaik untuk turnover. Hal tersebut merupakan suatu model yang diidentifikasi sebagai prediktor tunggal terbaik dari perilaku individu untuk mengukur niat atau maksud untuk melakukan suatu tindakan pada awal pengembangan literatur behavioral intention

19

(Fishbein and Azjen, 1975). Maka dari itu turnover intention menjadi precursor terbaik terbaik untuk turnover (Michael and Spector, 1982). Berdasarkan penelitian terdahulu, terdapat pengaruh turnover intention terhadap dysfunctional audit behavior diantaranya melalui penelitian Maryanti (2005), Paino et al., (2012), Anita (2016).

2.2.4 Kinerja Auditor

Istilah Kinerja diartikan sebagai prestasi kerja individu setelah mengerahkan upaya yang diperlukan pada pekerjaan yang terkait melalui mendapatkan pekerjaan yang layak, profil yang terlibat, dan rekan kerja atau perusahaan disekitar yang dapat bekerjasama (Hellriegel, Jackson & Slocum, 1999; Karakas, 2010). Kinerja Auditor merupakan auditor yang melaksanakan penugasan pemeriksaan secara obyektif atas laporan keuangan suatu perusahaan atau organisasi lain dengan tujuan untuk menentukan apakah laporan keuangan tersebut menyajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, dalam semua hal yang material, posisi keuangan dan hasil usaha perusahaan (Mulyadi, 2002).

Kinerja Auditor terbagi atas dua bagian yang dimana dipengaruhi oleh beberapa faktor (Timpe, 1993) diantaranya faktor internal yang dihubungkan dengan sifat auditor seperti kinerja auditor yang baik dikarenakan kemampuan auditor yang tinggi serta bekerja keras, sedangkan pada auditor yang memiliki kinerja yang buruk lebih dominan dikarenakan kemampuan yang dimiliki begitu rendah serta upaya sedikit dalam meningkatkan kinerja. Adapun faktor eksternal (Timpe, 1993) yang dihubungkan dengan lingkungan ataupun kondisi diluar kendali auditor seperti kinerja auditor yang baik disebabkan oleh pekerjaan yang

mudah, situasi dan kondisi yang dialami auditor begitu mendukung dalam pelaksanaan tugas kerja, serta memiliki rekan kerja dan pimpinan yang mampu mendukung serta bekerjasama, sementar kinerja buruk yang dihasilkan auditor dipengaruhi oleh pekerjaan yang diberikan begitu berat, situasi dan kondisi yang dialami auditor yang tidak baik sehingga menurunkan kualitas kinerja auditor serta memiliki rekan kerja dan pemimpin yang begitu subjektif.

Timpe (1993) menjelaskan ada tiga tahapan penentu kinerja diantaranya:

1. Tingkat Keterampilan; dalam hal ini berkaitan terhadap pengetahuan, kemampuan, kecakapan interpersonal serta kecakapan teknis (skill dan ability).

2. Tingkat Upaya; karyawan yang hanya memiliki ketrampilan yang baik tidak akan dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan baik apabila tidak mempunyai upaya sama sekali. Pada intinya, karyawan harus memiliki motivasi dalam bekerja.

3. Kondisi-Kondisi Eksternal; sejauh mana kondisi-kondisi eksternal mendukung produktivitas karyawan (lingkungan kerja karyawan).

Berdasarkan job characteristic theory (Lee, 2000), seseorang akan dimotivasi oleh kepuasan diri yang diperoleh dari pelaksanaan tugas mereka. Ketika mereka menemukan bahwa pekerjaan mereka memiliki arti, orang akan menyukai pekerjaan mereka dan akan termotivasi untuk melaksanakan tugas mereka dengan baik. Tiga sikap psikologis yang ditemukan dalam pemaparan job characteristic theory yaitu perasaan bahwa pekerjaan yang dilakukan memiliki arti, rasa tanggung jawab terhadap hasil kerja dan pengetahuan akan hasil kerja akan meningkatkan

21

motivasi, kinerja serta kepuasan. Berdasarkan penelitian terdahulu, terdapat pengaruh Kinerja Auditor terhadap dysfunctional audit behavior diantaranya melalui penelitian Donnelly et al., (2012), Wahyudi (2013), Anita (2016).

2.2.5 Komitmen Organisasi

Komitmen Organisasi adalah keadaan karyawan yang berkomitmen untuk membantu pencapaian tujuan organisasi, serta melibatkan tingkat identifikasi, keterlibatan dan loyalitas karyawan (Caught and Shadur, 2000). Caught juga menjelaskan bahwa hal ini merupakan respons emosional yang dapat diukur melalui perilaku, keyakinan dan sikap orang serta dapat berkisar dari sangat rendah hingga sangat tinggi.

Meyer and Allen (1997) telah mengidentifikasi tiga jenis komitmen organisasi, diantaranya:

1. Komitmen afektif atau moral terjadi ketika individu sepenuhnya merangkul tujuan dan nilai-nilai organisasi. Mereka menjadi terlibat secara emosional dengan organisasi dan merasa secara pribadi bertanggung jawab atas tingkat keberhasilan organisasi. Orang-orang ini biasanya menunjukkan tingkat kinerja yang tinggi, sikap kerja yang positif, dan keinginan untuk tetap bersama organisasi.

2. Komitmen normatif terjadi ketika individu tetap dengan organisasi berdasarkan standar perilaku yang diharapkan atau norma sosial. Orang-orang ini menghargai kepatuhan, kewaspadaan, dan formalitas.

Penelitian menunjukkan bahwa mereka cenderung menampilkan sikap dan perilaku yang sama dengan mereka yang memiliki komitmen afektif.

Komitmen organisasi merupakan konsep yang telah lama dan banyak beranggapan bahwa konsep komitmen organisasi telah ketinggalan zaman, namun Meyer and Allen (1997) menegaskan bahwa meskipun komitmen organisasi merupakan konsep yang telah lama, namun konsep komitmen organisasi begitu penting. Meyer and Allen (1997) menyimpulkan dalam tiga alasan terkait pentingnya konsep komitmen organisasi, diantaranya sebagai berikut:

1. Organisasi tidak menghilang; mereka menjadi lebih ramping, dan organisasi yang lebih ramping membutuhkan fleksibilitas yang lebih besar dari karyawan mereka. Karena organisasi memiliki lebih sedikit manajer yang memberikan lebih sedikit pengawasan, karyawan harus melakukan tindakan yang benar sendiri. Komitmen karyawan terhadap organisasi dapat membantu memastikan kebenaran tindakan mereka.

2. Organisasi yang mengalihdayakan pekerjaan mereka bergantung pada kualitas pekerja sementara. Mungkin para pekerja ini tidak akan memiliki jenis komitmen yang akan dimiliki oleh pekerja permanen. Komitmen pekerja sementara akan diperlukan untuk menjaga kualitas.

3. Mengembangkan komitmen adalah respons alami untuk menjadi bagian dari suatu kelompok. Jika organisasi tidak memanfaatkan respons ini, mereka akan mendorong alienasi. Hasil dari alienasi merugikan organisasi.

Berdasarkan penelitian terdahulu, terdapat pengaruh komitmen organisasi sebagai pemoderasi terhadap dysfunctional audit behavior.

BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual dibentuk untuk menunjukkan pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh Locus of Control, Turnover Intention dan Kinerja Auditor terhadap Dysfunctional Audit Behavior dengan Komitmen Organisasi sebagai moderasi.

Maka model penelitian dari variabel yang akan diteliti yakni:

Variabel Independen: Variabel Dependen:

Variabel Moderasi:

Gambar 3.1 Model Penelitian 3.2 Hipotesis Penelitian

Hipotesis merupakan jawaban sementara dari pokok permasalahan yang akan diuji kebenarannya (Sugiyono, 2007:93). Berdasarkan pada rumusan masalah, tujuan penelitian, dan kajian teori yang relevan ataupun hasil penelitian sebelumnya, maka dapat dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:

3.2.1 Pengaruh Locus of Control terhadap Dysfunctional Audit Behavior Locus of control digambarkan sebagai cerminan dari sebuah kecendrungan seorang individu untuk percaya bahwa dia mengendalikan peristiwa yang terjadi dalam hidupnya (internal) atau kendali atas peristiwa yang terjadi dalam hidupnya itu berasal dari hal lain, misalnya kuasa orang lain (eksternal) (Spector, 1988).

Locus of control menunjukkan tingkat keyakinan individu tentang sejauh mana mereka dapat mengendalikan kejadian-kejadian yang mempengaruhi kehidupan mereka (Rotter, 1996).

Otley and Pierce (1996) memiliki pemahaman yang sejalan dengan Kelley and Margheim (1990) terkait pengertian dysfunctional audit behavior yang dapat diartikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh auditor selama pelaksanaan program audit yang dapat mereduksi kualitas audit baik secara langsung maupun tidak langsung. Perilaku yang mereduksi kualitas audit secara langsung dilakukan melalui tindakan seperti penghentian prematur prosedur audit (premature sign-off) dan mengganti prosedur audit yang telah ditetapkan sebelumnya (altering of audit procedure).

Under reporting of time (URT) dijelaskan sebagai bagian dari dysfunctional audit behavior melalui penelitian Otley and Pierce (1996) dikarenakan prosedur ini dilakukan oleh auditor dengan sengaja memanipulasi catatan waktu audit dan tidak melaporkan waktu pengauditan yang sebenarnya atau menggunakan waktu pribadinya untuk meminimumkan anggaran waktu yang berlebihan.

Penelitian terdahulu yang mengaitkan locus of control terhadap dysfunctional audit behavior diantaranya Donnelly et al., (2003), Paino et al., (2012), Harini et

25

al., (2011), Pujaningrum dan Arifin (2012), Wahyudi (2013) dan Wijayanti (2009) yang menemukan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan, sementara Maryanti (2005) menjelaskan melalui penelitiannya bahwa tidak ditemukan pengaruh signifikan melalui locus of control terhadap dysfunctional audit behavior. Hasil korelasi positif yang menyatakan locus of control eksternal cenderung akan melakukan penipuan atau memanipulasi untuk meraih tujuan pribadi ditemukan melalui penelitian Gable and Dangello (1994), Comer (1985) serta Solar and Bruehl (1971) dengan penjelasan bahwa auditor yang memiliki locus of control eksternal cenderung akan melakukan perilaku yang menyimpang yang dalam aktifitas audit dikenal sebagai dysfunctional audit behavior.

Bukti empiris yang memberikan kesan hubungan positif antara locus of control eksternal dan perilaku dysfunctional audit behavior diutarakan oleh Donnelly et al., (2003) dan Shapeero et al., (2003) yang menemukan auditor dengan locus of control eksternal lebih menerima perilaku audit yang menyimpang dibandingkan auditor dengan locus of control internal. Maka penulis merumuskan hipotesis sebagai berikut:

H1: Locus of control berpengaruh positif terhadap dysfunctional audit behavior.

3.2.2 Pengaruh Turnover Intention terhadap Dysfunctional Audit Behavior

Turnover intention merupakan keinginan auditor untuk berpindah dari satu tempat kerja ke tempat kerja yang lain (Aryanya and Ferrish, 1984), ataupun untuk mencari alternatif pekerjaan dan belum terwujud dalam bentuk nyata (Pasewark and Strawser, 1996). Pemahaman tersebut sejalan dengan penjelasan dari Malone

and Robert (1996) yaitu auditor dengan keinginan untuk meninggalkan perusahaan dapat dianggap lebih menunjukkan dysfunctional behavior karena berkurangnya ketakutan terhadap kemungkinan diberhentikan jika perilaku tersebut dideteksi.

Individu yang bermaksud meninggalkan perusahaan mungkin kurang memperhatikan pengaruh balik potensial dari dysfunctional audit behavior terhadap promosi dan penilaian kinerja, sehingga auditor yang mempunyai turnover intention yanga lebih tinggi akan menerima dysfunctional behavior juga.

Penelitian terdahulu yang menjelaskan adanya pengaruh yang berkorelasi positif antara turnover intention terhadap dysfunctional audit behavior diantaranya Donnelly et al., (2003), Maryanti (2005), Paino et al., (2012) serta Pujaningrum dan Arifin (2012) bahwa semakin tinggi keinginan seorang auditor untuk meninggalkan pekerjaannya maka kecenderungan untuk menerima dysfunctional audit behavior semakin tinggi, sebaliknya semakin kuat keinginan seorang auditor untuk bertahan dengan pekerjaannya, maka kecendrungan untuk tidak menerima dysfunctional audit behavior semakin tinggi. Maka penulis merumuskan hipotesis sebagai berikut:

H2: Turnover intention berpengaruh positif terhadap dysfunctional audit behavior.

3.2.3 Pengaruh Kinerja Auditor terhadap Dysfunctional Audit Behavior Kinerja diartikan sebagai prestasi kerja individu setelah mengerahkan upaya yang diperlukan pada pekerjaan yang terkait melalui mendapatkan pekerjaan yang layak, profil yang terlibat, dan rekan kerja atau perusahaan disekitar yang dapat bekerjasama (Hellriegel et al., 1999; Karakas, 2010). Sedangkan untuk pemahaman di bagian audit sendiri dijelaskan melalui International Organization of Suprime

27

Audit Institution (IOSAI) yaitu Kinerja Auditor merupakan tindakan atau pelaksanaan tugas pemeriksaan yang telah diselesaikan auditor dalam jangka waktu yang telah ditetapkan. Dapat disimpulkan bahwa kinerja auditor hasil kerja yang dicapai auditor dalam jangka waktu tertentu guna mencapai tujuan dari organisasi tersebut.

Dysfunctional audit behavior merupakan tindakan yang dilakukan auditor selama pelaksanaan program audit yang dapat mereduksi kualitas audit baik secara langsung diantaranya premature sign off (prematur prosedur audit) dan (altering of audit procedure) melalui penelitian Kelley and Margheim (1990) maupun secara tidak langsung berupa under reporting of time (diluar waktu pelaporan) melalui penelitian Otley and Pierce (1996).

Penelitian yang menjelaskan hasil penelitian kinerja auditor berkorelasi negatif terhadap dysfunctional audit behavior diperoleh dari Donelly et al., (2003), Harini et al., (2011), Paino et al., (2012), Pujaningrum dan Arifin (2012) serta Wahyudi (2013). Sedangkan melalui penelitian Maryanti (2005) tidak ditemukan pengaruh kinerja auditor terhadap dysfunctional audit behavior.

Dalam penelitian serupa, Solar and Bruchi (1971) menyatakan bahwa individu yang menunjukkan tingkat kinerja dibawah harapan personal atau harapan supervisor cenderung melakukan dysfunctional ketika mereka tidak melihat diri mereka mencapai kekuatan yang diperlukan untuk bertahan dalam organisasi melalui usaha mereka sendiri. Maka penulis merumuskan hipotesis sebagai berikut:

H3: Kinerja auditor berpengaruh negatif terhadap dysfunctional audit behavior.

3.2.4 Pengaruh Locus of Control terhadap Dysfunctional Audit Behavior dengan Komitmen Organisasi sebagai variabel moderating

Locus of control merupakan suatu kecenderungan yang dimiliki seseorang dalam meyakini peristiwa yang terjadi dalam hidupnya merupakan kendalinya sendiri (internal) maupun atas kendali diluar dirinya sendiri (eksternal) (Spector, 1988). Locus of control ditemukan sebagai anteseden komitmen organisasi oleh Luthan et al., (1987) dan Kinichi and Vecchio (1994). Sementara komitmen organisasi diartikan sebagai kekuatan yang ada pada diri seseorang dalam mengaplikasikan dirinya untuk terlibat pada perusahaan (Porter et al., 1974).

Auditor yang memiliki locus of control internal akan merasa memiliki kesempatan yang lebih besar dalam perusahaan ataupun kantor akuntan publik dikarenakan memiliki komitmen organisasi yang tinggi dibandingkan auditor yang memiliki locus of control eksternal (Spector, 1988 dan Donelly et al., 2003). Hal ini mengindikasikan bahwa auditor yang memiliki komitmen organisasi yang kuat cenderung tidak menerima dysfunctional audit behavior, dan auditor yang memiliki komitmen organisasi yang rendah akan menerima dysfunctional audit behavior.

Oleh karena itu penulis merumuskan hipotesis sebagai berikut:

H4: Komitmen organisasi mampu memoderasi pengaruh Locus of control terhadap dysfunctional audit behavior.

29

3.2.5 Pengaruh Turnover Intention terhadap Dysfunctional Audit Behavior dengan Komitmen Organisasi sebagai variabel

moderating

Turnover intention merupakan keinginan auditor untuk berpindah dari satu tempat kerja ke tempat kerja yang lain namun belum terwujud dalam bentuk nyata (Aryanya and Ferrish (1984), Pasewark and Strawser, (1996)) , sementara komitmen organisasi dapat dipahami sebagai kekuatan yang ada pada diri seseorang dalam mengaplikasikan dirinya untuk terlibat pada perusahaan (Porter et al., 1974).

Auditor yang memiliki komitmen yang rendah untuk aktif dalam organisasi cenderung akan meningkatkan keinginan auditor tersebut untuk dapat pindah dari tempat auditor tersebut bekerja dan mencari tempat kerja baru yang diinginkan dan menimbulkan komitmen yang tinggi untuk bekerja didalamnya, sehingga menuntut

Auditor yang memiliki komitmen yang rendah untuk aktif dalam organisasi cenderung akan meningkatkan keinginan auditor tersebut untuk dapat pindah dari tempat auditor tersebut bekerja dan mencari tempat kerja baru yang diinginkan dan menimbulkan komitmen yang tinggi untuk bekerja didalamnya, sehingga menuntut