• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PROSES PELAKSANAAN PEMERINTAHAN DAERAH

B. Pengertian Desentralisasi dan Otonomi Daerah

2. Otonomi Daerah

Istilah otonomi daerah berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani: outos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti undang-undang. Secara harfiah, otonomi dapat berarti perundang-undangan sendiri (zelfwetgeving). Diberikannya hak perundang- undangan dan pemerintah kepada badan otonomi, seperti kepada propinsi, kabupaten dan kota mengandung pengertian bahwa badan tersebut dengan inisiatifnya sendiri dapat mengurus rumah tangganya dengan membuat peraturan sendiri.100

Menurut Padmo Wahjono, otonomi daerah adalah ”hak suatu wilayah untuk mengatur urusannya sendiri sesuai dengan keinginan masyarakat dalam mencapai kesejahteraan. Menurut pakar ini lagi bahwa pada hakekatnya otonomi sama dengan demokrasi yakni kebebasan sekelompok manusia dalam mencapai kesejahteraan”. Namun lingkup otonomi lebih sempit daripada demokrasi. Demokrasi menyangkut kehidupan di dalam negara, sedangkan otonomi menyangkut dimensi wilayah suatu negara.101

100

Otong Rosadi; Hukum Tata Negara Indonesia; Teori dan Praktek, (Naskah Untuk Program Penulisan Buku Teks Perguruan Tinggi), (Padang: Fakultas Hukum Universitas Ekasakti, 2004), hlm. 67.

101

Menurut Moh. Hatta, otonomi berarti membuat peraturan dan melaksanakannya sendiri. Dalam hal ini daerah otonom memiliki kebebasan untuk melaksanakan kedua kegiatan tersebut. Pendapat proklamator ini menurut Bhenyamin Hoessein lebih luas dari pendapat pakar Universitas Indonesia Padmo Wahjono.102

Proklamator Moh. Hatta juga mengaitkan otonomi dengan demokrasi, menurut Hatta, bahwa103:

”Memberikan otonomi kepada daerah tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi juga mendorong berkembangnya auto aktivitet. Auto aktivitet artinya bertindak sendiri, melaksanakan sendiri apa yang dianggap penting bagi lingkungan sendiri. Dengan berkembangnya auto aktivitet tercapailah apa yang dimaksud dengan demokrasi yaitu pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat dan untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukna nasibnya sendiri, melainkan juga terutama memperbaiki nasibnya sendiri. Berangkat dari pendapat Moh. Hatta dan Amrah Muslimin tersebut di atas, pakar Administrasi Negara Universitas Indonesia, Bhenyamin Hoessein, berpendapat bahwa yang dimaksud otonomi daerah atau secara singkat otonomi adalah pemerintahan dari, oleh danuntuk rakyat di bagian wilayah Nasional suatu negara melalui lembaga-lembaga pemerintahan yang secara formal berada di luar Pemerintah Pusat.104

Kemudian menurut Bhenyamin Hoessein, operasionalisasi pengertian otonomi di atas mencakup dua komponen utama otonomi, yaitu105:

Pertama, komponen wewenang menetapkan dan melaksanakan kebijakan sebagai komponen yang mengacu pada konsep ”pemerintahan” yang terdapat dalam pengertian otonomi.

102 Ibid. 103 Ibid. 104 Ibid. 105 Ibid, hlm. 18-21.

Komponen ini memiliki 7 (tujuh) ciri sebagai berikut :

1. Terdapatnya wewenang untuk menetapkan danmelaksanakan kebijakan tertentu yang diperoleh dari Pemerintah Pusat. Sesuai dengan pendapat H.D. Lasswell dan Abraham Kaplan, wewenang adalah kekuasaan formal (formal power);

2. Wilayah dan orang yang menjadi sasaran wewenang (domain of power) dan bidang-bidang (gatra) kehidupan yang terliput dalam wewenang (scope of power) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat melalui peraturan perundang-undangan;

3. Baik domain of power maupun scope of power dapat berubah sehingga berpengaruh terhadap bobot wewenang (weight of power). Perubahan bobot wewenang dimaksud terjadi dalam arti “mengecil” atau dapat pula “membesar”;

4. Sesuai dengan amanat UUD 1945, perubahan bobot wewenang apapun tidak akan menimbulkan “staat” dalam Negara Indonesia. Dengan demikian wewenang yang diperoleh dari Pemerintah Pusat tidak akan mencakup wewenang untuk menetapkan produk legislatif yang disebut secara formal dengan “Undang-Undang” dan wewenang yudikatif (rechtspraak) sepertia dalam Negara Bagian. Di samping itu wewenang tersebut tidak pula mencakup bidang hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan, moneter dan postel sebagai bidang-bidang kehidupan yang dipandang mencirikan Negara Kesatuan;

5. Terdapatnya lembaga-lembaga pemerintahan yang secara formal di luar Pemerintah Pusat sebagai pengemban dan pelaksana wewenang penetapan kebijakan yang terluang dalam Peraturan Daerah;

6. Terdapatnya birokrasi Daerah, beserta birokratnya sebagai peracik dan pelaksana kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Daerah tersebut;

7. Tersedianya sumber keuangan yang diperlukan bagi kebijakan dan pelaksanaannya, baik dalam rangka tugas rutin maupun tugas pembangunan.

Kedua, komponen kemandirian sebagai komponen yang mengacu pada kata- kata “dari, oleh, dan untuk rakyat”. Kemandirian mendorong tumbuhnya aktivitas yang dilukiskan oleh Moh. Hatta sebagai “Prakarsa dan aktivitas sendiri”.

Komponen ini dilihat dari perbandingan antara pendapatan yang diperoleh Daerah sendiri (pendapatan asli daerah) dan bantuan yang diperoleh dari pemerintah atasan. Secara asumsi, semakin besar pendapatan asli daerah dibandingkan bantuan yang diperoleh dari pemerintah atasan, semakin besar kemandirian yang dicapai daerah otonom.

Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa salah satu hasil Sidang MPR Tahun 1998 adalah lahirnya Ketetapan Nomor XV/MPR/1998 tentang

Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam Pasal 1 TAP MPR tersebut di atas dikemukakan mengenai kebijakan nasional bahwa106: ”Penyelenggara otonomi daerah dengan memberikan kewenangan

yang luas, nyata dan bertanggung jawab di daerah secara priporsional diwujudkan dengan penaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah”.

Untuk mewujudkan keinginan politis sebagaimana tertuang dalam TAP MPR di atas, telah lahir Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979, dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah inipun telah mengalami pergantian terakhir dengan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Rumusan Otonomi Daerah dapat dijumpai dalam Pasal 1 Angka 5 Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang berbunyi ”Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”, sedangkan desentralisasi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 Angka 7 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk

106

mengatur dan mengurus pemerintahan dalam sistem negara kesatuan republik Indonesia.

Dalam praktek penyelenggaraan pemerintah di Indonesia, terdapat perbedaan persepsi tentang otonomi daerah di kalangan cendekiawan dengan pejabat birokrasi. Ada yang mempresepsikan otonomi daerah sebagai prinsip penghormatan terhadap kehidupan regional sesuai riwayat, adat istiadat dan sifat-sifatnya dalam kadar Negara kesatuan, sebagaimana yang dimaksudkan oleh Soepomo107 dan oleh karena itu maka

otonomi dianggap sebagai upaya pembangunan berkelanjutan.108

Ada juga yang mempresepsikan otonomi sebagai suatu upaya yang berpresektif otonomi di bidang ekonomi dan politik di mana daerah diberikan peluang untuk berdemokrasi dan berprakarsa memenuhi kepentingannya sehingga mereka akan semakin menghargai dan menghormati kebersamaan dan persatuan dan tidak bakal menuntut pemisahan diri sebagaimana dialami oleh Negara Yugoslavia dan Uni Sovyet.109 Dan menurut Bagir Manan, otonomi dikatakan sebagai kebebasan

dan kemandirian (vrijheid dan zelfstandigheid) satuan pemerintah lebih rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan pemerintah.110

Sedangkan mengenai istilah pemerintah, menurut etimologi, kata pemerintah yang diterjemahkan dari kata goverment berasal dari kata berbahasa Yunani kebernan

107

Abdullah, H.R. Pelaksanaan Otonomi Luas dan Isu Federalisme Sebagai Saatu Alternatif,

(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 11.

108

Suara Pembaruan, Otonomi Daerah: Peluang dan Tantangan, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hlm. 83.

109

Ibid., hlm. 79

110

Bagir Manan. Hubungan Antar Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), hlm. 2.

yang berati nakhoda kapal, yang artinya menatap ke depan. Lalu memeriantah berarti melihat ke depan, menentukan berbagai kebijakan yang diselenggarakan untuk mencapai tujuan masyarakat, negara, memperkirakan arah perkembangan masyarakat pada masa yang akan datang dan mempersiapkan langkah-langkah kebijakan untuk menyongsong perkembangan masyarakat, serta mengelola dan mengarahkan masyarakat ke tujuan yang ditetapkan.111 Hal yang samapun dijelaskan oleh

Taliziduhu Ndraha dalam kata pengantar atas bukunya Kybernology (Ilmu Pemerintah Baru),112 di mana disebutkan bahwa konsep government adalah derivate

konsep governance, sedangkan governance berasal dari kata Gerik kybern, kybernan

yang artinya pengemudi kapal bersama semua isinya sampai pada tujuan dengan selamat.

Menurut Ramlan Surbakti, istilah pemerintah dan pemerintahan berbeda artinya. Pemerintahan menyangkut tugas dan kewenangan, sedangkan pemerintah merupakan aparat yang menyelenaggarakan tugas dan kewenangan negara.113

Kata pemerintahan dapat diartikan secara luas dan sempit. Pemerintahan dalam arti luas, berarti seluruh fungsi negara, seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif. Sedangkan pemerintahan dalam arti sempit meliputi fungsi eksekutif saja.114 Sedangkan pengertian pemerintah dalam arti luas adalah seluruh aparat yang

111

Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 1999), hlm. 167-168.

112

Taliziduhu Ndraha, Kybernology (Ilmu Pemerintah Baru), (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003), hlm. 7.

113

Ramlan Surbakti, Op.Cit., hlm. 168.

114

melaksanakan fungsi-fungsi negara, sedangkan pemerintah dalam arti sempit menyangkut aparat eksekutif.115

Sejalan dengan pendapat di atas, Jimmly Asshiddiqie,116 mengatakan bahwa:

Pemerintah dalam arti luas adalah segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan, memelihara keamanan dan meningkatkan derajat kehidupan rakyat serta dalam menjamin kepentingan negara itu sendiri. Dalam konteks fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatir, pengertian pemerintahan menyangkut semua fungsi di atas, sedangkan dalam arti sempit hanya menyangkut fungsi eksekutif saja.

Secara normatif, pengertian pemerintahan daerah dapat ditemukan dalam Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, di mana dikatakan bahwa117:

Pemerintah Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut aasas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip negara kesatuan republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

C. Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia

Dokumen terkait