• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Hukum Eksekutif Daerah Dan Legislatif Daerah Dalam Pembuatan Peraturan Daerah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kedudukan Hukum Eksekutif Daerah Dan Legislatif Daerah Dalam Pembuatan Peraturan Daerah"

Copied!
190
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

KEDUDUKAN HUKUM EKSEKUTIF DAERAH

DAN LEGISLATIF DAERAH

DALAM PEMBUATAN PERATURAN DAERAH

OLEH

ABEL ZEKONIA

087005071/HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ABSTRAK

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pengawasan terhadap Perda hanya ditekankan pada pengawasan represif saja. Ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, dimana pada Undang-Undang-Undang-Undang tersebut pengawasan terhadap Perda dikenal dua macam, yaitu pengawasan preventif dan represif. Perubahan ini menimbulkan permasalahan baru, seperti berubahnya bentuk perwujudan pengawasan Pemerintah Pusat terhadap Perda. Pengawasan represif yang dianut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini dapat dilihat dalam pembentukan Perda yang telah ditetapkan dan disetujui oleh DPRD dapat langsung diberlakukan tanpa menunggu pengesahan dari Pemerintah Pusat dahulu, tetapi untuk menjaga agar daerah tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan koridor Negara Kesatuan, maka dibuatlah ketentuan yang menyatakan bahwa Perda yang telah disahkan (dan telah berlaku) harus diberitahukan kepada Pemerintah Pusat.

Metode penelitian dilakukan dengan metode penelitian hukum normatif. Data pokok dalam penelitian adalah data sekunder. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Analisis data terhadap data sekunder dilakukan dengan analisis kualitatif.

Kedudukan DPRD tidak lagi sejajar dan menjadi mitra dari pemerintah daerah, namun dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 justru disebutkan bahwa hubungan antara pemerintah daerah dengan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan. Hubungan antara DPRD dengan Kepala Daerah ditunjukkan dalam pembahasan bersama atas sebuah rancangan Peraturan Daerah. Disini seolah-olah, pembuat undang-undang menyamakan kedudukan antara DPRD dengan Kepala Daerah, dalam bidang legislasi. Namun apabila dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, dikatakan bahwa pembahasan rancangan Peraturan Daerah di DPRD dilakukan oleh DPRD bersama Gubernur atau Bupati/Walikota.

Disarankan untuk dibuat pengaturan secara konstitusional mengenai hubungan antara DPRD dengan Kepala Daerah agar tidak ada sikap saling mendominasi antara DPRD dan Kepala Daerah sehingga dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dalam penyelenggaraan pemerintah daerah menjadi lebih optimal kemudian disarankan juga agar DPRD menitikberatkan pada pelaksanaan fungsi pengawasan saja yang di dalamnya mencakup fungsi sebagai pengendali proses pembentukan peraturan daerah daripada mengutamakan perannya sebagai inisiator seperti yang terjadi sekarang ini karena dalam melaksanakan fungsi legislasi Kepala Daerah dengan perangkatnyalah yang mendominasi, berdasarkan pertimbangan logis bahwa informasi, keahlian, dan sumber daya atau sarana penunjang lainnya dimiliki dan dikuasai oleh pemerintah daerah, sehingga pemerintah daerahlah yang lebih mengetahui apa, kapan, dan bagaimana sesuatu perlu diatur dengan peraturan daerah.

(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena

berkat kasih karunia-Nyalah penulisan tesis ini dapat diselesaikan dengan tepat

waktu. Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk meraih gelar

Sarjana Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum di Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Dalam tesis ini, penulis menyajikan judul : ”Kedudukan Hukum Eksekutif

Daerah dan Legislatif Daerah Dalam Pembuatan Peraturan Daerah”. Penulis

menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna karena kemampuan

penulis yang sangat terbatas. Untuk itu dengan segenap kerendahan hati, penulis

mengharapkan kritik dan saran yang sifatmya membangun dari semua pihak untuk

penyempurnaannya dikemudian hari.

Pada kesempatan ini, dengan segala hormat penulis mengucapkan terima

kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), SpA (K), selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, selaku Ketua Program Magister Ilmu

(5)

4. Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing yang

telah memberikan saran, bimbingan, perhatian dan dukungan yang tiada

henti-hentinya demi selesainya penulisan tesis ini tepat pada waktunya.

5. Bapak Dr. Faisal Akbar, SH, M.Hum selaku Anggota Komisi Pembimbing yang

dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan dan arahan-arahan yang sangat

membantu dalam penyelesaian penulisan tesis ini.

6. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum selaku Anggota Komisi Pembimbing yang

dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan dan arahan-arahan yang sangat

membantu dalam penyelesaian penulisan tesis ini.

7. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum selaku Anggota Komisi Penguji.

8. Bapak Dr. Mirza Nasution, SH, M.Hum, selaku Anggota Komisi Penguji.

9. Para Dosen Penulis pada Sekolah Pascasarjana USU yang telah banyak

memberikan ilmunya dan membuka cakrawala berpikir penulis yang akan

bermanfaat dikemudian hari.

10.Orangtuaku tercinta, Ayahanda dr. Suma Perangin-angin dan Ibunda Ruth Elida,

Apth yang telah membesarkan, mendidik dan memberikan doa yang tiada

putus-putusnya demi kebaikan dan keberhasilan anaknya.

11.Rekan-rekan seperjuangan pada Program Studi S2 Magister Ilmu Hukum USU

Angkatan Tahun 2008, atas dukungan dan kebersamaanya. Cepat ada yang

(6)

12.Seluruh staf dan pegawai di Program Studi Ilmu Hukum SPs USU atas segala

bantuan-bantuan, pelayanan dan kemudahan yang telah diberikan, kiranya Tuhan

jualah yang membalas semua kebaikannya.

Akhirnya penulis berharap bahwa tesis ini dapat berguna sebagai sumbang

dan saran pemikiran mengenai ” Kedudukan Hukum Eksekutif Daerah dan Legislatif

Daerah Dalam Pembuatan Peraturan Daerah”. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa

senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada kita semua. Amin.

Medan, Agustus 2010

Penulis,

(7)

RIWAYAT HIDUP

NAMA : ABEL ZEKONIA TRILEGENDA

TEMPAT/TGL LAHIR : MEDAN, 9 FEBRUARI 1985

JENIS KELAMIN : LAKI-LAKI

AGAMA : KRISTEN PROTESTAN

PEKERJAAN : WIRASWASTA

PENDIDIKAN : 1. SD METHODIST II MEDAN, LULUS TAHUN

1997.

2. SMP PADAMU NEGERI I MEDAN, LULUS TAHUN 2000.

3. SMA METHODIST 7 MEDAN, LULUS TAHUN 2003.

4. FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA, LULUS TAHUN 2007.

(8)

DAFTAR ISI

BAB II PROSES PELAKSANAAN PEMERINTAHAN DAERAH DI INDONESIA ... 35

A. Demokrasi di Indonesia ... 35

B. Pengertian Desentralisasi dan Otonomi Daerah ... 41

1. Desentralisasi ... 41

2. Otonomi Daerah ... 48

C. Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia ... 55

1. Pelaksanaan Desentralisasi ... 55

2. Pelaksanaan Otonomi Daerah ... 65

D. Pelaksanaan Pemerintahan Daerah di Indonesia ... 74

BAB III KEDUDUKAN KEPALA DAERAH DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) DALAM PEMBUATAN PERDA ... 80

A. Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ... 80

(9)

2. Pelaksanaan Fungsi DPRD ... 84

3. Tugas dan Wewenang DPRD ... 91

4. Hak DPRD ... 93

B. Kedudukan Kepala Daerah Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia ... 95

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 Tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah ... 95

2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah Yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri ... 101

3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 Tentang Pokok Pemerintah Daerah ... 107

4. Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 Tentang Pemerintahan Daerah ... 109

5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah ... 111

6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah ... 114

7. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah ... 118

8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ... 126

C. Tugas, Wewenang dan Kewajiban Kepala Daerah ... 128

D. Hubungan Antara DPRD dengan Kepala Daerah Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ... 131

E. Proses Pembentukan Peraturan Daerah ... 138

F. Kedudukan Kepala Daerah dan DPRD Dalam Pembuatan Perda ... 140

1. Perencanaan Penyusunan Peraturan Daerah ... 140

2. Rancangan Peraturan Daerah Inisiatif Pemerintah ... 144

3. Rancangan Peraturan Daerah Inisiatif DPRD ... 145

BAB IV AKIBAT HUKUM DARI HUBUNGAN ANTARA KEPALA DAERAH DENGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) DALAM PEMBUATAN PERATURAN DAERAH ... 150

A. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat di Daerah ... 150

B. Fungsi Lembaga Perwakilan Rakyat ... 155

(10)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 171

A. Kesimpulan ... 171

B. Saran ... 173

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Kedudukan Kepala Daerah Menurut Peraturan Perundang-undangan Yang Mengatur Mengenai

(12)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1 Struktur Pemerintah Daerah Menurut

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 ... 104

(13)

ABSTRAK

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pengawasan terhadap Perda hanya ditekankan pada pengawasan represif saja. Ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, dimana pada Undang-Undang-Undang-Undang tersebut pengawasan terhadap Perda dikenal dua macam, yaitu pengawasan preventif dan represif. Perubahan ini menimbulkan permasalahan baru, seperti berubahnya bentuk perwujudan pengawasan Pemerintah Pusat terhadap Perda. Pengawasan represif yang dianut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini dapat dilihat dalam pembentukan Perda yang telah ditetapkan dan disetujui oleh DPRD dapat langsung diberlakukan tanpa menunggu pengesahan dari Pemerintah Pusat dahulu, tetapi untuk menjaga agar daerah tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan koridor Negara Kesatuan, maka dibuatlah ketentuan yang menyatakan bahwa Perda yang telah disahkan (dan telah berlaku) harus diberitahukan kepada Pemerintah Pusat.

Metode penelitian dilakukan dengan metode penelitian hukum normatif. Data pokok dalam penelitian adalah data sekunder. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Analisis data terhadap data sekunder dilakukan dengan analisis kualitatif.

Kedudukan DPRD tidak lagi sejajar dan menjadi mitra dari pemerintah daerah, namun dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 justru disebutkan bahwa hubungan antara pemerintah daerah dengan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan. Hubungan antara DPRD dengan Kepala Daerah ditunjukkan dalam pembahasan bersama atas sebuah rancangan Peraturan Daerah. Disini seolah-olah, pembuat undang-undang menyamakan kedudukan antara DPRD dengan Kepala Daerah, dalam bidang legislasi. Namun apabila dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, dikatakan bahwa pembahasan rancangan Peraturan Daerah di DPRD dilakukan oleh DPRD bersama Gubernur atau Bupati/Walikota.

Disarankan untuk dibuat pengaturan secara konstitusional mengenai hubungan antara DPRD dengan Kepala Daerah agar tidak ada sikap saling mendominasi antara DPRD dan Kepala Daerah sehingga dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dalam penyelenggaraan pemerintah daerah menjadi lebih optimal kemudian disarankan juga agar DPRD menitikberatkan pada pelaksanaan fungsi pengawasan saja yang di dalamnya mencakup fungsi sebagai pengendali proses pembentukan peraturan daerah daripada mengutamakan perannya sebagai inisiator seperti yang terjadi sekarang ini karena dalam melaksanakan fungsi legislasi Kepala Daerah dengan perangkatnyalah yang mendominasi, berdasarkan pertimbangan logis bahwa informasi, keahlian, dan sumber daya atau sarana penunjang lainnya dimiliki dan dikuasai oleh pemerintah daerah, sehingga pemerintah daerahlah yang lebih mengetahui apa, kapan, dan bagaimana sesuatu perlu diatur dengan peraturan daerah.

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(UUD 1945), pemerintahan daerah diatur dalam bab tersendiri yaitu dalam Bab VI

dengan judul “Pemerintah Daerah”. Dalam Undang-Undang Dasar Republik

Indonesia Serikat Tahun 1949, ketentuan mengenai hal itu termaktub dalam Pasal

42-67 dan dalam Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 pada Pasal 131 dan 132.

Bahkan sejak sebelum kemerdekaan, sudah banyak pula peraturan yang dibuat untuk

mengatur mengenai persoalan pemerintahan di daerah dan persoalan yang berkaitan

dengan soal desentralisasi.1

1

C.S.T. Kansil, Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, Cetakan ke III, (Jakarta: Rineke Cipta, 1991), hlm. 3. Sejak tahun 1903 sampai dengan sekarang, dapat dikemukakan berbagai peraturan seperti di bawah ini, yaitu :

a. Decentralisatie Wet Tahun 1903; b. BestuurS H.ervorming Tahun 1922; c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945;

d. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan di Daerah;

e. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah-Daerah Indonesia Timur; f. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah;

g. Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 tentang Pemerintahan Daerah; h. Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1960;

i. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah; j. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah; k. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa;

l. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah beserta berbagai peraturan pelaksanaannya yang ditetapkan pada tahun 1999 dan tahun 2000;

m. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya;

n. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya;

(15)

Salah satu pilihan kebijakan yang terkandung dalam berbagai peraturan

mengenai pemerintahan daerah adalah kebijakan desentralisasi pemerintahan daerah

yang sejak dulu dianggap sebagai suatu yang niscaya. Penyelenggaraan desentralisasi

itu sendiri dalam sejarah Indonesia bahkan telah berlangsung jauh sebelum

Decentralisatie Wet ditetapkan pada tanggal 23 Juni 1903.2 Awalnya desentralisasi

diatur dalam Regering Reglement (RR)3 yang ditetapkan pada tahun 1854. Regering

Reglement ini kemudian diganti dengan Wet op de Staatsinrichting van

Nederlands-Indie yang biasa disebut Indische Staatsregeling (IS) tahun 1925. Setelah kemerdekaan,

desentralisasi sebagai prinsip penyelenggaraan negara tercantum dalam berbagai

ketentuan dasar, yaitu pada Pasal 18 UUD 1945, Pasal 42-67 UUD RIS Tahun 1949,

dan Pasal 131 serta Pasal 132 UUDS Tahun 1950. Penjabarannya dituangkan dalam

berbagai ketentuan undang-undang tentang pemerintahan daerah beserta

peraturan-peraturan pelaksanaannya sesuai dengan amanat undang-undang dasar.

Perubahan yang sangat penting dari sistem pemerintahan daerah setelah

diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Daerah adalah dipisahkannya secara tegas antara institusi kepala daerah/wakil kepala

daerah dengan DPRD. Jika dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 diatur

bahwa yang disebut pemerintah daerah adalah Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah

dan DPRD sehingga DPRD dianggap sebagai lembaga eksekutif maka di dalam

2

G.J. Wolhoff, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Republik Indonesia, (Jakarta: Timun Mas NV, 1955), hlm. 23.

3

(16)

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah tidak demikian

halnya. Undang-undang itu secara tegas menyebutkan bahwa di daerah dibentuk

DPRD sebagai badan legislatif daerah dan pemerintah daerah sebagai badan eksekutif

daerah yang terdiri dari kepala daerah/wakil kepala daerah beserta perangkat daerah.4

Pemisahan secara tegas kedua institusi itu menandai dimulainya sistem

pemerintahan daerah baru yang dipandang lebih demokratis terutama dibandingkan

dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan

Daerah. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah

memberi kedudukan DPRD yang sejajar dan menjadi mitra pemerintahan daerah

tetapi pada kenyataannya posisi DPRD sangat kuat karena mengawasi, menilai dan

meminta pertanggungjawaban pemerintah daerah. Tugas dan wewenang DPRD

sebagaimana diatur dalam Undnag-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah telah terpisah jelas dalam pemerintah daerah sehingga DPRD

diharapkan dapat membawa aspirasi masyarakat dan memperjuangkan tuntutan dan

kepentingan masyarakat. Peran yang selama ini tunduk pada dominasi pihak eksekutif

berubah menjadi pihak yang mengawasi pemerintah daerah.5

Kemudian kepemerintahan daerah yang baik (good local governance)

merupakan isu yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa

ini. Tuntutan gagasan yang dilakukan masyarakat kepada pemerintah untuk

4

Mirza Nasution, Perubahan Pertanggungjawaban Gubernur Dalam Penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah Berdasarkan UUD 1945, Disertasi Program Pascasarjana Ilmu Hukum

Universitas Sumatera Utara, Medan, 2008, hlm. 20.

5

(17)

pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik adalah sejalan dengan

meningkatnya pengetahuan masyarakat di samping adanya globalisasi pergeseran

paradigma pemerintahan dari “rulling government” yang terus bergerak menuju “good

governance” dipahami sebagai suatu fenomena berdemokrasi secara adil.6 Untuk itu

perlu memperkuat peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya

disingkat DPRD) agar eksekutif dapat menjalankan tugasnya dengan baik.

DPRD yang seharusnya mengontrol jalannya pemerintahan agar selalu

sesuai dengan aspirasi masyarakat, bukan sebaliknya merusak dan mengkondisikan

Eksekutif untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadap aturan-aturan

yang berlaku, melakukan kolusi dalam pembuatan anggaran agar menguntungkan

dirinya, serta setiap kegiatan yang seharusnya digunakan untuk mengontrol eksekutif,

justru sebaliknya digunakan sebagai kesempatan untuk “memeras” eksekutif sehingga

eksekutif perhatiannya menjadi lebih terfokus untuk memanjakan anggota DPRD

dibandingkan dengan masyarakat keseluruhan. Elite politik yang seharusnya

memberikan contoh dan teladan kepada masyarakat justru melakukan

tindakan-tindakan yang tidak terpuji, memperkaya diri sendiri, dan bahkan melakukan

pelanggaran hukum secara kolektif. Lemahnya penegakan hukum ini dapat memicu

terjadinya korupsi secara kolektif oleh elite politik terutama anggota DPRD ini.7

6

H.A. Kartiwa, Good Local Governance: Membangun Birokrasi Pemerintah yang Bersih dan Akuntabel, (Bandung: Pascasarjana Universitas Padjadjaran, 2006), hlm. 1.

7

(18)

Untuk menghindari adanya kooptasi politik antara kepala Daerah dengan

DPRD maupun sebaliknya perlu dijalankan melalui prinsip “Check and Balances

artinya adanya keseimbangan serta merta adanya pengawasan terus menerus terhadap

kewenangan yang diberikannya. Dengan demikian anggota DPRD dapat dikatakan

memiliki akuntabilitas, manakala memiliki rasa tanggung jawab dan kemampuan yang

profesional dalam menjalankan peran dan fungsinya tersebut. Mekanisme “Check and

Balances” memberikan peluang eksekutif untuk mengontrol legislatif. Walaupun harus

diakui oleh DPRD (Legislatif) memiliki posisi politik yang sangat kokoh dan seringkali

tidak memiliki akuntabilitas politik karena berkaitan erat dengan sistem pemilihan umum

yang dijalankan. Untuk itu kedepan perlu kiranya Kepala Daerah mempunyai keberanian

untuk menolak suatu usulan dari DPRD terhadap kebijakan yang menyangkut

kepentingannya, misalnya kenaikan gaji yang tidak masuk masuk akal, permintaan

tunjangan yang berlebihan, dan membebani anggaran daerah untuk kegiatan yang kurang

penting. Mekanisme “Check and Balances” ini dapat meningkatkan hubungan eksekutif

dan legislatif dalam mewujudkan kepentingan masyarakat.8

Dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah, diperlukan

perangkat-perangkat dan lembaga-lembaga untuk menyelenggarakan jalannya pemerintahan di

daerah sehari-hari. Sebagaimana hanya di pusat negara, perangkat-perangkat dan

lembaga-lembaga daerah biasanya merupakan refleks dari sistem yang ada di pusat

8

Dalam kerangka inilah, diperlukan adanya ajaran mengenai checks and balances system

(sistem pengawasan dan keseimbangan) di antara lembaga-lembaga negara yang mengandaikan adanya kesetaraan dan saling mengawasi satu sama lain, sehingga tidak ada lembaga yang lebih

powerful dari yang lain. Lihat, Miriam Budiardjo, Demokrasi di Indonesia Demokrasi Parlementer

dan Demokrasi Pancasila: Kumpulan Karangan Prof. Miriam Budiardjo, (Jakarta: PT Gramedia

(19)

negara. Untuk memenuhi fungsi perwakilan dalam menjalankan kekuasaan legislatif

daerah sebagaimana di pusat negara di daerah dibentuk pula Lembaga Perwakilan

Rakyat, dan lembaga ini biasa dikenal atau dinamakan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah. Dewan Perwakilan Daerah adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai

unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Secara umum peran ini diwujudkan

dalam tiga fungsi, yaitu9:

1. Regulator

Mengatur seluruh kepentingan daerah, baik yang termasuk urusan-urusan rumah tangga daerah (otonomi) maupun urusan-urusan-urusan-urusan pemerintah pusat yang diserahkan pelaksanannya ke daerah (tugas pembantuan);

2. Policy Making

Merumuskan kebijakan pembangunan dan perencanaan program-program pembangunan di daerahnya;

3. Budgeting

Perencanaan angaran daerah (APBD).

Kemudian dalam perannya sebagai badan perwakilan, DPRD menempatkan

diri selaku kekuasaan penyeimbang (balanced power) yang mengimbangi dan

melakukan kontrol efektif terhadap Kepala Daerah dan seluruh jajaran pemerintah

daerah. Peran ini diwujudkan dalam fungsi-fungsi berikut10:

1. Representation

Mengartikulasikan keprihatinan, tuntutan, harapan dan melindungi kepentingan rakyat ketika kebijakan dibuat, sehingga DPRD senantiasa berbicara “atas nama rakyat”;

2. Advocation

Anggregasi aspirasi yang komprehensif dan memperjuangkannya melalui negosiasi kompleks dan sering alot, serta tawar-menawar politik yang sangat kuat. Hal ini wajar mengingat aspirasi masyarakat mengandung banyak kepentingan atau tuntutan yang terkadang

9

H.A. Kartiwa, Good Local Governance……,Ibid., hlm. 5.

10

(20)

berbenturan satu sama lain. Tawar menawar politik dimaksudkan untuk mencapai titik temu dari berbagai kepentingan tersebut.

3. Administrative Oversight

Menilai atau menguji dan bila perlu berusaha mengubah tindakan-tindakan dari badan eksekutif. Berdasarkan fungsi ini adalah tidak dibenarkan apabila DPRD bersikap “lepas tangan” terhadap kebijakan pemerintah daerah yang bermasalah atau dipersoalkan oleh masyarakat. Dalam kasus seperti ini, DPRD dapat memanggil dan meminta keterangan, melakukan angket dan interpelasi, bahkan pada akhirnya dapat meminta pertanggung jawaban Kepala Daerah.

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan

Daerah Pasal 1 Ayat 2 disebutkan bahwa : “Pemerintah Daerah adalah

penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut

azas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam

sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.11 Sedangkan

dalam Pasal 1 Ayat 4 disebutkan bahwa : “DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat

daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah”.

Kemudian fungsi DPRD Kabupaten/Kota terdapat pada Pasal 41

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang berbunyi : “DPRD Kabupaten/Kota mempunyai

fungsi 12:

1. legislasi;

11

Lihat Agung Djojosoekarto, Dinamika Dan Kapasitas DPRD Dalam Tata Pemerintahan Demokratis, (Jakarta: Konrad Adeneur Stifrung, 2004), hlm. 235.

12

(21)

2. anggaran;

3. pengawasan.

Dalam penjelasan disebutkan lebih lanjut bahwa : Huruf a. yang dimaksud

dengan fungsi legislasi adalah legislasi daerah yang merupakan fungsi DPRD

Kabupaten/Kota untuk membentuk Peraturan Daerah Kabupaten/Kota bersama

bupati/walikota. Huruf b. yang dimaksud dengan fungsi anggaran adalah fungsi

DPRD Kabupaten/Kota bersama-sama dengan pemerintah daerah untuk menyusun

dan menetapkan APBD yang didalamnya termasuk anggaran untuk pelaksanaan

fungsi, tugas, dan wewenang DPRD Kabupaten/Kota. Huruf c. yang dimaksud

dengan fungsi pengawasan adalah fungsi DPRD Kabupaten/Kota untuk melakukan

pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, peraturan daerah, dan keputusan

bupati/walikota serta kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah.

Berdasarkan fungsi legislasi di atas, dalam penjelasan Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa peraturan daerah dan peraturan kepala

daerah diartikan, yakni : Peraturan daerah dibuat oleh DPRD bersama-sama

Pemerintah Daerah artinya prakarsa dapat berasal dari DPRD maupun dari

Pemerintah Daerah. Khusus peraturan daerah tentang APBD rancangannya disiapkan

oleh Pemerintah Daerah yang tealah mencakup keuangan DPRD untuk dibahas

bersama DPRD.

Penguatan peran DPRD, baik dalam legislasi maupun pengawasan atas

jalannya pemerintahan daerah sangat perlu dilakukan sebagaimana diperlihatkan pada

(22)

pemerintah daerah bukan sebagai again atau subordinasi lembaga eksekutif

sebagaimana ditampilkan pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 sebelumnya.13

Penguatan peran DPRD tersebut adalah suatu hal yang harus didukung dalam

penataan ilmu pemerintahan masa kini sebagaimana upaya dalam menghindari sistem

pemerintahan yang memberi tekanan kekuasaan.

Kemudian dalam pelaksanaan fungsi legislasi pada DPRD dan dikaitkan

dengan hubungannya dengan Pemerintah Daerah tentang pembuatan Perda sesuai

dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, yang dimaksud dengan Peraturan Daerah

(selanjutnya ditulis Perda) adalah “peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah”.

Definisi lain tentang Perda berdasarkan ketentuan Undang-Undang tentang

Pemerintah Daerah adalah “peraturan perundang-undangan yang dibentuk bersama

oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Kepala Daerah baik di Propinsi

maupun di Kabupaten/Kota”.

Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah

Propinsi/Kabupaten/Kota dan tugas pembantuan serta merupakan penjabaran lebih

lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan

ciri khas masing-masing daerah. Sesuai ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Nomor

10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, materi muatan

13

(23)

Perda adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah

dan tugas pembantuan dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih

lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pengawasan terhadap

Perda hanya ditekankan pada pengawasan represif saja. Ini berbeda dengan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, dimana pada Undang-Undang-Undang-Undang tersebut pengawasan

terhadap Perda dikenal dua macam, yaitu pengawasan preventif dan represif.14

Perubahan ini menimbulkan permasalahan baru, seperti berubahnya bentuk

perwujudan pengawasan Pemerintah Pusat terhadap Perda.

Dalam hal ajaran rumah tangga daerah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004 memuat perubahan dengan menyebutkan adanya urusan wajib dan urusan

pilihan, bahkan dalam penjelasannya dikenal juga istilah urusan yang sifatnya

concurrent. Pengelompokan urusan-urusan ini dimaksudkan sebagai upaya perbaikan

terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Konsekuensinya dari hal tersebut

daerah dituntut untuk menjalankan urusan rumah tangganya tanpa harus menunggu

penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah Pusat. Semua urusan pemerintah

14

(24)

menjadi urusan Pemerintah Daerah kecuali urusan yang secara tegas disebut sebagai

kewenangan Pemerintah Pusat atau dengan kata lain disebut otonomi luas.15

Urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah

pelaksanaannya diatur oleh Perda. Hal ini mengakibatkan Perda makin mempunyai

kedudukan yang strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara atau dengan kata

lain peran Perda dalam melaksanakan urusan pemerintahan menjadi sangat besar.

Kedudukan yang strategis dari Perda dalam menjalankan urusan pemerintahan dapat

menjadi baik jika pembentukan Perda tersebut dilakukan dengan baik dan menjadi

bumerang jika dilakukan dengan tidak baik.16

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, prinsip otonomi daerah

yang digunakan adalah prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan

kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah di luar yang menjadi

urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Daerah memiliki

kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan

peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada

peningkatan kesejahteraan rakyat.17

Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang

nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa

untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang

15

Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Pusat Studi Hukum UII, 2002), hlm. 37.

16

Rudy Hendra Pakpahan, Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif dan Yudikatif, Tesis Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2009, hlm. 6-7.

17

(25)

dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan

berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan

jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya.

Apapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah

otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan

dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah

termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari

tujuan nasional.18

Menurut ketentuan Pasal 42 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004, salah satu tugas dan wewenang dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD) adalah membentuk Perda yang dibahas dengan Kepala Daerah untuk

mendapatkan persetujuan bersama. Ketentuan tentang Perda terdapat didalam Bab VI

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa :

Pasal 136 Ayat (1) : “Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD”.

Ayat (2) : “Peraturan Daerah dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah/provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan”.

Ayat (3) : “Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah”.

Ayat (4) : “Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”.

18

(26)

Menurut Pasal 42 Ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,

tugas dan wewenang DPRD yang lainnya adalah melaksanakan pengawasan terhadap

segala tindakan pemerintah daerah, seperti dalam hal:

1. Pelaksanaan Perda dan Peraturan Perundang-undangan lainnya.

2. Pelaksanaan Keputusan Kepala Daerah.

3. Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

4. Kebijakan Pemerintah Daerah dalam melaksananakan Program Pembangunan Daerah.

5. Pelaksanaan Kerjasama Internasional di daerah.

Sementara itu bila dilihat di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,

dalam hal pengawasan pemerintah terhadap Perda dan Peraturan Kepala Daerah ada

pengembangannya. Di sini dapat dilihat ada 2 (dua) cara pemerintah melakukan

pengawasan yakni19 :

1. Pengawasan terhadap Rancangan Perda (Ranperda), yaitu terhadap Rancangan

Perda yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD dan RUTR sebelum

disahkan oleh Kepala Daerah terlebih dahulu di evaluasi oleh Menteri Dalam

Negeri untuk Ranperda Provinsi, dan oleh Gubernur terhadap Ranperda

Kabupaten/Kota. Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal-hak

tersebut dapat mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal.

2. Pengawasan terhadap semua Perda diluar yang termasuk dalam angka 1 (satu),

yaitu setiap Perda wajib disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk

Provinsi dan Gubernur untuk Kabupaten/Kota untuk memperoleh klarifikasi.

19

(27)

Terhadap Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang

tinggi dapat dibatalkan sesuai mekanisme yang berlaku.

Pengawasan represif yang dianut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini

dapat dilihat dalam pembentukan Perda yang telah ditetapkan dan disetujui oleh DPRD

dapat langsung diberlakukan tanpa menunggu pengesahan dari Pemerintah Pusat dahulu,

tetapi untuk menjaga agar daerah tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan

koridor Negara Kesatuan, maka dibuatlah ketentuan yang menyatakan bahwa Perda yang

telah disahkan (dan telah berlaku) harus diberitahukan kepada Pemerintah Pusat. Hal ini

terdapat dalam ketentuan Pasal 145 Ayat (1), yang menyatakan: “Peraturan Daerah

disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan”.

Selanjutnya di dalam Ayat (2) disebutkan bahwa : “Peraturan Daerah sebagaimana

dimaksud pada Ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah”.

Ketentuan Pasal 145 Ayat (2) tersebut di atas dapat menjadi masalah

tersendiri bagi daerah, karena bisa saja pemerintah membatalkan Perda yang telah

ditetapkan dan diberlakukan kepada masyarakat. Untuk itu Pemerintah Daerah harus

berhati-hati dan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

serta kepentingan masyarakat banyak di daerahnya, sehingga Perda yang telah

disahkan Pemerintah Daerah tidak mudah dibatalkan oleh Pemerintah Pusat. Selain

itu akibat dari pengawasan pemerintah terhadap Perda sudah tentu menimbulkan

(28)

Bertitik tolak dari uraian-uraian dan berdasarkan

permasalahan-permasalahan di atas, penulis merasa tertarik untuk membahas dan menelitinya

dengan mengambil judul Kedudukan Hukum Eksekutif Daerah dan Legislatif Daerah

Dalam Pembuatan Peraturan Daerah.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan di atas,

maka dapat dirumuskan beberapa masalah, sebagai berikut :

1. Bagaimanakah proses pelaksanaan Pemerintahan Daerah di Indonesia?

2. Bagaimanakah kedudukan Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD) dalam pembuatan Perda?

3. Apa akibat hukum dari hubungan Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD) dalam pembuatan Perda?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang menjadi fokus

penelitian, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui proses pelaksanaan Pemerintahan Daerah di Indonesia.

2. Untuk mengetahui kedudukan Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD) dalam pembuatan Perda.

3. Untuk mengetahui akibat hukum dari hubungan Kepala Daerah dan Dewan

(29)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan

praktis, yaitu :

1. Secara teoritis hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi peneliti selanjutnya

dalam meneliti dan mengkaji Hukum Tata Negara khususnya yang berhubungan

dengan kedudukan hukum eksekutif daerah (Pemerintah Daerah) dan legislatif

daerah (DPRD) dalam pembuatan Peraturan Daerah.

2. Secara praktis hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi Pemerintah

Daerah (executive daerah) maupun DPRD (legislative daerah) dalam hal

kedudukan hukum eksekutif daerah dan legislatif daerah dalam hal pembuatan

Peraturan Daerah yang baik.

E. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Secara konseptual teori yang dipergunakan sebagai pisau analisis dalam

penelitian tesis ini dan dapat dijadikan acuan dalam membahas kedudukan hukum

hubungan eksekutif dan legislatif daerah tentang pembuatan Peraturan Daerah dalam

penyelenggaraan pemerintah daerah adalah dengan menggunakan pendekatan teori

“negara berdasar atas hukum” (Rechtsstaat) sebagai grand theory yang didukung oleh

midle theory Trias Politica” untuk memperkuat teori utama, serta konsep

pembaharuan hukum dan prinsip-prinsip pembuatan perundang-undangan yang baik

(30)

Merujuk teori ketatanegaraan klasik yang dikemukakan Aristoteles, konsep

negara hukum (rule of law) merupakan pemikiran yang dihadapkan (contrast) dengan

konsep rule of man.20 Dalam modern constitutional state, salah satu ciri negara

hukum (the rule of law atau rechtstaat)21 ditandai dengan pembatasan kekuasaan

dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Pembatasan itu dilakukan dengan hukum

yang kemudian menjadi ide dasar paham konstitusionalisme modern.22 Sebagaimana

Julius Stahl, pembagian atau pemisahan kekuasaan adalah salah satu elemen penting

teori negara hukum Eropa Kontinental.23 Hadirnya ide pembatasan kekuasaan itu

tidak terlepas dari pengalaman penumpukan semua cabang kekuasaan negara dalam

tangan satu orang sehingga menimbulkan kekuasaan yang absolut.24 Misalnya

perkembangan dalam perkembangan sejarah ketatanegaraan Inggris, raja pernah

berkuasa karena menggabungkan tiga cabang kekuasaan negara (law-giver, the

executor of the law, and the judge) dalam satu tangan.25 Karena itu, sejarah

20

Brian Z. Tamanaha, On The Rule of Law: History, Politics, Theory, (United Kingdom: Cambridge Univesity Press, 2004), hlm. 9.

21

Disini tidak dibedakan antara konsep “rule of law” dan konsep “rechtstaat”. Untuk menelusuri perbedaan kedua konsep itu dapat dibaca, misalnya dalam Philipus M. Hadjon,

Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), Lihat juga, Ridwan HR,

Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: UII Press, 2003), hlm. 1-16, Lihat juga, Marjanne Termorshuizen Artz, The Concept of Rule of Law, Jurnal Jentera Edisi 3, Tahun II, November, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Jakarta.

22

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara, Jilid II, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan RI, 2006), hlm. 11.

23

Ni’matul Huda, Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, (Yogyakarta: UII Press, 2007), hlm. 57.

24

Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010), hlm. 73.

25

(31)

pembagian kekuasaan negara bermula dari gagasan pemisahan kekuasaan kedalam

berbagai organ agar tidak terpusat di tangan seorang monarki (raja absolut).26

Berhubung dengan pembatasan kekuasaan itu, Miriam Budiardjo dalam

buku “Dasar-Dasar Ilmu Politik” membagi kekuasaan secara vertikal dan

horizontal.27 Secara vertikal, kekuasaan dibagi berdasarkan tingkatan atau hubungan

antar tingkatan pemerintahan. Sementara secara horizontal, kekuasaan menurut

fungsinya yaitu dengan membedakan antara fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat

legislatif, eksekutif dan yudikatif.28

Berdasarkan sejarah perkembangan pemikiran kenegaraan, gagasan

pemisahan kekuasaan secara horizontal pertama kali diungkapkan oleh John Locke

dalam buku “Two Treaties of Civil Government”. Dalam buku tersebut, John Locke

membagi kekuasaan dalam sebuah negara menjadi tiga cabang kekuasaan, yaitu

kekuasaan legislatif (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan

kekuasaan federatif (federative power). Dari ketiga cabang kekuasaan itu: legislatif

adalah kekuasaan melaksanakan undang-undang, dan federatif adalah kekuasaan

untuk melakukan hubungan internasional dengan negara-negara lain.29

Selanjutnya, konsep pemisahan kekuasaan yang dikemukakan John Locke

dikembangkan oleh Baron de Montesquieu dalam karyanya L’Espirit des Lois (The

26

Mohd. Mahfud M.D., Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Bandung: Rieneke Cipta, 2001), hlm. 72.

27

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Cetakan Ke-29, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1989), hlm. 138.

28

Ibid.

29

(32)

Spirit of the Laws). Dalam uraiannya, Montesquieu membagi kekuasaan

pemerintahan dalam tiga cabang, yaitu kekuasaan membuat undang-undang

(legislatif), kekuasaan untuk menyelenggarakan undang-undang yang oleh

Montesquieu diutamakan tindakan di bidang politik luar negeri (eksekutif) dan

kekuasaan mengadili terhadap pelanggaran undnag-undang (yudikatif). Ketiga

kekuasaan itu harus terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas (fungsi) maupun

mengenai alat perlengkapan (lembaga) yang menyelenggarakannya.30 Konsepsi yang

diajarkan Montesquieu lebih dikenal dengan ajaran Trias Politica.

Jika dibandingkan konsep pembagian kekuasaan Locke (1632-1704) dan

Montesquieu (1689-1785), perbedaan mendasar pemikiran keduanya: Locke

memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif sedangkan

Montesquieu memandang kekuasaan yudikatif berdiri sendiri.31 Montesquieu sangat

menekankan kebebasan badan yudikatif karena ingin memberikan perlindungan

terhadap hak-hak asasi warga negara yang pada masa itu menjadi korban despotis

raja-raja Bourbon.32 Sementara pemikiran Locke sangat dipengaruhi praktek

ketatanegaraan Inggris yang meletakkan kekuasaan peradilan tertinggi di lembaga

legislatif, yaitu House of Lord.

Sedikit berbeda dengan Locke dan Montesquieu, van Vollenhoven membagi

kekuasaan negara menjadi empat fungsi, yaitu regeling; bestuur; rechtspraak; dan

30

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar….., Op.Cit., hlm. 152. Bandingkan dengan R. Kranenburg, Ilmu Negara, (Jakarta: Viva Studi, 1967), hlm. 53.

31

Benny K. Harman, Konfigurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman, (Jakarta: Elsam, 1997), hlm. 49.

32

Frans Magnis Suseno, Etika Politik; Prinsip-Prinsip Model Dasar Kenegaraan Modern,

(33)

politie. Pembagian keempat kekuasaan negara itu kemudian dikenal dengan teori

“Catur Praja”.33 Dalam teori itu, yang dimaksud dengan regeling adalah kekuasaan

negara untuk membentuk aturan. Bestuur adalah cabang kekuasaan yang menjalankan

fungsi pemerintahan. Sementara itu, rechtspraak merupakan cabang kekuasaan

negara yang melaksanakan fungsi peradilan. Yang berbeda dengan teori Locke dan

Montesquieu, Vollenhoven memunculkan politie sebagai cabang kekuasaan yang

berfungsi menjaga ketertiban masyarakat dan bernegara.

Kajian lebih jauh atas pendapat Locke, Montesquieu, Vollenhoven bukan

pada perbedaan cabang kekuasaan negara tersebut. Apalagi, realitas menunjukkan

bahwa masalah ketatanegaraan semakin kompleks. Karenanya, pembagian kekuasaan

negara secara konvensional yang mengasumsikan hanya ada tiga cabang kekuasaan di

suatu negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif) sudah tidak mampu lagi menjawab

kompleksitas yang muncul dalam perkembangan negara modern.34 Perkembangan

hukum tata negara modern (modern constitutional theory) membuktikan,

cabang-cabang kekuasaan negara semakin berkembang dan pola hubungannya pun semakin

complicated.35

Kajian teoretis dalam cabang kekuasaan yang dikemukakan Locke,

Montesquieu, dan Vollenhoven lebih kepada hubungan antarcabang kekuasaan

tersebut, yaitu apakah masing-masing cabang kekuasaan negara tersebut terpisah

33

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid II, (Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), hlm. 15.

34

Denny Indrayana, Komisi Negara: Evaluasi Kekinian dan Tantangan Masa Depan,

Jurnal Yustisia, Edisi XVI Nomor 2, Juli-Desember, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, hlm. 6.

35

(34)

antara cabang kekuasaan yang satu dengan lainnya, atau diantaranya masih punya

hubungan untuk saling bekerja sama. Untuk melihat hubungan antara keduanya,

dapat didalami dari teori pemisahan kekuasaan (separation of power), pembagian

kekuasaan (distribution of power atau division of power), dan check and balances.

Secara umum ”pemisahan kekuasaan” dalam bahasa Indonesia dimaknai

(separation of power)36 dimulai dari pemahaman atas teori Trias Politica

Montesquieu. Hal itu muncul dari pemahaman pendapat Montesquieu yang

menyatakan, ”when the legislative and the executive powers are united in the same

person, or in the some body of magistrate, there can be liberty”.37 Tidak

terbantahkan, pandangan Montesquieu memberikan pengaruh yang amat luas dalam

pemikiran kekuasaan negara. Pendapat Montesquieu yang dikutip dimaknai bahwa

cabang-cabang kekuasaan negara benar-benar terpisah atau tidak punya hubungan

sama sekali. Dengan pemahaman seperti itu, karena sulit untuk membuktikan ketiga

cabang kekuasaan itu betul-betul terpisah satu dengan lainnya, banyak pendapat yang

36

Sir Ivor Jennings membedakan pemisahan kekuasaan (separation of power) dalam arti material dan formal. Pemisahan kekuasaan dalam arti material ialah pemisahan kekuasaan dalam arti pembagian kekuasaan itu dipertahankan dengan tegas dalam fungsi tugas-tugas kenegaraan yang secara karakteristik memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan itu pada tiga badan, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sedangkan yang dimaksud dengan pemisahan kekuasaan dalam arti formal ialah apabila pembagian kekuasaan itu tidak dipertahankan dengan tegas. Sir Ivor Jennings, The Law and the Constitution, 4th edition, (London: The English Language Book Society, 1976), hlm. 22. Robert M. McIver mengatakan bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti material disebut dengan pemisahan kekuasaan (separation of powers), sedangkan pemisahan kekuasaan dalam arti formal disebut dengan pembagian kekuasaan (division of powers). Robert M. McIver, The Modern State, (Oxford: Oxford University Press, 1950), hlm. 364.

37

(35)

mengatakan bahwa pendapat Montesquieu tidak pernah dipraktekkan secara murni38

atau tidak pernah dilahirkan dalam fakta,39 tidak realistis dan jauh dari kenyataan.40

Karena itu Jimly Asshiddiqie menyatakan41:

“Konsepsi Trias Politica yang diidealkan oleh Montesquieu jelas tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga organisasi tersebut hanya berurusan secara eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Kenyataan dewasa ini menunjukkan bahwa hubungan antar cabang kedua kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan bahwa ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama yang lainnya sesuai dengan prinsip

checks and balances”.

Jika disimak secara cermat, Montesquieu tidak menyatakan bahwa antara

cabang kekuasaan negara yang ada tidak punya hubungan satu sama lainnya.

Montesquieu lebih menekankan pada masalah pokok, cabang-cabang kekuasaan

negara tidak boleh berada dalam satu tangan atau dalam satu organ negara. Namun

secara umum dipahami, Montesquieu menghendaki pemisahan yang amat ketat di

antara cabang-cabang kekuasaan negara, yaitu satu cabang kekuasaan hanya

mempunyai satu fungsi, atau sebaliknya satu fungsi hanya dilaksanakan oleh satu

cabang kekuasaan negara saja. Padahal, Montesquieu menghendaki agar fungsi satu

cabang kekuasaan negara tidak dilakukan oleh cabang kekuasaan lain atau dirangkap

oleh cabang kekuasaan negara yang lain.

38

Kotan Y. Stefanus, Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Pemerintahan Negara (Dimensi Pendekatan Politik Hukum terhadap Kekuasaan Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945), (Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma Jaya, 1998), hlm. 30.

39

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russel and Russel, 1971), hlm. 287.

40

Jimly Asshidiqie, Perekembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, hlm. 17.

41

(36)

Dengan banyaknya kritikan terhadap separation of power, teori Trias

Politica dijelaskan dengan teori ”pembagian kekuasaan” (distribution of power atau

division of power). Teori ini digunakan oleh para pemikir hukum tata negara dan ilmu

politik karena perkembangan praktik ketatanegaraan tidak mungkin lagi suatu cabang

kekuasaan negara benar-benar terpisah dari cabang kekuasaan yang lain. Bahkan

dalam pandangna John A. Garvey dan T. Alexander Aleinikoff, menyebut pembagian

kekuasaan dengan “separation of functions”.42 Pendapat Garvey dan Aleinikoff

melihat bahwa dalam teori Trias Politica tidak mungkin memisahkan secara ketat

cabang-cabang kekuasaan negara. Oleh karena itu, yang paling mungkin adalah

memisahkan secara tegas fungsi setiap cabang kekuasaan negara bukan

memisahkannya secara ketat seperti tidak punya hubungan sama sekali.

Setelah mendalami banyak literatur tentang pembatasan kekuasaan negara,

Jimly Asshiddiqie menilai bahawa istilah-istilah separation of power, distribution of

power/division of power sebenarnya mempunyai arti yang tidak jauh berbeda. Untuk

menguatkan penilaian tersebut Asshiddiqie mengutip O. Hood Phillips dan

kawan-kawan yang menyatakan, the question whetherthe separation of power (i.e. the

distribution of power of the various power of government among different organs).43

Karena pendapat itu, Asshiddiqie mengatakan, Hood Phillips mengidentikkan kata

separation of power dengan distribution of power. Oleh karena itu, kedua kata

42

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum..., Op.Cit., hlm. 19.

43

(37)

tersebut dapat saja dipertukarkan tempatnya.44 Tidak hanya itu, Peter L. Strauss

cenderung mempersamakan distribution of power dengan check and balances.45

Dalam tulisan “The Place of Agencies in Government: Separation of Powrs and

Fourth Branch” Strauss menjelaskan:

“Unlike the separation of powers, the check and balances idea doesn’t suppose a radical division of government into three parts, with particular functions neatly parceled out among them. Rather, focus is on relationship and interconnections, on maintaining the conditions in which the intended struggle at the apex may continue”.46

Berdasarkan pendapat Peter L. Strauss tersebut check and balances dalam

upaya menciptakan relasi konstitusional untuk mencegah penyalahgunaan

kekuasaan47 diantara cabang-cabang kekuasaan negara untuk membangun

keseimbangan hubungan dalam praktik penyelenggaraan negara. Jika dalam teori

pemisahan kekuasaan dan pembagian kekuasaan lebih menggambarkan kejelasan

posisi tiap cabang kekuasaan negara dalam menjalankan fungsi-fungsi

konstitusionalnya, check and balances lebih menekankan kepada upaya membangun

mekanisme perimbangan untuk saling kontrol antarcabang kekuasaan negara.

Bagaimanapun, mekanisme check and balances hanya dapat dilaksanakan sepanjang

punya pijakan konstitusional guna mencegah kemungkinan terjadinya

penyalahgunaan kekuasaan oleh cabang-cabang kekuasaan negara.

44

Ibid.

45

Ibid., hlm. 296.

46

Ibid.

47

(38)

Selanjutnya Hans Kelsen dalam membicarakan Determination of the

law-Creating Function yang menyatakan bahwa norma yang lebih tinggi dapat

menentukan badan dan prosedur norma yang lebih rendah dan muatan dari norma

yang lebih rendah. Teori ini dikenal dengan istilah Stufentheorie dimana menurutnya

suatu norma itu selalu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu tata susunan,

sehingga suatu norma yang lebih rendah selalu bersumber dan berdasar pada norma

yang lebih tinggi demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat

ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yang disebut dengan norma

dasar (grundnorm).48

Indonesia sebagai negara hukum yang menganut ajaran negara berkonstitusi

seperti negara-negara modern lainnya, memiliki konstitusi tertulis yang disebut

Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar 1945 ini ditempatkan sebagai

fundamental law sehingga menjadi hukum dasar atau sumber pembuatan

hukum-hukum yang lainnya dan sebagai higher law Undang-Undang Dasar 1945 merupakan

hukum tertinggi dalam tata urutan Perundang-undangan Republik Indonesia.49

Adapun tata urutan peraturan perundang-undangan menurut

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

adalah sebagai berikut :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

48

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, translated by Andreas Wedberg, (New York: Russel and Russel, 1961), hlm. 112-113.

49

(39)

2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Penggati Undang-Undang;

3. Peraturan Pemerintah;

4. Peraturan Presiden;

5. Peraturan Daerah yang terdiri dari Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota dan Peraturan Desa.

Intinya dari semua hukum positif yang berlaku menempatkan UUD sebagai

hukum dasar dan hukum tertinggi. Hal ini membawa konsekuensi teori penjenjangan

norma dari Hans Kelsen menjadi berlaku. Berarti tidak boleh ada peraturan

perundang-undangan yang bertentangan dengan UUD.

Menurut Hans Kelsen hirarki norma hukum terdiri atas50 :

1. Norma Dasar (Fundamental Norms/Grundnorm/Basic Norm)

2. Norma Umum (General Norms)

3. Norma Konkret (Concrete Norms)

Fundamental Norms terdapat dalam konstitusi, General Norm terdapat dalam

undang-undang dan Concrete Norms terdapat dalam putusan pengadilan (vonnis)

serta keputusan-keputusan pejabat administrasi negara.51 Hans Kelsen

mengemukakan norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu susunan

hierarki, norma yang dibawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang

lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma

yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai akhirnya ‘regressus’ ini berhenti

50

Hans Kelsen, Op.Cit.

51

(40)

pada suatu norma yang tertinggi yang disebut dengan norma dasar (Grundnorm) yang

tidak dapat lagi ditelusuri siapa pembentuknya atau darimana asalnya. Norma dasar

ini merupakan yang tertinggi yang berlakunya tidak bersumber dan tidak berdasar

pada norma yang lebih tinggi lagi, tetapi berlakunya secara ‘presupposed’, yaitu

ditetapkan lebih dahulu oleh masyarakat.52

Menurut Hans Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Hans Kelsen disebut

sebagai norma dasar (Grundnorm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut

sebagai staatsgrundnorm melainkan Staatsfundamentalnorm, atau norma

fundamental negara. Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan

norma tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi.53

Berdasarkan teori Hans Nawiasky tersebut, A. Hamid S. Attamimi

memban-dingkannya dengan teori Hans Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum

di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan

menggunakan teori Hans Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum

Indonesia adalah54 :

1) Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945).

52

Ibid.

53

Hans Nawiasky, Allegemeine Rechstlehre als System der rechtlichen Grundbegriffe, (Einsiedeln/Zurich/Koln: Benziger, 1948), hlm. 31.

54

(41)

2) Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, TAP MPR, dan Konvensi

Ketatanegaraan.

3) Formell gesetz: Undang-Undang.

4) Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan

Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.

Penempatan Pancasila sebagai Staatsfundamental-norm pertama kali

disampaikan oleh Notonagoro.55 Pancasila dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee)

merupakan bintang pemandu. Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum positif

adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji

hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm

maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari

nilai-nilai Pancasila.56

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto memperkenalkan tujuh asas

Undang-undang yaitu57 :

1. Undang-undang tidak berlaku surut

2. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai

kedudukan yang lebih tinggi pula

55

Notonagoro, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Pokok Kaidah Fundamental Negara Indonesia)dalam Pancasila Dasar Falsafah Negara, Cetakan Ketujuh, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), hlm. 27.

56

Attamimi, Op Cit., hlm. 309.

57

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Ikhtisar Antinomi Aliran Filsafat Sebagai Landasan Filsafat Hukum, (Jakarta: Rajawali, 1984), hlm. 47. Lihat juga B. Hestu Cipto Handoyo,

(42)

3. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-undang yang

bersifat umum (Lex specialis derogat lex generalis)

4. Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan Undang-undang yang

berlaku terdahulu (Lex posteriori derogat lex priori)

5. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat

6. Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai

kesejahteraan spiritual materiil bagi masyarakat maupun individu, melalui

pembaharuan atau pelestarian (asas welvaarstaat)

7. Undang-undang yang di bawah tidak bertentangan dengan undang-undang yang

di atasnya (Lex superiore derogat lex infiriore)

Sementara itu Amiroeddin Syarief menetapkan adanya lima asas

perundang-undangan yaitu58 :

1. Asas tingkatan hirarkis

2. Undang-undang tak dapat diganggu gugat

3. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-undang yang

bersifat umum (Lex specialis derogat lex generalis)

4. Undang-undang tidak berlaku surut

5. Undang-undang yang baru mengenyampingkan Undang-undang yang lama (Lex

posteriori derogat lex priori)

58

(43)

2. Konsepsi

Dalam penelitian hukum kerangka konsepsional diperoleh dari peraturan

perundang-undangan atau melalui usaha untuk membentuk pengertian-pengertian

hukum. Apabila kerangka konsepsional tersebut diambil dari peraturan

perundang-undangan tertentu maka biasanya kerangka konsepsional tersebut sekaligus

merumuskan definisi-definisi tertentu, yang dapat dijadikan pedoman operasional di

dalam proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan konstruksi data.59

Kerangka konsepsional dalam merumuskan atau membentuk

pengertian-pengertian hukum, kegunaannya tidak hanya terbatas pada penyusunan kerangka

konsepsional saja, akan tetapi bahkan pada usaha merumuskan definisi-definisi

operasional di luar peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, konsep

merupakan unsur pokok dari suatu penelitian.60

Agar terdapat persamaan persepsi dalam membaca rencana penelitian ini,

maka dipandang perlu untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan konsep-konsep

dibawah ini :

1. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh

pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan

dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara

59

Solly Lubis, Filsafat Ilmu… Op.Cit., hlm. 80

60

(44)

Republik Indonesia Tahun 1945.61 Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati,

atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan

daerah.62

2. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah

lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan

daerah.63

3. Perda adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah (Gubernur

atau Bupati/Walikota).64

4. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah

kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam

sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.65

5. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah

kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di

wilayah tertentu.66

61

Pasal 1 Angka 2, Republik Indonesia, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang

Pemerintahan Daerah, LN No. 53, TLN No. 4389 yang diubah dengan diubah dengan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844)

62

Pasal 1 Angka 3, Ibid.

63

Pasal 1 Angka 4, Ibid.

64

Pasal 1 Angka 7, Republik Indonesia, Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, LN No. 53, TLN No. 4389

65

Pasal 1 Angka 7, Republik Indonesia, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, Op.Cit.

66

(45)

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Untuk mendapatkan data guna menguraikan kedudukan hukum eksekutif daerah

dan legislatif daerah dalam pembuatan Peraturan Daerah, maka jenis penelitian yang

penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif.

Menurut Sunaryati Hartono, dalam penelitian hukum normatif dapat mencari asas

hukum, teori hukum dan pembentukan asas hukum baru.67 Sedangkan menurut Bagir

Manan, penelitian normatif adalah penelitian terhadap kaedah dan asas hukum yang ada.68

2. Sumber Data

Penelitian ini diarahkan sebagai penelitian hukum normatif, yaitu penelitian

terhadap bahan pustaka atau data sekunder, yang terdiri dari :69

1. Bahan Hukum Primer

Yaitu mencakup peraturan perundang-undangan yang terkait dengan masalah

yang diteliti, seperti: Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan-Ketetapan MPR

dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kedudukan hukum

eksekutif daerah dan legislatif daerah dalam pembuatan Peraturan Daerah.

2. Bahan Hukum Sekunder

67

C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, (Bandung: Alumni, 1994) hlm. 12.

68

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 13.

69

(46)

Dalam hal ini akan dikumpulkan data dari hasil karya ilimiah para sarjana dan

hasil-hasil penelitian yang berhubungan dengan kedudukan hukum eksekutif

daerah dan legislatif daerah dalam pembuatan Peraturan Daerah.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan diambil dari majalah, surat kabar untuk penunjang informasi dalam

penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1) Penelitian kepustakaan (library research), yaitu melalui penelusuran peraturan

perundang-undangan, dokumen-dokumen maupun buku-buku ilmiah yang sesuai

dengan objek yang akan diteliti.

2) Penelitian lapangan (field research), penelitian ini dilakukan guna memperoleh data

primer tentang pokok-pokok pengaturan mengenai kedudukan hukum eksekutif

daerah dan legislatif daerah dalam pembuatan Peraturan Daerah. Data ini diperoleh

melalui wawancara dengan narasumber yang terkait dengan penelitian, yaitu

wawancara dengan Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kota Medan serta dengan

(47)

4. Analisis Data

Setelah data terkumpul dan dirasa telah cukup lengkap, maka tahap

selanjutnya adalah mengolah dan menganalisis data. Teknik analisis data yang

dipakai adalah teknik analisis kualitatif, dimana setelah semua data terkumpul, maka

dilakukan pengolahan, penganalisisan dan pengkonstruksian data secara menyeluruh.

Setelah data diolah langkah selanjutnya dilakukan interpretasi data untuk

menarik kesimpulan dari kenyataan yang ditemui di lapangan. Uraian dan kesimpulan

dalam menginterpretasikan data hasil penelitian akan dihubungkan dengan teori-teori,

pendapat-pendapat dan aturan-aturan formal yang telah dikemukakan pada bagian

(48)

BAB II

PROSES PELAKSANAAN

PEMERINTAHAN DAERAH DI INDONESIA

A. Demokrasi di Indonesia

Istilah demokrasi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu demos

yang berarti rakyat dan cretein yang berarti memerintah, dan ada sarjana yang

menyebut kata cretien dengan kratos yang berarti kekuasaan.70 Dengan demikian,

demokrasi secara harfiah berarti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk

rakyat.71

Ada berbagai macam kata yang dipadankan dengan kata demokrasi yang kita

kenal saat ini, seperti demokrasi konstitusionil, demokrasi parlementer, demokrasi

terpimpin, demokrasi Pancasila, demokrasi rakyat, demokrasi Sovyet, demokrasi

nasional dan sebagainya.72 Apabila kita kembali ke akar kata dari demokrasi itu

sendiri, maka dapat ditemukan bahwa kata demokrasi sesungguhnya berarti rakyat

berkuasa atau goverment or rule by the people.

Menurut G.J. Wolhoff sebagaimana yang dikutip oleh Zen Zaniber MZ,

demokrasi dibedakan dalam 2 (dua) arti, yaitu73:

70

Heru Nugroho; Negara, Pasar, dan Keadilan Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 87.

71

Bondan Gunawan; Apa Itu Demokrasi, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), hlm. 1.

72

Satya Gunawan, Hukum dan Demokrasi, (Jakarta: Ind-Hill-Co, 1991), hlm. 3.

73

Gambar

Tabel 1

Referensi

Dokumen terkait

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “PENGARUH DIMENSI

maka Pejabat Pengadaan Dinas Perhubungan Komunikasi Informasi dan Telematika Aceh Tahun Anggaran 2014 menyampaikan Pengumuman Pemenang pada paket tersebut diatas sebagai berikut

Sebaya ini mudah dan sangat cocok di aplikasikan dalam pembelajaran lompat tinggi maka tepat untuk di terapkan pada siswa SMP khususya kelas VIII C yang

Demikian  Berita  Acara  Pembukaan  Penawaran  Biaya  ini  dibuat  untuk  dapat  dipergunakan  seperlunya, atas perhatian diucapkan terima kasih. .

Ujang Suyatman, M.Ag Fakultas Adab dan Humaniora Desa Karyamekar Kecamatan Cibatu Purwakarta Kabupaten 80 190 300.. Mohamad Agus Salim,

Guru menyampaikan materi pokok yang akan dipelajari, kemudian memberikan kesempatan kepada siswa untuk membaca dan..

Dari sinilah saya tertarik untuk meneliti dan menganalisis pengaruh faktor sosial (eksternal), dan faktor kontekstual terhadap minat berwirausaha mahasiswa Ekonomi Syariah