• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI KAJIAN TEORI

I. Pendidikan Nilai 1. Pengertian Nilai

4. Pancajiwa Pondok Pesantren

115

pendidikan karakter yang sejatinya sudah dimulai oleh pesantren sejak awal kemunculannya.

4. Pancajiwa Pondok Pesantren

KH. Imam Zarkasyi, pendiri PMD Gontor behasil mengidentifikasi karakter pesantren menjadi pancajiwa, yaitu: 1) keikhlasan; 2) kesederhanaan; 3) kemandirian; 4) ukhuwwah dīniyyah; dan 3) kebebasan. Jiwa keikhlasan adalah sepi ing pamrih, jiwa kesederhanaan adalah narimo (dalam istilah jawa) dalam arti bukan hanya menerima tetapi terpancar jiwa besar, jiwa berdikari adalah senjata hidup yang ampuh, jiwa ukhuwwah

dīniyyah yang demokratis adalah persatuan dan persaudaraan (ukhuwwah islāmiyah), jiwa kebebasan adalah dalam arti optimis dan berjiwa besar.

Maka diperlukan wadah pendidikan yang berbasis Panca jiwa. Karena pada hakikatnya Panca jiwa pesantren di atas menjadi support nilai bagi santri untuk mengaruhi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.211

Berikut ini pokok-pokok pikiran KH. Imam Zarkasyi mengenai Pancajiwa Pesantren yang sampai saat ini menjadi materi khutbat al-‘arsh (pekan perkenalan) baik disampaikan pada stadium general oleh pimpinan pondok maupun klasikal oleh wali kelas.212

a. Jiwa Keikhlasan

Jiwa ini berarti sepi ing pamrih, yakni berbuat sesuatu bukan karena didorong oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan tertentu. Segala perbuatan dilakukan dengan niat semata-mata untuk ibadah. Kiai ikhlas medidik dan para

211

Tim Penulis, K.H. Imam Zarkasyi:Dari Gontor Merintis Pesantren Modern (Ponorogo: Unida Gontor Press, 2016), 438-439.

212 KH. Imam Zarkasyi, Diktat dalam Pekan Perkenalan, 15. Lihat juga Tim Penulis, KH. Imam

116

pembantu Kiai ikhlas dalam membantu menjalankan proses pendidikan serta para santri yang ikhlas dididik.

Jiwa ini menciptakan suasana kehidupan pondok yang harmonis antara Kiai yang disegani dan santri yang taat, cinta dan penuh hormat. Jiwa ini menjadikan santri senantiasa siap berjuang di jalan Allah, di manapun dan kapanpun.

b. Jiwa kesederhanaan

Kehidupan di pondok diliputi oleh suasana kesederhanaan. Sederhana tidak berarti pasif atau nerimo, tidak juga berarti miskin dan melarat. Justru dalam jiwa kesederhanan itu terdapat nilai-nilai kekuatan, kesanggupan, ketabahan dan penguasaan diri dalam menghadapi perjuangan hidup.

Di balik kesederhanaan ini terpancar jiwa besar, berani maju dan pantang mundur dalam segala keadaan. Bahkan di sinilah hidup dan tumbuhnya mental dan karakter yang kuat, yang menjadi syarat bagi perjuangan dalam segala segi kehidupan .

c. Jiwa Berdikari

Berdikari atau kesanggupan menolong diri sendiri merupakan senjata ampuh yang dibekalkan pesantren kepada para santrinya. Berdikari tidak saja berarti bahwa santri sanggup belajar dan berlatih mengurus segala kepentingannya sendiri, tetapi pondok pesantren itu sendiri sebagai lembaga pendidikan juga harus sanggup berdikari sehingga tidak pernah menyandarkan kehidupannya kepada bantuan atau belas kasihan pihak lain.

Inilah zelp berdruiping systeem (sama-sama memberikan iuran dan sama-sama memakai). Dalam pada itu, Pondok tidaklah bersifat kaku, sehingga menolak orang-orang yang hendak membantu. Semua pekerjaan yang ada di dalam pondok dikerjakan oleh Kiai dan para santrinya sendiri, tidak ada pegawai.

d. Jiwa Ukhuwah islamiah

Kehidupan di pondok pesantren diliputi suasana persaudaraan yang akrab, sehingga segala suka dan duka dirasakan bersama dalam jalinan ukhuwah islamiah. Tidak ada dinding yang dapat memisahkan antara mereka. Ukhuwah ini bukan saja selama mereka di Pondok, tetapi juga mempengaruhi ke arah persatuan ummat dalam masyarakat setelah mereka terjun di masyarakat.

e. Jiwa Bebas

Bebas dalam berpikir dan berbuat, bebas dalam menentukan masa depan, bebas dalam memilih jalan hidup, dan bahkan bebas dari berbagai pengaruh negatif dari luar, masyarakat. Jiwa bebas ini akan menjadikan santri berjiwa besar dan optimis dalam menghadapi segala kesulitan. Hanya saja

117

dalam kebebasan ini seringkali ditemukan unsur-unsur negatif, yaitu apabila kebebasan itu disalahgunakan, sehingga terlalu bebas (liberal) dan berakibat hilangnya arah dan tujuan atau prinsip.

Sebaliknya, ada pula yang terlalu bebas (untuk tidak mau dipengaruhi), berpegang teguh kepada tradisi yang dianggapnya sendiri telah pernah menguntungkan pada zamannya, sehingga tidak hendak menoleh ke zaman yang telah berubah. Akhirnya dia sudah tidak lagi bebas karena mengikatkan diri pada yang diketahui saja. Maka kebebasan ini harus dikembalikan ke aslinya, yaitu bebas di dalam garis-garis yang positif, dengan penuh tanggung jawab; baik di dalam kehidupan pondok pesantren itu sendiri, maupun dalam kehidupan masyarakat.

Jiwa yang meliputi suasana kehidupan Pondok Pesantren itulah yang dibawa oleh santri sebagai bekal utama di dalam kehidupannya di masyarakat. Jiwa ini juga harus dipelihara dan dikembangkan dengan sebaik-baiknya. Pancajiwa mempunyai hubungan yang sangat erat dengan faktor–faktor pendukung didalam pelaksanaan pola pendidikan dan pengajaran di PMD Gontor. Pancajiwa merupakan nilai-nilai dan jiwa pendidikan yang ditanamkan oleh Trimurti pendiri PMD Gontor.

Ranah nilai-nilai moral yang dicetuskan KH. Imam Zarkasyi di atas dapat diperdalam lagi bahwa inti dari nilai-nilai pendidikan adalah rela berkorban untuk kepentingan bersama. KH. Imam Zarkasyi semasa hidupnya senantiasa menuntun semua guru harus selalu meningkatkan dirinya dan meningkatkan orang lain. Meningkat cara mengajarnya, meningkat mentalnya, meningkat budi pekertinya, meningkat ilmunya, meningkat imannya, dan meningkat seluruh yang baik.213 Untuk itu suasana pendidikan dan pengajaran di PMD Gontor selalu menerapkan suasana yang harmonis antara guru yang ikhlas, disegani dan siswa yang taat dan ikhlas.214

213 KH. Imam Zarkasyi, Untuk Stabilitas Pendidikan, 2. 214 Ibid.

118

Karakter ikhlas, di antaranya: (1) lebih banyak mengerti orang lain. Dengan mengerti seseorang akan dicintai orang lain sehingga hidupnya bermakna; (2) sikap prihatin, berarti memberikan kasih sayang tanpa batas kepada orang lain dan dirinya sendiri; dan (3) berlaku sabar, orang sabar akan banyak disenangi orang lain.215 Karakter ikhlas seperti inilah yang menjadi ruh kesederhanaan dalam berperilaku yang akan menjadi pertimbangan etis dalam hidup bermasyarakat di kemudian hari.

Untuk menginternalisasi kesederhanaan seseorang memerlukan konsep diri yang berkembang seiring dengan perkembangan sosial seseorang. Karena perkembangan seseorang juga tidak terlepas dari kognisi sosial (social cognition) atau bagaimana seseorang seseorang memahami pikiran, perasaan, motif dan perilaku orang lain. 216 Dalam arti ini, sikap sederhana diartikan sebagai kepatuhan kepada ukuran sederhana yang disepakati lingkungan sosial. Di sinilah kognisi sosial menjelma menjadi kematangan sosial.

Ada 6 aspek kematangan sosial, yaitu: (1) self help, kemampuan untuk memelihara diri sendiri; (2) self direction, kemampuan untuk mengarahkan diri sendiri, (3) locomotion, accupation, kemampuan untuk bergerak dan menggerakkan orang lain; (4) communication, kemampuan melakukan tugas-tugas; dan social relation, kemampuan menjalin hubungan baik dengan orang lain.217

215

Muhammad Mufid, Belajar dari Tiga Ulama Syam (Jakarta: Quanta, 2015), 123.

216 Nurhadi, Pendidikan Kedewasaan dalam Perspektif Psikologi Islam (Yogyakarta: Deepublish, 2014), 60.

119

Sifat persaudaraan yang dikehendaki Islam, yaitu: (1) baṣariyyah, yaitu persaudaraan manusia secara biologis sebagai sesama keturunan Nabi Adam; (2) persaudaraan insāniyyah, yaitu persaudaraan kemanusiaan atas dasar kebaikan dan kebenaran; (3) persaudaraan islāmiyyah (dīniyyah), yaitu persaudaraan atas dasar sesama agama islam; (4) persaudaraan

waṭaniyyah, yaitu persaudaraan atas dasar persamaan kewarganegaraan.218

Merujuk kepada Rob Goffee dan Gareth Jones, dalam budaya solidaritas yang tinggi, minat bersama menghasilkan aksi cepat dan tepat sasaran.219

Manusia yang memiliki kesadaran diri akan senantiasa membangun diri dan lingkungannya dengan penuh empati, suatu jenis perasaan yang mampu mengetahui apa yang dirasakan oleh orang lain. Empati akan membuatnya peduli kemudian melakukan aksi secara pro-aktif.220 Maka dari itu kebebasan yang bertanggungjawab memberi ruang berpikir rasional dianjurkan wahyu, sehingga konsekuensinya wahyu juga mengendalikan akal agar tidak terjebak pada kesesatan hanya dengan menuruti kebebasannya. Dalam Islam kebebasan diberi tempat terhormat dan peran besar, tetapi harus dibimbing wahyu sehingga akal bebas berpikir secara bertanggungjawab pada wahyu yang merupakan perwujudan dari ajaran Allah. Dengan cara ini didapatkan dua manfaat sekaligus, yaitu dinamika keilmuan dan keselamatan dari pengingkaran terhadap Allah.221

218 Sehat Sulthoni Dalimunthe, Filsafat Pendidikan Akhlak (Yogyakarta: Deepublish, 2016), 86. 219 Rob Goffee dan Gareth Jones, Why Should Anyone Be Led by You?, terj. Dewi Minangsari,

Mengapa Harus Anda yang Memimpin (Jakarta: Grasindo, 2008), 118.

220

Herwan Abdul Muhyi, HR Plan & Strategi: Strategi Jitu Pengembangan Sumber Daya (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2016), 37.

221 Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional hingga Metode Kritik (Jakarta: Erlangga, 2005), 275

120

Pada konteks pancajiwa pesantren ini, hal-hal yang perlu dilakukan pesantren adalah senantiasa memegang teguh nilai-nilai pendidikannya dan melakukan internalisasi panca jiwanya baik secara formal maupun non formal. Sehingga pada akhirnya ada keterkaitan antara nilai-nilai pesantren, jiwa pesantren dan sistem budaya pesantren. Pesantren tidak semata-mata memberikan layanan pendidikan berupa penerapan kurikulum yang dapat memberikan ilmu pengetahuan kepada santri. Hal ini lebih disebabkan karena santri pada akhirnya akan hidup bermasyarakat dan bernegara yang mengharuskan hidup bersama dengan berbagai individu yang karakternya berbeda-beda. Tentu saja, santri harus diberikan bekal seperangkat pendidikan nilai agar memiliki bekal mental untuk membedakan hal baik dan buruk. Untuk itu, pesantren sudah seharusnya menerapkan pendidikan nilai yang memiliki peran yang sama dengan pendidikan karakter.

Berbagai ulasan di atas mengantarkan pemahaman bahwa nilai-nilai di pesantren tidak terlepas dari dasar-dasar pendidikan yang dijadikan acuan dalam transformasi keilmuannya. Yang dimaksud dengan dasar pendidikan adalah pandangan hidup yang melandasi seluruh aktivitas pendidikan. Adapun hal-hal yang menjadi acuan pendidikan nilai moral di pesantren dapat diidentifiakasi menjadi empat hal penting, yaitu: (1) tradisi keilmuan pesantren yang membangun moralitas pesantren; (2) moralitas agama yang digali dari nilai-nilai moral agama Islam; (3) filsafat pendidikan pendidikan Islam; dan (4) keteladanan kiai dalam membentuk karakter santri.

121