• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI KAJIAN TEORI

I. Pendidikan Nilai 1. Pengertian Nilai

3. Relevansi Pendidikan Nilai Pesantren dengan Moralitas

110

yang berhasil dibangun dalam sistem in-group oleh Kiai bersama santri dilanjutkan dengan ikatan yang sama ketika santri sudah menjadi bagian out

group.

3. Relevansi Pendidikan Nilai Pesantren dengan Moralitas

Tradisi keilmuan pesantren pada gilirannya mendorong moralitas pesantren. Secara singkat, seperti diamati Bull nilai-nilai moral yang ditekankan di pesantren meliputi ukhuwwah Islāmiyyah, keikhlasan (ketulusan, tidak mementingkan diri sendiri), kesederhanan (simple living), dan kemandirian (swasembada). Di luar ini, pesantren bertujuan untuk menanamkan kesalehan pribadi dan komitmen terhadap lima rukun Islam: syahadat, salat lima waktu, zakat, puasa Ramadhan, dan haji (haji ke Mekkah, untuk mereka yang mampu melaksanakannya).200

Lebih lanjut Bull menegaskan bahwa Kiai memiliki peran sentral dalam menekankan pengajaran agama yang membentuk moralitas. Dalam arti ini kiai selalu mengarahkan santri untuk memiliki sikap moral. Pendidikan moral dalam hal perilaku moral membutuhkan pengalaman. Oleh karena itu, pesantren berusaha menciptakan lingkungan di mana moral agama dapat dipraktikkan sekaligus dipelajari. Para santri belajar mengaji sekaligus diberi kesempatan untuk mempraktikkannya.201

Moralitas agama diberlakukan sudah menjadi sebuah keniscayaan karena pandangan hidup (teologi) seorang muslim berdasarkan pada al-Qur’an dan sunah. Maka dari itu yang menjadi dasar pendidikan Islam

200 Ronald Alan Lukens Bull, “A Peaceful Jihad: Javanese Islamic Edudation and Religious Identity Contruction” (Disertasi – Arizona State University, 1997), 79.

111

adalah al-Qur’an dan sunah tersebut. Hal yang demikian dilakukan, karena dalam teologi umat Islam, al-Qur’an dan sunah diyakini mengandung kebenaran mutlak yang bersifat transendental, universal eternal (abadi), sehingga secara akidah diyakini oleh pemeluknya akan selalu sesuai denga fitrah manusia, artinya memenuhi kebutuhan manusia kapan dan dimana saja (li kulli zamānin wa makānin).

Sebuah dasar pendidikan Islam harus sesuatu yang bersifat filosofis, sehingga mendorong pentingnya pertimbangan filosofi dalam menentukan dasar pendidikan. Dalam hal ini Abuddin Nata berpendapat bahwa filsafat pendidikan adalah fundamental yang tanpa keterlibatannya dalam kehidupan manusia tidak ada pendidikan. Perubahan pendidikan yang tidak berdasar, yang tidak bertujuan, yang tidak disertai dengan keyakinan mengenai kebaikan dan kebenaran, yang diperbuatnya itu bukanlah perbuatan pendidikan.202 Untuk mendukung hal ini Nata mengatakan, “Untuk menentukan dasar pendidikan, dibutuhkan jasa filsafat pendidikan. Berdasarkan pertimbangan filosofis (metafisika dan aksiologi) diperoleh nilai-nilai yang memiliki kebenaran yang menyakinkan. Untuk menentukan dasar pendidikan islam, selain pertimbangan filosofis tersebut, juga tidak lepas dari pertimbangan teologi seorang muslim.”203

Nilai-nilai yang ditercakup dalam sistem nilai islami yang merupakan komponen atau subsistem sebagai berikut: (1) sistem nilai kultural yang senada dan senafas dengan islam; (2) sistem nilai sosial yang

202 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), 59. 203 Ibid.

112

memiliki mekanisme gerak yang berorientasi kepada kehidupan sejahtera di dunia dan bahagia di akhirat; (3) sistem nilai yang bersifat psikologis dari masing-masing individu yang didorong oleh fungsi-fungsi psikologisnya untuk berperilaku secara terkontrol oleh nilai yang menjadi sumber rujukannya, yaitu islam; (4) sistem nilai tingkah laku dari makhluk (manusia) yang mengandung interelasi atau interkomunikasi dengan yang lainnya. Tingkah laku ini timbul karena adanya tuntutan dari kebutuhan mempertahankan hidup yang banyak diwarnai oleh nilai-nilai yang motivatif dalam pribadinya.204

Pendidikan Islam sendiri oleh al-Syaibāni diartikan: “usaha pendidikan untuk mencapainya, baik pada tingkah laku individu dan pada kehidupan pribadinya atau pada kehidupan masyarakat dan pada kehidupan alam sekitar.205 Senada dengan pendapat ini, al-Nahlawi mengungkapan. pendidikan Islam “sebagai pengaturan pribadi dan masyarakat sehingga dapat memeluk Islam secara logis dan sesuai secara keseluruhan baik dalam kehidupan individu maupun masyarakat (kolektif)”. 206

Ahmad Tafsir meneguhkankan kedua pendapat di atas; “pendidikan Islam adalah bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.207

204 M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), 126.

205 Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafat al-Tarbiyyah al-Islāmiyyah, terj. Hasan Langgulung, Falsafah Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 399.

206

Abdurrahmān Nahlawi, Uṣūl Tarbiyyah Islāmiyyah wa Asālibihā (Damaskus: Dār al-Fikr,1979), 20.

207Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalamPerspektif Islam (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994), 32.

113

Semua batasan pendidikan Islam di atas memiliki kemiripan makna, yaitu keduanya sama-sama mengandung arti: pertama, adanya usaha dan proses penanaman sesuatu (pendidikan) secara baik di lingkungan pendidikan mauapun di luarnya. Kedua, adanya hubungan timbal balik antara pendidik kepada didik, dan ketiga adalah berpegang teguh pada ajaran agama Islam sebagai tujuan akhir.

Berkaitan erat dengan filsafat pendidikan Islam di atas, transformasi nilai-nilai pesantren yang terangkum dalam tujuan pesantren diterapkan agar santri dapat mengembangkan pribadi akhlāq al karīmah bagi peserta didik yang memiliki kesalehan individual dan sosial dengan menjunjung tinggi jiwa keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, persaudaran sesama umat Islam (ukhuwwah islāmiyah), rendah hati

(tawāḍu’), toleran (tasāmuh), keseimbangan, (tawāzun), moderat (tawāsuṭ),

keteladanan (uswah), pola hidup sehat, dancinta tanah air.208

Fungsi pendidikan yang terkait dengan transmisi dan transformasi budaya dimaksudkan memelihara dan melestarikan budaya suatu bangsa yang menjadi ciri dan identitas bangsa tersebut. Dalam konteks pendidikan Indonesia, salah satu fungsi pendidikan yang terkait dengan transmisi budaya dimaksudkan untuk melestarikan budaya Indonesia yang menjadi keunikan dan identitas bangsa. Melalui pendidikan dapat dilakukan dan transformasi budaya dengan melakukan pengembangan budaya ke arah yang lebih baik.209

208 Tujuan pendidikan ini termaktub pada Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam, pasal 2 (c).

114

Karena acuan pendidikan nilai di pesantren menyangkut masalah ideal dan fundamental, maka diperlukan rumusan pandangan hidup yang kokoh dan komprehensif, serta tidak mudah berubah hal ini karena telah diyakini memiliki kebenaran yang telah teruji oleh sejarah. Kalau pandangan hidup yang dijadikan dasar pendidikan itu bersifat relatif dan temporal, maka pendidikan akan mudah terombang-ambing oleh kepentingan dan tuntunan sesaat yang bersifat teknis dan pragmatis.

Transformasi nilai-nilai pesantren tidak bisa melepaskan diri dari peran besar Kiai sebagai figur sentral. Gazali dan Malik menyebut pesantren sebagai institusi pendidikan Islam yang berperan dalam menyebarkan dan memberdayakan masyarakat Islam memiliki sejarah panjang. Pesantren biasanya dijalankan oleh seorang kiai, dibantu oleh sejumlah santri senior atau anggota keluarganya. Pesantren merupakan bagian penting dari kehidupan kiai, sebagai media dimana dia memperluas khutbah dan pengaruhnya oleh ajarannya. Oleh karena itu, kiai menjadi pusat kekuasaan sekaligus pemilik institusi.210

Kiai dalam mengemban peran fungsinya tentu saja berlandasakan ajaran Islam. Oleh karena itu nilai-nilai pesantren ini sudah barang tentu bersumber dari ajaran Islam yang bermuara pada Al-Qur’an dan sunah. Ini merupakan sumbangsih pesantren dalam mempersiapakan anak bangsa menghadapi kehidupan bermasyarakat. Saat ini sedang digalakkan

210 Hatim Gazali & Abd. Malik, “Pesantren and The Freedom of Thinking: Study of Ma‘had Aly

Pesantren Sukorejo Situbondo, East Java, Indonesia”, Al-Jāmi‘ah, Vol. 47, No. 2 (2009 M/1430

115

pendidikan karakter yang sejatinya sudah dimulai oleh pesantren sejak awal kemunculannya.