• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandangan Hidup Orang Jawa

Dalam dokumen Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo (Halaman 105-124)

BAB V MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL-NOVEL

5.1 Sikap Kosmologis Masyarakat Jawa

5.1.2 Pandangan Hidup Orang Jawa

Pandangan hidup merupakan suatu abstraksi dari pengalaman hidup. Pandangan ini terbentuk oleh suatu cara berpikir dan merasakan tentang nilai-nilai, organisasi sosial, perilaku, peristiwa-peristiwa, dan segi-segi lain dari pengalaman. Pandangan hidup adalah sebuah pengaturan mental dari pengalaman itu dan pada gilirannya mengembangkan suatu sikap terhadap hidup.

Pandangan hidup orang Jawa berakar pada adat-istiadat (tradisi) agama, kepercayaan, dan kebudayaan. Pandangan hidup tersebut pada dasarnya menekankan

keselarasan dan keseimbangan, baik terhadap diri sendiri, alam, maupun Tuhan. Sikap hidup seperti ini sudah diatur dalam macam-macam peraturan seperti kaidah- kaidah, etika Jawa (tata krama) yang mengatur keselarasan dalam masyarakat, peraturan beribadat yang mengatur hubungan formal dengan Tuhan, dan kaidah- kaidah moral yang menekankan sikap dan perbuatan moral. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mulder (2005:20) bahwa javanisme yaitu agama beserta pandangan hidup orang Jawa, menekankan ketentraman batin, keselarasan, dan keseimbangan, sikap “nrimo” terhadap segala peristiwa yang terjadi sambil menempatkan individu di bawah masyarakat dan masyarakat di bawah alam semesta. Hakikat hidup yang benar adalah hidup berselaras dengan diri sendiri, masyarakat, dan Tuhan.

Pada hakikatnya sistem kepercayaan orang Jawa bersumber pada sistem etika dan pandangan hidup. Dengan demikian, dalam sistem kepercayaan Jawa terdapat serangkaian pengetahuan untuk mengidentifikasi tujuan-tujuan serta cara-cara mencapai sesuatu yang sebaik-baiknya. Bermacam-macam pengetahuan, petunjuk, perintah, resep, dan strategi-satrategi adalah untuk menyesuaikan diri dan membudidayakan lingkungan hidup yang bersumber pada sistem etika dan pandangan hidup masyarakat Jawa. Dengan demikian, di sini dijumpai berbagai aturan dan ukuran untuk menilai tujuan-tujuan hidup dan menentukan mana yang lebih lama dan berharga, serta beragam cara ini juga mengidentifikasi bahaya yang mengancam dan bagaimana cara mengatasinya.

Serangkaian pengetahuan tersebut dipenuhi oleh kompleksitas nilai yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, dan antara manusia dengan sang pencipta serta alam adikodrati. Oleh karena itu masyarakat pedesaan Jawa dalam menghadapi sistem kepercayaan tersebut tidak hanya mengandalkan pertimbangan- pertimbangan rasional, akan tetapi juga melibatkan emosi, sehingga seolah-olah telah menyerahkan jiwa raganya kepada sistem kepercayaan yang dijadikan pedoman hidupnya.

Orang Jawa percaya terhadap dunia gaib, khususnya yang tinggal di daerah pedesaan. Menurut kepercayaan mereka dunia ini dihuni oleh berbagai makhluk halus dan kekuatan-kekuatan gaib. Pandangan hidup dan kejadian-kejadian yang dialami berkaitan dengan alam gaib (adikodrati) tersebut. Melalui bersemedi atau bertapa, orang akan dapat memeroleh kekuatan sakti. Kekuatan itu dapat dipakai untuk mengabdi pada masyarakat dan bisa juga dipergunakan untuk kepentingan pribadi yang dapat merugikan orang lain.

Orang Jawa tidak membedakan antara sifat religius dan bukan religius. Interaksi sosial sekaligus dinyatakan sebagai sikap terhadap alam yang mempunyai relevansi sosial. Pandangan terhadap orang bersifat keseluruhan, artinya tidak ada pemisahan secara tegas antara individu dengan lingkungan, golongan, zaman, maupun dengan alam adikodrati. Oleh sebab itu, dengan sendirinya orang Jawa tidak mampu memisahkan urusan dunia sini (empirik) dengan dunia sana (metaempirik) (Suseno, 2003:82).

Apabila diperhatikan, dalam pandangan hidup maupun kepercayaan orang Jawa, akan tampak secara khusus alam pikiran orang Jawa yang memercayai hal-hal gaib. Untuk menggambarkannya maka orang Jawa mengenal apa yang disebut dengan simbol dan mitos. Dunia Jawa adalah dunia yang penuh dengan simbol, karena itu untuk memahami orang Jawa kita harus memahami simbol-simbol yang melingkupinya.

Pandangan hidup orang Jawa, khususnya masyarakat pedesaan percaya pada hal-hal yang bersifat mitis. Banyak cerita-cerita atau gugon tuhon yang muncul dalam berbagai versi tentang mitos terjadinya sebuah desa atau kerajaan di Jawa. Penduduk tersebut mengenal pendiri desa atau kerajaan melalui cerita-cerita secara turun- temurun. Asal-usul tokoh itu selalu dihubungkan dengan cerita-cerita yang terdapat dalam pertunjukan wayang atau ketoprak, yaitu para ksatria keraton yang memiliki kesaktian dan pengikut. Kuburan atau peninggalan para tokoh dianggap keramat dan dipercayai bahwa roh-roh mereka masih tinggal di sekitar desa sehingga dapat dimintai pertolongan.

Masyarakat Jawa juga memercayai bahwa cerita-cerita yang berasal dari epos Ramayana dan Mahabrata terjadi di Pulau Jawa. Sebagai contoh, mereka percaya bahwa Yudhistira, salah satu tokoh Pandawa dalam epos Mahabrata dimakamkan di pekarangan mesjid Demak, Jawa Tengah, dan makam itu berukuran 3 meter. Mereka juga percaya bahwa negeri Amartapura, tempat para Pandawa tinggal adalah Pulau Jawa.

Sedemikian besar penghayatan mereka pada mitologi Jawa yang berasal dari epos Ramayana dan Mahabrata sehingga mereka memandang bahwa hidup ini sebagai peperangan antara kekuatan khaos (kekacauan) dan kekuatan ordo (ketertiban) (Sardjono, 1992:22). Dalam Mahabrata, pihak Kurawa melambangkan kekuatan khaos dan pihak Pandawa melambangkan kekuatan ordo.

Peranan tokoh pewayangan ini sangat besar dalam kehidupan masyarakat Jawa. Tidaklah berlebihan jika Sardjono (1992:24) mengatakan bahwa wayang merupakan identitas utama manusia Jawa. Mereka mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh-tokoh dari pihak Pandawa, dan menghindari pengidentifikasian dengan tokoh-tokoh Kurawa. Dengan kata lain, tokoh-tokoh tersebut menyimbolkan watak dan perilaku manusia untuk mencapai tujuan hidup. Berikut penjelasan tentang hal- hal yang dijadikan pandangan hidup masyarakat Jawa, yaitu: raja sebagai pemusatan kekuatan kosmis, keraton sebagai pusat kerajaan numinus, Gunung Merapi, dan Laut Selatan.

1. Raja sebagai Pemusatan Kekuatan Kosmis

Raja merupakan orang yang memusatkan suatu takaran kekuatan kosmis yang besar dalam dirinya sendiri, sebagai orang yang sakti sesakti-saktinya. Raja bisa dianggap sebagai pintu air yang menampung seluruh air sungai dan bagi tanah yang lebih rendah merupakan satu-satunya sumber air dan kesuburan. Atau sebagai lensa pembakar yang memusatkan cahaya matahari dan mengarahkannya ke bawah. Kesakten sang raja diukur pada besar kecilnya monopoli kekuasaan yang

dipegangnya. Semakin besar kekuasaan raja, semakin luas pula wilayah kekuasaannya. Perhatikan kutipan berikut.

Raja itu mempunyai tiga macam wahyu. Wahyu nurbuwat, artinya raja mempunyai kekuasaan, raja dapat menentukan abang-birunya kerajaan, kalau sekarang ya hijau-kuning-merahnya wilayah. Kedua, wahyu hukumah artinya wewenang mengadili, yang sekarang ada pada pengadilan. Ketiga, wahyu wilayah, artinya ia adalah wali Tuhan, harus menjadi contoh bagi masyarakatnya (MPU:79).

Melalui kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa dari seorang raja yang berkuasa mengalirlah ketenangan dan kesejahteraan ke daerah sekelilingnya. Kekuasaan raja juga tampak dalam kesuburan tanah dan apabila tidak terjadi bencana-bencana alam seperti banjir, letusan gunung berapi, dan gempa bumi. Disebabkan semua peristiwa alam berasal dari kekuatan kosmis yang sama yang dipusatkan dalam diri raja, maka tidak mungkin ada kekuatan-kekuatan, termasuk kekuatan alam, yang bisa bergerak. Oleh karena itu, kekuasaan raja kentara semuanya tentram, panen yang berlimpah ruah, atau yang disebut orang Jawa sebagai adil makmur. Masyarakat semacam itu merealisasikan cita-cita Jawa tentang keadaan yang tata tentrem karta raharja.

Apabila sesorang sudah menjadi raja, ia akan berusaha untuk terus memperbesar kekuasaannya. Demi tujuan itu ia akan mengumpulkan semua potensi magis yang terdapat dalam wilayah kekuasaannya, misalnya benda-benda keramat, terutama pusaka-pusaka kerajaan, seperti keris, tombak, dan gamelan. Ia ingin dikelilingi oleh manusia-manusia yang dianggap keramat, menarik dukun-dukun dan resi-resi termasyhur ke keratonnya, tetapi juga orang-orang aneh seperti orang-orang

cacat, bule dan eksot-eksot lain. Kecuali itu, secara teratur raja mengunjungi candi- candi dan tempat-tempat ziarah dalam kerajaannya, terutama makam-makam raja-raja dahulu. Dengan mengunjungi mereka, raja yang hidup mewarisi kekuasaan adikodrati.

Sebagaimana kekuasaan merupakan hasil kemampuan untuk memusatkan kekuatan kosmis dalam dirinya sendiri, begitu pula seorang raja dapat kehilangan kekuasaan apabila ia kehilangan kemampuan pemusatan itu. Tanda bahwa kekuasaannya mulai runtuh ialah kekacauan-kekacauan, pemberontakan- pemberontakan, rasa tidak puas rakyat, kebejatan moral yang semakin merajalela, serta bencana-bencana alam dan panen yang gagal. Sebagai utusan keruntuhan yang akan datang muncullah para resi, begawan, dan ajar. Tetapi bukan mereka yang sudah tetap tinggal di keraton dan oleh karena itu barangkali terkena korupsi. Melainkan orang-orang keramat yang hidup menyepi jauh dari masyarakat di gunung-gunung dan di hutan-hutan, dikelilingi oleh murid-muridnya. Apabila mereka meninggalkan padepokan-padepokan mereka untuk muncul di keraton dan menyuarakan kemerosotan yang semakin meluas serta untuk memperingatkan bahwa dinasti yang berkuasa akan jatuh. Maka penguasa sudah berada dalam situasi yang kritis baginya. Reaksi yang biasanya kasar dan penuh kekerasan hanya membuktikan bahwa ia memang tidak lagi dapat mengontrol keadaan, karena andaikata ia masih berkuasa maka tdaka perlu memakai cara-cara yang kasar, bahkan tidak perlu menghiraukan para pengkritik.

Seorang penguasa yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk menuruti hawa nafsu pribadinya, mengumpulkan kekayaan, dan mencari hidup yang enak-enak saja, sebenarnya menyiapkan keruntuhannya sendiri. Ia memboroskan energi batin, menjadi kasar, dan semakin tergantung dari luar. Menurut Anderson (2003:70) pertentangan antara yang baik dan buruk alam wayang harus dipahami sebagai pertentangan antara mereka yang bebas dari pamrih dan mereka yang membiarkan kekuasaan menguap karena berpamrih, dan oleh karena itu akhirnya juga dikalahkan. Begitu pula dengan kiseh pewayangan, misalnya Rahwana yang sedemikian sakti sehingga para dewa pun gemetar, dalam Ramayana dapat dikalahkan oleh Rama, karena ia menuruti hawa nafsunya dan menculik Sinta, istri Rama.

Jadi, bahaya terbesar bagi kedudukan penguasa tidak datang dari luar, melainkan dari batin penguasa sendiri. Kekuatan-kekuatan dari luar tidak dapat berbuat apa-apa selama ia dapat memusatkan segala energi kosmis dari dalam dirinya, tetapi ia kehilangan kekebalannya apabila ia membiarkan kekuatannya menguap dengan mengejar kepentingan-kepentingan egoisnya.

Perilaku penguasa (Orde Baru) yang irasional dan sewenang-wenang demi mempertahankan kekuasaan tampak pula dalam novel-novel Kuntowijoyo, khususnya dalam novel MPU dan WdS. Abu Kasan Sapari, Wasripin, dan Pak Modin dituduh sebagai anti-negara dan anti-Pancasila. Perhatikan kutipan berikut.

Ketua Partai Randu Desa yang meliputi perkampungan nelayan pagi-pagi sekali menemui Wasripin. “Ini rahasia. Saya dapat bocoran informasi penghargaan itu tidak akan diberikan. Pusat yang melarangnya, alasannya macam-macam yang anehlah. Di antaranya, KTP tidak ada. Jadi kau penduduk gelap. Kau dituduh PKI atau DI/TII...”(WdS:188).

Begitulah rezim penguasa Orde Baru sekian lama mempertahankan kekuasaan dengan berbagai cara, termasuk menuduh warga negaranya secara serampangan. Perilaku para politikus dan pejabat pemerintah dan tindak-tanduknya semata-mata memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan dikisahkan pula pada tokoh Abu Kasan Sapari berikut.

Abu Kasan Sapari diperiksa polisi untuk menyusun BAP (Berita Acara Pemeriksaan). Ia disuruh menyebutkan nama, pekerjaan, nama-nama orang tua, paman, dan saudara-saudaranya, serta pekerjaan mereka. Terlibat perkara polisi? Tidak seorang pun. Apakah ada di antara mereka semua yang terlibat G30S/PKI? Tidak seorang pun. Ekstrem kanan, tidak seorang pun. “Apa Saudara tahu mengapa ditahan?” tanya polisi. Abu menggeleng. Tidak ada barang bukti, tidak ada kesaksian, tidak ada laporan tertulis. Polisi pemeriksa geleng-geleng. Pemeriksa lapor bahwa tidak ditemukam tanda-tanda kriminalitas, juga tanda-tanda ekstrem kiri dan ekstrem kanan (MPU:157). Sebagai seniman yang akrab dengan masyarakat, mendalang merupakan aktivitas efektif untuk menyampaikan informasi kepada masyrakat. Meski kisah dalam wayang bersifat simbolis, masyarakat Jawa pada dasarnya cepat tanggap dalam memahami simbol. Namun, kegiatan mendalang itulah yang membuat Abu Kasan harus menghadapi nerbagai kendala, terlibat dalam konflik, terutama ketika mesin politik (Golkar) merasa tersinggung karena kegiatan mendalang Abu Kasan tidak sejalur dengan kebijakan mesin politik. Setelah camat “teladan” dipindahtugaskan, tidak lama Abu Kasan pun dipindahtugaskan.

Begitulah, melalui novel ini Kuntowijoyo menunjukkan bahwa orang yang berkarakter “jati” (Abu Kasan dan camat baru yang bersih dan visioner) tidak bertahan lama karena disingkirkan mesin politik yang mendukung gerakan-garakan

Partai Randu. Program “jatinisasi” harus dipandang sebagai simbol karena budaya Jawa, seperti juga dunia wayang kental dengan permainan simbol.

Abu Kasan hidup di zaman Orde Baru. Seperti dikatakan Budiman dalam Anwar (2007:94) bahwa demokrasi di zaman Orde Baru seperti “gelang karet” atau seperti melepas kucing tetapi kakinya diikat. Demikianlah jika masyarakat sejahtera secara ekonomi, tidak ada kekurangan pasokan pangan, tidak gagal panen, kekangan terhadap politik dilonggarkan (dalam kondisi semacam itu Abu Kasan bisa leluasa bekerja dan mendalang). Namun, jika kesejahteraan masyarakat tersendat, ada bencana, gagal panen, pasokan panen berkurang, dan rakyat mulai berkumpul- kumpul dan bicara, kendali terhadap politik dikencangkan. Abu Kasan, khususnya dalam kegiatan mendalang bisa terkena kekangannya.

Di zaman Orde Baru, seperti tampak dalam novel ini semua orang harus bergerak untuk pembangunan. Akan tetapi, definisi dan makna pembangunan sudah dirumuskan mesin politik yang memiliki tiga alat utama: partai, birokrasi, dan militer. Dalam novel ini Partai Randu, Lurah-Camat-Bupati, dan Koramil. Jika keluar dari irama pembangunan, termasuk dalam kegitan mendalang, akan dicap subversif atau anti-Pancasila.

Demikianlah, Abu Kasan berada dalam pusaran pembangunan Orde Baru dan kekuatan mesin politik. Itulah gambaran hubungan kekuasaan antara birokrasi (pejabat kekuasaan) dengan mesin politik.

2. Keraton sebagai Pusat Kerajaan Numinus

Bagi masyarakat Jawa, keraton itu bukan hanya suatu pusat politik dan budaya, melainkan juga merupakan pusat keramat kerajaan. Keraton adalah tempat raja bersemayam, dan raja merupakan sumber kekuatan-kekuatan kosmis yang mengalir ke daerah dan membawa ketentraman, keadilan, dan kesuburan. Paham ini terungkap dengan sangat jelas dalam gelar para penguasa keempat kerajaan di Jawa Tengah hasil perpecahan Kerajaan Mataram II, dua ratus tahun yang lalu. Kedua penguasa Jogjakarta menyebut diri Hamengku Buwana (yang memangku jagad raya) dan Paku Alam , para penguasa Surakarta bernama Paku Buwana (Paku jagad raya) dan Mangkunagara (yang memangku negara).

Di zaman pra-Islam, raja dipandang sebagai penjelmaan dewa (raja-dewa) atau sebagai berasal dari dewa. Biasanya Siwa dianggap menjelma dalam raja, tetapi ada juga raja-raja yang dianggap sebagai penjelmaaan Wisnu. Raja Kertarajasa (meninggal tahun 1316 M), pendiri Kerajaan Majapahit diabadikan dalam sebuah patung yang memperlihatkannya sebagai hari-hara, sebagai campuran Wisnu dan Siwa. Walaupun agam Islam yang antara abad XV dan XVIII meresapi seluruh Pulau Jawa dan menolak gagasan raja-dewa, namun itu paham lama itu tetap bertahan. Tentang Panembahan Senapati, pendiri Kerajaan Mataram II di dekat Jogjakarta (meninggal tahun 1601), diceritakan bahwa ia sedemikian penuh kekuatan mistik sehingga kawin dengan dewi penguasa Laut Selatan Nyai Roro Kidul. Sampai sekarang pusaka sultan Jogjakarta, khususnya kereta kencana dan perangkat gamelan,

oleh rakyat dianggap sebagai pemberi kesuburan. Apabila setiap tahun pada perayaan Grebeg Mulud, kereta kencana dicuci, masyarakat berdesak-desakan untuk dapat membawa pulang sedikit air cucian itu.

Pandangan tentang keraton sebagai pusat keramat kerajaan menentukan paham negara Jawa. Menurut filsafat politik Jawa, negara itu paling padat di pusat, di dekat raja, di keraton. Keraton dikelilingi oleh ibukota bagaikan cincin, di mana keluarga-keluarga sekelompok bawahan tinggal yang langsung atau tidak langsung hidup dari pengabdiannya atau pekerjaannya di keraton. Dari ibu kota kekuatan raja memancar sampai ke desa-desa. Apabila seorang raja dengan kesaktian yang ampuh menaiki tahta maka pancaran kekuatannya diperkuat dan batas-batas kerajaan meluas sehingga lebih banyak desa masuk ke dalam wilayah penyinaran raja itu. Dalam konsepsi Jawa, batas-batas tidak mempunyai fungsi, kenegaraan kerajaan terwujud terutama dalam ibukota yang juga terungkap dalam kata ‘negara” yang sekaligus berarti ibukota dan negara.

Pandangan tentang kenegaraan sebagai wilayah penguasaan kekuatan gaib raja ini mempunyai akibat bahwa dalam paham politik Jawa, gagasan pluralitas kekuasaan tidak pernah muncul (suatu perspektif yang dalam tahun lima puluhan abad ini dalam Republik Indonesia muda dengan sekian banyak suku bangsa yang bangga atas kepribadiannya sendiri menimbulkan ketegangan-ketegangan yang berat). Segala kekuasaan dan hukum berasal dari pribadi raja. Secara khusus, ide suatu hukum yang berada di atas pribadi penguasa tidak dikenal dalam filsafat politik Jawa. Memang, apabila kekuasaan politik dipahami sebagai aliran kekuatan yang

hampir fisik sifatnya, yang berasal dari pribadi raja, tidak ada tempat bagi paham hukum sebagai syarat legitimitas kekuasaan dan pembatasan pemakaiannya. Raja adalah sumber kedaulatannya, maka dalam kepustakaan Jawa tidak terdapat apa pun yang dapat dibandingkan dengan dalam filsafat Yunani kuno tentang penguasa yang terbaik lawan kekuasaan hukum. Hampir tidak perlu ditambah bahwa gagasan suatu undang-undang dasar sebagai dasar hukum bagi kegiatan Negara sama sekali tidak cocok dengan pandangan Jawa.

Keraton Jogjakarta merupakan simbolisasi dari sang pemimpin yang bergelar Ngarso-Dalem Sampeyan-Dalem Ingkang Sinuhun-Kanjen Sultan Hamengkubuwono Ing Ngalogo Ngabdulrrakhman Sayidin Panotogomo Kalifatullah Ingkang Jumeneng Ing Ngayogyakatra Hadiningrat, mengandung arti pemimpin yang senantiasa di depan sebagai teladan, mempersatukan dengan kekuasaan, ngrengkuh, sengguh ora mingguh mempersatukan, mengutamakan, dan melindungi rakyatnya (makna Hamengku, Hamangku, Hamengkoni), karena sebagai panglima perang harus mampu menghalau musuh manusia yang berwujud kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan, akibat ulah nafsu duniawi, dalam kapasitas dirinya sebagai hamba Allah yang senantiasa tunduk akan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Pemimpin di tengah rakyatnya, mendorong menuju tujuan serta mewujudkan kesejahteraan dengan keteguhan keyakinan hanya karena Allah.

Di dalam novel MPU pun, keagungan keraton itu tersirat dalam praktik pelestarian lingkungan yang dilakukan oleh Abu Kasan Sapari. Berikut kutipannya.

Kita harus memelihara lingkungan kita, jangan malah merusak. Umpamanya, kita jangan menebangi pohon seenaknya. Jaman dulu Gunungkidul itu tertutup hutan. Air melimpah, tidak ada kekeringan. Tetapi karena ulah manusia, sekali lagi, karena ulah manusia, Gunungkidul menjadi gundul, sendang habis, sungai-sungai kering. Setiap musim kering sekarang untuk minum saja harus dikirim dari Yogya (MPU:55).

Keraton Yogya sebagai pusat pemerintahan kerajaan diyakini masyarakat Jawa memiliki nilai lebih yang masih diagungkan keberadaannya. Keraton memiliki nilai sakral yang mampu mengarahkan masyarakat untuk berbuat baik terhadap alam dan lingkungannya.

3. Gunung Merapi

Gunung Merapi dipercaya oleh masyarakat Jawa sebagai keraton makhluk halus tempat tinggal para roh leluhur, danyang, dan lelembut. Merapi juga dianggap sebagai surga pangratunan atau tempat penantian bagi roh yang selama ini hidupnya banyak berbuat kebaikan. Sistem kepercayaan terhadap Merapi erat kaitannya dengan alam adikodrati. Merapi digunakan penduduk setempat sebagai kerangka landasan untuk beradaptasi dan berinteraksi serta mendayagunakan sumber daya Merapi. Kepercayaan ini diyakini pula oleh Keraton Jogjakarta yang diwujudkan dalam bentuk upacara labuhan Gunung Merapi (Minsarwati, 2002:36).

Upacara labuhan adalah salah satu bentuk upacara religius yang mempunyai makna kosmologis karena di sini terjalin hubungan yang harmonis antara kesatuan makrokosmos dan mikrokosmos yaitu, hubungan antara Gunung Merapi-Keraton Jogjakarta-Laut Selatan. Sesungguhnya Gunung Merapi adalah sebuah keraton yang dibangun dengan hierarki yang sama dengan yang terdapat di Keraton Jogjakarta

yang terlatak 20 km arah selatan. Gunung Merapi ini sebagai bagian dari alam yang diwujudkan dalam bentuk simbol api. Api mempunyai sifat panas, tidak kenal kompromi, dan mampu membakar apa saja tanpa membeda-bedakan satu sama lainnya. Kemudian, keberadaan Keraton Jogjakarta yang terletak persis di antara Gunung Merapi dan Laut Selatan mempunyai simbol sebagai udara yang mengisi kekosongan yang ada, keraton ini sebagai perpaduan antara api dan air yang dipahami sebagai setubuh dan sejiwa. Selanjutnya, Laut Selatan yang mempunyai simbol air mempunyai sifat rata permukaan, luas, dan selalu mengalir ke bawah.

Hubungan semacam itu juga diceritakan dalam mitos bagaimana Senopati sebagai sultan pertama dari Kerajaan Mataram di pusat Pulau Jawa suatu hari melakukan semedi dengan khusuk, sehingga Gunung Merapi bergetar dan menjulur- julurkan lidah apinya, lalu laut pun bergelora dan ribuan makhluk halus berguling- guling di tanah dan dipukuli sampai pingsan oleh kekuatan semedi itu. Roh Kanjeng Ratu Kidul akhirnya keluar dari lautan dan menampakkan diri di depan sultan. Sang ratu pun lalu jatuh hati dan mengucap sumpah di hadapan Senopati untuk menjadi kekasih selamanya bahkan untuk sultan-sultan berikutnya, asalkan Senopati bersedia makan Endhog Jagad yang diberikannya. Namun, karena merasa telur itu akan mengubahnya menjadi jiwa tanpa raga, maka sultan pun memberikan pada tukang kebun istana. Tukang kebun itu pun berubah menjadi roh yang menyeramkan. Disebabkan buruk rupa maka Ki Juru Taman lalu pergi dan bersembunyi di kedalaman perut Gunung Merapi, yang kemudian dikenal dengan nama Kyai Sapu

Dalam dokumen Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo (Halaman 105-124)