• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rancangan Penelitian

Dalam dokumen Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo (Halaman 55-60)

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode hermeneutika. Metode hermeneutika sangat relevan untuk menafsirkan berbagai gejala, peristiwa, simbol, nilai yang terkandung dalam ungkapan bahasa atau kebudayaan lainnya, yamg muncul pada fenomena kehidupan manusia. Fenomena manusia tersebut antara lain berupa karya filsafat, simbol verbal yang berujud bahasa, atau simbol nonverbal, karya seni, tari- tarian, gamelan, ritual kepercayaan, pandangan hidup, upacara keagamaan, candi, etika, dan fenomena dalam kehidupan manusia lainnya (Kaelan, 2005:80).

Tujuan hermeneutika adalah untuk mencari dan menemukan makna yang terkandung dalam objek penelitian yang berupa fenomena kehidupan manusia, melalui pemahaman dan interpretasi. Prinsip hermeneutika menurut Schleimacher (Kaelan, 2005:80), adalah untuk menangkap objective geist, yang terkandung dalam objek penelitian. Objective geist dapat pula diartikan sebagai makna yang terdalam, hakikat nilai yang terkandung dalam objek penelitian.

Pada ruang lingkup kesusastraan, kebutuhan tentang hermeneutika sangatlah ditekankan karena tanpa interpretasi pembaca mungkin sulit mengerti dan memahami jiwa zaman pada saat kesusastraan itu diciptakan (Nasution, 2007:60). Gadamer (Selden, 1991:122), mengemukakan bahwa semua tafsiran kesusastraan masa lampau

timbul dari sebuah dialog antara masa lampau dan masa sekarang. Usaha tersebut untuk memahami sebuah karya akan bergantung pada pertanyaan yang ditimbulkan oleh lingkungan kebudayaan itu sendiri.

Hermeneutik adalah cara baru untuk “bergaul” dengan bahasa. Tidak semua buah pikiran dapat terungkapkan dengan bahasa secara jelas karena bahasa harus sesuai dengan aturan tata bahasa yang berlaku. Untuk itu diperlukan hermeneutik. Hermeneutik mencoba membahas, menganalisis, serta mengevaluasi bahasa melalui media tulis dan karya-karya sastra.

Akar kata hermeneutika berasal dari istilah Yunani, dari kata kerja

hermeneuein ‘menafsirkan’, dan kata benda hermeneia ‘interpretasi’. Hermeneutik

dapat diartikan sebagai proses mengubah ketidaktahuan menjadi tahu atau mengerti. Hermeneutik dalam pandangan klasik Aristoteles, yaitu bahwa bahasa yang kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental kita, dan kata-kata yang kita tulis adalah simbol-simbol dari kata-kata yang kita ucapkan.

Menurut Palmer (2003:38), hermeneutik dapat didefinisikan menjadi enam bentuk yang berbeda, sebagai berikut :

Sejak awal kemunculannya, hermeneutika menunjuk pada ilmu interpretasi, khususnya prinsip-prinsip eksegesis tekstual, tetapi bidang hermeneutika telah ditafsirkan (secara kronologisnya) sebagai: (1) teori eksegesis Bibel, (2) metodologi filologi secara umum, (3) ilmu pemahaman linguistik, (4) fondasi metodologis geisteswessenshaften, (5) fenomenologi eksistensi dan pemahaman eksistensial, dan (6) sistem interpretasi, baik recollektif maupun iconoclastic, yang digunakan manusia untuk meraih makna di balik mitos dan simbol.

Masing-masing definisi ini sekadar merupakan tahapan-tahapan historis, menunujuk suatu peristiwa atau pendekatan penting dalam persoalan interpretasi. Secara esensial, masing-masing definisi ini merepresentasikan sudut pandang dari mana hermeneutika dilihat. Muatan hermeneutika itu sendiri cenderung dibentuk kembali melalui perubahan sudut pandang ini.

Kegiatan interpretasi adalah proses yang bersifat “triadic” (mempunyai segi yang saling berhubungan). Pada proses ini terdapat pertentangan antara pikiran yang diarahkan pada objek dalam pikiran penafsir itu sendiri. Orang melakukan interpretasi harus mengenal pesan atau kecondongan sebuah teks, lalu ia harus meresapi isi teks sehingga yang pada mulanya “lain” kini menjadi “aku” penafsir itu sendiri.

Wolf (Djojosuroto, 2007:242) menyatakan bahwa hermeneutik merupakan seni menemukan makna sebuah teks. Ada tiga jenis hermeneutik atau interpretasi, yaitu :

(1) Interpretasi gramatikal, yang berhubungan dengan bahasa. (2) Interpretasi historis, yang berhubungan dengan fakta dan waktu.

(3) Interpretasi retorik, yang mengontrol kedua jenis interpretasi yang terdahulu, ditambah kefasihan gaya dan seni.

Pada dasarnya, paradigma hermeneutik telah menawarkan dua metode “tafsir sastra”. Pertama, metode dialektik antara masa lalu dengan masa kini, dan kedua metode yang memperhatikan persoalan antara bagian dengan keseluruhan. Kedua metode itu mengharuskan peneliti untuk melakukan tafsir berdasarkan kesadarannya

Dengan demikian, ada sumbangan penting kehadiran hermeneutik, yaitu: pertama, hermeneutik menginkorporasikan suatu pengertian eksplisit mengenai “totalitas kultural”, keseluruhan yang dasar dan terpadu dari suatu kebudayaan atau masyarakat pada level ideologi fundamental atau pandangan dunia, misalnya dengan melihat sifat historis suatu kebenaran. Kedua, sifat sastra dalam kehidupan sosial sudah terdefinisikan karena analisisnya dimulai dengan hubungan antara ilmu pengetahuan kultural dengan keseluruhan pengalaman kehidupan dalam suatu pengujian terhadap hubungan yang spesifik antara sastra dan pengalaman estetik dengan eksistensi sosial manusia. Ketiga, hermeneutik membuka kemungkinan pemahaman trans-historis dengan konsep masa lalu dengan masa kininya.

Hermeneutik sebenarnya sebuah paradigma yang berusaha menafsirkan teks atas dasar logika linguistik. Logika linguistik akan membuat penjelasan teks sastra dan pemahaman makna dengan menggunakan “makna kata” dan selanjutnya “makna bahasa”. Makna kata lebih berhubungan dengan konsep-konsep semantik teks sastra dan makna bahasa lebih bersifat kultural. Makna kata akan membantu pemahaman makna bahasa. Oleh karena, dari kata-kata itu akan tercermin makna kultural teks sastra (Djojosuroto, 2007:243).

Sehubungan dengan itu, Ricoeur (Bleicher, 2003:335) mengemukakan pendapatnya bahwa simbol-simbol dan mitos-mitos mengundang pemikiran tertentu. Simbol dan mitos memberikan makna sehingga harus diinterpretasikan di ranah mereka sendiri melalui serangkaian aturan spesifik. Pada tahap ini, Ricoeur

membatasi konsep interpretasi menjadi investigasi atas makna yang tersembunyi dalam makna literal yang tampak.

Menurut Ricoeur (Djojosuroto, 2007:239) juga, salah satu sasaran yang hendak dituju oleh berbagai macam hermeneutik adalah “perjuangan melawan distansi kultural”, yaitu penafsir harus mengambil jarak supaya ia dapat membuat interpretasi dengan baik. Sebab bila seorang penafsir mengambil jarak terhadap peristiwa-peristiwa sejarah dan budaya, ia tidak bekerja dengan tangan yang sebelumnya kosong. Ia masih membawa sesuatu yang oleh Heidegger disebut vorhabe (apa yang dimiliki), voorischt (apa yang dilihat), dan vorgriff (apa yang akan menjadi konsepnya kemudian).

Di bidang filsafat sendiri, pentingnya hermeneutik tidak dapat ditekankan secara berlebihan. Sebab pada kenyataannya, keseluruhan filsafat adalah “interpretasi”dan “pembahasan” seluruh isi alam semesta ke dalam bahasa kebijaksanaan manusia (Djojosuroto, 2007:241).

Jadi, hermeneutika adalah metode yang lebih menekankan keterlibatan seorang penafsir terhadap objek yang diteliti. Metode hermeneutik merupakan metode yang dilakukan secara dialektik, artinya peneliti harus bolak-balik dari bagian ke keseluruhan, dari keseluruhan ke bagian, kemudian dari unsur intrinsik ke ekstrinsik dan dari ekstrinsik ke intrinsik. Kesemuanya itu membentuk lingkaran yang berupa spiral, sehingga menghasilkan inti dari apa yang akan dianalisis. Pemahaman dan interpretasi terhadap objek merupakan ciri khas metode ini dan lebih

objek dilakukan untuk mendapatkan tingkat objektivitas yang sebaik-baiknnya. Dengan demikian, metode hermeneutik tersebut sangat dibutuhkan dalam penelitian ini.

Dalam dokumen Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo (Halaman 55-60)