• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wujud Sikap Kosmologis Masyarakat Jawa

Dalam dokumen Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo (Halaman 95-105)

BAB V MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL-NOVEL

5.1 Sikap Kosmologis Masyarakat Jawa

5.1.1 Wujud Sikap Kosmologis Masyarakat Jawa

Salah satu mitos yang bercorak kosmologis tercermin pada masyarakat pedesaan yang diwujudkan dalam bentuk upacara-upacara tradisi. Masyarakat Jawa memahami benar anugerah yang diberikan Yang Maha Kuasa, untuk itu mereka melakukan upacara atau selamatan secara turun temurun yang dimaksudkan untuk memeroleh keselamatan lahir dan batin dari gangguan-gangguan makhluk halus. Masyarakat Jawa meyakini bahwa selain manusia sebuah desa juga dihuni oleh makhluk halus.

Keyakinan adanya makhluk halus ini pun dirasakan oleh Abu Kasan Sapari dalam novel MPU, berikut cuplikannya.

Orang Jawa bilang jim untuk jin...Jin adalah makhluk alamiah, seperti halnya batu, bukit, dan langit...Singkatnya jin nakal itu dibuang ke Laut Selatan, tempat kerajaan jin. Jin itu hanya jadi pembantu di tempat yang baru. Sebab, di sana banyak jin bangsawan, jin jagoan, jin priyayi, dan tentu jin biasa-biasa saja. Dan rajanya jin ialah Nyi Lara Kidul (MPU:36-37).

Sebagai wujud penghargaan kepada makhluk halus tersebut, masyarakat Jawa memberikan upeti, yaitu dalam bentuk upacara-upacara ritual keagamaan. Menurut Koentjaraningrat (2002:84) bahwa tindakan kehidupan keagamaan orang Jawa

meliputi antara lain selamatan atau wilujengan, melakukan upacara-upacara keagamaan dan perbuatan keramat. Mengenai selamatan dikenal ada bermacam- macam bentuk. Hal tersebut selalu berkaitan dengan kelahiran, kematian, dan pemujaan terhadap roh-roh nenek moyang.

Wujud sikap kosmologis masyarakat Jawa ini pun terlihat melalui tradisi

slametan, sesajen, pengkultusan orang, penamaan anak, dan ritual sowan dan

ruwatan yang dijelaskan sebagai berikut. a. Slametan

Hal yang menonjol dari masyarakat Jawa adalah kuatnya ikatan solideritas sosial dan hubungan pertalian darah. Dalam masyarakat Jawa, pendewaan dan pemitosan terhadap roh nenek moyang melahirkan penyembahan terhadap roh tersebut (ancestor worship) yang pada akhirnya melahirkan hukum adat dan relasi- relasi pendukungnya. Dengan upacara-upacara selamatan roh nenek moyang menjadi sebentuk dewa pelindung bagi keluarga yang masih hidup.

Ritus ritual sentral orang Jawa, khususnya Jawa Kejawen, adalah slametan, suatu perjamuan makan seremonial sederhana; semua tetangga harus diundang dan keselarasan di antara para tetangga dengan alam raya dipulihkan kembali. Pada acara ini terungkap nilai-nilai yang dirasakan paling mendalam oleh orang Jawa, yaitu nilai kebersamaan, ketetanggaan, dan kerukunan. Sekaligus menimbulkan perasaan kuat bahwa semua warga desa adalah sama derajatnya satu sama lain, kecuali ada yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi.

Ritus selamatan sebagai sebuah awal kerja besar pada hakikatnya merupakan manifestasi pengakuan pada permohonan dan pemuliaan terhadap Yang Menciptakan Jagad. Pengakuan dan permohonan sampai pemuliaan tersebut, sesuai dengan tradisi kuno nenek moyang, akhirnya merupakan penjelmaan simbol konkretisasi tindakan. Oleh karena itu, ritus selamatan ibarat surat ijin formal.

Ritus selamatan itu pula, dalam berbagai bentuk dan tujuan, dilakukan oleh banyak anggota etnik di Indonesia – kelahiran, pernikahan, kematian, yang masing- masing dianggap tidak cukup hanya diselamati satu dua kali – pada gilirannya menyematkan identitas dan predikat bahwa bangsa Indonesia diasuh dan ditayang oleh tradisi budaya magis-mistis. Sedangkan preparasi yang dipakai ritus pastilah bervariasi ragam dan modelnya, bergantung pada tradisi yang sudah diwariskan secara turun-temurun. Langkanya usaha melakukan riset, transkripsi, dan penerbitan cetak pada era transformasi budaya tradisional dan modern akhir abad 20 mengakibatkan masalah yang berkaitan erat dengan budaya upacara hanya dihafal oleh para pemuka komunitas etnik atau para lokal jenius dan cendikiawan setempat. Itulah sebabnya pada konteks kehidupan urban masa kini seluk-beluk yang menyangkut tradisi ritual komunitas etnik tetap bernasib serba lisan.

Tradisi slametan berakar dari budaya Jawa asli. Slametan berasal dari kata slamet ( Arab : salamah ) yang berarti selamat, bahagia, dan sentosa. Slametan adalah kegiatan komunal Jawa yang biasanya digambarkan sebagai pesta ritual, baik upacara di rumah maupun di desa, bahkan memiliki skala yang besar, mulai dari tedak siti

memperingati ruh penjaga. Dengan demikian, slametan memiliki tujuan akan penegasan dan penguatan kembali tatanan kultur umum. Di samping itu juga untuk menahan kekuatan kekacauan (tolak bala). Menurut Pamberton (Mulder, 2005:89), praktik yang sarat dengan makna slametan tersebut dilaksanakan dengan maksud agar dapat membangun kembali hubungan dengan roh, terutama dengan roh penunggu desa ( dhanyang ).

Hal ini pun terlihat jelas dalam novel P, meskipun sudah berpikiran modern masyarakat Jawa masih saja memercayai tradisi tersebut. Perhatikan kutipan berikut.

Selamatan pasar baru! Dan dia datang untuk itu! Ikut bersenang bersama keruntuhan pekerjaannya! Macam-macam pikirannya waktu makan...Setelah selesai makan. Paijo baru sadar sungguh, ia orang asing di situ dan selamatan itu juga ditujukan untuk menyelamati bangkrutnya pasarnya (P:57).

Novel P menggambarkan Kasan Ngali sebagai tokoh yang menghalalkan segala cara demi memuaskan nafsunya. Ia mendirikan pasar baru di depan rumahnya untuk menyaingi pasar pemerintah yang dipimpin oleh Pak Mantri, yang pada akhirnya pasar saingannya itu bangkrut. Untuk merayakan berdirinya pasar baru miliknya sekaligus merayakan kebangkrutan pasar pemerintah itu, Kasan Ngali mengadakan selamatan. Ia mengundang warga setempat, termasuk Paijo. Padahal Paijo adalah pegawai pasar pemerintah dan orang kepercayaan Pak Mantri.

Di dalam novel ini terjadi pergeseran fungsi dan pemahaman pada masyarakat Jawa tentang selamatan. Selamatan yang awalnya ditujukan untuk niat yang baik dan untuk keselarasan seluruh makhluk di bumi berubah maknanya bagi orang-orang

tertentu. Orang yang menyalahgunakan tradisi tersebut, selamatan dijadikan sebagai alat untuk melancarkan usahanya semata.

b. Sesajen

Tradisi sesajen (sajen) dijadikan sebagai sarana ritual keagamaan untuk memohon restu nenek moyang. Dalam ritual ini, fungsi roh nenek moyang dianggap sebagai ‘pengemong’ dan pelindung keluarga yang masih hidup. Dalam lakon wayang, ruh nenek moyang dipersonifikasikan dalam bentuk ‘punakawan’. Agama asli mereka adalah apa yang oleh antropolog disebut ‘religion magic’ dan merupakan sistem budaya yang mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa.

Sajian terdiri dari berbagai jenis makanan dalam jumlah yang sangat kecil, yang antara lain terdiri dari nasi tumpeng, berbagai jenis panganan, rempah-rempah, bermacam-macam benda kecil yang diatur di atas sebuah pinggan kecil yang terbuat dari sebuah bambu (acak).

Orang-orang desa selalu meletakkan sajen di sudut-sudut petak sawah pada saat-saat kritis dalam siklus pertanian ; para keluarga petani di desa maupun orang kota meletakkannya di berbagai tempat di sekitar rumah, di halaman, dan di persimpangan jalan, pada tiap hari Kamis malam (malem Jemuwah).

Perhatikan kutipan berikut.

Wasripin juga dikenal orang luar desa. Di sebuah desa ada rombongan penari jatilan alias kuda lumping. Sebelum bermain ketua rombongan …harus ada restu danyang kuburan...Tapi restu bersyarat : danyang minta sajen…kembang menyan setiap malem Jum’at (WdS:112).

Keberadaan roh dan kekuatan-kekuatan gaib dipandang sebagai Tuhan yang dapat menolong ataupun sebaliknya dapat mencelakakan. Oleh karena itu, Smith (Sani, 2008:2) menyatakan bahwa upacara religi yang biasa dilakukan masyarakat pada waktu itu berfungsi sebagai motivasi, yang dimaksudkan tidak hanya untuk berbakti kepada dewa ataupun mencari kepuasan batin yang bersifat individual saja, tetapi juga karena mereka menganggap melaksanakan upacara agama adalah bagian dari kewajiban sosial.

c. Penamaan Anak

Orang Jawa dalam mengungkapkan tentang suatu kepercayaan juga selalu memperhitungkan hari-hari baik. Orang Jawa mengenal adanya perputaran musim yaitu, waktu selama lima hari yang disebut hari pasaran. Hari pasaran tersebut yakni, Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. Kemudian perputaran waktu selama tujuh hari yang disebut Saptawaca yaitu: Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at, Sabtu, dan Minggu. Sistem yang dipergunakan dalam pasaran atau disebut Pancakara, berhubungan dengan mitologi Hindu yang mengatakan bahwa Batara Guru sewaktu memerintah dunia untuk pertamakalinya telah membagi dunia menjadi lima bagian yaitu: Timur, Barat, Utara, Selatan, dan Tengah. Bagi orang Jawa hari Selasa Kliwon dan Jum’at Kliwon dianggap sebagai hari sakral karena pada hari-hari itu banyak makhluk halus yang keluar mencari makan atau sesaji yang disediakan manusia.

Realitas budaya Jawa saat pemberian nama pada anak tergambar melalui tokoh Satinah. Orang tua Satinah berulang-ulang mengganti nama anaknya karena

dianggap kurang serasi memakai nama tertentu. Ada kepercayaan bahwa nama menentukan nasib si anak kelak. Mistifikasi nama akan berpengaruh pada pemilihan jodoh karena huruf pertama dari nama diyakini dapat menentukan jodoh-tidaknya pasangan. Mistifikasi kelahiran dapat dilihat pada perhitungan soal neptu.

Kalau laki-laki namanya Walino, kalau perempuan Waliyem…Wali artinya orang suci, penyebar agama Islam di Jawa…Pekerjaan paling sulit, memilih nama itu pun selesai…nama Waliyem terlalu berat untuk orang gunung seperti dia…karenanya nama harus serba baik. Sati itu bahasa Hindu, artinya setia (WdS:42-43).

Kecenderungan sikap tersebut disebabkan karena masyarakat Jawa sebagian besar adalah petani pedesaan (rural peasant) yang memiliki ketergantungan dan kedekatan dengan alam. Oleh masyarakat tradisional mengakibatkan munculnya anggapan bahwa perubahan harus dapat diamati dengan jelas. Perubahan harus melalui siklus yang telah mapan, di luar siklus itu perubahan bisa berakibat terjadinya ketidakselarasan (disharmoni) dan ketidaksinambungan (diskontiniusitas) kosmos, yakni kosmos yang dicita-citakan (das sollen), bila kenyataan memang belum mencapai keadaan yang diinginkan adalah perkara lain. Untuk itu diperlukan mitos sebagai upaya legitimasi terhadap keadaan berkeseimbangan yang tidak berubah (status quo), dan mungkin sebagai apologi kegagalan mereka mencapai keadaan yang dicita-citakan. Mitos pada dasarnya merupakan sikap pandang yang terbentuk secara empiris, terhadap berbagai fenomena kehidupan dan alam. Mitos merupakan media yang mengakomodasikan harapan (das sollen) dan kenyataan ( das sein ), sekaligus sebagai pengatur (regulator) perilaku masyarakat dan anggotanya. Terkait dengan

perubahan, masyarakat Jawa bisa menerima dengan perlahan, tanpa paksaan dan berbenturan dengan nilai-nilai paling esensi.

d. Pengkultusan Orang

Mitologisasi orang yang diyakini masyarakat Jawa hingga sekarang yaitu mitos tentang Walisongo. Salah satunya adalah Sunan Kalijaga. Sebelum menjadi penyebar agama Islam di Jawa, konon Sang Wali bertemu dengan Nabi Khidir sehingga memiliki kesaktian tertentu yang tidak dimiliki orang kebanyakan. Para Wali Sanga (Sembilan Wali) inilah yang berhasil mengubah suatu sistem hierarki kedewaan yang menempatkan dewa-dewa itu sebagai pelaksana perintah Tuhan YME saja dan bukan sebagai Tuhan.

Hal serupa pun diyakini masyarakat dialami tokoh Wasripin dalam novel WdS. Wasripin diyakini masyarakat di Perkampungan Nelayan pernah didatangi Nabi Khidir dan memiliki kesaktian. Tokoh Wasripin direfleksikan sebagai perwujudan sikap baik yang setara dengan Nabi Khidir yang membawa keberuntungan pada siapa pun. Akibatnya apa yang dilakukan Wasripin akan dilakukan juga masyarakat tersebut.

Kabar bahwa Wasripin telah kedatangan Nabi Hidhir itu telah menular pada semua orang (WdS:29).

Para nelayan melaut dengan foto Wasripin di perahunya…perolehan nelayan selalu besar…bahwa foto Wasripin membawa keberuntungan…(WdS:101) …

Saya tidak dapat menangkap seekor ikan pun, saya sebut nama Wasripin, ikan-ikan seperti ditumpahkan dari langit. Anak saya demam, saya sebut nama

Wasripin… sembuh. Suami saya pegel…Wasripin datang memijat…paginya ia bekerja…Istri saya bengek…sembuh. (WdS:242-243)

Penanaman watak pengkultusan ini direpresentasikan melalui media jual beli. Penduduk yang notabene nelayan menularkan kepercayaan itu pada orang-orang di pasar. Orang-orang di pasar menyampaikan pada keluarganya. Para nelayan dan orang pasar menyebarkan berita itu ke seluruh desa dan kecamatan.

Terkait dengan perilaku mitos dan perilaku kejawen, masyarakat Jawa menciptakan simbol-simbol, sekalipun tidak semua simbol memiliki kadar kekayaan makna yang sama. Pembentukan simbol berjalan terus, di masa lampau tradisi besar Islam yang rasional dan historis ternyata tidak mampu membendung pembentukan mitologi Islam, termasuk di Jawa. Cerita para wali misalnya, adalah lebih merupakan mitos daripada sejarah.

e. Ritual Sowan dan Ruwatan

Hukum adat sebagai norma yang mengikat kehidupan orang Jawa begitu kuat sehingga masyarakatnya bersifat statis dan konservatif. Akibatnya, memunculkan budaya sowan dan ruwatan pada masyarakat sebagai ritual buang sial. Mereka memutuskan untuk melaksanakan ritual tersebut karena telah mengakar sejak lama.

Memang anak itu berangsur-angsur menjadi baik. Bahkan, setelah lulus SD tubuhnya menjadi bongsor. Tetapi kesialan pada ayah-ibunya malahan bertambah... Mereka memutuskan untuk sowan orang pintar dan minta nama baru lagi …Seorang sukerto (kotor) harus diruwat, sebab kalau tidak diruwat dia akan dimakan Batara Kala (WdS:43-45).

keluarganya. Upacara ruwatan dimaksudkan untuk melindungi anak-anak terhadap bahaya-bahaya gaib yang dilambangkan oleh tokoh Bhatara Kala, yakni Dewa Kehancuran. Berbagai jenis kombinasi dalam satu keluarga yang dianggap berbahaya, menyebabkan bahwa anak-anak tersebut mudah terkena bahaya, penyakit, dan kematian karena mereka menjadi mangsa Bathara Kala itu. Berbagai kombinasi anak yang berbahaya adalah:

1. Anak tunggal (ontang-anting).

2. Anak pria dengan beberapa adik wanita (pancuran piniring sendhang). 3. Anak wanita dengan beberapa adik pria (sendhang piniring pancuran). 4. Dua bersaudara : seorang pria dan seorang wanita (kedhana-kedhini). 5. Empat bersaudara : dua pria dan dua wanita (sekar sepasang).

6. Anak kembar (putra kembar).

7. Anak pria dengan seorang kakak dan seorang adik wanita (pancuran kapit sendhang).

8. Anak wanita dengan seorang kakak pria dan adik pria (sendhang kapit pancuran).

9. Anak pria di antara tiga saudara wanita (uger-uger lawang). 10.Anak wanita di antara tiga saudara pria (upit-upit).

11.Empat anak yang semuanya pria (putra sarombe).

12.Empat anak wanita yang semuanya wanita (putra sarimpi). 13.Lima anak yang semuanya pria (putra pandhawa).

Ritual ruwatan juga perlu diadakan bila terjadi hal-hal yang dianggap dapat menyebabkan keadaan bahaya, seperti apabila batu penggiling rempah-rempah (gandhik atau pipisan) atau periuk untuk menanak nasi, jatuh atau pecah. Apabila orang memutuskan untuk mengadakan ritual ruwatan maka seorang dhukun petangen dimintai pertolongan untuk memilih hari baik untuk menyelenggarakan upacara tersebut.

Pemahaman masyarakat tentang sowan dan ruwatan ini berasal dari pengaruh agama Hindu di Jawa. Tradisi itu mengakar melalui dongeng-dongeng yang disampaikan masyarakatnya secara turun-temurun. Menurut Danandjaja (2002:50), cerita-cerita seperti itu digolongkan pada jenis mite (myth). Mite adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite menceritakan tokoh para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain, atau dunia yang bukan kita kenal seperti sekarang ini.

Dalam dokumen Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo (Halaman 95-105)