• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandangan Islam tentang Hakikat Manusia

HAKIKAT PENDIDIKAN

B. Apa Itu Hakikat Manusia?

3. Pandangan Islam tentang Hakikat Manusia

Al-Qur’an menegaskan kualitas dan nilai manusia dengan menggunakan empat macam istilah yang satu sama lain saling berhubungan, yakni al-insan, an-naas, al-basyar, dan banii Aadam (dalam www.scribd.com/doc/21606090/hakikat-manusia-menurut-islam):

a. Al-Insaan; Manusia disebut al-insaan karena dia sering menjadi pelupa sehingga diperlukan teguran dan peringatan. b. An-naas; Sedangkan kata an-naas (terambil dari kata an-naws yang berarti gerak; dan ada juga yang berpendapat bahwa ia berasal dari kata unaas yang berarti nampak) digunakan

untuk menunjukkan sekelompok manusia baik dalam arti jenis manusia atau sekelompok tertentu dari manusia. c. Al-basyar; Manusia disebut al-basyar, karena dia cenderung perasa

dan emosional sehingga perlu disabarkan dan didamaikan. d. Banii adam; Manusia disebut sebagai banii Aadam karena

dia menunjukkan pada asal-usul yang bermula dari nabi Adam as sehingga dia bisa tahu dan sadar akan jati dirinya. Misalnya, dari mana dia berasal, untuk apa dia hidup, dan ke mana ia akan kembali. Penggunaan istilah banii

Aadam menunjukkan bahwa manusia bukanlah merupakan

hasil evolusi dari makhluk anthropus (sejenis kera). Hal ini diperkuat lagi dengan panggilan kepada Adam dalam al-Qur’an oleh Allah dengan huruf nidaa (Yaa Adam!). Demikian juga penggunaan kata ganti yang menunjukkan kepada Nabi Adam, Allah selalu menggunakan kata tunggal (anta) dan bukan jamak (antum) sebagaimana terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 35.

Islam memandang hakikat manusia bukan berdasarkan pandangan pribadi atau individu orang yang memandang, tetapi pandangan yang didasarkan atas ayat-ayat Tuhan yang terkandung dalam al-Quran yang disampaikan nabi Muhammad saw. Ayat-ayat yang terkandung dalam al-Qur’an atau pandangan hidup yang disampaikan oleh nabi Muhammad Saw, hakikat manusia menurut pandangan Islam dikemukakan oleh Safril (2010) sebagai berikut:

a. Hakikat Manusia sebagai Makhluk Ciptaan Allah

Tuhan sebagai pencipta disebut khalik; dan selain dari Tuhan dinamakan makhluk. Idealnya setiap makhluk harus

patuh bertingkah laku sesuai dengan aturan yang ditetapkan penciptanya. Ada beberapa karakteristik sehubungan dengan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah sebagai berikut: 1) Manusia makhluk Allah yang terdiri dari jasad dan ruh.

Sebagaimana dikemukakan oleh Jalaludin dan Abdullah (1997) bahwa pandangan Islam secara tegas menyatakan bahwa badan dan ruh adalah substansi alam, sedangkan alam adalah makhluk dan keduanya diciptakan oleh Allah. Hakikat manusia adalah ruh sedang jasadnya hanyalah alat yang dipergunakan oleh ruh saja. Tanpa kedua substansi tersebut tidak dapat dikatakan manusia. Namun demikian ditegaskan, bahwa Islam memandang permasalahan ruh merupakan sesuatu hal yang terbatas untuk dipelajari secara mendalam (Q.S, Al Isra’: 85):

Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit."

2) Manusia adalah makhluk Allah yang paling potensial. Berbagai kelengkapan yang dimilikinya memberi kemungkinan bagi manusia untuk meningkatkan kualitas sumber daya dirinya. Secara biologis manusia bertumbuh dari makhluk yang lemah secara fisik (janin dan bayi), menjadi remaja, dewasa dan kemudian kembali kekuatannya, dan setelah itu pertumbuhan manusia berakhir pada kematian. (Jalaludin: 2001: 32) Secara garis besar potensi tersebut terdiri atas empat potensi utama yang secara fitrah sudah dianugerahkan Allah kepadanya; Pertama, Hidayat al-Gharizziyat (potensi naluriah), yaitu dorongan primer yang berfungsi untuk

memelihara keutuhan dan kelanjutan hidup manusia. Seperti insting untuk memelihara diri, makan, minum, penyesuaian tubuh terhadap lingkungan dan sebagainya.

Kedua, Hidayat al-Hassiyat (potensi inderawi), indera yang

berfungsi sebagai media yang menghubungkan manusia dengan dunia di luar dirinya. Ketiga, Hidayat a-lAqliyyat (potensi akal), merupakan potensi yang khusus diberikan Allah hanya untuk manusia. Sebagaimana ditegaskan pada firman Allah dalam Q.S. An-Nahl: 78

“..Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”

Keempat, Hidayat al-Diniyyat (potensi keagamaan),

yaitu berupa dorogan untuk mengabdi kepada suatu yang dianggapnya memiliki kekuasaan yang lebih tinggi. Potensi akal ini dapat menyebabkan manusia meningkatkan dirinya melebihi makhluk-makhluk lain ciptaan Allah. Hal tersebut dapat dipahami dalam firman Allah Q.S. Ar-Rum: 30

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,”

Fitrah Allah: maksudnya ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Mereka yang tidak beragama tauhid itu hanyalah lantaran pengaruh lingkungan.

3) Manusia adalah puncak ciptaan dan makhluk Allah yang tertinggi. Sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. At-Tiin:4

“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”

Keistimewaan tersebut menyebabkan manusia dijadikan sebagai khalifah atau wakil Tuhan di muka bumi, yang kemudian dipercaya memikul amanah berupa tugas dalam menciptakan tata kehidupan yang bermoral di muka bumi.

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”

4) Sebagai hamba, sejalan dengan keistimewaan dan kelebihan yang dimilikinya itu maka Allah menegaskan dalam Al-Quran bahwa tujuan pokok penciptaan manusia adalah untuk mengenal Allah sebagai Tuhannya serta mengabdi kepadaNya. Sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah Q.S. Adz-Dzariyaat: 56

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” 4. Dimensi-Dimensi Hakikat Manusia

Menurut Mudyahardjo (2001) & Umar Tirtarahardja (2000) dimensi-dimensi hakikat manusia adalah sebagai berikut:

a. Dimensi Keindividualan

Lysen mengartikan individu sebagai “orang-seorang,” sesuatu yang merupakan suatu keutuhan yang tidak dapat di bagi-bagi (in clevide). Menurut M. J Langeveld bahwa setiap anak manusia dilahirkan telah dikaruniai potensi untuk menjadi berbeda dari yang lain, atau menjadi (seperti) dirinya sendiri. Tidak ada diri individu yang identik di muka bumi. Kesadaran manusia akan diri sendiri merupakan perwujudan kualitas individu manusia. Makin manusia sadar akan dirinya sendiri sesungguhnya manusia makin sadar akan kesemestaan, karena posisi manusia adalah bagian yang tak terpisahkan dari semesta. Antar hubungan dan interaksi pribadi itulah pula yang melahirkan konsekuensi-konsekuensi seperti hak azasi dan kewajiban, norma-norma moral, nilai-nilai sosial, bahkan juga nilai-nilai supernatural berfungsi untuk manusia.

b. Dimensi Kesosialan

Setiap bayi yang lahir dikaruniai potensi sosial. Artinya, setiap orang dapat saling berkomunikasi yang pada hakikatnya di dalamnya terkandung unsur saling memberi dan menerima. Adanya dimensi kesosialan pada diri manusia tampak lebih jelas pada dorongan untuk bergaul. Dengan adanya dorongan untuk bergaul setiap orang ingin bertemu dengan sesamanya. Immanuel Kant menyatakan manusia hanya menjadi manusia jika berada di antara manusia. Tidak ada seorang manusia yang mampu hidup seorang diri lengkap dengan sifat hakikat kemanusiaannya di tempat terasing yang terisolir. Realita ini menunjukkan bahwa manusia hidup pada kondisi interdependensi.

Esensi manusia sebagai mahluk sosial ialah adanya kesadaran manusia tentang siapa dirinya dan posisi dirinya dalam kehidupan bersama dan bagaimana tanggung jawab dan kewajibannya di dalam kebersamaan itu. Adanya kesadaraan interdependensi dan saling membutuhkan serta dorongan untuk mengabdi sesamanya adalah merupakan asas sosialitas.

c. Dimensi Kesusilaan

Susila berasal dari kata Su dan Sila yang artinya “kepantasan yang lebih tinggi.” Akan tetapi, di dalam kehidupan bermasyarakat orang tidak cukup hanya berbuat pantas jika di dalam yang pantas atau sopan itu misalnya terkandung kejahatan terselubung, karena itu maka pengertian Susila berkembang sehingga memiliki perluasan arti menjadi “kebaikan yang lebih.”

Dalam bahasa ilmiah sering digunakan dua macam istilah yang mempunyai konotasi berbeda yaitu: etiket (persoalan kepantasan dan kesopanan) dan etika (persoalan kebaikan). Nilai-nilai merupakan sesuatu yang dijunjung tinggi oleh manusia karena mengandung makna kebaikan, keluhuran, kemuliaan dan sebagainya, sehingga dapat diyakini dan dijadikan pedoman dalam hidup. Dilihat dari asalnya dari mana nilai-nilai itu diproduk dibedakan atas tiga macam yaitu: (a) Nilai Otonom yang bersifat Individual (kebaikan menurut pendapat seseorang). (b) Nilai Heteronom yang bersifat kolektif (kebaikan menurut kelompok). (c) Nilai Keagamaan yaitu nilai yang berasal dari Tuhan.

d. Dimensi Keberagamaan

Pada hakikatnya manusia adalah makhluk religius. Sebelum manusia mengenal agama mereka telah percaya bahwa di luar alam yang dapat dijangkau dengan perantaraan alat indranya. Diyakini akan adanya kekuatan supranatural yang menguasai hidup alam semesta ini. Untuk dapat berkomunikasi dan mendekatkan diri kepada kekuatan tersebut diciptakanlah mitos-mitos. Misalnya untuk meminta sesuatu dari kekuatan-kekuatan tersebut, dilakukan bermacam-macam upacara menyediakan sesajen-sesajen dan lain-lain.

Kemudian setelah ada agama maka manusia mulai menganutnya. Beragama merupakan kebutuhan manusia karena manusia adalah makhluk yang lemah sehingga memerlukan tempat bertopang. Manusia memerlukan agama demi keselamatan hidupnya. Dapat dikatakan bahwa agama menjadi sandaran vertikal manusia. Manusia dapat menghayati agama melalui proses pendidikan agama.

Pesan-pesan agama harus tersalur dari hati ke hati. Terpancar dari ketulusan serta kesungguhan hati orang tua dan menembus ke anak. Dalam hal ini orang tualah yang sangat cocok sebagai pendidik karena ada hubungan darah dengan anak. Pendidikan agama yang diberikan secara masal kurang sesuai. Pendapat Kohnstamm ini mengandung kebenaran dilihat dari segi kualitas hudungan antara pendidik dengan peserta didik.