• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sifat dan Hakikat Manusia

HAKIKAT PENDIDIKAN

B. Apa Itu Hakikat Manusia?

2. Sifat dan Hakikat Manusia

Sifat hakikat manusia dapat diartikan sebagai ciri-ciri karakteristik yang dapat membedakan manusia dengan

hewan secara prinsipil. Sifat hakikat manusia menurut paham eksistensialisme sebagaimana dikemukakan oleh Umar Tirtaraharja dan Lasula (2000) sebagai berikut:

a. Kemampuan Menyadari Diri

Kaum Rasionalis menunjuk kunci perbedaan manusia dengan hewan pada adanya kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh manusia. Berkat adanya kemampuan menyadari diri ini, maka manusia menyadari bahwa dirinya memiliki ciri khas atau karakteristik diri. Hal ini menyebabkan manusia dapat membedakan dirinya dengan aku-aku yang lain (ia dan mereka) dan dengan non aku (lingkungan fisik) di sekitarnya.

b. Kemampuan Bereksistensi

Dengan keluar dari dirinya, dan dengan membuat jarak antara aku dengan dirinya sebagai objek, lalu melihat objek itu sebagai sesuatu, berarti manusia itu dapat menerobos dan mengatasi batas-batas yang membelenggu dirinya, bukan saja dalam kaitannya dengan ruang melainkan juga dengan waktu. Kemampuan menempatkan diri dan menerobos inilah yang disebut kemampuan bereksistensi. Justru karena manusia memiliki kemampuan bereksistensi inilah maka pada manusia terdapat unsur kebebasan. Jika seandainya pada diri manusia tidak terdapat kebebasan, maka manusia itu tidak lebih hanya sekedar “esensi” belaka, artinya ada hanya sekedar “ber-ada” dan tidak pernah “meng-ada” atau “ber-eksistensi.”

Kemampuan bereksistensi perlu dibina melalui pendidikan. Peserta didik diajar agar belajar dari pengalamannya, belajar mengantisipasi sesuatu keadaan dan peristiwa, belajar melihat

prospek masa depan dari sesuatu, serta mengembangkan daya imajinasi kreatif sejak dari masa kanak-kanak.

c. Kata Hati (Conscience of Man)

Kata hati (conscience of man) juga sering disebut dengan istilah hati nurani, lubuk hati, suara hati, pelita hati, dan sebagainya. Conscience ialah “pengertian yang ikut serta” atau “pengertian yang mengikuti perbuatan.” Manusia memiliki pengertian yang menyertai tentang apa yang akan, sedang, dan telah dibuatnya, bahkan mengerti juga akibatnya bagi manusia sebagai manusia.

Sebutan “pelita hati” menunjukkan bahwa kata hati itu adalah kemampuan pada diri manusia yang memberi penerangan tentang baik buruknya perbuatannya sebagai manusia. Orang yang tidak memiliki pertimbangan dan kemampuan untuk mengambil keputusan tentang baik dan buruk, dikatakan bahwa kata hatinya tidak cukup tajam. Sering dalam mengambil keputusan orang mengalami kesulitan, terutama jika harus mengambil keputusan antara yang baik dengan yang buruk karena orang dihadapkan kepada sejumlah pilihan. Untuk dapat memilih alternatif yang terbaik harus berhadapan dengan kriteria serta kemampuan analisis perlu didukung oleh kecerdasan akal budi. Orang yang memiliki kecerdasan akal budi sehingga mampu menganalisis dan mampu membedakan yang baik dan yang buruk bagi manusia sebagai manusia disebut tajam kata hatinya.

Dapat disimpulkan bahwa kata hati itu adalah kemampuan membuat keputusan tentang yang baik dan yang buruk bagi manusia sebagai manusia. Dalam kaitan dengan moral (perbuatan), kata hati merupakan “petunjuk

bagi moral/perbuatan.” Usaha untuk mengubah kata hati yang tumpul menjadi tajam disebut pendidikan kata hati.

d. Moral

Moral sering juga disebut etika artinya perbuatan. Di sini tampak bahwa masih ada jarak antara kata hati dengan moral. Artinya seseorang yang telah memiliki kata hati yang tajam belum otomatis perbuatannya merupakan realisasi dari kata hatinya itu. Untuk menjembatani jarak yang mengantarai keduanya masih ada aspek yang diperlukan yaitu kemauan.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa moral yang sinkron dengan kata hati yang tajam yaitu yang benar-benar baik bagi manusia sebagai manusia merupakan moral yang baik (tinggi), dan sebaliknya. Seseorang dikatakan bermoral tinggi karena ia menyatukan diri dengan nilai-nilai yang tinggi, serta segenap perbuatannya merupakan peragaan dari nilai-nilai yang tinggi tersebut.

Moral biasanya dibedakan dari etiket. Jika moral menunjuk kepada perbuatan yang baik ataukah yang salah, yang berperikemanusiaan atau yang jahat, maka etiket hanya berhubungan dengan soal sopan santun. Pendidikan bermaksud menumbuh kembangkan etiket (kesopansantunan) dan etika (kemauan bertindak) yang baik dan harus ada pada peserta didik.

e. Kemampuan Bertanggungjawab

Kesediaan untuk menanggung segenap akibat dari perbuatan yang menuntut jawab, merupakan pertanda dari sifat orang yang bertanggungjawab. Ada tanggung jawab kepada diri sendiri, masyarakat, dan kepada Tuhan.

Tanggung jawab kepada diri sendiri berarti menanggung tuntunan kata hati, misalnya dalam bentuk penyesalan yang mendalam. Bertanggungjawab kepada masyarakat berarti menanggung tuntunan norma-norma sosial yang berupa sanksi-sanksi sosial, seperti cemoohan masyarakat, hukuman penjara, dan lain-lain. Bertanggungjawab kepada Tuhan berarti menanggung tuntunan norma-norma agama, seperti perasaan berdosa, dan terkutuk.

Hubungan antara kata hati, moral, dan tanggung jawab. Kata hati memberi pedoman, moral melakukan, dan tanggung jawab merupakan kesediaan menerima konsekuensi dari perbuatan. Dengan demikian, tanggung jawab dapat diartikan sebagai keberanian untuk menentukan bahwa suatu perbuatan sesuai dengan tuntutan kodrat manusia, dan bahwa hanya karena itu perbuatan tersebut dilakukan sehingga sanksi apapun yang dituntutkan (oleh kata hati, masyarakat, dan norma-norma agama) diterima dengan penuh kesadarandan kerelaan.

f. Rasa Kebebasan

Merdeka adalah rasa bebas (tidak merasa terikat oleh sesuatu), tetapi sesuai dengan tuntunan kodrat manusia. Dalam pernyataan ini ada dua hal yang kelihatannya saling bertentangan yaitu “rasa bebas” dan “sesuai dengan tuntunan kodrat manusia” yang berarti ada ikatan. Kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya memang berlangsung dalam keterikatan. Artinya, bebas berbuat sepanjang tidak bertentangan dengan tuntunan kodrat manusia. Orang hanya mungkin merasakan adanya kebebasan batin apabila ikatan-ikatan yang ada telah menyatu dengan dirinya, dan menjiwai

segenap perbuatannya. Dengan kata lain, ikatan luar (yang membelenggu) telah berubah dengan ikatan dalam (yang menggerakkan). Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa kemerdekaan tidak sama dengan berbuat bebas tanpa ikatan.

g. Kewajiban dan Hak

Kewajiban dan hak adalah dua macam gejala yang timbul sebagai manifestasi dari manusia sebagai makhluk sosial. Tak ada hak tanpa kewajiban. Jika seseorang mempunyai hak untuk menuntut sesuatu maka tentu ada pihak lain yang berkewajiban untuk memenuhi hak tersebut. Sebaliknya kewajiban ada oleh karena ada pihak lain yang harus dipenuhi haknya. Pada dasarnya, hak itu adalah sesuatu yang masih kosong. Artinya meskipun hak tentang sesuatu itu ada, belum tentu seseorang mengetahuinya. Dan meskipun sudah diketahui, belum tentu orang mau untuk mempergunakannya. Namun terlepas dari persoalan apakah hak itu diketahui atau tidak, digunakan atau tidak, dibalik itu tetap ada pihak yang berkewajiban untuk bersiap sedia memenuhinya.

Dalam realitas hidup sehari-hari, umumnya hak diasosiasikan dengan sesuatu yang menyenangkan, sedangkan kewajiban dipandang sebagai suatu beban, ternyata bukan beban melainkan suatu keniscayaan. Artinya, selama seseorang menyebut dirinya manusia dan mau dipandang sebagai manusia, maka kewajiban itu menjadi keniscayaan baginya. Sebab jika mengelakkannya maka ia berarti mengingkari kemanusiaannya. Karena itu seseorang yang semakin menyatu dengan kewajiban dan nilai, maka martabat kemanusiaannya semakin tinggi di mata masyarakat. Dengan kata lain, melaksanakan kewajiban adalah suatu keluhuran.

Pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban bertalian erat dengan soal keadilan. Dalam hubungan ini mungkin dapat dikatakan bahwa keadilan terwujud bila hak sejalan dengan kewajiban. Karena pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban dibatasi oleh situasi dan kondisi, yang berarti tidak seluruh hak terpenuhi dan tidak segenap kewajiban dapat sepenuhnya dilakukan, maka hak asasi manusia harus diartikan sebagai cita-cita, aspirasi-aspirasi atau harapan-harapan yang berfungsi untuk memberi arah pada segenap usaha menciptakan keadilan.

Kemampuan menghayati kewajiban sebagai keniscayaan tidak lahir dengan sendirinya, tetapi tumbuh melalui suatu proses. Usaha menumbuhkembangkan rasa wajib sehingga dihayati sebagai suatu keniscayaan dapat ditempuh melalui pendidikan disiplin. Disiplin diri menurut Selo Soemardjan meliputi 4 aspek, yaitu:

1) Disiplin rasional, yang bila terjadi pelanggaran menimbulkan rasa salah.

2) Disiplin sosial, jika dilanggar menimbulkan rasa malu. 3) Disiplin afektif, jika dilanggar menimbulkan rasa gelisah. 4) Disiplin agama, jika terjadi pelanggaran menimbulkan

rasa berdosa.

Keempat macam disiplin tersebut perlu ditanamkan pada peserta didik dengan disiplin agama sebagai titik tumpu.

h. Kemampuan Menghayati Kebahagiaan

Kebahagian adalah suatu istilah yang lahir dari kehidupan manusia. Penghayatan hidup yang disebut “kebahagiaan” ini meskipun tidak mudah untuk dijabarkan

tetapi tidak sulit untuk dirasakan. Kebahagiaan itu tidak terletak pada keadaannya sendiri secara faktual atau pada rangkaian prosesnya, maupun pada perasaan yang diakibatkannya tetapi terletak pada kesanggupan menghayati semua itu dengan keheningan jiwa, dan mendudukkan hal-hal tersebut di dalam rangkaian tiga hal yaitu: usaha, norma-norma, dan takdir. Kebahagiaan adalah hidup yang tentram. Kebahagiaan juga mengandung sisi sosial, karena norma-norma hidup selalu bersifat sosial. Kemudian takdir merupakan rangkaian yang tak terpisah dengan proses terjadinya kebahagiaan. Komponen takdir itu bertalian erat dengan komponen usaha. Untuk itu kemampuan menghayati sangat diperlukan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan itu dapat diusahakan peningkatannya. Ada dua hal yang dapat dikembangkan, yaitu: kemampuan berusaha dan kemampuan menghayati hasil usaha dalam kaitannya dengan takdir.