• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIK

2.1 Kajian Pustaka .1 Teori Kesantunan

2.1.1.7 Paul H. Gries

Gries (1975:45-47) mengatakan bahwa penutur dan lawan tutur dalam pertuturan harus menaati prinsip-prinsip kerjasama. Dalam kajian pragmatik prinsip itu disebut maksim. Maksim merupakan pernyataan ringkas yang mengandung ajaran atau kebenaran.

Maksim tersebut terdiri dari maksim kuantitas (maxim of Quantity) artinya maksim yang menghendaki setiap peserta tutur hanya memberikan kontribusi yang secukupnya saja atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawanya, maksim kualitas (maxim of quality)artinya maksim ini menghendaki agar peserta pertuturan itu mengatakan hal sebenarnya yang sesuai dengan data dan fakta, maksim relevansi (maxim of relevance)artinya maksim ini mengharuskan setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi yang relavan dengan masalah atau tajuk pertuturan, dan maksim cara (maxim of manner) artinya maksim ini mengharuskan penutur dan lawan tutur berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak ambigu, tidak berlebih-lebihan dan runtut.

Menurut Gries apabila keempat maksim ini dipatuhi dalam pertuturan maka pertuturan itu akan berjalan dengan baik. Sebaiknya apabila keempat maksim dilanggar maka pertuturan menjadi tidak baik. Namun, kalau keempat maksim itu dipatuhi kedalam pertuturan, maka akan memperoleh pertuturan yang baik, tetapi pertuturan itu berlangsung dengan tidak santun. Dengan kata lain,penutur menerapkan prinsip kesopanan (kesantunan) dari Leech (1983) maka perinsip kerja sama Gries itu yang harus dilanggar dan tidak ditaati.

Berdasarkan uraian di atas, kesantunan bahasa jurkam dan caleg Partai Golkar berkampanye dalam penelitian ini terfokus pada teori kesantunan bahasa yang dikemukan Leech kerena tidak melanggar aturan dalam pertuturan berdasarkan maksim kesantunan dan skala pengukuran teori kesantunan bahasa. 2.1.2 Teori Semiotika

Kata Semiotika berasal dari bahasa Yunani, semeion, yang berarti “tanda” atau seme, yang berarti “penafsir tanda”. Saragih (2012:12) mengatakan “definisi semiotika itu bervariasi”. Namun demikian, semua definisi semiotika terfokus pada tanda. Pengertian apapun yang diberikan pakar linguistik, bahwa definisi semiotika tetap berpijak pada konsep atau pengertian dasar, yakni semiotika merupakan kajian tanda.

Peirce (1839-1914) mengatakan bahwa semiotika” …a relationship a many sign, an object, and a meaning…”. Artinya suatu hubungan di antara tanda, objek, dan makna. Salah satu bentuk tanda adalah kata, sedangkan objectmerupakan sesuatu yang dirujuk tanda sementara interpretantmerupakan tanda yang ada dalam pikiran seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.

Gambar 2.2. Segitiga makna Pierce Sign

Interpretant Object

Istilah panah dua arah pada gambar di atas menekankan bahwa masing-masing istilah dapat dipahami hanya dalam relasinya dengan yang lain. Sebuah tanda mengacu kepada sesuatu di luar dirinya sendiri, objek dapat dipahami oleh seseorang serta memiliki efek dibenak penggunanya yaitu interpretant. Apabila ketiga elemen makna ini berinteraksi dalam benak seseorang maka muncullah makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut. Dengan demikian, teori segitiga makna merupakan persoalan bagaimana makna muncul dari suatu tanda itu digunakan orang pada waktu berkomunikasi.

Senada juga dengan Peirce maka de Saussure (1857-1913) mengatakan bahwa semiotikamerupakan ilmu tentang tanda. Ilmu tanda tersebut dibagi menjadi dua komponen, yaitu signifier (citra bunyi) dan signified (konsep) kemudian hubungan antara keduanya disebutarbitrer. Dalam konteks ini, daya semiotika bahasa berkampanye, para caleg memberi tanda dan petanda berbentuk jargon politik, lambang partai politik, dan juga nomor urut peserta caleg sehingga komunikasi dalam berkampanye dapat terealisasi dengan baik dan pesan yang ingin disampaikan mereka dipahami oleh masyarakat.

Sobur (2003:15) mengatakan “memaknai berarti objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga menginstruksikan sistem terstruktur dari tanda”.

Artinya, bahwa kata, kalimat, dan gambar sebagai sarana menyampaikan informasi dan pesan. Hal seperti itulah yang yang diterapkan caleg untuk berkampanye melalui semiotik jargon politik kepada masyarakat. Artinya, caleg berkomunikasi dalam berkampanye kepada masyarakat tidak terlepas dari makna jargon politik yang disampaikan melalui semiotika caleg tersebut serta ujaran-ujaran bahasanya.

Selaras dengan Sobur, Bertens (1993:180) mengatakan bahwa tanda merupakan kesatuan bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Artinya bahwa penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep aspek mental dari bahasa.

Eco (1979:7) dan Chandler (2008:1) (dalam Saragih, 2012:23) mengatakan bahwa semiotika berkenaan dengan segala sesuatu yang dapat dipandang sebagai tanda. Definisi ini memberi pengertian bahwa sesuatu tanda bergantung pada pandangan individu. Artinya, caleg dapat memandang sesuatu sebagai tanda, yang lain mungkin tidak memandangnya sebagai tanda. Dengan kata lain, keberadaan tanda tergantung pada individu dalam memandang dan menafsirkannya. Misalnya, jargon partai politik “suara golkar suara rakyat”. Mungkin setiap orang pasti berbeda menafsirkan kalimat tersebut, seperti golkar adalah milik rakyat atau setiap suara rakyat adalah pasti suara golkar.

Fawcett (1984:xiii) mengatakan bahwa semiotika merupakan kajian tentang sistem tanda dan penggunaannya. Definisi ini menempatkan bahwa tanda

sebagai sistem, yakni sesuatu yang mempunyai kaitan dengan yang lain dan definisi ini juga mencakupi pemakaian tanda.

Lebih luas lagi, Lamb (1984:87) mengatakan semiotika sebagai kajian sistem tanda. Artinya, menempatkan tanda dalam hubungannya dengan yang lain atau dalam konteks sebagai sarana pesan.

van Leeuwen (2005:285) juga mengatakan bahwa kajian semiotika sebagai kajian sumber daya semiotika dan penggunaannya. Sumber daya semiotika mencakupi perbuatan, materi, dan alat yang digunakan untuk membentuk tanda untuk tujuan komunikasi. Artinya bahwa sumber daya semiotika memiliki potensi makna berdasarkan kelaziman pemakaian dan penggunaannya.

Hal ini, merupakan bagian sarana dan prasarana dalam kampanye yang dipergunakan setiap caleg. Caleg berkampanye melalui daya semiotika alat peraga yang berisi materi kampanye yang disampaikan kepada masyarakat dengan tujuan menarik simpati terhadapnya. Misalnya, “Simpati sama Isma pas di hati jilid II”, maksud dari jargon politik tersebut adalah kesimpatian masyarakat bersama Isma dan mendukung pencalegkan periode kedua.

Halliday (2004:230) mengatakan “semiotika bahasa merupakan semiotika sosial. Semiotika bahasa terdiri atas tiga unsur, yakni (a) ‘arti’, setara dengan petanda (signified), (b) bentuk, dan (c) ekspresi, setara dengan penanda (signifier)”.

(a) ’arti’ dalam semiotika merujuk pada teori Linguistik Fungsional Sistemik (LFS) merupakan fungsi ujaran. Fungsi ujaran itu merupakan ujaran dasar (disebut juga protoaksi dalam Saragih 2006). Fungsi ujaran itu

merupakaan ‘arti’ dalam sistem semiotika yaitu pernyataan, pertanyaan, perintah, dan tawaran yang direalisasikan oleh bentuk atau tatabahasa, yang seterusnya dieksperesikan oleh bunyi, tulisan, atau isyarat.

(b) Bentuk atau tatabahasa modus terjadi dari empat kelompok, yaitu modus deklaratif, interogatif, imperatif, dan tawaran. Secara rinci masing-masing fungsi ujaran direalisasikan oleh modus sebagai berikut: (1) fungsi ujaran pernyataan lazimnya direalisasikan oleh modus deklaratif, (2) fungsi ujaran pertanyaan lazimnya direalisasikan oleh modus interogatif, (3) fungsi ujaran perintah lazimnya direalisasikan oleh modus imperatif, dan (4) fungsi ujaran tawaran dapat direalisasikan oleh deklaratif, interogatif, dan imperatif. Dalam bahasa Indonesia modus ditandai secara prosodi dengan intonasi datar untuk modus deklaratif, naik untuk interogatif, dan turun untuk imperatif. Di samping itu dalam bahasa Indonesia tulisan, titik (.) merupakan penanda pernyataan, tanda tanya (?) merupakan penanda pertanyaan, dan tanda seru (!) merupakan penanda perintah. Di samping penanda prosidi, modus secara struktural ditandai dua unsur fungsi antarpesona, yaitu subject dan finite. Unsur tatabahasa yang digunakan untuk merealisasikan fungsi antarpesona adalah subject, finite, predicator, complement, dan andjuct. Subject dan finite membangun mood atau modus sedangkan predicator, complement, dan andjuct membentuk residue yang tidak berperan dalam pembentukan modus.

(c) Klausa atau ekspresi berada pada posisi bebas secara gramatikal; merupakan unit yang tertinggi; klausa secara langsung merealisasikan unit

‘arti’ atau semantik. Satu unit pengalaman disebut klausa yang terdiri atas tiga unsur atau konfigurasi, yaitu (1) proses, yakni kegiatan, peristiwa, atau kejadian, (2) partisipan, yakni orang atau benda yang terlibat dalam proses, dan (3) sirkumstan, yakni lingkungan tempat terjadinya proses yang melibatkan pertisipan itu. Kesatuan ketiga unsur itu dalam satu unit pengalaman disebut klausa dan secara teknis realisasi penggambaran pengalaman itu dalam semiotika bahasa disebut transitif. Misalnya, pemburu itu mengejar harimau itu kemarin (pemburu itu adalah pertisipan, mengejar adalah proses, harimau itu adalah partisipan, dan kemarin adalah sirkumstan).

Ketiga semiotika bahasa itu dengan sifat perulangan berlapis yang dikenal dengan istilah metaredundancy, unsur petanda dan bentuk menyatu sebagai petanda dalam satu tahap proses pemakai bahasa. Pada proses petanda diekspresikan oleh penanda yang berupa bunyi, huruf, atau isyarat.

Dalam teori LFS, istilah arti diberi tanda kutip tunggal ‘…’ sebagai ‘arti’ dan bentuk serta ekspresi tidak diberi tanda kutip. Secara teknis unsur ‘arti’, bentuk, dan ekspresi masing-masing mangacu ke semantik (semantics), dan tatabahasa (leksikogramar). Di dalam teori LFS dikatakan juga bahwa bahasa sebagai semiotika terdiri atas tiga unsur atau strata, yaitu strata semantik, leksikogramar, dan fonologi.

Hubungan dengan kesantunan daya semiotika bahasa merupakan hubungan ‘arti’ dan ekspresi tidak bersifat ‘satu ke satu’ yang dikenal dengan istilah nonbiunique. Nonbiunique merupakan hubungan satu ke satu, yakni satu

‘arti’ direalisasikan oleh satu ekspresi atau satu ekspresi merealisasikan satu ‘arti’. Hubungan nonbiunique juga menyatakan hubungan satu ke banyak, yakni satu ‘arti’ ke banyak ekspresi atau hubungan satu ke banyak, yakni satu ‘arti’ ke banyak ekspresi atau hubungan satu ekspresi yang merupakan realisasi banyak ‘arti’. Bentuk kajian ini tidak hanya berlangsung dalam hubungan satu ke satu, yakni hubungan antara satu petanda dengan satu penanda atau antara satu ‘arti’ dengan satu ekspresi tetapi juga potensial berlangsung dalam hubungan satu ke lebih dari satu atau satu kebanyak.

Selanjutnya, tanda (sign)merupakan sesuatu yang mewakili atau menyatakan sesuatu yang lain. Dengan kata lain, tanda terjadi dari dua unsur yakni sesuatu yang disebut penanda (signifier)dan sesuatu yang lain diistilahkan sebagai petanda (signified) yang diwakili.

Hubungan antara petanda dan penanda adalah hubungan realisasi, yakni petanda direalisasikan oleh penanda atau penanda merealisasikan petanda. Misalnya, merah sebagai penanda bahaya dengan pengertian ‘bahaya’ sebagai petanda dan warna merahsebagai penanda. Hubungan sintagmatik antara petanda dan penanda adalah jika petanda di depan dan penanda di belakangnya keduanya dihubungkan oleh proses atau verba pasif: “petanda direalisasikan oleh penanda” (‘bahaya’ dinyatakan oleh merah), sementara, jika penanda mengikuti petanda keduanya dihubungkan oleh verbal aktif: “penanda merealisasikan petanda (merah menyatakan ‘bahaya’).

Di samping “merealisasikan”, verba lain dapat digunakan seperti “menyatakan, menunjukkan, mengindikasikan, mengekspresikan, mengodekan,

menyimbolkan, berarti, bermakna, merepresentasikan, mengisyaratkan, merupakan, dan mewakili” untuk menghubungkan petanda dan penanda atau dalam semiotika bahasa antara ‘arti’ dan ‘ekspresi’.

Misalnya:

Petanda Penanda

‘Ka’bah’ 1. Partai Persatuan Pembangunan

‘Banteng’ 2. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ‘Pohon Beringin’ 3. Partai Golongan Karya

Artinya, petanda Ka’bah direalisasikan menjadi penanda Partai Persatuan Pembangunan, petanda Banteng direalisasikan menjadi penanda Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dan petanda Pohon Beringi direalisasikan menjadi penanda Partai Golongan Karya.