• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gerombolan Pengacau

Register 38 Gunung Balak Lampung Timur

7 PELABELAN GEROMBOLAN PENGACAU KEAMANAN DALAM PERLAWANAN PETAN

Perlawanan komunitas petani di Talangsari akibat adanya ketidakadilan telah melahirkan tragedi nasional dalam panggung sejarah Indonesia kontemporer. Sejarah mengenai tragedi Talangsari tahun 1989, sekalipun telah berlalu hampir 26 tahun, akan tetapi masih tetap menyisakan persoalan-persoalan besar bagi bangsa Indonesia hingga saat ini. Peristiwanya sendiri masih tetap diselimuti kabut tebal misteri tetapi luka-luka yang ditimbulkan masih membekas dalam tatanan kehidupan berbangsa di republik ini, khususnya bagi para korban.

Negara dengan melakukan konsolidasi kekuasaannya mencoba untuk membungkam secara paksa terhadap kekuatan-kekuatan penentang baik dengan menggunakan aparatur sipil dan militer serta merangkul tokoh-tokoh masyarakat sehinggapara korban Talangsari yang masih hidup sampai hari ini masih harus menanggung stigma buruk yang telah dilekatkan oleh negara pada dirinya. Kutukan dan kecaman dengan bahasa yang seragam dinyanyikan oleh rakyat Indonesia dan juga umat Islam, baik dari kalangan ulama, aparat sipil dan militer, organisasi massa dan organisasi politik untuk ikut ambil bagian.

Stigma negatif berkembang dengan mengaitkan bahwa perlawanan komunitas petani Talangsari atau disebut tragedi Talangsari adalah persoalan vertikal antara komunitas Warsidi dengan negara. Gerakan perlawanan komunitas petani Talangsari yang dipimpin oleh elit agama pedesaan, dianggap sebagai gerakan makar terhadap negara, suatu gerakan yang ingin ingin menggantikan dasar negara Pancasila, gerombolan pengacau keamanan, ancaman bahaya laten komunis dan sisa-sisa G30S/PKI, yang menggunakan ideologi jihad sebagai basis gerakan.

Saat ini meskipun Umbul Cihideung dusun Talangsari telah dibuka dan ditempati namun kondisi pembangunannya masih jauh tertinggal dari dusun- dusun disekitarnya. Infrastruktur seperti aliran listrik saat ini belum mengalir ke dusun Talangsari meskipun dusun-dusun disekitarnya telah dialiri listrik. Selain itu, akses jalan, air bersih, kesehatan dan pendidikan di dusun Talangsari belum memadai. Sampai saat ini terhadap para korban dan keluarganya masih terjadi tuduhan-tuduhan dan stigma negatif (label), dianggap sebagai teroris dan anti nasionalis.

Tragedi Talangsari adalah bagian dari sisi kelam sejarah bangsa Indonesia umumnya dan sejarah umat Islam khususnya.Tragedi ini didalangi oleh aktor supra lokal (NH dan SD) sebagai aktivis NII dengan memanfaatkan komunitas Islam radikal dibawah pimpinan Warsidi, sehingga stigma yang terbangun komunitas petani Talangsari adalah Islam radikal, gerakan ini menggunakan simbol Islam (jihad) dalam pemahaman yang sempit untuk dijadikan sebagai pembingkai tindakan perlawanan. Akhirnya stigma sebagai pemberontak terus membelenggu memori kolektif sebagian masyarakat bangsa ini. Implikasinya, bangsa ini terus terpenjara dalam ingatan sejarah masa silam yang kelam dan terus menerus hidup dalam sebuah relasi yang sakit (abnormal).

Saat ini ideologi Islam radikal masih tetap hidup di Indonesia, sedangkan para elit (aktor) gerakan tragedi Talangsari ada yang sudah mati terbunuh dalam operasi penumpasan dan yang masih hidup telah selesai menjalani hukuman selama beberapa tahun. Namun demikian, stigmatisasi sosial sebagian masyarakat terhadap eks (korban Talangsari dengan label sebagai Islam radikal) masih terus hidup, bahkan setelah Orde Baru runtuh dan digantikan dengan era reformasi.Terlepas dari semua itu yang jelas rezim otoritarian Orde Baru telah berhasil menyematkan label pada komunitas Talangsari sebagai gerombolan pengacau keamanan yang keberadaannya harus tetap diwaspadi, hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Howard Becker (1963), bahwa; pertama, label yang diberikan kepada sesorang/kelompok diawali dengan adanya penyimpangan terhadap perilaku dan kebiasaan yang sudah menjadi mainstream masyarakat umum, perilaku menyimpang boleh jadi terjadi dengan sesungguhnya namun boleh jadi perilaku menyimpang adalah hasil rekayasa; kedua,pelabelan dengan melakukan penilaian yang dilakukan oleh terhadap perilaku/tindakan sosial yang dianggap menyimpang (devians) dari norma-norma yang berlaku, setelah itu pemegang kekuasaan akan memberi penilaian, penindakan dan juga penghukuman.

106

Penyimpangan Perilaku Komunitas Warsidi di Talangsari

Labeling adalah proses melabel seseorang, artinya sebuah definisi yang ketika diberikan pada seseorang akan menjadi identitas diri orang tersebut, dalam kasus perlawanan komunitas petani Talangsari pelabelan sudah dilakukan oleh kekuatan supra struktur (penguasa) sejak komunitas tersebut mencoba membangun kekuatan di Cihideung Talangsari, hal itu ditandainya dengan hadirnya para aktor-aktor supra lokal (NH dan SD) yang menggagas arah perlawanan komunitas petani dari perjuangan untuk mendapatkan lahan di wilayah yang ditinggalkan yakni di desa 4-sri (Srikaloka, Srimulya, Srikaton dan Sriwidodo) menjadi perlawanan dalam rangka membentuk perkampungan muslim dengan menjadikan Cihideung sebagai basis perjuangan.

Setelah hadirnya aktor supra lokal (NH, SD) yang lebih mendominasi pemikiran tentang perjuangan yang memanfaatkan simbol-simbol agama (sesuai dengan tafsir mereka) menjadikan tindakan dan perilaku komunitas petani Talangsari bersikap eklusif dan menutup diri dari masyarakat di sekitarnya, tujuan perjuangan yang mereka lakukan bukan lagi hanya untuk memperoleh kembali lahan garapan yang selama ini mereka manfaatkan, akan tetapi tujuan perjuangan mereka dalam rangka membangun sebuah perkampungan/komunitas muslim (Islamic village). Menurut keterangan FI dalam Al Chaidar (2000) bahwa;

―...Kondisi saat ini sedang tidak berpihak kepada Islam, artinya Islam sudah dipisahkan dari kehidupan bernegara, kebebasan umat Islam dibatasi. Sementara itu umat Islam terpecah-pecah karena kejumudan dan sempitnya pemahaman mereka terhadap Islam, oleh sebab itu perlu adanya penyatuan dalam bentuk negara yang dapat dimulai dari komunitas/jama‘ah yang kecil seperti yang di Talangsari.

Perubahan arah perjuangan atas gerakan perlawanan yang mereka lakukan ini sengaja dilakukan dengan melakukan mobilisasi motivasi yang dilakukan oleh aktor-aktor supra lokal, sehingga tindakan yang mereka lakukan berbentuk/bertolak belakang dengan norma-norma dan hukum yang berlaku di masyarakat. Misalnya saja membentuk perkampungan muslim (membangun negara dalam negara), hal ini jelas-jelas dianggap sebagai bentuk penyimpangan dalam perspektif negara kesatuan.

Mereka juga menunjukkan perbedaan tentang pemahaman keagamaan yang mereka yakini, misalnya saja tentang penggunaan atribut keagamaan yang menunjukan identitas kolektif mereka. Identitas kolektif yangdikonstruksi oleh aktor supra struktur dan diekspresikan dalam bentuk penggunaan nama ―Mushola

Mujahiddin‖ di Cihideung Talangsari memberi kesan bahwa para jama‘ahnya

adalah orang-orang yang siap berjihad di jalan Allah dalam membela agama, selanjutnya simbol-simbol keagamaan seperti bagi kaum prianya mengenakan celana panjang di atas mata kaki dan berjanggut, sementara kaum wanitanya mengenakan cadar (penutut muka) dengan didominasi warna hitam. Penggunaan simbol-simbol yang mengindikasikan identitas kolektif memang bisa memunculkan perasaan positif bagai komunitas tersebut, akan tetapi pada gilirannya dapat memunculkan penilaian negatif dari orang-orang yang berada di luar komunitasnya.

Lebih lagi sikap mereka yang tidak bersahabat terhadap komunitas lain, seringkali Warsidi melontarkan gugatan kafir bagi orang di luar komunitasnya, hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh MT (PP. Miftahul Huda) berikut keterangannya :

―...Saat itu jama‘ah yang mengikuti pengajian di pondok ini sudah banyak, hingga ke wilayah Cihideung Talangsari termasuk yang ada di mushola Jayus, pengajian yang sudah berjalan dengan baik ini digugat, yang berbeda dengan kelompoknya dianggap kafir, tentu saja termasuk saya, karena saya yang merintis di sana, sebelum pengajian Warsidi berkembang dengan pesat. Kelompok mereka secara terang- terangan menentang pemerintah, komplek yang mereka tempati, yakni di Cihideung Talangsari‖ diberi nama ―Pondok Al Mahdil Aqwal‖ artinya sebuah tempat untuk menggalang kekuatan‖

Dengan berdasarkan keterangan tersebut, maka perilaku komunitas Warsidi semakin menunjukkan adanya penyimpangan dari mainstream ke-islam-an yang ada, artinya masyarakat sudah memberi penilaian terhadap komunitas Warsidi dengan segala perilakunya telah menyimpang, dan inilah yang diinginkan oleh kekuasaan (rezim otoritatian Orde Baru) untuk melabeli mereka sebagai gerombolan pengacau keamanan.

Belum lagi sikap komunitas Warsidi terhadap aparatus daerah (Kepala dusun Talangsari III; Sukidi) yang dianggapnya sebagai penghalang untuk mewujudkan cita-citanya, perilaku komunitas Warsidi yang tidak berkenan mematuhi ketentuan sebagai warga baru ini pula yang menjadi penyebab terjadinya ketegangan antara komunitas Warsidi dengan aparatus daerah. Ini bermula saat mereka menolak untuk melaporkan kehadiran orang-orang yang didatangkan (dihijrahkan) ke Cihideung Talangsari dari tempat lain, penolakan inilah yang menjadi awal ketegangan antara War dan Suk. Sebagai kepala dusun, Sukidi mempunyai kewenangan untuk mengetahui keadaaan warganya, oleh sebab itu penolakan memenuhi panggilannya adalah sebagai bentuk pembangkangan, berikut penurutan Sukidi :

Sebagai bagian dari warga masyarakat Talangsari, maka setiap warga mempunyai hak dan kewajiban, salah satu kewajiban yang harus ditaati adalah kewajiban sosial, seperti ronda malam, gotong royong membersihkan lingkungan dusun, hanya saja Warsidi dan jama‘ahnya selalu menolak untuk ikut serta dalam kegiatan –kegitan tersebut dengan alasan dalam Al-Qur‘an tidak ada perintah gotong royong, dan ronda malam.

Pembangkangan/mbalelo ini pun berlanjut sampai dengan melakukan penolakan saat di panggil oleh pihak keamanan (Danramil Way Jepara) Kapten Soe, penolakan dengan alasan tidak sepantasnya seorang ulama mendatangi umaro, bahkan saat aparatus daerah mendatangi komunitas Warsidi mereka disambut dengan tindak kekerasan yang berujung pada tewasnya Kapten Soe, yang semakin menguatkan adanya perilaku menyimpang dari komunitas Warsidi di Cihideung Talangsari. Tindakan penolakan untuk menghadap an melapor terhadap pemegang kekuasaan wilayah ini dianggap sebagai bentuk perlawanan secara terbuka yang dilakukan oleh komunitas Warsidi di Talangsari, dan disikapi secara berlebihan oleh aparat setempat dengan melabel mereka sebagai pemberontak dan gerombolan yang berkeinginan mendirikan negara di dalam negara, walaupun sebenarnya komunitas Warsidi tidak pernah berpikir demikian, yang penting bagi mereka adalah tercukupi kehidupan ekonominya.

108

Pelabelan Terhadap Penyimpangan Komunitas Warsidi di Talangsari

Bagian terpenting dari pelabelan, menurut Becker adalah penilaian, oleh sebab itu setelah melakukan rekayasa terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh aktor supra lokal dalam bentuk perlawanan, maka tahapan berikutnya secara serempak intrumen-instrumen kekuasaan rezim otoritarian Orde Baru secara serempak memberi penilaian atas penyimpangan-penyimpangan komunitas Warsidi sebagai gerombolan pengacau keamanan.

Perlawanan komunitas petani Talangsari pada tahun 1989 terjadi pada masa rezim Orde Baru berkuasa yang berakibat tersudutnya Islam politik di pentas politik nasional. Meskipun perlawanan ini dilatari oleh adanya ketidakadilan petani dalam mengakses sumber daya agraria (tanah), ketika rezim Orde Baru sedang gencar-gencarnya memperkenalkan pembangunan di sektor pertanian yakni revolusi hijau, peran aktor supra lokal dalam gerakan tersebut mengindikasikan bahwa gerakan perlawanan komunitas petani Talangsari/tragedi Talangsari sarat dengan kepentingan politik.

Perlawanan ini mengakibatkan banyaknya korban jiwa, terutama dari komunitas petani yang mencapai 246 orang yang hingga kini dinyatakan hilang. Namun demikian upaya untuk menstigmatisasi terhadap gerakan perlawanan petani komunitas Talangsari terus dilanjutkan dengan melakukan penangkapan dan penahan para anggota komunitas tersebut, baik yang ada di Lampung maupun yang berada di luar lampung.

Sebenarnya perlawanan komunitas petani Talangsari hanyalah bagian kecil dari rekayasa Intelejen Orde Baru dibawah kekuasaan Soeharto dalam upaya melemahkan Islam politik dengan membangun citra ―Islam‖ sebagai pemberontak yang sudah dilakukan sejak pertengahan tahun 1970-an, semisal Komando Jihad (Komji) di Jawa Timur.

Hal ini dilakukan mengingat pada pertengahan tahun tersebut terdapat tanda-tanda pemerintah akan menghadapi kekecewaan besar selama pemilihan umum karena penetrasi partai Islam yang begitu dalam di kalangan pemilih Golkar. Padahal pemerintah telah berusaha dengan segala kekuatannya untuk mendukung anggota MPR yang sebagian besar hasil penunjukan. Suatu kenaikan pemilih partai Islam dengan kerugian Golkar bagaimanapun tidak akan mengancam terpilihnya kembali Soeharto untuk ketiga kalinya pada 1978 selama lima tahun berikutnya. Namun Istana beranggapan, hal ini tetap dianggap sebagai suatu kehilangan muka bagi kelompok penguasa, dan dipandang sebagai hilangnya kekuatan memelihara harmoni. Oleh sebab itu, pemerintah berusaha untuk melemahkan posisi oposisi politik Islam, sebagaimana dijelaskan oleh

David Jenkis dalam buku ―Soeharto dan Barisan Jendral Orde Baru (2010);

...Operasi utama perlu dilakukan terhadap partai Islam dengan cara merusak partai tersebut,mencitrakan sebagai ekstremisme politik yang tidak jelas dengan impian membangun negara Islam, penguasa menyebarkan adanya konspirasi anti pemerintah di kalangan umat Islam tertentu yang terungkap menjelang pemilihan umum yang disebut dengankomando Jihad.(David Jenkis, 2010; 63)

Cara-cara yang dilakukan oleh penguasa, adalah bagian dari membangun citra diri partai Islam (PPP) dengan citra negatif, bahkan pemerintah secara jelas menempatkan partai Islam (PPP) ini di pojok yang sangat sempit. Demikian halnya dengan tragedi Talangsari 1989, label sebagai pemberontak atau gerombolan mujahidin fisabilillah jelas adalah dalam upaya untuk membangun citra partai Islam (PPP), sehingga dalam pemilu 1992 Partai Islam (PPP) berada dalam posisi yang terpuruk.

Beberapa bentuk pelabelan (stigmatisasi), yang dilakukan oleh penguasa Orde Baru secara umum dapat dibagi menjadi dua type, sebagaimana di menurut Antonius (1997), pelabelan itu melalui dua cara; pertamapelabelan dengan melakukan penilaian yang dilakukan oleh terhadap perilaku/tindakan sosial yang dianggap menyimpang (devians) dari norma-norma yang berlaku, sedangkan yang kedua, pelabelan juga dapat dilakukan dengan melakukan intervensi dalam bentuk tindakan. Oleh sebab itu dalam kamus politik rezim Orde Baru, upaya stigmatisasi terhadap kekuatan Islam politik adalah dengan memunculkan kasus melalui program operasi khusus (Opsus).

Opsus sering disebut sebagai invisible goverment yang dipimpin Ali Murtopo, melakukan hal yang sama kepada perjuangan Darul Islam. Dengan

menggunakan sistem pola ―pancing dan jaring‖ mereka membuat berbagai jebakan kepada para pejuang mujahidin, seakan-akan setiap terjadinya kerusuhan di wilayah kekuasaan Republik Indonesia, sebagai pelaku utamanya adalah orang- orang Darul Islam, sehingga menimbulkan kesan publik yang menyatakan bahwa para pejuang Darul Islam selalu ingin mengadakan konfrontasi dengan pihak ABRI dan penguasa, melalui tindakan pengacauan, pemberontakan dan lain sebagainya. Rekayasa ini merupakan gambaran yang terang dari rezim Orde Baru, bahwa mereka tidak ingin sama sekali resistensi politik Islam yang diperjuangkan oleh umat Islam pada umumnya dan para pejuang Darul Islam khususnya untuk mengembagkan terus ideologi Islamnya di percaturan politik, yang mereka kehendaki adalah Islam hanya sebatas ritualitas belaka tanpa ikut campur dalam urusan negara.

Dengan tercapainya suasana persinggungan, maka menimbulkan sikap di kalangan umat Islam alergi dan rasa tidak simpati umat Islam terhadap negara Islam. Setelah itu rezim Orde Baru secara serempak melakukan stigmatisasi (label) terhadap gerakan tersebut, mereka (negara, aparatur militer dan sipil), partai politik dan organisasi sosial agama/kemasyarakat secara bersama-sama melabeli sebagai gerombolan pengacau keamanan.

Pelabelan (Stigmatisasi) Melalui Kekuasaan Oleh Negara

Negara mempunyai tanggung jawab untuk melindungi segenap warganya, sehingga pemerintah berkewajiban untuk memberikan hak-hak azasi tanpa adanya pembedaan antara warga yang satu dengan yang lain, antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Namun dalam pelaksanaannya terkadang negara membedakannya, hak-hak warga negara hanya diberikan kepada mereka yang dianggap bersih dari catatan kejahatan, lebih-lebih kejahatan yang dianggap dapat merongrong kewibawaan kekuasaan, maka bisa dipastikan mereka akan

110

diperlakukan secara tidak adil, baik secara politik-ekonomi-sosial budaya, bahkan yang lebih miris lagi mereka di labeli/stigma sebagai musuh negara.

Negara orde baru sangat berkepentingan dengan beberapa kasus yang berkaitan dengan gerakan Islam politik, sejak awal gejala yang muncul dari adanya kekalahan Partai Komunis Indonesia (PKI) membuat politik umat Islam mendapatkan angin segar, dan ditangkap gejala tersebut oleh pemerintah dengan satu prediksi bahwa politik umat Islam memiliki kecenderungan hendak memperkuat posisinya, dimana kekuatan tersebut yang akan menghancurkan cita- cita nasionalisme sekuler yang telah menjadikan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia.

Hal ini disadari betul oleh Angkatan Darat, bahwa di kalangan umat Islam masih terdapat bibit-bibit ekstrimisme yang sangat potensial dan suatu saat bisa muncul kepermukaan. Pemerintah Orde Baru saat itu melihat umat Islam sebagai ancaman yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi dan politik yang sedang dijalankan untuk memodernisasikan Indonesia. Oleh sebab itu, pemerintah orde baru menamakannya dengan terminologi ekstrimis kanan terhadap umat Islam, selain Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai ekstrimis kiri yang merupakan bahaya laten yang dapat mengancam eksistensi pemerintahan Orde Baru. Perlawanan komunitas Talangsari di samping karena mereka terusir dari kawasan hutan lindung register 38 Gunung Balak, juga disebabkan akibat adanya kecurigaan pemerintah terhadap Islam dan kritik keras serta penolakan masyarakat terhadap kebijakan politik rezim Orde Baru yang menetapkan azas

tunggal ―Pancasila‖ yang dihadapi dengan kekuatan senjata dan pembantaianan.

Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Soemitro dalam buku biografinya

―Pangkopkamtib Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 ia menyatakan : ...‖Terhadap Islam, pemerintah Orde Baru dan Angkatan Darat khususnya, sejak awal menyadari tentang kemungkinan naiknya pamor politik kekuatan Islam. Jatuhnya kekuatan ekstrim kiri PKI-yang kemudian diperkuat dengan keputusan pembubaran PKI- secara politis mengakibatkan naiknya pamor politik Islam, sehingga terjadi ketidakseimbangan (imbalance). Sayap Islam yang sedang mendapatkan angin kemudian cenderung hendak memperkuat posisinya. Padahal disadari oleh Angkatan Darat ketika itu bahwa di dalam sayap Islam masih terdapat bibit ekstrimisme yang amat potensial. Oleh sebab itu, kebijakan umum militer adalah menghancurkan kekuatan kiri (PKI), dan menekan (bukan menghancurkan) sayap Soekarno, dan ―sambil berhati-hati untuk mencegah naiknya Islam‖.

Anggapan militer bahwa Islam mengancam integrasi nasional menimbulkan ekses yang negatif terhadap perkembangan Islam pada masa awal Orde Baru. Gerakan Islam yang tidak bertujuan politik pun senatiasa dicurigai seperti pelaksanaan Tabligh Akbar yang harus mendapat izin dari pejabat militer setempat. Pemberontakan Darul Islam telah meninggalkan bekas pada hubungan Islam dan negara, dan mengendap menjadi sumber kecurigaan yang tidak habis- habisnya terhadap Islam politik di benak elit milter dan politik serta berbagai kelompok minoritas non-muslim, dan mempengaruhi banyak kebijakan pemerintah terhadap Islam di masa Orde Baru.

Oleh sebab itu, perlawanan komunitas petani Talangsari dimanfaatkan oleh rezim Orde Baru untuk menjustifikasi adanya gerakan politik Islam yang ingin memanfaatkan agama sebagai istrumen untuk melakukan tindak makar (kekerasan), hal ini terbukti seminggu setelah terjadinya tragedi Talangsari,

secara resmi negara Orde Baru dalam sebuah berita yang dimuat oleh harian surat kabar nasional, Presiden Soeharto menyatakan :

...Tragedi Talangsari menunjukkan masih ada orang yang ingin menyalahgunakan agama (jihad) untuk kepentingan yang sesungguhnya bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri. Oleh karena itu, perlunya peningkatan kewaspadaaan masyarakat. (Angkatan Bersenjata, 13 Februari 1989).

Pernyataan pimpinan negara yang diberitakan oleh surat kabar nasional ini merupakan bentuk konstruksi sosial yang memegang peranan penting dalam proses melabel komunitas petani Talangsari sebagai komunitas yang menyalahgunakan ajaran agama Islam untuk merongrong kedaulatan negara. Penggunaan media massa dalam melabel orang/sekelompok orang sangat efektif pengaruhnya. Satu peran yang pasti, yang dilakukan media massa dalam mengkostruksi label adalah dengan mendramatisasi berita ataupun informasi yang menjadi konsumsi publik. Pada masa Orde Baru pers berperan sebagai guard dog (anjing penjaga) bagi penguasa, seperti untuk meredam opini publik, meligitimasi keputusan politik penguasa dan mementingkan kepentingan diri sendiri.

Menyahuti pernyataan presiden Soeharto dalam harian nasional (Angkatan Bersenjata), beramai-ramai aparatus dibawahnya ikut pula bernyanyi dengan senandung yang sama. Lebih-lebih pada masa rezim Orde Baru, kekuasaan presiden mutlak dan absolut artinya tidak ada satu kekuatan yang berani berbeda dan menentangnya. Aparatus dibawahnya apakah itu sipil lebih-lebih militer sudah bisa dipastikan akan mempunyai suara yang sama, kalaupun tidak bersuara paling tidak akan mengamini tindakan atasannya.

Hal ini terjadi mengingat struktur kekuasaan yang dibangun oleh Soeharto melalui rezim Orde Baru sangat kokoh. Saat itu basis kekuasaan Soeharto sangat

luas dan kuat, bahkan melebihi seorang ―primus inter pares (yang terunggul diantara sesama) dalam kepemimpinan kolegal Angkatan Darat (AD). Soeharto bertengger di puncak piramida dengan mendudukkan setiap orangnya pada posisi kunci eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam setiap cabang pemerintahan. Soeharto mendominasi kabinet serta jajaran birokrasi, mendominasi ABRI dan menguasai sepenuhnya menteri Pertahanan dan Keamanan serta Panglima Kopkamtib yang begitu berkuasa dalam pemulihan keamanan dan ketertiban.

Soeharto merupakan tokoh sentral di Golkar, suatu organisasi politik yang didukung oleh militer (Angkatan Darat) dengan cara melumpuhkan gerak dua partai oposisi (Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia). Ia juga menguasai seluruh bagian badan yudisial yang lemah dengan mendudukkan kolega lamanya di posisi kunci. Geliat kekuasaannya menembus setiap departemen dan masuk kedalam seluruh perusahaan negara, bahkan merengsek sampai kebawah dan jika dikehendaki sampai kesetiap desa. Soeharto menggenggam kekuasaan sangat besar, baik karena UUD 1945 memberi kekuasaan besar kepada presiden maupun karena dirinya memiliki pengaruh dominan dalam Angkatan Darat, dan sebagai tokoh besar dalam masyarakat Indonesia yang sangat menghormati otoritas secara mendalam.

Struktur kekuasaan yang seperti ini merupakan cerminan dari sistem pemerintahan Indonesia yang dibangun oleh Soeharto memiliki kesamaan dengan kekuasaan di Jawa pada masa sebelum penjajahan Belanda, sebagaimana

112

dijelaskan oleh David Jenkis dalam buku ―Soeharto dan Barisan Jendral Orde

Baru (2010);

...‖Tata pemerintahan Jawa merupakan “kerucut cahaya yang memancar

ke bawah lewat lampu reflektor”, artinya pemikiran tradisional Jawa