• Tidak ada hasil yang ditemukan

Disertasi Perlawanan Petani Terhadap Ketidakadilan Agraria Dalam Stigma Gerombolan Pengacau Keamanan Studi Pada Masyarakat Talangsari Lampung Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Disertasi Perlawanan Petani Terhadap Ketidakadilan Agraria Dalam Stigma Gerombolan Pengacau Keamanan Studi Pada Masyarakat Talangsari Lampung Timur"

Copied!
167
0
0

Teks penuh

(1)

AGRARIA DALAM STIGMA GEROMBOLAN

PENGACAU KEAMANAN

(Studi Pada Masyarakat Talangsari Lampung Timur)

M. MAWARDI J

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Perlawanan Petani Terhadap Ketidakadilan Agraria Dalam Stigma Gerombolan Pengacau Keamanan: Studi Pada Masyarakat Talangsari Lampung Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun ke perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2016

(4)

RINGKASAN

M. Mawardi J. Disertasi Perlawanan Petani Terhadap Ketidakadilan Agraria Dalam Stigma Gerombolan Pengacau Keamanan : Studi Pada Masyarakat Talangsari Lampung Timur. Dibimbing oleh TITIK SUMARTI (Ketua), LALA M. KOLOPAKING dan ENDRIATMO SOETARTO (Anggota).

Perlawanan komunitas Talangsari/tragedi Talangsari adalah sebuah perlawanan yang menuntut adanya keadilan agraria pada masa kekuasaan rezim Orde Baru, akan tetapi perlawanan tersebut distigma sebagai Gerombolan Pengacau Keamanan yang ingin menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi lain. Stigma negatif ini sebagai bentuk upaya rezim Orde Baru dalam meminggirkan peran Islam politik dalam pentas politik nasional. Pada masa reformasi telah dilakukan upaya untuk menghilangkan stigma negatif tersebut, akan tetapi sampai saat ini stigma sebagai komunitas pengacau keamanan tetap disandangnya. Masalahnya adalah : Mengapa di dalam struktur politik yang terbuka di era demokratisasi saat ini stigmatisasi terhadap perlawanan komunitas Talangsari tidak mampu dihilangkan secara substansif ?.

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan : (1) kondisi-kondisi hubungan agraria yang menjadi pemicu utama terjadinya perlawanan komunitas Talangsari, (2) saling keterkaitan di antara unsur-unsur yang mendukung dilancarkannya aksi perlawanan komunitas petani Talangsari, (3) menjelaskan proses stigmatisasi

yang dilakukan oleh rezim Orde Baru terhadap komunitas Talangsari, (4) Seberapa jauh gerakan kolektif komunitas Warsidi di Talangsari mempunyai

kesamaan dengan gerakan kelompok non action mission (kelompok sempalan) lainnya ?

Penelitian ini sengaja dilakukan di komunitas Talangsari berdasarkan kreteria tertentu, menggunakan paradigma kritis, dengan desain studi kasus terhadap komunitas Talangsari, sebagai konsekuensinya adalah digunakan metode kualitatif. Data dikumpulkan dengan wawancara mendalam, dokumentasi, observasi dan data sekunder. Sumber data diperoleh dari komunitas Talangsari yang masih hidup dan berdomisili di dusun Talangsari, instansi pemerintah. Prosesdan analisis data mengikuti tahapan reduksi data dan klasifikasi berdasarkan kategori yang dibangun oleh konsep, selanjutnya dibuat hubungan antar konsep.

(5)

melakukan intervensi dalam bentuk tindakan. Oleh sebab itu dalam kamus politik rezim Orde Baru, upaya stigmatisasi terhadap kekuatan Islam politik adalah dengan memunculkan kasus melalui program operasi khusus (Opsus). Adapun yang menjadi tujuan rezim Orde Baru adalah agar kekuatan Islam politik tidak muncul dalam pentas politik nasional, Islam hanya sebatas ritual.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pertama, adanya ketegangan struktural antara petani dengan otoritas kawasan hutan register 38 Gunung balak, yang merupakan prakondisi utama munculnya perlawanan komunitas petani Talangsari. Kondisi ini dipicu oleh kebijakan pembangunan yang tidak responsif terhadap kepentingan petani. Kedua, adanya aktor supra lokal yang ikut berperan menggerakkan petani untuk melakukan perlawanan, aktor supra lokal yang dimaksud adalah kekuatan di luar komunitas Warsidi tetapi mempunyai agenda lain yang tujuan jangka panjangnya untuk melemahkan posisi Islam politik di pentas politik nasional. Ketiga, adanya pelabelan komunitas petani Talangsari sebagai Gerombolan Pengacau Keamananan yang menggunakan ideologi Islam (Jihad) sebagai basis gerakan yang berhasil melumpuhkan kolektivitas gerakan petani. Keempat, Gerakan perlawanan komunitas Warsidi di Talangsari adalah gerakan yang muncul atas dasar kepentingan ekonomi, yang dilabel sebagai gerakan keagamaan yang menjadikan ideologi jihad sebagai basis gerakan, sedangkan perlawanan komunitas Moro di Filipina adalah gerakan perlawanan yang menuntut kemerdekaan politik (politik Islam) dalam bentuk negara merdeka.

(6)

SUMMARY

Mawardi M. J. Dissertation Farmers Resistance Against Agricultural Injustice In a stigma as a Security Disturber Horde: A Study on Talangsari East Lampung community. Under direction of TITIK SUMARTI, LALA M. KOLOPAKING and ENDRIATMO SOETARTO.

Talangsari community of resistance/ Talangsari tragedy is the product of New Order political manipulation that spawned a stigma as a Security Disturber Horde who wanted to replace the ideology of Pancasila with other ideology. This negative stigma as a form of attempt of the New Order regime to marginalize the role of political Islam in the national political stage. In the reformation period has made efforts to eliminate the negative stigma, but until now stigma as a security vandals still adheres. The problem is: Why in the political structure that is open in the current democratic era stigmatization of Talangsari community resistance not able to be removed substantively?.

The purpose of this research was : (1) the conditions of agrarian relations which became the principal cause of Talangsari community resistance, (2) the interplay of the elements that support the launching of resistance action of Talangsari farmer community (3) describes the process of stigmatization carried out by New Order regime against Talangsari community, (4) How far the resistance movement farmers in Talangsari have in common with the other groups (non action mission)

This research was deliberately done in the Talangsari community based on certain criteria, using the critical paradigm, with the design of case study of Talangsari community, as a consequence is used qualitative method. Data were collected by deep interview, documentation, observation and secondary data. Source of data obtained from Talangsari community that is still alive and living in the hamlet Talangsari, government agencies. Process and analysis of data followed the phases of data reduction and classification based category which constructed by the concept, and then made the relationship between concepts.

(7)

The result showed that, first, the structural tension between farmers and authorities of forest area Register 38 Gunung Balak, which is the main precondition emergence of resistance of Talangsari farmer community. This condition is triggered by development policy that is not responsive to the interest of farmer. Second, the local supraactor who participate mobilize farmer to resist, local actor in question is the intelligence of New Order regime which his long-term goal to weaken the position of political Islam in the national political stage. Third, the labeling of the Talangsari farmer community as a Security Disturber Horde which uses the ideology of Islam (Jihad) as the base move who succeessful immobilise colective movement farmers. Fourth, Resistance movement Warsidi community in Talangsari is a appearing on the basis of the economic (agrarian) interest who was tagged as religiuos that made Islam ideologi (jihad) as the base movement, while resistance Moro community in the Phillippines is resistance movement independence politicsin the form of independence (Islamic state).

(8)

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2016

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipannya hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan lain suatu masalah; Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(9)

AGRARIA DALAM STIGMA GEROMBOLAN

PENGACAU KEAMANAN

(Studi Pada Masyarakat Talangsari Lampung Timur)

M. MAWARDI J

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA. Dr. Sofyan Sjaf, M. Si.

Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Sofyan Sjaf, M. Si.

(11)

AGRARIA DALAM STIGMA GEROMBOLAN PENGACAU KEAMANAN (Studi Pada Masyarakat Talangsari Lampung Timur)

Nama : M. Mawardi J

NPM : I363110031

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Titik Sumarti, MS. Ketua

Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS Anggota

Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA. Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD)

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr.

Tanggal Ujian...

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(12)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas berkat rakmat dan karunia-Nya disertasi ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 sampai Desember 2014. Proses penelitian ini relatif berlangsung lama dan merupakan penelitian kasus perlawanan petani yang terjadi pada tahun 1989 yang menggunakan pendekatan kritis. Oleh sebab ituuntuk mendapatkan data yang komprehensif dalam perpektif emik diperlukan waktu relatif lama.

Pada kesempatan ini ucapan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang tinggi penulis sampaikan pertama-tama kepada komisi pembimbing Dr. Ir. Titik Sumarti, MS., sebagai ketua dan masing-masing kepada Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS. dan Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA sebagai anggota atas bimbingannya sejak menyusun proposal hingga selesainya penyusunan disertasi ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada bapak Sukidi mantan Kepala dusun Talangsari III dan bapak Muhadi selaku warga Talangsari yang telah menyediakan tempat tinggal dan membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta keluarga, atas doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2016

(13)

DAFTAR MATRIK DAFTAR TABEL

1. PENDAHULUAN 1

Latar Belakang Masalah 1

Permasalahan 7

Tujuan penelitian 8

Manfaat Penelitian 8

Ruang Lingkup Penelitian 9

Kebaharuan (novelty) 9

2. TINJAUAN PUSTAKA 10

Beberapa Penelitian Perlawanan Petani 10

Beberapa Gerakan Sempalan Non Mainstrem 14

Gerakan Sempalan Radikal 14

Gerakan Sempalan Messianistik 15

Gerakan Sempalan Thaumaturgical 16

Konsep dan Kerangka Teoritik 17

Perlawanan Petani 17

Faktor-faktor Penyebab Perlawanan Petani 20

Teori Tindakan Kolektif 22

Komponen dalam Tindakan Kolektif (Tilly & Smelser) 22 Faktor-faktor Pendukung Tindakan Kolektif 25

Teori Labeling (Penjulukan) 31

Latar Belakang dan Perkembangannya 31

Elemen-elemen Dasar Teori Labeling 35

Kerangka Pemikiran 37

3 Metodologi Penelitian 40

Paradigma Penelitian 40

Pokok dan Konsep Penelitian 41

Lokasi Penelitian 42

Metode Penelitian 42

Pendekatan Utama: Sosiologi Sejarah dan sejarah sosiologi 43

Metode Kasus 43

Studi Riwayat Hidup Individu 43

(14)

Riwayat Hidup Peneliti 44

Studi Sejarah Lokal 45

Metode Pengumpulan Data 45

Wawancara Mendalam dan Observasi 46

Dokumentasi 46

Analisa Data 46

4 Sosio-Historis Lampung dan Kebijakan Agraria 47

Sosio-Historis Lampung 47

Lampung Pada Masa Pra-Kolonial 47

Falsafah Hidup dan Struktur Masyarakat Adat 49

Lampung Sebagai Buffer Zone Jawa 50

Heterogenisitas Masyarakat Lampung 51

Petani dan Struktur Penguasaan Agraria 53

Kebijakan Agraria kolonial 53

Program Transmigrasi Masa Kolonial 54

Pertumbuhan Penduduk Masa Orde Lama 57

Pertumbuhan Penduduk Masa Orde Baru 58

Kebijakan Agraria 60

Register 38 Gunung Balak Lampung Timur 60 Kebijakan Agraria di Register 38 Gunung Balak Masa Kolonial 61

Kebijakan Agraria di Register 38 Gunung Balak Masa Orde Lama 64

5 Talangsari III: Bertahan dalam Himpitan Stigma 70

Sejarah Dusun Talangsari III 70

Kondisi Demografi Dusun Talangsari III 73

Kehidupan Keagamaan di Dusun Talangsari III 76

Keadaan Sosial-Ekonomi Dusun Talangsari III 79

Struktur Sosial Masyarakat Dusun Talangsari III 82

6 Perlawanan Komunitas Petani Di Talangsari 85

Kepentingan Ekonomi Dalam Perlawanan petani 85

Pengorganisasian dalam Perlawanan Petani 90

Mobilisasi Sumber Daya dalam Perlawanan Petani 95

(15)

Dalam Perlawanan Petani 109

Penyimpangan Perilaku Komunitas Warsidi di Talangsari 111

Pelabelan Terhadap Penyimpangan Komunitas Warsidi di Talangsari 113 Pelabelan (Stigmatisasi) melalui Kekuasaan oleh Negara 115

Pelabelan (Stigmatisasi) oleh Partai Politik 119

Golongan Karya (Golkar) 120

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 121

Partai Demokrasi Indonesia (PDI) 123

Pelabelan (Stigmatisasi) oleh Organisasi Sosial/Keagamaan 124

Majelis Ulama Indonesia (MUI) 124

Nahdlatul Ulama (NU) 125

Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) 127

Komite Nasional pemuda Indonesia (KNPI) 128 Pelabelan (Stigmatisasi) Melalui Propaganda Media Massa 129

Penangkapan Anggota dan Aktor Gerombolan 132

Gerakan Komunitas Moro di Filipina 135

7 Pelumpuhan Gerakan Kolektivitas Perlawanan Petani Terhadap Ketidakadilan

Agraria Melalui Rekayasa Pelabelan 137

Pelabelan Gerakan Kolektivitas Petani 138

Ketegangan Struktural 139

Peluang 141

Mobilisasi Motivasi 141

Kontrol Sosial/Represi 142

Temuan Teoritik 144

Sumbangan Tilly dalam Teori Tindakan Kolektif 145

Aksi Kolektif 146

Mobilisasi Sosial 146

8 Simpulan, Saran dan Epilog 148

Simpulan 148

Saran 149

Epilog 150

Daftar Pustaka 154

(16)

DAFTAR MATRIK

1. Pokok Penelitian, Unsur Data dan Teknik Pengumpulan Data 41

DAFTAR TABEL

1. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Menurut Tahun 2014 58 2. Jenis Kawasan dan Tingkat Kerusakan Hutan di Provinsi Lampung 2010 59 3. Jumlah Penduduk Menurut Usia di Dusun Talangsari III 73

4. Luas Lahan yang Dimiliki Petani di Dusun Talangsari III, Tahun 2013 73

(17)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Akhir–akhir ini isu terorisme internasional menjadi kejahatan yang banyak diberitakan media online di seluruh dunia, yakni mencapai 104. 061 kali atau mencapai 78,2 persen dari enam topik (terorisme internasional, perdagangan narkoba, perdagangan manusia, kejahatan siber, penyelundupan manusia, dan penyelundupan senjata) yang masuk dalam kategori kejahatan internasioanal. Media internasional memberikan atensi pada pergerakan kelompok radikal ISIS, Taliban, Bako Haram, Al-Shahab dan gerakan radikalime Islam lainnya, terlebih selepas serangan di Paris bulan November 2015 dan serangan bom Belgia pada bulan Maret 2016 yang mengatasnamakan agama dari Islamic State-ISIS. (Kompas, 24Maret 2016).

Pantauan Intelligence Media Management, isu global terorisme ini melibatkan para pemimpin negara-negara besar, seperti Amerika Serikat, Perancis, Israel, Autralia dan Inggris. Donald Trump, kandidat pavorit bagi calon Presiden Amerika Serikat dari partai Republik telah mengubah sasaran serangannya, dari stigmatisasi terhadap emigran Amerika Latin menjadi serangan primer terhadap kaum muslim. Hal ini nampak pada seruan terbarunya melarang kaum muslim masuk ke Amerika Serikat, bahkan bagi warga Amerika Serikat yang beragama Islam yang dilabel sebagai teroris, yang secara tidak langsung telah mengkategorisasikan 1,5 milyar umat Muslim di dunia berpotensi sebagai teroris dan berperilaku radikal. (Kompas, 8 Desember 2015)

Padahal terorisme hanyalah isu yang sengaja dikaitkan dengan keyakinan Islam yang benar. Perang melawan teroris merupakan agenda besar Amerika Serikat untuk melanggengkan hegemoninya, teroris dalam pandangan mereka adalah pihak-pihak yang tidak setuju dengan nilai-nilai barat dan menentang Amerika.Mantan presiden Bush mengatakan“Ether you are with us, or you are with terrorist‖, padahal Islam dengan jelas tidak mungkin sejalan dengan nilai -nilai barat, maka harus dimusuhi dan dilabel sebagai teroris.

Sifat setiap ideologi yang berkuasa adalah mempertahankan kekuasaannya, maka ia tidak memberikan ruang apabila ada potensi ideologi lain yang akan merongrongnya. Jika dikorelasikan dengan Indonesia, negeri berpenduduk muslim terbesar (12,7 persen dari populasi penduduk dunia) pastinya dipandang sebagai ancaman serius bagi ideologi kapitalisme pimpinan Amerika apabila ideologi Islam bangkit di negeri ini. Oleh sebab itu perlu dihalangi, bagi individu maupun komunitas Islam yang jelas-jelas memperjuangkan tegaknya ideologi Islam. Salah satunya adalah memberikan stigma sebagai teroris padanya agar umat menjauhinya dan kemudian diharapkan menjahui apa saja yang disuarakannya, misalnya memberi stigma teroris kepada Ba‘asyir (pimpinan

Jama‘ah Anshorut Tauhid) karena ia sosok yang begitu lantang menyerukan agar

syari‘ah Islam diterapkan secara kafah dalam segala aspek kehidupan.

(18)

2

seteru yang kemudian menjadi permanen dengan adanya kalaborasi Logika Huntington bertitik tolak dari gaya pandang realisme yang memandang politik dunia sebagai perebutan kekuasaan.Mujani (2004) mencoba melacak akar genealogis dari Islam Radikal dalam berbagai sudut pandang yang linier dengan teori Huntington di atas, dalam menganalisis keterkaitan Islam radikal dan demokrasi di Indonesia, keberadaan Islam Radikal bukan fenomena yang genuine lahir di Indonesia, akan tetapi kental dengan pengaruh-pengaruh eksternal dari Timur Tengah dan keberadaan gagasan ―Islamisme‖ yang mereka bawa pun tidak sepenuhnya mencerminkan ke-Indonesiaan.

Ada dua hal yang menjadi faktor munculnya radikalisme dan tindakan teror di Indonesia ; Pertama, warisan sejarah umat Islam yang konfliktual dengan rezim, karena ada modus-modus penindasan politik Islam yang terjadi pada beberapa fragmen sejarah, khususnya Orde Baru. Kelompok yang termarjinalkan secara historis tersebut, dengan kesadaran sejarah, mencoba mengembalikan posisi politik Islam melalui instrumen non-negara dan struktural. Dalam konteks global, adanya marjinalisasi politik Islam oleh hegemoni dalam politik internasional (Amerika Serikat) menyebabkan adanya kesadaran untuk mengembalikan daulat politik Islam. Transnasionalisme membawa kesadaran tersebut ke Indonesia dalam bentuk gerakan-gerakan politik Islam. Kedua, fenomena ekonomi-politik. Radikalisme muncul karena ekses kapitalisme yang menciptakan mereka yang tidak memiliki akses pada sumber-sumber modal, yang dalam bahasa ekonomi-politik, pendekatan ini dikenal dengan ―pendekatan kelas‖. Artinya, respons radikalisme pada dasarnya adalah respons kelas untuk melawan hegemoni kapital yang oligarkis dengan negara.

Lebih lagi ketika rezim Orde Baru kemudian mengambil alih peran sebagai pemilik sumber daya dan secara represif melakukan subordinasi kepada kelompok-kelompok yang berpotensi menjadi oposisi terhadap sentralisme peran negara. Menurut Hadiz (2004) memberikan analisis terhadap kemunculan gerakan-gerakan yang dinilai Islam radikal. Orde Baru, dengan perangkat-perangkat birokrasi, baik dalam jenis militer maupun sipil, mentransformasikan diri menjadi rezim otoritarian dengan cara menindas kekuatan-kekuatan yang berpotensi

menjadi oposisi. Komunisme dijadikan ideologi terlarang yang berantas sampai keakar-akarnya. Nasionalisme sebagai kekuatan terkuat pasca 1955, rezim otoriter Orde Baru mempersempit ruang geraknya dengan membungkam hak politik tokoh-tokohnya bahkan memenjarakan mereka.

Islam menjadi kekuatan tersisa yang tidak dapat dihabisi oleh rezim karena memiliki basis kultural yang sangat kuat. Untuk melakukan subordinasi terhadap

kekuatan Islam, lahirlah diskursus mengenai ―Islam Radikal‖. Kasus pertama yang dimunculkan oleh rezim Orde Baru adalah Komando Jihad (pembajakan pesawat Woyla) yang disinyalir sebagai aksi terorisme pertama di Indonesia. Kemudian, lahirlah kasus-kasus lain yang sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari kepentingan politik Orde Baru.

Di sisi lain, borjuasi yang pada hakikatnya dibangun atas hubungan patrimonial antara negara dan pasar juga melahirkan disparitas dan kekecewaan di akar rumput. Sehingga, basis sosial dari kelompok yang disebut oleh Orde Baru

(19)

titik ini, Hadiz (2004) memberikan sebuah tesis: “Islam Radikal pada hakikatnya dilahirkan oleh Orde Baru‖. Kelahiran terorisme merupakan sebuah proses panjang dari turbulensi sosial dan politik yang mencuat karena rezim Orde Baru yang begitu represif telah menggunakan peran-perannya untuk menekan Islam sebagai kekuatan politik di Indonesia.

Dengan demikian, radikalisme dibaca sebagai potret kesadaran sejarah yang berpadu dengan kesadaran kelas yang dimiliki oleh masyarakat Islam tidak terkecuali pada komunitas Warsidi di Talangsari, oleh sebab itu penting melihat perlawanan komunitas Warsidi di Talangsari pada tahun 1989.Sebuah perlawanan petani yang ditumpas secara paksa oleh militer rezim Orde Baru yang berkekuatan tiga peleton tentara, lima puluh orang anggota satuan Brigade Mobil (Brimob) pada selasa 07 Februari 1989 dan dilumpuhkan melalui pelabelan sebagai gerombolan pengacau keamanan.Penumpasan inimerupakan puncak ketegangan antara komunitas tersebut dengan otoritas pemerintah setempat yang mengakibatkan tewasnya 246 orang anggota komunitasdan membawa trauma yang berkepanjangan serta penderitaan terhadap anak keturunan masyarakat dusun Talangsari hingga hari ini. Peristiwa tersebut menjadi perhatian dari berbagai media massa baik lokal maupun nasional, bahkan menjadi berita yang menarik bagi dunia internasional. (Fadilasari, 2007 : 72)

Rezim Orde Baru menganggap mereka sebagai kelompok pemberontak yang ingin merongrong kedaulatan negara dengan menggantikan ideologi

Pancasila dengan ideologi lain. Presiden Soeharto dalam pernyataannya ; ―mereka

adalahgerombolan pengacau keamanan yang menyalahgunakan agama (Islam) untuk kepentingan yang sesungguhnya bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. (Angkatan Bersenjata, 13 Februari 1989). Akibatnya anak keturunan masyarakat dusun Talangsari memperoleh perlakuan yang diskriminatif mulai dari sikap sinis hingga diperlakukan tidak adil (hilang hak sebagai warga negara), seperti ditolaknya anak-anak korban Talangsari untuk mendapatkan pendidikan sekolah negeri sehingga harus terpaksa sekolah di luar Lampung, setiap orang yang menggunakan identitas Talangsarimaka akan memperoleh kesulitan dalam memperoleh pekerjaan baik di instansi swasta lebih lagi di instansi pemerintah, tidak diperkenankannya mengikuti kompetisi di ajang-ajang pemilihan kepemimpinan pada tingkat lokal (desa) sekalipun.

(20)

4

Perlawanan itu sendiri merupakan rangkaian panjang dari perlawanan sebelumnya, setelah mereka terusir dari hutan lindung register 38 Gunung Balak akibat adanya kebijakan untuk memfungsikan kembali waduk Way Jepara yang diestimasikan dapat mengairi lahan seluas kurang lebih 7.000 hektar. Perlawanan komunitas Warsidi di Talangsari pada tahun 1989, bisa dimengerti, karena sebagai kolektivitas petani membutuhkan kenyamanan hidup, kelayakan dalam memanfaatkan sumber daya agraria (tanah), keamanan memiliki akses tanah, dengan kata lain bagi petani tanah mempunyai arti yang sangat penting, baik sebagai sumber kehidupan maupun sebagai penentu tinggi rendahnya status sosial dalam masyarakat. Menurut Flor (2002, 15) bahwa; tanah pertanian bagi petani bersifat multi dimensi, yakni sebagai sumber mata pencaharian, sumber tata kehidupan, bernilai magis religio-kosmis, sebagai identitas, martabat, power, dan bahkan ideologis.

Perlawanan bermula saatpemerintah Orde Baru berencana membangun proyek waduk Danau Way Jepara berikut saluran irigasi yang diestimasi dapat mengairi 7.000 hektar lahan pertanian (persawahan), dan telah dilakukan survei kelayakan oleh Direktorat Jendral Agraria Bersama SAE (Survey Agro Ekonomi)bahwa penggunaan lahan di bagian hulu danau Way Jepara membahayakan ketersediaan sumber air danau yang berasal dari sekitar ―Rawa

Way Abar‖. Hal ini kemudian memunculkan gagasan untuk melakukan tindakan

relokasi dalam upaya melestarikan daerah tangkapan air (water catchment area) untuk melindungi sumber-sumber air Danau Way Jepara, rencana relokasi penduduk memunculkan kegerahan dan ketidaknyamanan di kalangan petani.

Upaya perelokasian penduduk dari area register 38 Gunung Balak secara besar-besaran dengan paksaan demi pembangunan sarana irigasi telah mengakibatkan munculnya berbagai bentuk perlawanan yang dilakukan oleh petani dalam mempertahankan subsistensinya, padahal petani adalah komunitas yang menyukai harmoni sekaligus senang mempertahankan tradisi yang diyakini telah menjamin kelangsungan hidupnya. Namun ketika ada kebijakan penguasa yang mengancam keamanan subsistensinya, petani bisa dipastikan akan melakukan perlawanan bahkan melakukan tindakan yang mengarah pada radikal.

(21)

Kondisi inilah yang menjadi awal munculnya bibit-bibit perlawanan dari petani. Hal ini tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh rezim otoriter Orde Baru, dalam upaya untuk meningkatkan ketersediaan pangan dengan memaksa petani untuk melepaskan lahan mereka yang selama ini menjadi tumpuan dan sumber kehidupannya. Pengusiran penduduk secara paksa oleh rezim kekuasan telah melahirkan kegerahan dan reaksi keras dari kalangan petani di register 38 Gunung Balak Lampung Timur.Muncul kolektivitas di kalangan petani untuk mempertahankan hak-haknya atas tanah dan lahan garapan yang selama ini sudah ditempati dan menopang kehidupannya. Kolektivitas dan solidaritas yang dilandasi adanya kepentingan bersama ini semakin menguat dan intensif, lebih lagi di Talangsari hadirnya pemimpin (Warsidi) yang mempunyai kewibawaan dan kharisma sehingga mempersubur kepemimpinan yang potensial untuk melakukan tindakan perlawanan dalam berbagai bentuk.

Kolektivitas di kalangan petani semakin solid karena mereka dihadapkan pada musuh bersama, yakni aparatus daerah yang merupakan perpanjangan tangan dari kekuasan pusat di Jakarta dalam rangka mengamankan dan mengawal program pemerintah sebagaimana dalam repelita satu, selain itu perasaan senasib sebagai orang yang terusir semakin memperkokoh kolektivitas diantara sesama petani, meskipun sebelum adanya rencana pemerintah untuk merelokasi mereka dari kawasan register 38 Gunung Balak tidak jarang mereka mengalami persaingan hidup dalam memperoleh lahan garapan. Dengan kata lain kolektivitas petani sebelum adanya rencana perelokasian dari kawasan register 38 Gunung Balak tercerai berai/renggang akibat kepentingan masing-masing menjadi kuat dalam upaya mempertahankan kepemilikan dan pentingnya penguasaan tanah. Pentingnya penguasaan tanah bagi seseorang dengan sendirinya akan mendorong munculnya upaya untuk mempertahankan hak-hak atas tanah dari setiap intervensi pihak luar. Sumber daya agraria (tanah) juga mencerminkan bentuk dasar kemakmuran sebagai sumber kekuasaan ekonomi politik, serta mencerminkan hubungan dan stratifikasi sosial. Falsafah Jawa menurut Zam (75 thn)

shadhumuk bathuk sanyari bumi, yen perlu ditohi mati‖ menunjukkan betapa eratnya hubungan antara manusia dan tanah yang dimilikinya.

Setiap jengkal tanah merupakan harga diri yang akan dipertahankan mati-matian dengan seluruh jiwa raga.Hal ini pada gilirannya selalu menimbulkan konflik, konflik perebutan dan perjuangan atas tanah akan selalu terjadi. Hal ini terbukti sampai saat ini masalah tanah masih saja menjadi persoalan yang sering kali memunculkan perlawanan dari rakyat. Bentuk perlawanan bermacam-macam, ada yang bersifat individual maupun kolektif, hanya sekedar berunjuk rasa atau bahkan melakukan pemberontakan.

(22)

6

Upaya untuk memadamkan gerakan perlawanan petani dengan melakukan stigmatisasi sebagai pemberontak/pembangkang pernah dilakukan dalam kasus Kedung Ombo pada tahun 1985, akibat adanya pembangunan Waduk Kedung Ombo yang menggenangi wilayah yang tanahnya sangat subur seluas 6.125 hektar (Stanley 1994). Demikian pula yang terjadi dalam pembangunan Waduk Nipah di Madura, memunculkan perlawanan petani ketika melihat tanah-tanah mereka akan dijadikan waduk, lebih lagi di lahan mereka terdapat kuburan-kuburan para leluhur.(Ratna, 2005). Namun kedua perlawanan petani tersebut tidak memiliki ekses yang berkepanjangan terhadap anak keturunan sebagaimana perlawanan yang terjadi di Talangsari.

Negara orde baru sangat berkepentingan dengan beberapa kasus yang berkaitan dengan gerakan Islam politik, sejak awal gejala yang muncul dari adanya kekalahan Partai Komunis Indonesia (PKI) membuat politik umat Islam mendapatkan angin segar, dan ditangkap gejala tersebut oleh pemerintah dengan satu prediksi bahwa politik umat Islam memiliki kecenderungan hendak memperkuat posisinya, dimana kekuatan tersebut yang akan menghancurkan cita-cita nasionalisme sekuler yang telah menjadikan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Oleh sebab itu, upaya untuk memberi label setiap gerakan yang mengusung legalitas-formalisme Islam senantiasa dilakukan oleh negara untuk memberi citra buruk terhadap Islam politik yang sekaligus menyingkirkan Islam politik dari arena politik nasional.Islam politik dianggap sebagai ancaman dan sumber konflik yang dapat mengganggu stabilitas politik di Indonesia. (Allan A. Samson 1985 : 158).

Pemerintah melakukan labelisasi untuk melemahkan dan sekaligus melumpuhkan kolektivitas yang selama ini terkonsolidasi dengan melakukan penetrasi dalam setiap gerakan perlawanan baik dari mobilisasi aktivasi, pengorganisasian dan memunculkan ketegangan struktural, serta membelokkan arah tujuan gerakan perlawanan yang semula untuk mempertahankan dan memperoleh hak atas kepemilikan dan penguasaan lahan menjadi gerakan perlawanan dengan tujuan untuk mendirikan perkampungan muslim di Lampung (negara dalam negara). Melalui media masapemerintah pusat melakukan pembentukan opini dan pencucian otak melalui corong-corong kekuasaan dan pengkooptasian terhadap tokoh-tokoh lokal dan nasional, sehingga fakta perlawanan petani berbeda dengan yang sebenarnya terjadi. Opini yang terbangun di kalangan masyarakat adalah kebenaran kekejaman di luar perikemanusiaan yang dilakukan oleh komunitas Warsidi di Talangsari terhadap aparatur setempat dengan melakukan pemberontakan .

(23)

Permasalahan

Stigmatisasi terhadap komunitas Talangsari sebagai gerombolan pengacau keamanan merupakan salah satu upaya negara dalam melumpuhkan kolektivitas petani yang selama ini dianggap sebagai komunitas penentang program perelokasian penduduk dari hutan register 38 Gunung Balak dalam upaya memfungsikan kembali waduk Way Jepara, sekaligus upaya mendekonstruksi kekuatan Islam politik yang dianggap dapat mengancam kelanggengan eksistensi penguasa. Proses dominasi melalui distorsi sejarah ini dapat berjalan mulus selama puluhan tahun tanpa disadari, bahkan dianggap sebagai sebuah dasar kebenaran. Walau sebetulnya, semua ini adalah suatu rangkaian realitas palsu. Berdasarkan hal tersebut, penulis menkonstruksi ulang perlawanan komunitas Talangsari melalui beberapa pertanyaan berikut;

1. Mengapa tindakan perlawanandijadikan sebagai pilihan bagi komunitas Warsidi di Talangsari dalam menyelesaikan ketidakadilan agraria padahal media penyelesaian lainnya masih tersedia ?

2. Mengapa kekuasaan (negara) memerlukan pembentukan opini dalam bentuk labelling, konsolidasi kekuasaan danmerangkul tokoh-tokoh lokal masyarakat untuk melumpuhkan kolektivitas komunitas Warsidi di Talangsari ?

3. Seberapa jauh gerakan kolektif komunitas Warsidi di Talangsari mempunyai kesamaan dengan gerakan kelompok non action mission (kelompok sempalan) lainnya ?

Tujuan Penelitian

Pada umumnya penguasa ingin melanggengkan kekuasaannya, dan salah satu cara untuk mencapainya adalah dengan menempatkan rakyatnya sebagai musuh negara. Negara secara sistematis melakukan stigmatisasi yang menempatkan rakyat sebagai musuh negara dan musuh rakyat, sehingga negara memiliki justifikasi untuk memberangusnya.

Salah satu yang ditempatkan oleh rezim Orde Baru sebagai musuh negara setelah hancurnya kekuatan kiri (PKI) adalah ekstrim kanan (Islam radikal)

diantaranya ―komunitas Talangsari‖ yang selanjutnya diberi stigma sebagai gerombolan pengacau keamanan. Penelitian ini bertujuan :

1. Menganalisis pilihan tindakan perlawananoleh komunitas Warsidi di Talangsari dalam menyelesaikan persoalan ketidakadilan agraria yang mereka dapatkan padahal media penyelesaian lainnya masih tersedia.

2. Menganalisis pembentukan opini dalam bentuk labelling, konsolidasi kekuasaan dan merangkul tokoh-tokoh lokal masyarakat oleh negara dalam melumpuhkan kolektivitas komunitas Warsidi di Talangsari.

(24)

8

Manfaat Penelitian

Pada tataran akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi pengetahuan tentang aspek-aspek penting dalam perlawanan petani terutama dalam sosiologi pedesaan dapat menambah pengetahuan tentang gerakan petani yang berbasis pada persoalan agraria dan upaya stigmatisasi yang dilakukan oleh kekuatan supra struktur desa. Akhirnya pada tataran keilmuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan teoritis tentang perlawanan petani dan pelabelan oleh kekuatan di luar petani.

Pada tataran praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat: (1) dipergunakan untuk mengevaluasi kebijakan pembangunan agraria di pedesaan agar tidak menimbulkan kegerahan bagi petani serta kewaspadaan petani terhadap intervensi kekuatan supra desa. (2) tidak menjadikan kekuatan Islam politik sebagai alat untuk memecah-belah persatuan dengan membenturkan ideologi Islam dengan ideologi Pancasila.

Ruang Lingkup Penelitian

Untuk memfokuskan analisis dan pembahasan dalam studi perlawanan petani terhadap ketidakadilan agraria yang dilabeli sebagai gerombolan pengacau keamanan, maka ditetapkan batas-batas analisis sebagai berikut :

1. Perlawanan petani yang dikaji meliputi latar belakang munculnya penyebab tindakan perlawanan yang dilakukan oleh petani, realitas struktur hubungan agraria terkonstruksi sehingga menjadi prakondisi utama munculnya perlawanan petani. Hubungan yang memunculkan adanya ketegangan serta memberi peluang munculnya tindakan kolektive petani. Secara khusus akan dipaparkan pada persoalan penguasaan tanah masyarakat (di register 38 Gunung Balak) berkaitan dengan kebijakan negara untuk memfungsikan kembali waduk Way Jepara sebagai perwujudan peningkatan kesejahteraan hidup petani

2. Sejauh mana upaya labelisasi/pelumpuhan terhadap perlawanan petani dan gerakan Islam Radikal dengan melakukan pengkooptasian terhadap tokoh-tokoh lakan dan pemberangusan media massa sebagai control social. Persoalan ini berhubungan dengan kondisi-kondisi yang menunjukkan kemampuan negara dalam melumpuhkan gerakan perlawanan petani dan Islam radikal dengan berbagai kekuatan yang dimiliki.

(25)

Kebaharuan (Novelty)

Kebaharuan penelitian ini berada pada temuan lapangan bahwa perlawanan petani terhadap ketidakadilan agraria yang selama ini seringkali dikaitkan dengan kekuatan kiri (Partai Komunis Indonesia), sebagaimanana hasil beberapa studi diantaranya;Kuntowijoyo (1994) melihat bahwa gerakan petani didukung oleh gerakan global kaum komunis yang di Indonesia dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (Kuntowijoyo, 1994 : 11). Demikian pula dengan diselenggarakannya konggres petani pada tanggal 22 – 25 November 1945 yang disponsori oleh Partai Komunis Indonesia di Yogyakarta, melahirkan empat pokok keputusan : 1) modernisasi pertanian, 2) menetapkan harga sewa tanah, 3) melaksanakan land-reform dan 4) melatih kader-kader tani untuk propaganda komunisme. Konggres tersebut menunjukkan bahwa Partai Komunis Indonesia merupakan salah satu partai yang sangat konsen dalam memperjuangkan kepentingan petani, dengan kata lain setiap perjuangan untuk mendapatkan sumber daya agraria tanah (petani), kekuatan kiri ini senantiasa berada dibelakangnya. Ternyata dalam kasus Talangsari perlawanan petani terhadap ketidakadilan agaria dilabel sebagai gerombolan pengacau keamanan, yang berhubungan dengan kekuatan kanan (agama Islam).

2 TINJAUAN PUSTAKA

Beberapa Penelitian Perlawanan Petani

Beberapa tulisan yang membahas tentang perlawanan petani terhadap penguasa sangat signifikan kontribusinya dalam memperkaya tinjauan teoritis yang akan digunakan sebagai pisau analisis dalam disertasi ini. Pemilihan tulisan ditekankan kepada konsep-konsep yang diintrodusirnya yaitu berkaitan dengan resistensi.

(26)

10

pola-pola yang sudah ada, sertamengkhianati sendi-sendi moral ekonomi petani yang didasarkan pada etikasubsistensi.

Lebih lanjut Scott (1981) menjelaskan bahwa tentang perlawanan petani dalam konteks struktural, bahwa struktur agraris yang rapuh dan eksploitatif pada umumnya merupakan produk interaksi antara tiga kekuatan: perubahan demografis, produksi untuk pasar dan pertumbuhan negara. Sementara itu peranan negara dalam memaksakan pelaksanaan kontrak-kontrak melalui pengadilan dan untuk mematahkan perlawanan kaum tani telah memungkinkan para pemilik tanah dan rentenir untuk merenggut keuntungan yang sebesar-besarnya dari kedudukan mereka yang lebih kuat.

Kemerosotanekonomi secara mengejutkan yang disertai dengan peningkataneksploitasi dilakukan oleh negara atau tuan tanah. Eksploitasi yang dilakukan secara berkelanjutan dengan kualitas yang terus meningkat, menimpa banyak petani dan hampir terjadi di seluruh wilayah serta dapat mengancam jaring pengaman sosial mereka atas sumber-sumber subsistensial, maka besar sekali kemungkinan eksploitasi tersebut mencetuskan sebuah aksi perlawanan.

Menurut Scott (1976), tekanan struktural, tekanan kultural hingga kondisi subsistensi petani yang sudah melampaui batas toleransi sudah cukup untuk menjadi pemicu bagi petani untuk melampiaskan kemarahannya terhadap tatanan sosial yang ada. Gerakan-gerakan perlawanan petani, pada bentuk sederhana seringkaliberpusat pada mitos tentang suatu tatanan sosial yang lebih adil dan merataketimbang dengan tatanan sosial yang sekarang bersifat hirarkhis. Lahirnya suatumitos bersama tentang keadilan yang transedental sering dapat menggerakkankaum tani untuk melakukan gerakan sosial. Mitos-mitos seperti inimempersatukan kaum tani hingga mampu membentuk koalisi-koalisi petani,meskipun tidak stabil, sangat rentan dan hanya dipersatukan untuk sementarawaktu oleh suatu impian milenial (Wolf, 1966).

Di Indonesia sendiri, sejumlah penelitian telah dilakukan tentang pokok persoalan ini. Sebelum studi Kartosudirdjotentang Pemberontakan Petani Banten menjelang akhir abad kesembilan belas kebanyakan studi didasarkan pada asumsi bahwa berbagai pemberontakan petani lebih merupakan suatu ledakan fanatisme atau huru-hara menentang pajak. Menurut Begawan sejarah Kartosudirdjo(1984) menguraikan bahwa, gerakan sosial adalah: gerakan perjuangan yang dilakukan oleh golongan sosial tertentu melawan eksploitasi ekonomi, sosial, politik, agama, dan kultural, oleh kelompok penekan, apakah itu penguasa atau negara. Termasuk dalam gerakan semacam ini, diantaranya, adalah kaum petani dan buruh. Peran nilai-nilai agama sangat signifikan dalam pemberontakan petani Banten, meskipun rakyat Banten memiliki tradisi memberontak, tanpa ada legitimasi agama pemberontakan tidak akan pecah, meskipun keresahan sosial sudah memuncak. Doktrin-doktrin keagamaan yang disampaikan Syekh ―Abdullah Al-Karim Al-Bantani‖ yaitu kedatangan Imam Mahdi dalam peringatan terakhir Nabi Muhammad Saw., mendirikan negara Islam (Dar-Al-Islam) dan perang sabil (Jihad fisabilillah) yang kemudian disemaikan oleh murid-muridnya

(27)

mengontrol wilayah jajahan. Salah satu bentuk transformasi tersebutmengejawantah dalam bentuk perkebunan–perkebunan besar. Pengenalan sistempertanian modern dalam bentuk perkebunan berimplikasi pada meningkatnyakebutuhan atas tanah dan tenaga kerja. Penguasaan tanah semakin terlepas daritangan penduduk, mereka yang tidak memiliki tanah beralih menjadi penggarapburuh tani upahan dan buruh perkebunan.Kolonialisme dan masuknya ekonomi uang berangsur-angsur telahmenghapus jaminan sosial yang ada pada masa pra-kapitalis. Transformasi agrariayang terjadi telah menghilangkan jaring pengaman sosial keluarga-keluargapetani miskin dari bencana kelaparan. Kedermawanan sosial yang semula adapada masa bagi hasil, kini tidak lagi berlaku umum. Pemerintah kolonial samasekali tidak memberikan perlindungan kepada para petani miskin terhadapfluktuasi pasar (Kartodirjo, 1984).

Menurut Kamaruddin (2012), Pemberontakan Petani Unra 1943 terhadap penjajah Jepang disebabkan adanya eksploitasi ekonomi, sumber daya alam, dan tenaga kerja, serta tekanan-tekanan dari pihak kekuasaan atau negara. Pemberontakan itu mempunyai pemimpin dan basis ideologi, yakni gerakan tarekat. Prakarsa pemberontakan diambil oleh petani biasa, tokoh tarekat, dan sekaligus tokoh agama yang berada di luar kalangan birokrat desa. Sementara itu, Romdloni (2005) menemukan bahwa latar belakang petani melakukan gerakan lebih didasari atas aspek ekonomi, sejarah kepemilikan tanah, budaya dan agama. Studi Romdloni ini diperkaya oleh penelitian yang dilakukan Safitri (2010), meneliti pola dan strategi gerakan yang dilakukan oleh FP2NB(Forum Paguyuban Petani Kabupaten Batang).Wahyudi (2005) memfokuskan perhatian pada formasi dan struktur gerakan, serta jaringan-jaringan pendukung gerakan petani. Mustain(2007), dalam tulisannya tentang ―Petani vs Negara : Gerakan Sosial

Petani Melawan Hegemoni Negara” menemukan bahwa resistensi yang dilakukan oleh petani dipicu oleh faktor ekonomi ketimpangan kepemilikan tanah. Namun dibalik faktor ekonomi tersebut, secara politik resistensi petani muncul untuk menolak kebijakan negara mengenai masalah penguasaan pertanahan yang cenderung eksploitatif dan mengutamakan pemodal.

(28)

12

Selanjutnya studi yang dilakukan Pratikto (2000), studi ini menempatkan penulis dalam khazanah kajian politik lokal yang terjadi di Kabupaten Gunung Kidul Yogyakarta dengan melihat adanya pergeseran perjuangan melalui gerakan parlementer. Pergeseran tersebut telah membuka dan memberi ruang yang lebih luas bagi aktivis partai di daerah untuk menyesuaikan agenda perjuangan partai dengan situasi yang khas lokal. Gerayak adalah suatu pelebelan yang digunakan oleh aparat kemaanan setempat untuk menyebut sebuah aksi yang dilakukan oleh rakyat yang kelaparan serta dipelopori oleh tokoh-tokoh masyarakat dan guru untuk mencari dan mendapatkan bahan makanan dari orang kaya baik di daerah Gunung Kidul maupun di luar daerahnya.

Demikian pula studi yang dilakukan oleh Kuntowijoyo (1994) tentang radikalisme petani, dalam studi ini Kuntowijoyo melihat bahwa gerakan petani didukung oleh gerakan global kaum komunis yang di Indonesia dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia, serta menganalisis perjalanan para petani, priyayi, politisi, pedagang dan ulama, serta rakyat kecil yang semua berjuang mempertahankan martabat atau berjuang untuk memaknakan kehadirannya.

Sementara itu, hubungan antara pemberontakan petani dengan reforma agraria sudah menjadi perbincangan sejak tahun 1950-an, dalam banyak studi terbaca bahwa kefrustasian mendalam pada umumnya dipandang sebagai faktor pendorong bagi petani untuk berani mengambil resiko, mendirikan atau bergabung dalam serikat petani dan melakukan pemberontakan. Berdasarkan karakter daerahnya, dari mana gerakan atau pemberontakan petani itu bermulamenunjukkan bahwa kawasan tersebut bukanlah kawasan termiskin atau (penduduk) daerah pertanian pelosok, melainkan daerah dimana pembangunan telah menciptakan tumbuhnya kesenjangan.

Adanya pemimpin kharismatik di antara petani sangatlah penting untuk dijadikan sebagai panutan dan perekat disaat berhadapan dengan elit kekuasaan. Kepemimpinan kharismatik yang kuat seperti cerminan sejarah pemberontakan petani diperlukan terutama untuk menggugah keberanian penduduk melawan elit-elit tradisional di samping memobilisasi mereka dalam menentang situasi atas keberadaan tanah yang semakin memburuk. Loyalitas kharismatik dan khususnya terhadap pemimpin-pemimpin yang mampu dan berani telah membawa petani-petani di Jawa dalam perjuangan untuk peningkatan dan perubahan hidup.

(29)

Studi yang dilakukan Purwanto (2008) tentang gerakan perlawanan Jabrak, seorang tuan tanah di Brangkal Mojokerto pada tahun 1912. Sawahnya dikerjakan oleh petani lain dengan sistem nggadu atau maro. Ketika terjadi pemaksaan oleh pihak kolonial untuk mengubah usaha tani yang selama ini ditekuni dengan menanam tebu sebagai komoditas ekspor yang banyak merugikan usaha pertaniannya, maka ia memberontak. Jabrak cepat memperoleh pengikut karena ada ikatan komunal dan homogenial yang kuat. Dalam sistem hubungan patron-klien dimana Jebrak sebagai patron (tuan) dan petani maro sebagai buruh tani menjadi klien (hamba), hubungan saling ketergantungan/simbiosis mutualisma itu begitu kuat.

Ada beberapa hal dari beberapa temuan studi di atas, diantaranya adalah bahwa gerakan perlawanan petani itu senantiasa melibatkan jaringan sebagai pendukung perjuangannya. Peneliti melihat, bahwa tanpa dukungan jaringan maka petani akan powerless. Fenomena semacam ini juga terjadi di Talangsari Lampung Timur. Keberadaan jaringan dalam mendukung gerakan perlawanan petani sangat menentukan keberhasilan perjuangan mereka. Atas dasar rasionalitas yang demikian, maka disamping meneliti tentang gerakan perlawanan petani, studi ini juga melengkapinya dengan gambaran tentang proses terbentuknya struktur jaringan Talangsari.

Beberapa Gerakan Sempalan (non-mainstreim)

Untukmenguraifenomenagerakansempalandikalangan umatIslamdiIndonesia

penulisterlebihdahulumengelaborasipandanganBryanWilson (1998, 430)seorangsosiologasal Inggris, yang menyebutkantentang tipesekteataugerakansempalan. Tipologi ini disusun Wilsonberdasarkansikapsekte-sekte terhadapduniasekitaryangkesemuanyahampir secaranyataterwakilidanberkembang

diIndonesia.Beberapagerakansempalanyangmunculdanberkembangdikalanganum

atIslam diIndonesia

tersebutdiantaranyagerakansempalanradikal,gerakanmessianistik, thaumaturgical.

Gerakan Sempalan Radikal

Gerakan Khawarij adalah gerakansempalanyangpalingawal munculdiduniaIslam. Gerakansempalanini munculjauh-jauhharisebelum adanya modernisasi.KemunculangerakanKhawarijbermuladarikekecewaan para pendukungkekhalifahan Ali bin AbiThalibyang menerimausulperdamaiandaripara musuhmereka,MuawiyyahbinSufyandalamperistiwaShiffin,KhalifahAli

(30)

14

dikemas dengan baik dan tepat oleh para ulama yang kompeten dan bertanggungjawab.

Gerakan sempalan ini berkembang di Indonesia dalam suatu organisasi

besar yaitu NII (Negara Islam Indonesia),

gerakansempalanNIImerupakangerakanbawahtanahyang

tidakpernahpupus.Sejarah mencatatkeberadaanNIIpertamakalidiproklamirkanoleh SekarmajiMarijanKartosuwiryopada07 Agustus1949denganbasisgerakandidaerah Malangbong TasikmalayaJawaBarat.Gerakanserupakemudian meluasdiSulawesi

Selatandengan di

pimpinKaharMuzakarpada20Januari1952.KemudiandisusulpembentukanNIIdi Aceholeh AbuDaudBeureuh pada21 September 1953, bahkan di Lampung gerakan ini pernah berkembang di Way Jepara dan Warsidi diangkat sebagai Camat NII untuk wilayah Way Jepara.

SelainNII,namalainyangsamaadalahDârulIslam.Kelompokinidapatdiangga pgerakansempalan,baikdalamartibahwamereka

tidakdibenarkanolehlembaga-lembaga agamaresmimaupundalam artibahwa

merekamemisahkandiridarimayoritas.Anggapansesatoleh mayoritasumatbukanlah persoalanakidah atau ibadah melainkan amal politik mereka. Seandainyapada tahun 1950-an bukan Republikyang menang tetapiNegara IslamIndonesia(NII)atauDârulIslam,merekalah yangmenentukanortodoksi dan membentuk"mainstream"Islam.Seandainyaitu yang terjadi,tidak mustahilsebagian "mainstream"Islam sekaranginilahyang merekaanggap sebagai"sempalan".

Menurut Al-Chaidar terdapat14faksiyangsetia memperjuangkanberdirinya kembaliNII.SemisalFaksi Abdullah Sungkar, Faksi Abdul Fatah Wiranagapati,Faksi Mahfud Sidik,FaksiAceh,Faksi Sulawesi Selatan,Faksi Madura, Faksi Kahwi 7,FaksiKahwi 9, serta beberapa faksi lainnya.Basis NIIsendiriberadaditiga tempat.UntukwilayahJawa,basis NIIberada di Garut.WilayahSumateraberbasisdiAceh,danuntukbagianIndonesiaTimurberbasis di Sulawesi.JumlahpenganutajaranNIIini telahmencapai sekitar18jutaorang.Berbagai kalanganterlibatdalamkelompokini.Mulaidarirakyat bisa,petani,mahasiswa,militer, hinggapejabat, kesemuanyatersebar diseluruh Indonesiadan AsiaTenggara.

Gerakan Sempalan Messianistik

Gerakan messianistik dikenal pula dalam agama dan kepercayaan selain Islam, misalnya dalam agama Kristen percaya bahwasuatusaatnanti Yesusakan datanglagi. Karenaitu dalamagamaKristenterdapataliran Advent, yangberartikedatangankembali Yesuspadaakhirzaman. Sementara itu dalam agama Hindu, adakepercayaan bahwasuatu saatnanti KrisnayangmenitispadaKalkhiakanmenyelamatkanduniadarikehancuran. Bahkan pada agama-agama dan kepercayaan lokal di Nusantara muncul kepercayaan akandatangnyaRatu AdilatauSatriaPiningit.Jadi,konsepMessianismeini merupakanilhamyangmemiculahirnyagerakansempalan,

(31)

KemunculanMessiah,RatuAdil,ImamMahdiataulainnyadipandangperluunt ukuntukmemberikanjawaban

terhadapmasalahsosialyangmerekahadapi.Sepertihalnya di Indonesia yangdirundungkrisisdanpenderitaanyangkian lamakianterpuruk,kehidupan rakyatmakinmenderita,danorang-orang mengalamifrustasidemifrustasi.Bahkan beberapakaligantipresidendianggap tidakmenambahmakmur tetapimalah terpuruk. Dalamsituasi seperti itu, orangcenderung mencarijawaban yang

palinghebatdanilusif denganmendatangkanjuru

selamat.DidaerahJawa,misalnya,ekspresipsikologisini

nampakdenganadanyakepercayaantentangakanmunculnyaSatria Piningit,sosok yang selamaini tersembunyi dan akanmuncul untukmenyelamatkan kita.

Gerakan Messinistik ini muncul dalam berbagai bentuk aliran keagamaan seperti jama‘ah al-Qadariyah al-Islamiyah. Gerakan ini muncul di Jakarta sekitar tahun 2006 dan berkembang di Yogyakarta, yang menjadi sasaran adalah kelompok mahasiswa yang secara umum merupakan kaum intelektual dalam dunia ilmu pengatahuan tetapi miskin dalam penghayatan keagamaan. Menurut Burhanuddin (2010), pokok-pokok ajaran Al-Qiyadah yang menyimpang dari ajaran Islam antara lain :

Pertama,MerekamenghilangkanRukunIslam yang telahdipegangiolehseluruhKaum Muslimindanjelas-jelas bersumberdarihadits-hadits RasulullahSaw.yang diriwayatkan oleh paraulamaahli hadits yang diterimaoleh seluruh kaum muslimin dari

kalanganAhlussunnah.Kedua,MerekamenganggapbahwapimpinannyaadalahRasulull ahyaitubernamaAl- MasihAl Maw’ud (Al-Masih yang dijanjikan).Ketiga,Menghilangkansyariatshalatlimawaktudalamseharisemalam, dengandigantishalatlail.Bagimerekadalam

duniayangkotorsepertisekaranginisyariatIslam

tidakperluditerapkandandemikiantidaklayakkaummusliminmelakukan shalatlimawaktu.Keempat,Menganggaporangyangtidakmasukkepadakelompoknya danmengakuibahwapemimpin merekaadalah Rasul adalahorangmusyrik.

Aliraninijugaberusahamenyatukanajarantrinitas yangadapadaagamaNasrani dengan mengajarkan bahwa Tuhan Bapak adalah Rab,Yesus adalah Al-Malik, Ruhul QuddusadalahIlah.Inilahbentuk penakwilansesat yang ditengaraisebagaiupaya pembusukan(baca:pemurtadan)dariagamayangbenar.

Gerakan Sempalan Thaumaturgical

Gerakan ini dikategorikansempalanlantaranbersikaprevolusioner

terhadapkaumpenjajahserta kalanganpenguasayang

(32)

16

Islam, sepertiMuslimin-Muslimat(di

JawaBarat).Tentusaja,modelpengembangankekebalan, kesaktian dankekuatan paranormal yang menjadi dayamagisaliranini perludilihatdarisisi kemurnianakidahIslamsebagaiajaransuciyangberdasarpadafondasitauhid.

Konsep dan Kerangka Teoritik

Perlawanan Petani

Sebelum membahas lebih jauh tentang perlawanan petani, terlebih dahulu perlu adanya kesamaan pemahaman tentang petani. Istilah peasant digunakan untuk merujuk kepada semua penduduk pedesaan secara umum, tidak peduli apapun pekerjaan mereka Hart (1986) dan Hefner (1990), sedangkan Scott (1981) dan Hashim (1984) membatasi pengertian petani kepada penduduk pedesaan yang bekerja sebagai petani saja. Batasan tersebut mirip dengan Redfield (1985) yang melingkupi masyarakat petani sebagai sekelompok orang yang sekurang-kurangnya mempunyai kesamaan dalam cara mencari nafkah dan cara hidup yaitu dengan mengolah tanah. Batasan Wolf (1985) menggunakan konsep peasant untuk menunjuk kepada petani yang memiliki tanah dan menggarap sendiri tanah tersebut untuk menghasilkan produk yang digunakan untuk memenuhi keperluan hidupnya, bukan untuk dijual.

Petani dalam studi ini lebih merujuk pada istilah peasant yang mempunyai pengertian sebagai buruh tani, atau petani yang tidak memiliki lahan, atau petani yang hasil produksinya hanya dapat untuk mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya, bukan untuk diperdagangkan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersier.Sedangkan perlawanan petani, mengutip pendapat Wahyudi (2005) menyatakan bahwa perlawanan petani merupakan salah satu jenis dari gerakan sosial, artinya perlawanan petani adalah gerakan sosial yang dilakukan oleh petani. Perlawanan petani merupakan gerakan yang dilakukan oleh sekelompok orang secara kolektif, kontinue dan atau sistematis dengan tujuan untuk mendukung atau menentang keberlakuan tata kehidupan tertentu, dimana mereka memiliki kepentingan didalamnya, baik secara individu, kelompok, komunitas, atau pada level yang lebih tinggi. Resistensi (perlawanan) dikenal sebagai suatu reaksi dari hadirnya dominasi yang kuat terhadap yang lemah. Scott(1981) dalam Domination and the Arts of Resistance menjelaskan resistensi yang dilakukan dalam masyarakat melalui penjelasan antara hubungan kekuasaaan diantara mereka yang berada di posisi dominant yang menguasai dan yang berada diposisi subordinate yang dikuasai atau yang berada di posisi lebih lemah.

(33)

oleh batasan dan kontrol yang ketat. Melacak ruang-ruang ekspresi perlawanan warga atau populer disebut ―arus bawah‖, dengan mengikuti Scott membawa pada konsepsi transkrip tersembunyi” (hidden transcript). Konsep ini merujuk pada diskursus yang terjadi di luar panggung dominasi dan umum tampildalam

―transkrip publik‖ (public transcript), yang memiliki kecenderungan mensubordinasikan pihak rentan.

Scott (2000) dalam bukunya ―Weapons of the Week” Everyday Forms of

Peasant Resistence” menyatakan bahwa perlawanan-perlawanan yang dilakukan kaum tertindas (dalam hal ini petani), mengambil bentuk-bentuk humor, gosip, sinisme, dan akar-akar tradisi lokal. Kesemuanya merupakan sejarah tidak tertulis (unwritten history). Lebih lanjut Scott mengungkapkan bahwa bentuk perlawanan yang berada di luar panggung dominasi akan mengambil bentuk lisan dan tidak formal. Dengan demikian transkrip tersembunyi menampilkan diskursus gestur, omongan, praktek yang tertata di luar transkrip publik, dimana praktek-praktek kekuasaan telah tersubordinasikan. Maka setiap praktek dominasi akan menghasilkan transkrip tersembunyi yang baru pula. Reaksi kaum subordinan dari transkrip tersembunyi adalah melawan kaum elit dominan. Akhirnya terjadi perebutan kekuasaan dan kepentingan. Pada sisi lain ―transkrip tersembunyi‖ yang dihidupkan oleh kaum subordinan sehari-hari adalah upaya perlawanan terhadap gempuran kesadaran palsu dan hegemoni dari kaum elit dominan.

Scott (1981)menawarkan konsep resistensi sebagai konsep negasi, yang menganggap bahwa resistensi tidak sekedar bersumber dari apropriasi basis material tetapi juga berasal dan memiliki karakteristik eksploitasi. Resistensi dalam pemahaman ini berarti pula aktivitas negasi, atau dalam konsepsi perlawanan terhadap ideologi dominan sebagai ―counter ideologi‖. Karena itu elaborasi transkrip tersembunyi tergantung tidak hanya pada penciptaan lokasi fisik yang tidak termonitor dan waktu bebas, akan tetapi juga pada agen-agen manusia yang menciptakan dan mendesiminasikan di antara mereka. Konsep

tersebut sejalan dengan Giddens (1984) tentang ―strukturasi‖, dimana terjadi

hubungan dialektis antara agen sebagai pelaku sejarah dan realitas struktural yang mengkerangkainya. Konsekuensi terobosan pemahaman yang demikianadalah reorientasi terhadap konsep aktor dalam proses politik. Masyarakat bawah haruslah dimengerti sebagai agen dan aktor politik yang sadar dan memiliki kemampuan tertentu untuk memahami dan bertindak atas setiap peristiwa yang ada disekitarnya.

Menurut Scott transkrip tersembunyi memiliki beberapa gagasan yang dapat membangun gerakan perlawanan dalam ruang sosial, diantaranya; pertama, transkrip sembunyi merupakan produk sosial dan hasil dari relasi kekuasaan antara subordinat; kedua, seperti folk, cultur, transkrip tersembunyi tidak memiliki realitas seperti pemikiran murni, keberadaannya hanya perluasan dari praktek, artikulasi, deseminasi di dalam sisi luar panggung sosial; ketiga, ruang sosial antara transkrip tersembunyi tumbuh merupakan upaya sendiri dari resistensi. Dalam kaitan ini ruang-ruang kultural seperti agama, tradisi lokal, ekspresi-ekspresi lisan; humor, gosip, folkore menjadi ruang ekspresi-ekspresi perlawanan dan

ketidakpatuhan. Transkrip tersembunyi muncul karena adanya ―control dan fantasy‖ di masyarakat, kontrol membawa pada kaum subordinan psikologi

(34)

18

rasa frustasi dan tertindas juga menghadirkan fantasi-fantasi tentang kekuasaan dan kepentingan. Kemudian lahirlah ungkapan-ungkapan perlawanan dan tidak menutup kemungkinan berubah menjadi perlawanan ekstrem dalam bentuk kemarahan, amuk dan perlawanan secara fisik.

Ada 3 (tiga) kategori resistensi yaitu bisa dilakukan. Pertama, bersifat individual, spontan dan tidak terorganisasi. Kedua, tujuan resistensi agar ada reaksi dari pihak yang dilawan. Ketiga, resistensi ini bersifat ideologis atau

mengarah pada resistensi simbolis. Berbeda dengan perjuangan yang bersifat ― frontal ― maka resistensi adalah penolakan terhadap sesuatu yang tidak bisa dilawan. Sifat resistensi itu sendiri adalah informal, tersembunyi dan tidak teratur.

Pernyataan Scott tentang adanya pembagian antara yang dominant dan subordinate miripdengan pengklasifikasian yang dibuat oleh Marx terhadap kelas yang saling bersebranganitu, yang menuliskan bahwa posisi dominant adalah sebagai pemilik sarana produksisedangkan kelas subordinate sebagai kelas yang diekspolitasi (Jones 2009: 79). Hubungan kedua kelastersebut dimana selalu ada yang menjadi minoritas kemudian menjadi sebuah hubunganyang dikatakan Marx sebagai hubungan konflik. Hadirnya hubungan konflik inilahkemudian resistensi dapat hadir diantara kaum minoritas yang berada dalam subordinate.Sedangkan disisi lain menurut Henry Murray, manusia memang memiliki kebutuhanuntuk melakukan dominasi terhadap yang lain, kebutuhan akan kekuasaan (need forpower). Dimana orang dengan bermotivasi untuk memiliki kekuasaan tertinggi biasanyamencari jabatan dan pekerjaan yang membuat mereka bisa menyatakan kuasa atas oranglain(Schutack 2008: 322).

Resistensi juga dapat dilakukan tanpa disertai tindakan yang frontal dan langsung dengan tindakan perlawanan yang sama, yang dilakukan pihak yang lebih kuat mendominasi, yang menekan yang lebih lemah. Karena dominasi tidak selalu dalam bentuk penjajahan atau kasat mata seperti penindasan fisik, ekonomi dan sosial tetapi dalam bentuk simbolik yang sering secara sadar atau tidak disetujui oleh korbannya. Dominasi semacam ini tidak mendewasakan, bahkan menghambat perkembangan masyarakat untuk mencapai kemandirian kritis karena tersirat ada tekanan dan pengawasan yang menempel. Dalam dominasi simbolis, terlihat cara bagaimana dominasi itu dipaksakan dan diderita sebagai kepatuhan, efek dari kekerasan simbolis, kekerasan halus, tidak terasakan, tidak dapat dilihat bahkan oleh korbannya sendiri (Bourdieu 1980:216). Dominasi ini terlaksana melalui jalan simbolis komunikasi dan pengetahuan, atau lebih tepat dikatakan karena ketidaktahuan dan pengakuan korbannya.

Faktor-Faktor Penyebab Perlawanan Petani

(35)

makmur. Cita-cita tersebut tercermin dalam gerakan mesianisme, milenarisme, dan nativisme yang mengharapkan kedatangan Ratu Adil atau Imam Mahdi. Suatu bentuk eskatologis masyarakat pedesaan yang mengalami beban penderitaan akibat penetrasi sistem kolonialisme untuk menghadapai berbagai persoalan yang dihadapinya.

Scott (1981) lebih melihat pemicu perlawanan petani dari konteks struktural. Ia menunjuk faktor struktur agraris yang rapuh dan eksplosif sebagai penyebab utama terjadinya keresahan dan perlawanan kaum tani pedesaan. Perubahan demografi dan ekologi, pengembangan produksi untuk kepentingan pasar, massifnya sistem monokultur, serta intervensi negara yang sangat kuat mengatur pola produksi dan konsumsi, telah menciptakan kerawanan struktural dikalangan petani yang umumya mengantungkan diri pada sistem subsistensi. Derajat eksploitasi juga memegang peranan penting dalam mempercepat munculnya perlawanan petani. Jika tekanan eksploitasi mencapai tingkat tertentu atau melebihi batas subsistensi masyarakat pedesaan maka kondisi tersebut sangat memungkinkan meletusnya protes-protes sosial atau pemberontakan petani sebagaimana terjadi di dataran Mekong, Burma dan di sebagian pedesaan Jawa.

Perubahan-perubahan yang sifatnya mendadak atau berupa kejutan-kejutan di bidang ekonomi yang mengacaukan dan merusak pola subsistensi yang telah berlangsung tetap di masyarakat pedesaan, seperti; kenaikan harga, pajak, bencana alam dan kegagalan panen, juga dapat menjadi faktor yang menimbulkan kemarahan dan frustasi kaum tani kemudian dapat memicu mereka melakukan perlawanan yang radikal di pedesaan. Bagi Scott, apapun bentuk perlawanan petani adalah bertujuan untuk kembali pada kehidupan yang dapat menjamin adanya keamanan subsistensi yang pernah mereka alami sebelum sistem ekonomi pasar hadir dan memporakporandakan siklus kehidupan mereka.

Sementara itu, Popkin (1979) menyatakan bahwa gerakan perlawanan petani lebih karena faktor dominan individu bukan kelompok. Setiap manusia ingin hidup sejahtera, biang keladi atas terjadinya perlawanan petani akibat adanya penetrasi kapitalisme di kawasan pedesaan yang dalam banyak kasus melahirkan eksploitasi terhadap para petani oleh tuan tanah, oleh negara dan kaum kapitalis. Gurr dalam Mustaim (2007) juga memandang faktor frustasi dan pengurangan hak relatif yang terjadi dalam masyarakat petani dengan pihak lain menjadi pendorong bagi petani melakukan perlawanan. Lebih jauh Popkin (1979) menyebutkan bahwa semua perlawanan petani lebih dimaksudkan untuk mempertahankan tatanan demi keuntungan mereka. Penelitiannya di Vietnam menemukan bahwa; Pertama, perlawanan yang dilakukan petaniadalah gerakan anti-feodal bukan untuk mengembalikan tradisi lama, akan tetapi membangun tradisi baru yang menguntungkannya; kedua, tidak ada kaitan yang signifikan antara ancaman terhadap subsistensi dan tindakan kolektif dan yang ketiga, adalah kalkulasi keterlibatan dalam perlawanan lebih penting daripada isu ancaman kelas.

(36)

20

kata lain dapat dikatakan bahwa petani juga berorientasi ke masa depan. Hal ini senada sebagaimana yang dikatakan oleh Salert (1976) dalam Mustaim (2007) bahwa orang melakukan tindakan didasari oleh pilihan rasional yang relevan terhadap aksi revolusioner, karena teori ini melibatkan sifat efek faktor psikologis yang diperlukan untuk menjelaskan partisipasi orang dalam aksi kolektif dan teori ini dapat difokuskan pada proses pembentukan putusan sebelum melakukan aksi kolektif yang kemudian akan membentuk pengalaman sosial yangakan mengakibatkan perubahan perilaku sebagian masyarakat.

Teori lainnya adalah yang dipakai Landsberger dan Alexandrov (1981), teori ini mengaitkan antara perlawanan petani dengan perubahan sosial. Mereka menjelaskan bahwa kemerosotan relatif akibat perubahan-perubahan di bidang sosial-ekonomi dapat menjadi pemicu perlawanan. Kemerosotan sehubungan dengan status di masa lalu atau yang diharapkan sekarang maupun ancaman di masa depan sehingga menimbulkan kerugian yang terus menerus dan tidak terkendali telah menimbulkan berbagai reaksi keputusasaan dalam kasus berbagai pemberontakan.

Adanya sudut pandang yang berbeda-beda dalam mencari faktor-faktor penyebab munculnya perlawanan petani, menunjukkan bahwa perlawanan petani tidak dapat dipahami dengan hanya mengamati salah satu faktor yang menjadi determinan, seperti faktor ekonomi atau faktor politik semata, tetapi juga harus memperhatikan konfigurasi sosial, lembaga-lembaga sosial, norma-norma dan nilai-nilai, juga sikap ideologis sejauh itu membentuk dan mengkonsolidasikan perlawanan. Namun, dari semua itu penulis lebih melihat bahwa perubahan-perubahan struktur dan kebijakan politik agraria memainkan peranan besar dalam menciptakan konflik-konflik agraria di wilayah pedesaan.

Potret perlawanan petani sepanjang tahun 1980-an hingga sekarang bisa dikatakan tidak terlalu banyak perbedaan dengan perlawanan petani pada masa-masa sebelumnya, baik dari sisi akar penyebab terjadinya perlawanan, bentuk-bentuk dan pola-pola perlawanannya, serta aktor pemimpin dan basis ideologinya. Pemicu aksi-aksi yang dilakukan oleh petani sejak kasus Kedung Ombo hingga Padega, keduanya berlangsung sepanjang pertengahan Orde Baru 1980-an hingga pasca pemerintahan Orde Baru bersumber dan berkaitan erat dengan masalah penguasaan tanah.

Teori Tindakan Kolektif

Komponen dalam Tindakan Kolektif (Tilly & Smelser)

(37)

Salah satu pemikiran tentang tindakan kolektif ini bisa dipergunakan untuk menjelaskan tentang perlawanan petani di Talangsari adalah pemikiran Tilly (1978) dalam bukunya “From Mobilization to Revolution” Menurutnya teori tindakan kolektif adalah;

―...teori yang mengkaji dimana manusia melakukan tindakan bersama untuk mengejar tujuan bersama. Analisis terhadap aksi kolektif memiliki lima kompenen besar, yakni; Petama, aspek kepentingan (interst) yang berkaitan dengan persoalan ekonomi dan kehidupan politik, Kedua, aspek organisasi yang berkaitan dengan organisasi yang well-defined groups. Ketiga, aspek mobilisasi yang berkaitan dengan faktor-faktor produksi seperti tanah, pekerja, kapital dan teknologi. Keempat, aspek peluang yang berkaitan dengan peluang politik, peluang koalisi, tingkat represi atau ancaman, serta relasi antara pemerintah dengan contender/pembangkang yang berjuang untuk mendapatkan power. Kelima, aspek tindakan kolektif berkaitan dengan konflik kepentingan....‖.

Selanjutnya pokok persoalan (subjek matter) dalam studi terhadap tindakan kolektif sering bersifat tumpang tindih atas tiga area yang saling bersilangan. Tiga area yang dimaksud adalah populalasi, kepercayaan, dan tindakan. Apabila mengambil kelompok sebagai unit studi terhadap tindakan kolektif, maka bisa memulainya dengan populasi, dimana populasi tersebut memiliki struktur dan kepercayaan, sehingga tindakan kolektif merupakan hasil kombinasi dari struktur. Sedangkan jika mengambil peristiwa (event) sebagai unit analisis terhadap tindakan kolektif, maka kita bisa memulainya dengan peristiwa semacam revolusi, serimoni, konfrontasi atau peristiwa-peristiwa yang dilakukan oleh kelas-kelas tertentu yang sedang melakukan tindakan kolektif. Dalam kasus seperti ini, peneli

Gambar

Tabel 1 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Menurut Tahun 2014
Tabel 2 Jenis Kawasan dan Tingkat Kerusakan Hutan di Lampung  2010
Tabel 3.  Jumlah Penduduk Menurut Usia di Dusun Talangsari III
Tabel 5. Sistem pembagian hasil Pertanian di dusun Talangsari III

Referensi

Dokumen terkait

Sistem yang dirancang terbatas pada skenario komunikasi rahasia yang hanya dapat dilakukan satu kali untuk satu panggilan, Penyebab karena pada bagian pengirim tidak

Aplikasi ini diharapkan dapat membantu penelitian terdahulu yaitu “Aplikasi Transliterator dan Tanslator Bahasa Indonesia ke Bahasa Korea dan Bahasa Korea

[r]

Desain ditunjukkan pada Gambar 8 merupakan tampilan untuk tab menu pemasaran yang berisi beberapa menu lagi, yaitu calon pelanggan, harga, tempat, prosmosi, dan

452 sebagai ujung tombak dalam menjaga wilayah perbatasan laut negara yang sangat luas, namun adanya keterlibatan dari pemerintah daerah, masyarakat perbatasan dan

Pembangunan sistem informasi spasial pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten Purbalingga berbasis web bertujuan untuk memudahkan Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah

Sesuai dengan perumusan yang telah dikemukakakan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bahwa layanan teknik modeling dalam bimbingan kelompok

Membeli beras jenis lain di tempat yang sama.. Tidak Tersedia