• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gerombolan Pengacau

Register 38 Gunung Balak Lampung Timur

6 PERLAWANAN KOMUNITAS PETANI DI TALANGSAR

Kepentingan Ekonomi Dalam Perlawanan Petani

Perlawanan petani adalah tindakan kolektif yang dilakukan oleh petani. Salah satu pemikiran tentang tindakan kolektif ini bisa dipergunakan untuk menjelaskan tentang perlawanan petani di Talangsari adalah pemikiran Charles Tilly (1978). Analisis terhadap aksi kolektif perlawanan petani di Talangsari dipicu oleh adanya aspek kepentingan (interest), baik mengenai kepentingan politik maupun kepentingan ekonomi. Kepentingan ekonomi petani adalah berkaitan dengan sumberdaya agraria(tanah), karena tanah adalah sumber daya ekonomi yang paling vital, petani tidak bisa dilepaskan dari tanah, di tanah itulah para petani menggantungkan nasib dan keberlanjutan hidupnya, oleh karena itu pilihan petani adalah dalam bentuk perlawanan.

Semenjak adanya pemberitahuan dari pemerintah pada tahun 1980 bahwa kawasan hutan register 38 Gunung Balak yang sudah menjadi permukiman penduduk tersebut ditetapkan ulang sebagai kawasan hutan melalui TGHK (Tata Guna Hutan Kesepakatan), maka penduduk yang sudah bermukim dan berusaha tani di dalamnya dinyatakan sebagai perambah dan diharuskan meninggalkan kawasan hutan tersebut.Penduduk akan dipindahkan melalui program transmigrasi lokal, pemerintah setempat mulai memerintahkan warga untuk menghentikan kegiatan penggarapan lahan sebab pemerintah pada Repelita II mulai membangun waduk dan jaringan irigasi Way Jepara untuk mengairi persawahan di sekitarnya, oleh sebab itu kawasan Gunung Balak dijadikan daerah tangkapan curah air (Catchment area) dan perlu dibebaskan dari permukiman. Penghijauan kembali harus dilakukan dan para perambah hutan harus dipindahkan suka rela atau terpaksa.

Penduduk yang bermukim di kawasan hutan register 38 Gunung Balak dalam menyikapi perintah pengosongan dan penghentian kegiatan penggarapan lahan terbagi menjadi 2 (dua) kelompok, kelompok yang pertama mereka setuju

untuk dipindahkan melalui program ―transmigrasi lokal‖ ke beberapa daerah yang

ada di yang ada di Sumatera, adapun yang menjadi alasan mereka setuju untuk dipindahkan, sebagaimana keterangan petani asal desa Mojopahit yang saat ini menjadi penduduk desa Sidodadi kecamatan Sungkai Selatan Lampung Utara, Sad (60 th) :

―...Penduduk atau petani setuju saja untuk dipindahkan ke tempat lain, dengan alasan (1) ditempat yang lain siapa tahu tempatnya lebih baik dibandingkan dengan tempat sebelumnya; (2) kalau kami menolak di pindahkan nanti dikatakan anti pemerintah atau disebut PKI; (3) tanah yang selama ini ditempati dan dimanfaatkan

untuk bertani tidak jelas, bahkan sampai saat ini kamipun tidak memegang surat tanah ...‖

Menurut catatan dari team Karya Bhakti Golongan Karya TK.I Lampung, pada pertengahan September 1971 petugas pengosongan melakukan pemindahan penduduk areal hutan lindung register 38 Gunung Balak, akan tetapi pelaksanaannya berbentuk pengusiran dan kurang memberikan pengertian serta penyadaran kepada masyarakat, bahkan dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh aparatus pengosongan yang karena penuh dengan emosi yang justeru menyinggung dan melukai perasaan hati nurani masyarakat yang akan dipindahkan.

Pada tahun 1982 pemerintah melanjutkan program pemindahan penduduk dari areal hutan lindung register 38 Gunung Balak dengan sistem transmigrasi lokal, penduduk yang berhasil dipindahkan berjumlah 12.000 Kepala Keluarga(KK) yang merupakan penduduk dari 9 (sembilan) desa dari ke-13 (tiga belas) desa yang berada di eks Kecamatan Gunung Balak. Lokasi baru sebagai tempat penerimaan diantaranya di Mesuji dan di Pakuan Ratu Lampung Utara. Pada tahun 1988 program transmigrasi lokal dilanjutkan dengan memindahkan penduduk dari area perluasan hutan lindung di desa Way Abar. Kegiatan tersebut berhasil memindahkan penduduk sebanyak 1.819 Kepala Keluarga (KK).

Sementara itu, kelompok kedua adalah kelompok yang menolak dan ingin tetap bertahan di lakosi permukiman area hutan lindung register 38 Gunung Balak, kelompok ini sebagian besar bermukin di empat wilayah yaitu berdikari blok I, II, III, dan IV yang mengalami metamorfosis menjadi desa 4 (Sri); Srikaloka, Sriwidodo, Srikaton dan Srimulyo. Keempat desa tersebut pembukaan lahannya dikoordinir oleh organisasi petani terbesar pada waktu itu adalah Barisan Tani Indonesia (BTI) yang beraliran komunis, yang pada tahun 1964 ikut serta pula membuka hutan lindung register 38 Gunung Balak serta membagi- bagikannya kepada petani. Mereka adalah Mid, Kar, Djar, Djam, Tjok, dan Mur, datang dan mulai membuka bagian timur kawasan hutan dan membuat calan perkampungan (umbulan). Areal yang dibuka berada di bagian dalam hutan sedangkan bagian luarnya dibiarkan berhutan sebagai tabir sehingga tidak terlihat dari luar. Selanjutnya puluhan penduduk sekitar diajak para tokoh BTI (Barisan Tani Indonesia) untuk menggarap dan menempati sekitar 1.200 hektar lahan.

Bagi mereka tanah adalah ruh kehidupan, pengusiran adalah tindakan pelanggaran hak-hak petani terhadap penguasaan dan pemakaian lahan sebagai sumber daya ekonomi. Tanah/lahan mempunyai arti yang sangat penting bagi petani, baik sebagai sumber kehidupan maupun sebagai penentu tinggi rendahnya status sosial dalam masyarakat. Tanah pertanian bagi petani bersifat multi dimensi, yakni sebagai sumber mata pencaharian, sumber tata kehidupan, bernilai magis religio-kosmis, sebagai identitas, martabat, power, dan bahkan ideologis.

Tanah juga mencerminkan bentuk dasar kemakmuran sebagai sumber kekuasaan ekonomi politik, serta mencerminkan hubungan dan stratifikasi sosial. Falsafah hidupnya yang memandang tanah sebagai cerminan kedudukan seseorang sebagaiman disampaikan oleh Zam (75 th) yang dalam ungkapan bahasa Jawa ―shadhumuk bathuk sanyari bumi, yen perlu ditohi mati‖ menunjukkan betapa eratnya hubungan antara manusia dan tanah yang

84

dimilikinya. Setiap jengkal tanah merupakan harga diri yang akan dipertahankan mati-matian dengan seluruh jiwa raga. Pentingnya penguasaan tanah bagi seseorang dengan sendirinya akan mendorong munculnya upaya untuk mempertahankan hak-hak atas tanah dari setiap intervensi pihak luar.

Apalagi tanah yang dimanfaatkan untuk menyambung kehidupannya di tanah sebarang (Lampung) mereka dapatkan dengan cara membelinya walaupun tidak ada sertifikatnya, hal ini sebagaimana di ungkapkan oleh seorang perintis Sutrisno (67 th), menurutnya :

Tanah di areal hutan lindung register 38 Gunung Balak diperjualbelikan oleh oknum-oknum dari organisasi tersebut sekitar RP. 2.500 (dua ribu lima ratus rupiah) untuk lahan yang luasnya dua setengah hektar. Organisai-organisasi tersebut merasa berhak untuk menjual hak pakai di areal hutan lindung register 38 Gunung Balak, padahal pada waktu itu areal tersebut sudah resmi dan jelas merupakan wilayah yang tercatat sebagai hutan lindung dengan nomor register 38 yang dikuasai oleh pemerintah melalui Departemen Kehutanan, akan tetapi departemen tersebut pada waktu itu tidak bertindak tegas kepada para pendatang tersebut dan saat ini yang disalahkan adalah petani (Wawancara, 22 Desember 2013).

Oleh sebab itu, negara (pemerintah) tidak bisa melakukan pengusiran begitu saja, petani juga harus diperhatikan hak-haknya. Penolakan petani untuk direlokasi ke tempat yang baru ini muncul di beberapa desa tersebut di atas, mereka melakukan perlawanan ketika petugas keamanan berusaha merobohkan dan membongkar tempat tinggalnya. Kepentingan mereka satu, bagaimana mempertahankan lahan yang mereka tempati, tanpa membeda-bedakan agama, suku dan daerah asalnya mereka bersatu dan menentang upaya pemindahan/relokasi ketempat yang baru, namun dalam perkembangannya di antara mereka ada yang dengan kesadarannya sendiri dan didukung dengan dana meninggalkan desa dengan cara membeli tanah/lahan di luar kawasan, seperti yang di alami oleh Mus (50 th) yang saat ini tinggal di desa Sumber Rejo simpang danua Way Jepara, berikut ini penuturannya :

―...Adapun yang menjadi alasan tidak mau mengikuti transmigrasi lokal, karena tanah di tempat transmigrasi (Mesuji) tidak subur dan berkerikil sehingga susah untuk bercocok tanam sebagaimana suburnya tanah di area register 38 Gunung Balak, selain itu lokasinya jauh dari sanak saudara dan saya sendiri sudah mempunyai pekerjaan tetap sebagai guru (PNS), sehingga harus mutasi ke daerah lain. Oleh sebab itu lebih baik saya mencari tanah di sekitar sini saja...‖

Sikap dan pilihan ini dilakukan penuh dengan pertimbangan yang matang, di samping ketersediaan dana untuk memperoleh tanah di luar kawasan register 38 Gunung Balak yang tidak jauh dari tempat pekerjaan tetapnya (sebagai PNS), pilihan hidup seperti ini banyak dilakukan oleh beberapa orang yang tidak ingin ikut transmigrasi lokal ke tempat yang baru dan memilih untuk mencari tempat tinggal di luar hutan lindung register 38 Gunung Balak, maka desa-desa terdekat yang menjadi pilihannya, menurut keterngan Mu (50 th);

‗...Banyak penduduk yang terusir dari area hutan register 38 Gunung Balak

mencari/membeli tanah di desa terdekat sebagaimana yang dilakukan oleh bapak Zam, Sum, Hin, dan Mus) keempatnya memilih desa Sumberrejo (Simpang Danau) sebagai tempat untuk melangsungkan hidupnya, dan saat ini mereka mencoba untuk memanfaatkan lahan-lahan yang mereka tinggalkan untuk kegiatan pertanian...‖

Sementara bagi petani yang tidak memiliki dana akan tetapi tidak mau dipindahkan (ditranslokkan), mereka tetap memilih bertahan dan mempertahankan satu-satunya sumber kehidupan yang mereka miliki dengan cara bersama-sama melakukan perlawanan yang pada gilirannya selalu menimbulkan konflik, konflik perebutan dan perjuangan atas tanah akan selalu terjadi. Hal ini terbukti sampai saat ini masalah tanah masih saja menjadi persoalan yang sering kali memunculkan perlawanan dari rakyat. Bentuk perlawanan bermacam-macam, ada yang bersifat individual maupun kolektif, hanya sekedar berunjuk rasa atau bahkan melakukan pemberontakan.

Kelompok yang tetap bertahan dan tidak mau ikut transmigrasi lokal (translok) dan tidak memiliki dana untuk membeli lahan di luar kawasan hutan register 38 Gunung Balak diantaranya, adalah Warsidi dan beberapa temannya yang tersebar di empat desa (Srikaloka, Sriwidodo, Srikaton dan Srimulyo),

adapun yang menjadi alasan mereka untuk tetap bertahan adalah ; ―...Mereka merasa diperlakukan tidak adil oleh negara, hanya karena atas nama pembangunan rakyat harus menjadi korban, bukankan kami juga menempati

wilayah ini atas izin pemerintah...‖.

Memang pada zaman Orde Baru, secara formal Undang-Undang Pokok Agraria lebih bersifat populis itu memang masih berlaku, akan tetapi sudah tidak populer lagi seiring dengan perubahan arah kepentingan politik. Dalam masalah kehutanan misalnya Pemerintah membuat Undang-Undang Pokok Kehutanan nomor 5 tahun 1967 yang notabenenya tidak dilandasi oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960 yang seharusnya merupakan landasan kebijakan agraria. Bahkan disebutkan UUPA.1960 sering dikatakan sebagai sumber terjadinya konflik politik di pedesaan dan dianggap sebagai hasil golongan kiri (Fauzi, 1999. 101). Undang-Undang Pokok Kehutanan nomor 5 tahun 1967 tersebut dijadikan landasan bagi pemerintah untuk menarik dana pembangunan dari hasil hutan termasuk menguasai lahan hutan yang dianggap bukan milik masyarakat seperti hutan lindung register 38 Gunung Balak. Melalui Keputusan Dinas Kehutanan Propinsi Lampung No.429/V/1/1968 tanggal 20 Juni 1968hutan di kawasan Gunung Balak ditetapkan sebagai hutan kawasan (hutan lindung register 38) dengan luas 19.680 hektar.

Negara melalui aparatus pemerintah daerah dan Dinas Kehutanan Kabupaten Lampung Tengah dibantu oleh dua pelton pasukan sipil (Hansip) yang dilatih selama 20 hari membentuk Team pengosongan yang beranggotakan sekitar 350 orang. Team ini bertugas memaksa penduduk segera pergi meninggalkan lahan dan permukiman mereka. Sasaran pengosongan adalah desa 4 Sri (Desa Sri Widodo, Desa Sri Katon, Desa Sri Kaloka, Desa Sri Mulyo); sekitar 350 KK dari desa-desa ini dipersiapkan dalam program transmigrasi umum ke Way Abung Lampung Utara. Sebagian penduduk kemudian pergi mengungsi, tetapi sebagian lagi tetap bertahan dan mengadukan masalah ini ke berbagai lembaga di Jakarta.

Para kepala desa ini dengan segala kemampuannya mencari dukungan dari orang-orang dan intitusi-intitusi yang dikenalnya, bagi mereka langkah-langkah yang ditempuh ini merupakan bagian dari prinsip hidupnya yakni memperjuangkan nasib para petani agar kehidupannya lebih baik, terpenuhi hak- haknya, terjamin kemanan untuk memiliki akses sumber daya agraria (tanah)

86

secara syah. Dengan tidak mengenal lelah dan dengan menanggung segala resiko sosial, ekonomi, politik dan keamanan dirinya, mereka terus bergerak untuk merealisir keyakinan perjuangannya. Kepala dukuh Srikaloka AR (45 th), Kepala Desa Srikaton MT (55 th) dan dua tokoh warga lain mengadukan masalah ini ke Markas RPKAD, pengaduan ini juga disampaikan kepada Kopkamtib, Menhankam dan DPR RI di Jakarta. (Wawancara dengan Supardi, 17 Januari 2014).

Menanggapi pengaduan tersebut dua anggota RPKAD mengunjungi dukuh Sidodadi, setelah itu pula pada bulan Februari 1984 datang pula rombongan dari Jakarta; Brigjen Samiyono dan Mayor Ibnu dari Hankam, Supeno dari Fraksi Karya Pembangungan DPR RI yang didampingi Letkol Ruslan dari Korem 043 Garuda Hitam Lampung dan Kapten KS (40 th) dari Kodim 0411 Lampung Tengah. Rombongan ini datang untuk melihat keberadaan lahan yang digarap penduduk dan melakukan dengan warga Srikaton dan Sidodadi.

Kunjungan-kunjungan ini ternyata tidak banyak membantu warga, bahkan pada bulan April 1985 Team Pengosongan yang terdiri dari; aparatus kecamatan, Koramil, Polsek dan desa kembali memerintahkan penduduk untuk meninggalkan area Gunung Balak. Sebagian warga pergi mengungsi akan tetapi sebagian besar warga tetap bertahan, terjadilah ketegangan dan bentrokan tidak bisa dihindari antara team pengosongan dan warga yang tetap bertahan sehingga menimbulkan korban jiwa.

Hujan air mata mengiringi kepergian mereka dengan tujuan daerah yang baru yakni Mesuji. Komunitas Warsidi yang tersebar di empat desa (Srikaloka, Sriwidodo, Srikaton dan Srimulyo), dengan terpaksa harus keluar setelah tidak mampu melawan paksaaan yang dilakukan oleh aparatus pemerintah yang tergabung dalam team pengosongan, perlawanan yang sia-sia dan selanjutnya mencari lahan untuk dijadikan sebagai tempat tinggal yang baru, akhirnya mendapatkan tempat dari wakaf tokoh kaya (Ja) untuk bermukim, wilayah yang tidak terlalu jauh dari wilayah hutan register 38 Gunung Balak. Di pedukuhan kecil dengan luas lahan 1,5 hektar War memimpin komunitasnya memulai kehidupan baru.Perlu diketahui bahwa selama tinggal di register 38 Gunung Balak (desa Srikaloka) Warsidi telah berhasil membangun komunitas (jama‘ah pengajian) yang anggotanya tersebar di beberapa desa yang ada, baik yang beradadi dalam maupun yang berada di luar di kawasan hutan register 38 Gunung Balak, seperti di desa Sidorejo ada anggota komunitas Warsidi yang menjadi pengikut setianya (Zm, 75 th).

Pengorganisasian Dalam Perlawanan Petani

Pengorganisasian merupakan proses refleksi dari kesadaran yang muncul dan dari pengalaman yang dialami. Dengan menemu kenali ancaman atau masalah, siapa yang terlibat dalam lingkar masalah itu, kemudian mendorong kesadaran dan motivasi untuk melaksanakan sesuatu. Mereka melakukan identifikasi, klarifikasi, menentukan keputusan dan program aksi, evaluasi dan refleksi. Proses seperti ini merupakan proses yang tiada henti dan selalu

tersambung dari fase ke fase. Partisipasi dari kelompok basis, merupakan suatu yang tidak bisa dilepaskan, karena pengorganisasian ditujukan untuk menyikapi kebijakan-kebijakan yang merugikan.

Di Cihideung Talangsari War membangun kembali komunitas (jama‘ah

pengajian) yang diawali dengan membangun tempat tinggal yang sederhana untuk berteduh anak dan istrinya, demikian juga para anggota komunitas yang lain, komunitas ini terbangun sejak mereka masih tinggal di desa Srikaloka register 38

Gunung Balak. Untuk memudahkan beribadah terutama sholat berjama‘ah

dibangunlah sebuah mushola yang berukuran 6 X 9 meter dengan menggunakan dinding papan dan atap genting bantuan dari masyarakat setempat yang diberi

nama ―Mushola Mujahiddin‖. Sebagai seorang kepala keluarga untuk memenuhi

kebutuhan ekonominya, Warsidi menjadi buruh ngoret (membersihkan rumput di sela-sela tanaman padi dan jagung) milik warga setempat dengan upah harian sebagaimana warga yang lain. Sementara sebagai pimpinan komunitas Cihideung Warsidi sangat peduli terhadap para anggotanya, berikut ini beberapa penuturan Fadhillah orang dekat Warsidi sebagaimana ditulis oleh Widjoyo Wasis (2001) dalam buku Geger Talangsari :

―...Kebaikan Warsidi sebagai tokoh bagi dirinya, sulit diukur dan dicari

padaannya. Suatu hari ketika Fad sedang melarikan diri ke tengah hutan akibat kejaran aparat keamanan saat pengosongan hutan register 38 Gunung Balak, War datang menemuinya dengan ucapan yang menyentuh kalbu, bagaikan puisi para pujangga yang mampu menyinari remang-remangnya belantara. War menawarkan agar Fad bergabung bersama teman-teman seperjuangan ―berjuang tidak bisa sendirian kata War, Kalau masih ada kawan, mengapa bersendiri di hutan. Kemudian Fad bersama keluarganya di boyong ke Cihideung Talangsari

Hari-hari di tempat yang baru, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari para anggota komunitas Cihideung Talangsari ini mencoba memanfaatkan lahan yang ada dengan menanam padi dan jagung, selain itu mereka bekerja secara serabutan yang penting dapat menghasilkan uang; ada yang bekerja sebagai buruh harian pembuat batu-bata di ―Tobong‖ pak Jayus, ada juga yang bekerja sebagai buruh ngoret di lahan-lahan pertanian milik penduduk yang sudah terlebih dahulu hadir. Di sela-sela kesibukan sebagai buruh tani ―War‖ masih menyempatkan diri

memberi pelajaran agama setiap malam jum‘at.

Pilihan dukuh Cihideung sebagai tempat permukiman sementara bagi para petani, diantaranya wilayahnya tidak jauh dari register 38 Gunung Balak, di samping itu diantara mereka sudah terbangun solidaritas kolektif yang didasarkan pada nilai-nilai ideologis (agama) sehingga mereka merasa nyaman dan terlindungi. Untuk membangun komunitas yang mempunyai soliditas yang

tangguh ―War‖ menggunakan doktrin-doktrin keagamaan. Doktrin atau ajaran yang disampaikan oleh War dalam rangka membentuk kesadaran sebagai anggota komunitas, sebagai seorang muslim yang harus patuh dan taat kepada Allah, kepada rasulullah dan kepada pemimpin sebagaimana tertuang dalam Al-Qur‘an surat An-Nisa ayat 59 :―Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan

taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”. Oleh sebab itu kewajiban setiap anggota komunitas untuk mentaati pemimpin adalah kewajiban mutlak tanpa reserve. Untuk membangun ketaatan terhadap pemimpin, maka setiap

88

menjadi syarat dibolehkannya orang hijarah ke Talangsari, ketika NH menghijrahkan orang-orang dari luar Lampung.

Bai‘at dijadikan sebagai instrumen untuk membangun solidaritas dari masing-masing anggota, baik anggota yang berasal dari Lampung maupun

anggota yang berasal dari luar Lampung. Anggota (jama‘ah) tidak akan ada

harganya apabila individu-individu tidak diikat oleh sistem dan tidak dipersatukan oleh pemimpin yang mengatur urusan mereka. Sementara itu, pemimpin (imam) tidak akan ada nilai dan eksistensinya apabila direndahkan oleh anggota

(jama‘ahnya). Oleh sebab itu Warsidi menekankan akan pentingnya loyalitas

kepada jama‘ah dan keta‘atan kepada imam yang ada, serta tidak boleh keluar dari

jama‘ah kecuali dengan terpaksa.

Bahkan untuk menjadikan para anggotanya tetap setia dengan kepemimpinannya, Warsidi selalu menjadikan dalil-dalil dalam Al-Qur‘an maupun As-sunah sebagai alasan agar para anggotanya mentaatinya secara maksimal, sebagaimana yang dikemukan Sy (50 th) tentang hadits yang selalu disampaikan War kepadanya, yaitu :

Barangsiapa yang membai‘at (janji setia) kepada seorang imam/pemimpin sambil ia memberikan jabatan tangannya dan buah hatinya, maka hendaklah ia mentaati sekemampuannya, jika ada pihak lain yang menyerangnya, hendaklah dia memukul tengkuk yang lain. Sementara itu agar anggota jama‘ah tetap berada dalam genggamannya (kekuasaannya) War seringkali mengancam akan membunuh bahkan kalau mati, mati dalam keadaan jahiliyah.

Berdasarkan hadits tersebut di atas, War berusaha membangun solidaritas kolektif di antara sesama komunitas, sebagai mana diketahui bahwa solidaritas melahirkansuatu spirit yang melibatkan perasaan identifikasi dengan kelompok.Dengan demikian, solidaritas mensyaratkan identifikasi entitaskolektive dan identifikasi partisipan dengan kumpulan aktor.War mencoba membangun solidaritas internal dengan memfokuskan kedalam kelompok dan kepada para anggota kelompok. Menurut Sofyan Sjaf (2012) aktor dapat dengan leluasa mengkonstruksi identitas yang ada dalam dirinya, meskipun demikian pengalaman dan kesejarahan serta latar belakang kehidupan sosial tidak dapat dikesampingkan karena memberikan pengaruh terhadap tindakan aktor bernuasa identitas.

Konstruksi identitas kolektifdibangun dengan menggunakan basis religion ideology (iman-hijrah dan jihad) dan mengecilkan local comunity (falsafah hidup

orang Lampung), hal ini bisa terjadi mengingat mayoritas anggota jama‘ah Warsidi

adalah pendatang dari Jawa. Ideologi jihad dapat membangkitkan semangat dan tindakan bersama untuk melakukan perlawanan (pemberontakan), Kartosudirdjo (1984) menjelaskan bahwa peran nilai-nilai agama (Islam) yang disemai oleh Syekh Abdullah Al Karim Al-Bantani telah mampu menggerakkan petani untuk melakukan perlawanan, terhadap eksplotasi ekonomi, sosial, budaya oleh kelompok penekan. Demikian pula studi yang dilakukan oleh Kamarudin (2012) bahwa pemberontakan petani Unra 1943 terhadap Jepang dimotori oleh pemimpin (elit agama) dan basis ideologi (tarekat Naqsabandiyah), sehingga mereka mampu keluar dari tekanan ekonomi dan sosial. Studi lain yang dilakukan oleh Subhan (2006) tentang perlawanan petani Gedangan Sidoarjo 1904, tokohnya Kasan Mukmin. Ia berasal dari Yogyakarta yang kemudian menetap di Gedangan

sebagai guru ngaji, perlawanan itu direkat dengan solidaritas kolektif yang didasarkan pada nilai-nilai agama dan simbol perang suci, demikian pula yang dilakukan oleh Warsidi terhadap komunitasnya.Warsidi dengan kemampuannya sebagai elit agama di pedesaan mampu membangkitkan komunitasnya untuk melakukan penjarahan/pendudukan terhadap lahan-lahan yang telah mereka tinggalkan.

Beberapa isu atau desas-desus yang tumbuh dan berkembang di komunitas Talangsari sebelum melakukan gerakan reklaiming itu adalah sebagaimana berikut :Pertama, di komunitas Talangsari muncul wacana sosial bahwa cara terbaik dalam menyelesaikan masalah pertanahan dengan pemegang otoritas hutan register 38 Gunung Balak (Dinas Kehutanan) propinsi Lampung adalah dengan cara mereklaiming/pendudukan/penjarahan. Pemikiran semacam ini diantaranya dipengaruhi oleh gagalnya jalur lobi yang pernah dilakukan oleh Kepala desa Srikaloka AR (55 th), Kepala Desa Srikaton MT (50 th) dan dua tokoh warga lain