• Tidak ada hasil yang ditemukan

No Tugas dan fungsi Pelaksanaan Keterangan

Ya Tidak 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.

Melaksanakan inventarisasi dan atau monitoring populasi SL (pasal 9 ayat 1).

Menetapkan lokasi penangkapan SL berdasarkan kuota tangkap (pasal 13 ayat 2).

Menerbitkan Izin Penangkapan spesimen SL (pasal 13 ayat 2 dan 3).

Dalam penetapan lokasi penangkapan, memperhatikan :

- status kawasan - kelimpahan populasi - kondisi habitat

- rencana penggunaan lahan

- aspek-aspek sosial budaya masyarakat setempat

(pasal 15 ayat 1).

Membuat peta lokasi penangkapan dengan skala minimal 1 : 250.000 yang selalu dimutakhirkan secara periodik minimal 2 (dua) tahun sekali (pasal 15 ayat 3).

Informasi lokasi penangkapan sedikitnya memuat :

- nama tempat (nama desa)

- nama kecamatan

- nama kabupaten

- koordinat peta atau koordinat geografis

Melakukan rotasi lokasi penangkapan SL (pasal 16 ayat 1). Menentukan jangka waktu rotasi lokasi penangkapan berdasarkan :

- kondisi populasi - habitat

- sifat-sifat biologis

- perilaku jenis yang ditetapkan

(pasal 16 ayat 2).

Melaksanakan prosedur perizinan penangkapan SL untuk tujuan komersial (pasal 32 poin a sampai f).

Melaksanakan pemeriksaan sediaan (stok) spesimen SL untuk tujuan komersial. Dasar pemeriksaan sediaan (stok) adalah Izin Penangkapan atau permohonan SATS-DN atau SATS-LN. Membuat BAP sediaan (stok), yang memuat :

- jenis

- jumlah (volume) - bentuk spesimen

- keterangan dokumen asal-usul - keterangan lain

(pasal 33 ayat 1 sd 3).

Menerbitkan Izin Pengedar atau Perdagangan DN spesimen SL (pasal 43 ayat 3).

Mengikuti tata cara dan prosedur Izin Pengedar atau Perdagangan SL DN (pasal 44 ayat 1 poin a sampai e) Menilai Proposal dan Rencana Kerja Tahunan Izin Pengedar atau Perdagangan yang memuat antara lain :

- data perusahaan - organisasi

- asal-usul spesimen yang akan diusahakan - teknis pelaksanaan penampungan (pengumpulan) - teknis pengangkutan dalam kurun 2009−2013 dalam kurun 2009−2013

skala lebih kecil

hanya nama kabupaten dalam kurun 2009−2013 terdapat 3 pemegang izin

No Tugas dan fungsi Pelaksanaan Keterangan Ya Tidak 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30.

- sarana dan prasarana yang dimiliki - program pembinaan konservasi jenis yang

diusahakan (pasal 44 ayat 2).

Menelaah permohonan Izin Pengedar atau Perdagangan, menilai kelengkapan permohonan dan memberikan

pertimbangan teknis yang mengacu kepada kriteria ( pasal 44 ayat 3 poin a sampai d).

Memberikan atau menolak perpanjangan Izin Pengedar atau Perdagangan dengan menilai persyaratan sebagaimana diatur pada pasal 45 ayat 2 poin a sampai d.

Memberikan rekomendasi Izin Pengedar atau Perdagangan LN spesimen SL (pasal 51 ayat 1 poin a.6).

Menerbitkan SATS-DN dengan menilai bukti-bukti :

- Izin Pengedar atau Perdagangan DN - Izin terkait legalitas asal-usul spesimen - Laporan mutasi sediaan (stok)

(pasal 69 ayat 2)

Memberikan rekomendasi pengurusan SATS-LN dengan melampiri BAP (pasal 77 ayat 2 poin d).

Melakukan pemantauan penangkapan di lapangan atau pemeriksaan silang terhadap laporan hasil penangkapan di tempat pengumpulan (pasal 88 ayat 1).

Melakukan pemantauan secara berkala di tempat-tempat dilakukannya penangkapan SL (pasal 88 ayat 2).

Pengendalian penggunaan peralatan, cara-cara penangkapan dan cara-cara pengumpulan atau penampungan (pasal 88 ayat 4).

Membuat BAP pengendalian dengan pemeriksaan fisik spesimen hasil penangkapan (pasal 89 ayat 1).

Membuat sistem pencatatan dan pendataan untuk pemantauan penangkapan (pasal 89 ayat 2).

Melaporkan seluruh kegiatan pengawasan dan pengendalian penangkapan SL kepada Dirjen (pasal 89 ayat 3).

Memproses secara hukum segala pelanggaran dan kejahatan yang terjadi sehubungan dengan penangkapan SL (pasal 90). Melakukan pengawasan dan pengendalian pemilikan spesimen SL baik yang dilindungi maupun tidak dilindungi yang termasuk dalam Appendiks I, Appendiks II atau Appendiks III CITES (pasal 92 ayat 1).

Melakukan pengawasan dan pengendalian perdagangan spesimen SL di pasar satwa dan tempat-tempat lain yang menjual hasil-hasil SL kupu-kupu seperti toko cinderamata (pasal 94 ayat 1).

Memproses secara hukum segala pelanggaran yang terjadi sehubungan dengan peredaran di DN sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 95). Melakukan verifikasi dengan memeriksa kesesuaian dokumen SATS-LN dengan fisik spesimen yang akan diekspor dan mengisi kolom inspeksi pada SATS-LN sesuai dengan hasil pemeriksaan (pasal 98 ayat 1).

Memproses secara hukum segala pelanggaran yang terjadi sehubungan dengan ekspor, impor, re-ekspor dan introduksi dari laut, seusai dengan peraturan perundang-ungangan yang berlaku (pasal 101).

tidak ada yang mengajukan

dalam kurun 2009−2013

khusus kupu- kupu

No Tugas dan fungsi Pelaksanaan Keterangan Ya Tidak 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40.

Memeriksa silang kebenaran laporan pemegang izin

penangkapan komersial untuk tujuan perdagangan mengenai sediaan (stok) spesimen SL (pasal 102 ayat 2).

Melaporkan seluruh izin yang telah diterbitkan dan hasil penangkapan SL di wilayahnya kepada Dirjen (pasal 102 ayat 3).

Memeriksa silang catatan dan laporan pemegang izin Pengedar DN tentang realisasi perdagangan SL dengan keadaaan di lapangan (pasal 103 ayat 6).

Menyampaikan tembusan SATS-DN yang diterbitkan kepada Dirjen selambat-lambatnya tiga hari setelah tanggal penerbitan SATS-DN (pasal 103 ayat 7.)

Menyampaikan laporan realisasi peredaran DN SL kepada Dirjen setiap akhir bulan Desember (pasal 103 ayat 8). Melakukan pembinaan kepada para penangkap, para pengumpul terdaftar dan para pemegang izin pengedar SL secara berkala setiap tiga bulan di wilayahnya (pasal 107 ayat 1).

Berkoordinasi dengan petugas Bea dan Cukai dan petugas Karantina Hewan dan dapat mengembangkan sistem kerja sama formal dalam bentuk nota kerjasama (MoU) (pasal 110 ayat 1 dan 2).

Menangani spesimen SL hidup hasil sitaan atau rampasan dengan tidak mengganggu proses hukum di pengadilan, dengan pilihan sebagaimana diatur (pasal 113 ayat 1 poin a sampai e).

Menangani spesimen SL mati hasil sitaan atau rampasan, dengan pilihan sebagaimana diatur (pasal 113 ayat 3 poin a sampai c).

Melaporkan kepada Dirjen setiap penyitaan dan spesimen yang berhasil dilelang (pasal 116 ayat 2).

Izin pengedar catatan Nihil tidak secara berkala khusus kupu- kupu

Penulis dilahirkan di Namlea pada tanggal 12 April 1972 sebagai anak kelima dari pasangan H. Muhammadiyah (Alm) dan R.N. Nuraini (Almh). Setelah menamatkan SMA Negeri 1 Makassar tahun 1991, penulis melanjutkan pendidikan sarjana pada Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin, lulus pada tahun 1995. Pada tahun 1997, penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Lingkungan Hidup, Konsentrasi Konservasi Sumber Daya Alam Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin melalui beasiswa URGE Batch-IV dan memperoleh gelar Magister Sains pada tahun 2000. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2010, melalui beasiswa pendidikan pascasarjana dari Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan, Kementerian Kehutanan.

Riwayat pekerjaan penulis dimulai tahun 1996 pada bagian Perizinan HPH PT. Rante Mario (Humpuss Group) sampai dengan tahun 2000. Selanjutnya penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Kementerian Kehutanan di SKMA Makassar sejak tahun 2000. Pada tahun 2004 hingga saat ini penulis bertugas sebagai Widyaiswara pada Balai Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan Makassar.

Artikel berjudul Diversity of butterflies (Lepidoptera) utilized commercially in Bantimurung Bulusaraung National Park buffer zone, South Sulawesi telah diterima untuk diterbitkan pada Jurnal Entomologi Indonesia Volume 11, Nomor 2 edisi September 2014. Artikel berjudul Implementasi Peraturan Pemanfaatan Satwa Liar di Kabupaten Maros Sulawesi Selatan telah diterima untuk diterbitkan pada Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Volume 12 Nomor 1 Tahun 2015. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari disertasi ini.

1.1 Latar Belakang

Kupu-kupu merupakan satwa liar (SL) dari kelas serangga (Insecta) yang memiliki warna dan bentuk sayap yang indah. Di alam, kupu-kupu memiliki nilai penting, yaitu sebagai penyerbuk pada proses pembuahan bunga, sehingga secara ekologis turut memberi andil dalam mempertahankan keseimbangan ekosistem dan memperkaya keanekaragaman hayati. Secara ekonomi, kupu-kupu mempunyai nilai jual yang tinggi dan merupakan obyek rekreasi yang menarik. Potensi ekonomi inilah yang menyebabkan kupu-kupu banyak ditangkap dari habitat alam untuk dinikmati keindahannya maupun dikoleksi sebagai kenang- kenangan, atau untuk kepentingan ilmu pengetahuan.

Indonesia sebagai salah satu negara di kawasan tropis diperkirakan memiliki kekayaan jenis kupu-kupu mencapai 2.500 jenis, dengan tingkat endemisitas yang tinggi yaitu mencapai 35 % dari jumlah total jenisnya (Peggie 2011). Pulau Sulawesi memiliki 560 jenis kupu-kupu, 42 persen diantaranya endemik (Soehartono dan Mardiastuti 2003). Kawasan Bantimurung yang terletak di Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan identik dengan kupu-kupu, sehingga penjelajah asal Inggris Alfred Russel Wallace (1890) dalam bukunya The Malay Archipelago menyebutkan Bantimurung sebagai Kerajaan Kupu-Kupu (Kingdom of The Butterflies). Pada saat itu, ia menemukan 256 jenis kupu-kupu di kawasan tersebut.

Dalam perkembangannya, jumlah jenis kupu-kupu terus menurun. Mattimu

et al. (1977) melaporkan hasil temuannya sebanyak 103 jenis kupu-kupu dan Achmad (2002) pada tahun 1995 juga melakukan inventarisasi pada kawasan yang sama, tetapi jumlah jenis kupu-kupu hanya tinggal sekitar 80 jenis. Salah satu faktor penyebabnya diduga akibat kegiatan pemanfaatan komersial (Achmad 2002; Hamidun 2008; Sumah 2012). Pemanfaatan komersial yang dimaksud adalah untuk tujuan perdagangan yang dilakukan melalui penangkapan dari habitat alam. Hal ini berarti bahwa pemanfaatan jenis SL menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 19991

yang bertujuan agar jenis satwa liar dapat didayagunakan secara lestari untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat belum sepenuhnya efektif.

Pemanfaatan komersial kupu-kupu dari habitat alam di daerah penyangga Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN Babul) Kabupaten Maros telah dilakukan oleh masyarakat sejak tahun 1970-an2 dan masih terus berlangsung sampai saat ini. Hal tersebut juga berkaitan erat dengan keberadaan kawasan Bantimurung sebagai lokasi wisata, sehingga permintaan akan kupu-kupu awetan oleh para pengunjung cukup tinggi. Bagi sebagian masyarakat di daerah penyangga TN Babul, pemanfaatan komersial kupu-kupu dari habitat alam merupakan mata pencaharian tetap dan memberikan hasil yang cukup besar.

Tingginya aktivitas penangkapan kupu-kupu diduga menyebabkan beberapa jenis mengalami penurunan populasi dan peluang untuk menghasilkan keturunan

1

PP 8/1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. 2

Hasil wawancara dengan salah seorang pengumpul pedagang kupu-kupu di Kecamatan Bantimurung.

menjadi kecil sehingga ancaman kepunahannya menjadi tinggi (Achmad 2002). Kegiatan penangkapan kupu-kupu yang berlebihan, apalagi tanpa mempertimbangkan keseimbangan populasinya di alam, pada akhirnya akan berdampak negatif terhadap kelestarian kupu-kupu itu sendiri, sehingga sumber daya kupu-kupu di habitatnya mengalami tekanan dan bahkan sangat mungkin pada suatu waktu masyarakat akan kehilangan sumber daya ini.

Sumber daya kupu-kupu di habitat alam adalah sebagai sumber daya bersama (common pool resources, CPRs3

). Sumber daya bersama menurut

Dharmawan dan Daryanto (2002) adalah sumber daya yang secara de facto tidak

dimiliki atau diawasi secara eksklusif oleh satu orang pemilik atau satu kelompok pemilik. Oleh sebab itu menurutnya, pihak-pihak yang terlibat dalam pemanfaatan tidak memiliki kendali dan tanggung jawab yang jelas terhadap kualitas dan prospek sumber daya tersebut, sehingga tidak memiliki insentif untuk membuat keputusan investasi dan alokasi sumber daya yang efisien. Eksploitasi sumber daya bersama ini cenderung menguntungkan siapa yang lebih dahulu dan mengeruk terus menerus manfaat (keuntungan) yang bisa diperoleh, dengan mengabaikan pihak lain dan efek yang ditimbulkannya.

Praktik penangkapan kupu-kupu secara bebas dari alam jelas tidak akan memberikan insentif untuk mempraktikkan penangkapan secara selektif. Perilaku yang demikian juga meniadakan insentif bagi pengembangbiakan buatan dalam bentuk penangkaran atau budi daya lainnya, yang dampaknya beresiko terhadap populasi kupu-kupu dalam jangka panjang. Dalam sumber daya bersama, apabila seseorang yang merasakan manfaat, kemudian mengembangbiakan populasi kupu-kupu melalui pengembangan habitat dan penyediaan tumbuhan pakan, tidak menjamin bahwa hanya orang tersebut yang boleh memanfaatkan hasil dari keberadaan kupu-kupu. Orang lain yang tidak berkontribusi juga dapat menerima manfaat tanpa harus ikut menanggung biaya untuk pengadaannya. Perilaku ini disebut dengan free riders (pengguna gratis).

Ketidakjelasan tentang hak dan kewajiban dalam pemanfaatan kupu-kupu, belum adanya penerapan aturan serta penegakan sanksi secara konsisten menunjukkan bahwa kelembagaan4 dalam alokasi sumber daya alam hayati tersebut tidak berfungsi, sehingga menimbulkan inefisiensi dan mengancam kelestariannya. Kelembagaan yang tidak berfungsi tersebut menjadi salah satu sebab terjadinya tekanan terhadap populasi kupu-kupu di habitat alam yang pada akhirnya berdampak pada menurunnya pendapatan masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, diperlukan pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana kelembagaan berupa peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL berperan mengendalikan perilaku masyarakat dalam kegiatan pemanfaatan komersial kupu-kupu. Keberadaan peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL tidak dapat menjamin kinerja yang baik, jika peraturan perundang-undangan yang diterapkan tidak sesuai dengan situasi yang ada.

3

Common pool resources (CPRs) adalah karakteristik sumber daya alam yang memiliki excludability rendah (secara fisik seseorang sangat sulit untuk membatasi orang lain dalam memanfaatkan barang/sumber daya tersebut) dan subtractability tinggi (barang/sumber daya tersebut mudah berkurang karena pemanfaatan) (Buck 1998; Berge 2003).

4

Kelembagaan adalah sejumlah peraturan yang berlaku dalam sebuah masyarakat, kelompok atau komunitas, yang mengatur hak, kewajiban, tanggung jawab baik secara individu maupun sebagai kelompok (Schmid 1987).

1.2 Perumusan Masalah

Permasalahan kenapa individu, kelompok masyarakat, dan pihak-pihak lain yang terlibat membuat keputusan produksi, alokasi dan konsumsi tidak kondusif terhadap pemanfaatan sumber daya sangat ditentukan oleh gugus kesempatan yang tersedia dalam lingkungannya. Menurut North (1990) gugus kesempatan tersebut bergantung pada aturan main yang ada, baik yang bersifat formal maupun informal. Aturan main formal antara lain dalam bentuk kebijakan formal. Kebijakan formal adalah keputusan-keputusan yang dikodifikasi secara tertulis dan disahkan atau diformalkan agar dapat berlaku (Nugroho 2013). Seluruh aturan main tersebut merupakan bentuk kelembagaan yang menentukan interdependensi antar individu atau kelompok masyarakat yang terlibat (Schmid 1987; North 1990; Barzel 1991). Kelembagaan merupakan instrumen yang mengatur hubungan antar individu atau kelompok masyarakat dan mengatur apa yang dilarang dikerjakan oleh seseorang atau dalam kondisi bagaimana seseorang dapat mengerjakan sesuatu (North 1990).

Memperhatikan uraian tersebut di atas, maka di dalam penelitian ini masalah kelembagaan yang dimaksud meliputi dua aspek utama yaitu kelembagaan sebagai aturan main dan kelembagaan sebagai organisasi (lembaga). Kelembagaan sebagai aturan main dalam hal ini berupa ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur pemanfaatan jenis SL, antara lain adalah: (a) UU 5/19905

; (b) PP 8/1999; (c) PP 38/20076

; (d) Kepmenhut 447/20037

; dan (e) Permen LH 29/20098.

Sementara sebagai organisasi, berdasarkan pasal 65 PP 8/1999, departemen yang bertanggungjawab di bidang Kehutanan ditetapkan sebagai Otoritas Pengelola (Management Authority) konservasi tumbuhan dan SL dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ditetapkan sebagai Otoritas Keilmuan (Scientific Authority). Selanjutnya melalui Kepmenhut Nomor 104/Kpts-II/2003, Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Dirjen PHKA) ditunjuk sebagai pelaksana Otoritas Pengelola CITES9 di Indonesia.

Pengaturan pemanfaatan SL diawali dengan penetapan kuota penangkapan SL dari habitat alam yang merupakan batas maksimal jenis dan jumlah spesimen SL yang dapat ditangkap dari habitat alam. Kuota ditetapkan oleh Dirjen PHKA berdasarkan rekomendasi LIPI untuk setiap kurun waktu 1 (satu) tahun takwim untuk spesimen, baik yang termasuk maupun tidak termasuk dalam daftar

Appendix CITES, jenis yang dilindungi maupun tidak dilindungi undang-undang. Ketersediaan data potensi SL yang menggambarkan populasi dan penyebaran setiap jenis masih sangat terbatas sehingga merupakan hambatan bagi otoritas

5

UU 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 6

PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

7

Kepmenhut 447/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar.

8

Permen LH 29/2009 tentang Pedoman Konservasi Keanekaragaman Hayati di Daerah. 9

CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) adalah konvensi (perjanjian) internasional yang bertujuan untuk membantu pelestarian populasi di habitat alamnya melalui pengendalian perdagangan internasional spesimen tumbuhan dan satwa.

keilmuan dalam memberikan rekomendasi kepada otoritas pengelola bagi penetapan kuota penangkapan secara optimal.

Sementara menurut PP 38/2007, pemberian izin pemanfaatan SL yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam Appendix CITES menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah provinsi memiliki kewenangan pengawasan pemberian izin pemanfaatan SL yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam AppendixCITES.

Ketentuan Kepmenhut 447/2003 telah mengatur peran dan fungsi Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) untuk melaksanakan penilaian keberhasilan pemanfaatan, melakukan pembinaan dan pengendalian, pengawasan peredaran di dalam negeri maupun ke luar negeri dalam wilayah kerjanya. Merujuk pada Keputusan Menteri tersebut, secara legal formal, BKSDA telah diakui menjadi sebuah entitas tata kelola pemanfaatan SL. Dengan demikian BKSDA mempunyai otoritas secara teknis administratif untuk memaksimalkan kewenangan yang dimilikinya. Pada tataran konseptual, dengan adanya peraturan tersebut, idealnya segenap perangkat organisasi BKSDA dapat menjalankan fungsi administrasi, fungsi regulasi, fungsi pelayanan publik, maupun fungsi pengawasan. Namun demikian, realitas praktis berkebalikan dengan asumsi konseptual itu. Balai KSDA di wilayah kerja hanya menghadirkan tata kelola dalam derajat yang minimalis, artinya fungsi-fungsi tersebut belum seluruhnya dilaksanakan. Hal ini tercermin dari belum sepenuhnya ketentuan peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL dapat diimplementasikan. Berpijak pada paparan praktis di atas, penguatan tata kelola pemanfaatan SL sangat diperlukan.

Aktivitas pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros yang masih berlangsung, belum sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Ketidaksesuaian tersebut adalah tidak dilengkapi dengan izin, tidak mematuhi kuota penangkapan, tidak sesuai dengan lokasi penangkapan dan waktu yang ditentukan, serta dilakukan oleh perorangan atau kelompok yang dianggap belum mampu secara teknis dan terampil melakukan penangkapan sehingga menyebabkan terganggunya populasi serta habitatnya di alam.

Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa ketentuan peraturan perundang- undangan pemanfaatan SL belum menyelesaikan permasalahan yang sesungguhnya. Padahal, peraturan perundang-undangan bertujuan untuk menciptakan tertib pemanfaatan SL termasuk mekanisme penegakan hukum dan sanksi sebagaimana diatur dalam UU 5/1990, PP 8/1999 dan Kepmenhut 447/2003. Semua permasalahan yang diuraikan di atas mengindikasikan bahwa negara dalam hal ini pemerintah selaku pihak yang menguasai kekayaan alam termasuk SL kupu-kupu di habitat alam, belum berhasil melakukan pengelolaan pemanfaatan sebagaimana yang diharapkan.

Penelitian ini dilaksanakan dengan maksud untuk mendapatkan pengetahuan mengapa kelembagaan yang diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang- undangan dan lembaga pemerintah yang mengatur pemanfaatan SL termasuk dalam hal ini pemanfaatan komersial kupu-kupu, belum sepenuhnya mampu mengarahkan perilaku masyarakat dan para pihak yang terkait ke arah pemanfaatan kupu-kupu secara lestari.

Kupu-kupu merupakan salah satu sumber daya hayati yang diminati sebagian masyarakat di daerah penyangga TN Babul, sehingga penangkapannya

dari habitat alam selalu berlanjut tanpa henti. Penangkapan SL tersebut didasarkan pada nilai. Nilai yang dicari oleh para pemanfaat kupu-kupu ini adalah nilai ekonomi yang terdapat pada SL tersebut. Karakteristik sumber daya kupu-kupu terutama kelimpahan jenis, seks rasio, dan status pemanfaatan kupu-kupu yang diperdagangkan (komersial) perlu diketahui. Karakteristik pemanfaatan melalui penangkapan dan peredaran/perdagangan kupu-kupu oleh masyarakat juga perlu diketahui.

North (1990) dan Agrawal (2001) menyatakan bahwa permasalahan yang yang harus diperhatikan dan sangat krusial adalah berkenaan dengan aturan formal, karena aturan formal menentukan perilaku individu/kelompok. Aturan formal mengatur hubungan antar pemanfaat dengan sumber daya yang dimanfaatkan, dan hubungan antara pihak-pihak yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya. Oleh sebab itu, permasalahan yang terkait dengan aturan formal perlu diketahui. Sejauh mana kewenangan lembaga yang terkait, serta keefektifan implementasi terhadap peraturan perundang-undangan pemanfaatan komersial SL kupu-kupu.

Pemahaman terhadap karakteristik sumber daya kupu-kupu, karakteristik masyarakat pemanfaat dan aktivitasnya, serta peraturan perundang-undangan akan sangat bermanfaat dalam menyusun kelembagaan yang efektif untuk mencapai kinerja yang diharapkan, yaitu pemanfaatan komersial kupu-kupu yang terjamin kelestariannya untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.

Beberapa pokok permasalahan yang perlu dijawab dalam rangka meningkatkan kinerja pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros, adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah karakteristik sumber daya kupu-kupu yang dimanfaatkan secara komersial?

2. Bagaimanakah karakteristik pemanfaatan meliputi penangkapan dari alam dan peredaran komersial kupu-kupu?

3. Sejauh mana keefektifan implementasi peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL kaitanya dengan pemanfaatan komersial kupu-kupu?

4. Bagaimanakah kelembagaan yang efektif yang harus disusun untuk mengendalikan pemanfaatan komersial kupu-kupu secara lestari?

1.3 Landasan Teori dan Kerangka Pemikiran Penelitian

Satwa liar kupu-kupu di habitat alam merupakan sumber daya bersama (common pool resources, CPRs) yang di Indonesia pengaturannya di bawah rezim kepemilikan negara. Menurut Ellsworth (2004), rezim kepemilikan negara adalah bentuk pengelolaan sumber daya alam yang pemiliknya adalah lembaga publik atau organisasi pemerintah yang diberi kuasa oleh negara. Hak kepemilikan negara memiliki ciri pengaturannya dilaksanakan pemerintah. Pengaturan oleh pemerintah ini harus menjamin masyarakat untuk memperoleh hak untuk memanfaatkan secara berkeadilan. Pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul didasarkan pada peraturan perundang-undangan tertentu. Siapa yang dapat menjadi pemegang hak (izin) ditentukan oleh kaidah peraturan perundang-undangan, sedangkan kewajiban pemegang izin ditujukan untuk memelihara tujuan sosial (Ellsworth 2004).

Ostrom (2008) menyatakan bahwa kinerja pengelolaan sumber daya bersama (CPRs) tidak hanya ditentukan oleh tersedianya kebijakan yang mengatur

bagaimana sumber daya tersebut harus dikelola dan prosedur administrasi yang harus dilalui (peraturan perundang-undangan), tetapi juga ditentukan oleh kondisi fisik material (karakteristik sumber daya) dan atribut komunitas (karakteristik pemanfaat). North (1990) dan Agrawal (2001) menjelaskan bahwa aturan formal dan informal mengarahkan perilaku individu/organisasi dalam hubungannya dengan sumber daya, sementara perilaku individu/organisasi merupakan faktor kunci yang menentukan keberhasilan pengelolaan sumber daya, tidak terkecuali dalam pemanfaatan komersial kupu-kupu. Hal ini berarti bahwa perilaku pelaksana peraturan perundang-undangan dan perilaku individu/kelompok masyarakat pemanfaat sebagai kelompok sasaran berperan dalam keberhasilan pengelolaan pemanfaatan sumber daya kupu-kupu.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, disusun kerangka pemikiran penelitian yang merupakan kerangka analisis kelembagaan sebagaimana disajikan pada Gambar 1.1.

Gambar 1.1 Kerangka pemikiran penelitian (dimodifikasi dari Basuni 2003)

Kerangka analisis kelembagaan yang digunakan dalam penelitian ini mengadaptasi konsep analisis yang dikemukakan oleh Heltberg (2001) dan