• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaku-pelaku di dalam Rantai Hulu Hilir

Dalam dokumen Pola-pola Eksploitasi Terhadap Usaha Kecil. (Halaman 55-61)

BAB II AKUMULASI MODAL DAN POLA-POLA EKSPLOITAS

BAB 4 MENGHILANGKAN EKSPLOITASI: MENYEIMBANGKAN KEKUATAN ANTAR PELAKU

2.1 Akumulasi Modal dan Eksploitasi di dalam Rantai Usaha Mebel Rotan

2.1.1 Pelaku-pelaku di dalam Rantai Hulu Hilir

Pusat produksi mebel rotan terletak di Tegalwangi, tetapi rantai bahan bakunya berasal dari luar Jawa, yaitu Pulau Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera. Pintu masuk rotan mentah dan setengah jadi yang menjadi bahan baku industri rotan di Tegalwangi adalah Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta dan Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya. Industri rotan di Tegalwangi lebih banyak menggunakan bahan baku rotan yang berasal dari Kalimantan dan Sulawesi melalui Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya.

Pelaku usaha yang melakukan produksi mebel rotan di Tegalwangi adalah pengrajin dan eksportir yang memiliki pabrik. Dalam proses produksinya, baik pengrajin maupun eksportir mempekerjakan buruh upahan dengan sistem

pengupahan borongan serta harian, tergantung jenis pekerjaan yang dilakukan. Sementara sistem produksi mebel rotan sendiri menggunakan sistem subkontrak dalam dan luar pabrik milik eksportir. Sistem subkontrak-dalam mengharuskan pengrajin secara berkelompok mengerjakan pesanan dari eksportir di dalam pabrik, mendapatkan bahan baku dari pabrik, dan menyerahkan hasilnya untuk dipasarkan kepada pemilik pabrik. Sementara dalam sistem subkontrak-luar, pengrajin bekerja di rumah masing-masing dan menyerahkan hasil produksinya kepada pemilik pabrik untuk dipasarkan. Bagi pengesub--istilah untuk pengrajin yang menjadi subkontrak-luar, bahan baku dapat diperoleh dari pabrik atau membeli sendiri pada toko bahan baku yang ada di Tegalwangi. Hal ini tergantung kontrak dengan eksportir sebagai pemilik order.

Pada hubungan subkontrak-luar, terdapat dua tingkatan subkontrak di dalam hubungan produksi di Cirebon, yaitu subkontrak tingkat pertama dan kedua. Hubungan subkontrak tingkat pertama terjadi antara eksportir dengan pengesub

tingkat pertama. Kadang-kadang pengesub mendapatkan order yang sebenarnya tidak dapat dia kerjakan sendiri, akan tetapi tetap diterima. Pesanan tersebut kemudian dialihkan pada pengesub lainnya. Hubungan subkontrak antarpengesub inilah yang disebut hubungan subkontrak tingkat kedua.

Rantai perdagangan bahan baku rotan mentah dicirikan dengan rantai pemasaran yang relatif panjang dan melibatkan banyak pelaku di dalamnya. Jalur perdagangan rotan mentah dan setengah jadi dari Kalimantan melibatkan petani pemotong rotan, pengumpul desa, pengumpul kecamatan, pengumpul di Samarinda, dan broker atau pedagang perantara yang menghubungkan pengumpul di Samarinda dengan pengumpul di Surabaya. Di Pulau Jawa, rantai perdagangan rotan setengah jadi melibatkan pengumpul atau pedagang di Surabaya dan pedagang di Tegalwangi. Pedagang di Tegalwangi umumnya

l 1

Studi ini menelusuri rantai perdagangan rotan mentah hanya dari Kalimantan, tepatnya Kabupaten Kutai Barat dan Kota Samarinda di Kalimantan Timur.

1

memiliki toko dan gudang sendiri dan memiliki hubungan langsung dengan pedagang di Surabaya atau Kalimantan.

Rantai pemasaran mebel rotan sendiri terbagi atas pedagang lokal dan eksportir. Baik pedagang lokal maupun eksportir, ada yang melakukan produksi mebel sendiri tetapi ada pula yang hanya bertindak sebagai pengumpul yang kemudian memasarkannya kepada pihak lain, yaitu konsumen langsung, pedagang mebel rotan di kota lain, dan importir atau buyer dari luar negeri yang datang ke Tegalwangi.

Penelitian di Cirebon menunjukkan beberapa pengkategorian eksportir seperti yang diuraikan sebagai berikut (Widyaningrum dan Mulyoutami, 2003). Penggolongan eksportir dari kepemilikan usahanya dibagi menjadi :

Eksportir PMA (Penanaman Modal Asing) yaitu perusahaan yang sepenuhnya dimiliki oleh orang asing. Sejauh yang diketahui, hanya terdapat satu PMA di Cirebon yang termasuk dalam perusahan berskala besar. Relasi produksi dalam perusahaan jenis ini belum diteliti karena kesulitan memperoleh akses untuk wawancara dengan aktor-aktor kunci di perusahaan semacam ini.

Eksportir lokal asing. Perusahaan ini umumnya merupakan perusahaan dengan kepemilikan (formal) lokal tetapi sebagian atau seluruh modalnya berasal atau dimiliki investor asing dalam bentuk pinjaman atau kadang- kadang dalam bentuk penyertaan modal. Bentuk kepemilikan jenis ini cenderung digunakan sebagai strategi untuk menghindari berbagai peraturan yang diberlakukan untuk perusahaan asing seperti peraturan- peraturan perpajakan. Bentuk perusahaan ini umumnya diawali dengan hubungan antara buyer-broker yang berlanjut karena kedua pihak sama-

i 1)

2)

Besar kecilnya skala usaha diambil dari pandangan eksportir di Cirebon yang menganggap bahwa eksportir skala besar adalah yang mampu mengirim lebih dari 100 kontainer/bulan secara relatif rutin, skala menengah 30-100 kontainer/bulan, dan skala kecil <30 kontainer/bulan.

Pengkategorian kedua adalah pengkategorian eksportir berdasarkan aktivitas yang dijalankannya yaitu eksportir pengumpul dan eksportir produsen. Peran yang dimainkan eksportir pengumpul adalah sebagai broker atau perantara yang menghubungkan produsen dengan buyer asing. Beberapa di antaranya memiliki pabrik sendiri yang digunakan untuk proses finishing dan gudang penyimpanan, tapi ada juga yang hanya memiliki gudang penyimpanan barang. Pada eksportir- eksportir pengumpul ini, keseluruhan tahapan produksi dilakukan di luar pabrik oleh pengesub, sedangkan proses finishing dilakukan dengan menggunakan jasa perusahaan finishing.

Pilihan untuk menjadi eksportir pengumpul dilakukan karena eksportir belum mendapatkan modal untuk berinvestasi dalam bentuk pabrik. Setelah beberapa lama menjadi eksportir pengumpul, para eksportir ini cenderung berinvestasi dengan membangun gudang untuk melakukan produksi di dalam pabrik. Pada titik inilah eksportir pengumpul kemudian beralih menjadi eksportir produsen.

Pengkategorian ketiga adalah yang terpenting karena menentukan pola relasi yang dibangun eksportir dengan pengesub. Pengkategorian ini dilakukan berdasarkan kualitas produk serta volume ekspor. Tipe pertama adalah eksportir yang menjual produk berkualitas tinggi dengan volume ekspor yang sedang (berkisar pada 30-100 kontainer per bulan). Kedua, eksportir dengan kualitas sama merasa puas atas hubungan yang saling menguntungkan sebelumnya dan prediksi keuntungan dalam jangka panjang.

Eksportir lokal. Skala usaha di kelompok ini juga bermacam-macam. Ada eksportir yang mengawali usahanya sebagai pengesub dan setelah berhasil mendapat order langsung dari buyer, mereka beralih menjadi eksportir. Namun, ada juga eksportir yang mengawali usahanya dengan mencari

buyer melalui tamu-tamu hotel, buyer asing yang datang ke show room, atau melalui internet. Pembedaan berdasarkan kepemilikan ini hanya menjadi gambaran untuk melihat kepemilikan modal yang dimiliki masing- masing tipe eksportir.

produk yang sedang dan volume ekspor besar (di atas 100 kontainer per bulan). Tipe ketiga adalah eksportir dengan volume produksi sedang dan tuntutan kualitas sedang karena mengisi pasar kelas bawah.

Secara diagramatis, alur produksi dan pelaku dalam rantai hulu hilir industri mebel rotan dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Konsumen Akhir Kulakan/Eceran

PMA Eksportir Lokal Eksportir Lokal Asing

Pengesub tingkat II

Pengesub tingkat I Konsumen Akhir Pedagang Lokal

Pasar Lokal Pasar

Eksport

Pedagang Rotan Cirebon Pedagang Rotan Jakarta/Surabaya

Broker/Perantara/Mitra Pengumpul/Pedagang Antar Pulau

Pengumpul di Tingkat Kecamatan Pengumpul di Tingkat Desa Industri Lampit di

Kalimantan Selatan Eksportir rotan mentah (legal/ilegal)

Pengrajin Anyaman Petani

Gambar 2.1 Rantai Hulu Hilir Industri Mebel Rotan

Keterangan:

Rotan basah Bahan baku

Bahan jadi / setengah jadi

Pedagang

Bes

Dalam dokumen Pola-pola Eksploitasi Terhadap Usaha Kecil. (Halaman 55-61)