• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengorganisasian Usaha Kecil: Sebuah Jawaban?

Dalam dokumen Pola-pola Eksploitasi Terhadap Usaha Kecil. (Halaman 156-161)

MENYEIMBANGKAN KEKUATAN ANTAR PELAKU ab-bab sebelumnya telah menunjukkan bahwa ketidakmampuan

4.4 Pengorganisasian Usaha Kecil: Sebuah Jawaban?

Pengorganisasian kelompok usaha kecil juga menjadi salah satu upaya yang banyak dilakukan, dengan asumsi bahwa dengan berkelompok, usaha kecil akan memiliki kekuatan untuk menghadapi pelaku-pelaku lain baik di dalam rantai perdagangannya maupun dengan aktor pemerintah. Berdasarkan hal itulah saat ini bermunculan berbagai kelompok dan asosiasi pengusaha kecil, bahkan sampai di desa-desa. Pembentukan kelompok pengrajin dan petani, seperti kelompok petani pengumpul rotan di Kutai Barat, Kalimantan Timur, atau kelompok pengrajin gula kelapa di Banyumas, umumnya diprakarsai oleh LSM pendamping. Kelompok-kelompok inilah yang diharapkan dapat menjadi embrio berbagai institusi alternatif seperti disebutkan di atas. Misalnya, kelompok pengrajin gula kelapa Banyumas, selain merupakan kelompok simpan-pinjam,

Penelitian yang mengambil kasus gula kelapa dan genting dilakukan bekerja sama dengan Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK) dan dua anggotanya, yaitu LPPSLH di Banyumas dan Persepsi di Klaten. Kerja sama tersebut dilanjutkan dengan upaya aksi di desa wilayah studi untuk membangun sistem asuransi sosial bagi kelompok pengrajin gula kelapa di Banyumas dan pencarian pasar alternatif bagi pengrajin genting di Klaten.

1

juga dikembangkan untuk menampung produk anggota dan menyalurkannya ke pedagang di tingkat kecamatan, sementara kelompok petani dan pengrajin rotan di Kalimantan Timur tersebut berupaya menjadi saluran pemasaran rotan.

Kasus pembentukan kelompok pengusaha kecil di tingkat komunitas tampaknya lebih mudah untuk dilakukan pada pelaku-pelaku usaha yang berada di pedesaan seperti kasus pengrajin gula kelapa, genting, atau petani rotan tersebut. Sementara pada penelitian ini, kelompok sejenis yang cukup solid dan bertahan tidak ditemukan di tingkat pengrajin mebel rotan di Cirebon maupun mebel jati di Jepara.

Dilema yang sering muncul dari upaya pengorganisasan adalah bahwa setelah terbentuk, kelompok atau organisasi ternyata hanya dimanfaatkan oleh elite-elite kelompok tersebut untuk keuntungan usahanya sendiri. Ini terutama terlihat pada organisasi besar semacam Kadin UKM, yang sering dikeluhkan banyak pengusaha sebagai ajang mencari order bagi pengurusnya. Sementara pada penelitian ini, keluhan yang serupa dilontarkan oleh para pengusaha tingkat eksportir terhadap keberadaan ASMINDO di Cirebon.

Di tingkat kelompok-kelompok yang berbasis komunitas di pedesaan, hal tersebut bukan tidak mungkin pula terjadi. Dalam penelitian mengenai penyaluran kredit mikro melalui skema kredit kelompok pada pengrajin emping jengkol, peneliti menemukan bahwa alih-alih dimanfaatkan sebagai modal untuk anggota, kredit tersebut ternyata kemudian dimanfaatkan oleh ketuanya. Penelusuran lebih lanjut tentang hubungan ketua dan anggota menunjukkan bahwa ketua adalah penampung dari emping jengkol yang dihasilkan oleh anggota. Dengan demikian, sebenarnya anggota kelompok dalam proses produksi bertindak sebagai pekerja rumahan (Widyaningrum, 2001).

Proses pengorganisasian, termasuk mengenali pola relasi di antara pihak-pihak yang akan terlibat dalam proses pengorganisasian, menjadi penting -- terutama oleh LSM yang sering membidani kelahiran kelompok-kelompok pengusaha kecil

di pedesaan tersebut. Mengenali berbagai bentuk relasi yang terjadi di antara para calon anggota kelompok akan dapat membantu mengenali di mana letak kekuasaan berada dan mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan pemanfaatan kelompok tersebut oleh sekelompok elitenya.

Proses pengorganisasian juga harus dipandang tidak melulu membentuk sebuah organisasi atau kelompok yang 'resmi' atau legal. Pada dasarnya, para pengrajin atau pengusaha kecil akan berkelompok apabila mereka dapat melihat keuntungan terutama keuntungan jangka panjang dari berkelompok atau bergabung. Kasus sebuah jaringan perempuan usaha kecil di Banyumas, misalnya, menunjukkan bagaimana perbedaan kepentingan dan kebutuhan antara anggota dapat menimbulkan keengganan anggota untuk berpartisipasi. Anggota dari jaringan ini adalah kelompok-kelompok perempuan pelaku usaha di beberapa desa yang tersebar di Banyumas, dengan latar belakang usaha yang berbeda-beda, mulai dari sektor pertanian sampai perdagangan. Perbedaan usaha dan karakternya ini membawa perbedaan kebutuhan masing-masing kelompok tersebut. Hal inilah yang menyebabkan partisipasi sejumlah anggota kemudian menurun, di samping juga masalah teknis seperti faktor geografis (wilayah yang sangat tersebar) sehingga biaya transportasi menjadi cukup tinggi. Pengorganisasian atas dasar platform atau kepentingan dan kebutuhan yang sama menjadi penting agar pengorganisasian dapat berjalan dengan efektif. Di dalam hal meningkatkan posisi tawar pengusaha kecil terhadap pelaku lain dalam rantai hulu hilir, penelitian ini masih sulit menemukan kelompok atau organisasi yang telah mampu berhadapan dengan pelaku besar. Kasus kelompok- kelompok pengrajin gula kelapa, misalnya, meskipun telah berkembang menjadi kelompok simpan-pinjam, tetap masih belum berhasil melawan dominasi pedagang pengumpul di desa. Bahkan di desa C, pedagang pengumpul yang bersangkutan berhasil melemahkan peran kelompok yang tadinya menjadi pengumpul alternatif para pengrajin di desa tersebut. Pengumpul yang bersangkutan menempatkan istrinya sebagai anggota kelompok, yang kemudian juga menjadi pengumpul kecil bagi anggota kelompoknya. Kasus-kasus ini

menunjukkan bahwa pelaku-pelaku yang lebih kuat, yang bertindak sebagai pengeksploitasi dalam rantai hulu hilir, juga akan bereaksi terhadap hal-hal yang mungkin merugikan mereka. Meskipun demikian, upaya mencari kasus-kasus yang kelompoknya berhasil memperkuat posisi tawarnya harus terus dilakukan pada jenis-jenis usaha lain. Misalnya, pada penelitian mengenai monitoring

dampak krisis (AKATIGA dan The Asia Foundation, 1999) ditemukan bahwa melalui kelompok, para petani paprika di Lembang telah dapat memotong satu rantai pemasaran dengan memasok ke beberapa supermarket di Bandung. Dibutuhkan penelitian-penelitian lebih lanjut untuk melihat berbagai proses pengorganisasian dan menjadikannya sebagai bahan yang dapat dipelajari oleh pihak-pihak lain.

4.5 Pengembangan Usaha Kecil: Perlu Pemihakan yang Tidak

Setengah Hati

Uraian di atas menunjukkan bahwa pengembangan usaha kecil melalui upaya- upaya yang menghilangkan eksploitasi dari pelaku lain dalam rantai hulu hilir membutuhkan pengenalan yang lebih rinci terhadap pola relasi yang ada. Upaya pengembangan usaha kecil harus diletakkan dalam kerangka mengurangi kekuatan dari pelaku eksploitasi maupun meningkatkan posisi tawar dan kekuatan usaha kecil. Berbagai upaya yang selama ini telah dilakukan, seperti berbagai skema kredit, dapat diletakkan dalam kerangka mengurangi ketergantungan usaha kecil terhadap pelaku lain dalam hal kebutuhan akan modal atau pinjaman konsumsi. Akan tetapi seperti halnya perubahan struktural lainnya, dibutuhkan kesadaran bahwa upaya-upaya tersebut akan membutuhkan waktu yang lama dari pihak-pihak pemerhati usaha kecil. Selain itu, kemampuan dan kemauan untuk melakukan refleksi terhadap upaya yang telah dilakukan juga diperlukan pihak-pihak tersebut untuk mengkaji kembali upaya yang telah dikembangkan, sehingga upaya tersebut justru `tidak menciptakan ketergantungan baru terhadap

Judul diambil dari salah satu judul buku terbitan AKATIGA: Pengembangan Usaha Kecil:

Pemihakan Setengah Hati (Isono Sadoko dkk., 1995, Bandung: Yayasan Akatiga) 2

lembaga swadaya masyarakat atau pelaku lain, seperti yang diungkapkan direktur sebuah LSM terkemuka yang melakukan pendampingan terhadap ekspor pengusaha kecil. Secara singkat, meskipun terdengar klise, komitmen yang tidak setengah hati dari semua pihak yang peduli terhadap pengembangan usaha kecil dalam melakukan upaya penguatan usaha kecil dan merefleksi kegiatan yang telah dilakukan mutlak dibutuhkan untuk mencapai perubahan relasi-relasi yang lebih adil dan seimbang bagi usaha kecil.

Dalam dokumen Pola-pola Eksploitasi Terhadap Usaha Kecil. (Halaman 156-161)