Perkembangan praktek kefarmasian saat ini telah bergeser pada pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) sebagai misi profesi farmasis, sehingga hal ini membawa konsekuensi bahwa pekerjaan kefarmasian tidak hanya terfokus pada penyiapan dan penyaluran obat kepada pasien selaku pengguna jasa apotek. Tetapi, farmasis diharapkan ikut terlibat dalam perancangan, persiapan dan pemantauan terapi untuk pasien. Untuk itu, interaksi antara farmasis dengan pasien selaku pengguna jasa apotek harus lebih diintesifkan dengan meningkatkan peran aktif farmasis melalui konseling pasien dalam rangka menjamin dan efektivitas pengguna obat (PP R. I, 2009)
Pelayanan kefarmasian (Pharmaceutical care) adalah perubahan konsep dasar dalam praktik farmasi dimana muncul pada pertengahan tahun 1970. Hal ini mencerminkan bahwa para praktisi harus bertanggung jawab terhadap hasil terapi pengobatan pasien mereka. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, yang dimaksud dengan pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. (PP R. I, 2009).
Lingkup pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) adalah masalah terapi obat, diartikan seperti berbagai aspek terapi obat pasien yang tidak sesuai dengan keinginan pasien, tetapi terapi tersebut memberikan hasil terapetik positif. Sebelum adanya pelayanan kefarmasian, tidak ada kejelasan tentang konsistensi dan proses pelayanan sistematik yang digunakan dalam pengobatan. Oleh karena itu farmasis bertanggung jawab untuk memastikan hasil terapi, menyelesaikan dan mencegah masalah terapi obat yang dapat menghambat keberhasilan terapi yang diinginkan. Adapun bentuk pelayanan kefarmasian di Apotek yaitu:
a. Konseling
Apoteker harus memberikan konseling mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya
penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya.Untuk penderita penyakit tertentu seperti kardiovaskular, diabetes, TBC, asma, dan penyakit kronis lainnya apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan.
b. Monitoring Penggunaan Obat
Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti
kardiovaskular, diabetes, TBC, asma, dan penyakit kronis lainnya.
c. Promosi dan Edukasi
Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus memberikan edukasi apabila masyarakat ingin mengobati diri sendiri (swamedikasi) untuk
penyakit ringan dengan memilihkan obat yang sesuai dan apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu diseminasiinformasi, antara lain dengan penyebaran leaflet atau brosur, poster, penyuluhan, dan lain-lain (PP R. I, 2009).
d. Pelayanan Residensial (Home Care)
Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lanjut usiadan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya (PP R.I, 2009). 2.12. Evaluasi Apotek
Evaluasi mutu pelayanan merupakan proses penilaian kinerja pelayanan kefarmasian di apotek yang meliputi penilaian terhadap sumber daya manusia (SDM), pengelolaan perbekalan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan, dan pelayanan kefarmasian kepada pasien. Indikator yang digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan di apotek antara lain:
a. Tingkat kepuasan
pasien, dilakukan dengan survey berupa angket atau wawancara langsung.
b. Dimensi waktu, lama
pelayanan diukur dengan waktu (yang telah ditetapkan).
c. Prosedur tetap, untuk
menjamin mutu pelayanan sesuai standar yang telah ditetapkan.
Tujuan evaluasi mutu pelayanan adalah untuk mengevaluasi seluruh rangkaian kegiatan pelayanan kefarmasian di apotek dan sebagai dasar perbaikan pelayanan kefarmasian selanjutnya. Untuk mengetahui mutu pelayanan kefarmasian, salah satu indikator yang mudah dilakukan adalah dengan mengukur kepuasan pasien dengan cara angket (Depkes RI, 2004).
Berdasarkan Permenkes RI No. 35 Tahun 2014, evaluasi mutu di Apotek dilakukan terhadap mutu manajerial dan pelayanan farmasi klinik.
a. Mutu manajerial
Metode evaluasi mutu pelayanan apotek terhadap mutu manajerial antara lain:
Merupakan usaha untuk menyempurnakan kualitas pelayanan dengan pengukuran kinerja bagi yang memberikan pelayanan dengan menentukan kinerja yang berkaitan dengan standar yang dikehendaki. Oleh karena itu, audit
merupakan alat untuk menilai, mengevaluasi, menyempurnakan pelayanan kefarmasian secara sistematis. Audit dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil monitoring terhadap proses dan hasil pengelolaan. Contohnya adalah audit kesesuaian SPO, audit keuangan (cash flow, neraca, lapotran rugi laba), dan audit perbekalan kesehatan (Depkes R. I, 2014).
2) Review
Review yaitu tinjauan atau kajian terhadap pelaksanaan pelayanan
kefarmasian tanpa dibandingkan dengan standar. Review dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil monitoring terhadap pengelolaan sediaan farmasi dan seluruh sumber daya yang digunakan. Contohnya pengkajian terhadap obat fast moving dan slow moving serta perbandingan harga obat.
3) Observasi
Observasi dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil monitoring terhadap seluruh proses pengelolaan sediaan farmasi. Contohnya observasi terhadap penyimpanan obat, proses transaksi dengan distributor, ketertiban dokumentasi. Indikator evaluasi mutu diantaranya:
a) Kesesuaian Proses Terhadap Standar b) Efektivitas dan Efisiensi
c) Mutu Pelayanan Farmasi Klinik
b. Pelayanan farmasi klinik
Metode evaluasi mutu apotek terhadap pelayanan farmasi klinik antara lain : 1) Audit
Audit dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil monitoring terhadap proses dan hasil pelayanan farmasi klinik. Contohnya audit penyerahan obat kepada pasien oleh Apoteker dan audit waktu pelayanan.
2) Review
Review dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil monitoring terhadap pelayanan farmasi klinik dan seluruh sumber daya yang digunakan. Contohnya review terhadap kejadian Medication error.
3) Survei
Survei yaitu pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner. survei dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil monitoring terhadap mutu pelayanan dengan menggunakan angket atau kuesioner atau wawancara langsung.
Contohnya tingkat kepuasan pasien (Depkes R. I, 2014). 4) Observasi
Observasi yaitu pengamatan langsung aktivitas atau proses dengan menggunakan check list atau perekaman. Observasi dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil monitoring terhadap seluruh proses pelayanan farmasi klinik. Contohnya observasi pelaksanaan SPO pelayanan. Indikator yang digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan farmasi klinik adalah:
a) Pelayanan farmasi klinik diusahakan zero deffect dari medication error. b) Standar Prosedur Operasional (SPO) untuk menjamin mutu pelayanan
sesuai dengan standar yang telah ditetapkan c) Lama waktu pelayanan resep antara 15-30 menit
d) Keluaran pelayanan kefarmasian secara klinik berupa kesembuhan penyakit pasien, pengurangan atau hilangnya gejala penyakit, pencegahan terhadap penyakit atau gejala, memperlambat perkembangan penyakit (Depkes R. I, 2014).
BAB III
TINJAUAN UMUM APOTEK KIMIA FARMA IMAM BONJOL