• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelestarian Taman Nasional Meru Betiri di Kabupaten Jember, Jawa Timur (dimulai tahun 1 dan ketika studi kasus

Dalam dokumen Rehabilitasi hutan di Indonesia (Halaman 168-174)

Potret rehabilitasi di Indonesia: dampak dan pembelajaran dari

Proyek 4. Pelestarian Taman Nasional Meru Betiri di Kabupaten Jember, Jawa Timur (dimulai tahun 1 dan ketika studi kasus

dilakukan kegiatan masih berlangsung). Disebut proyek Pelestarian Taman Nasional

Bab 5 Potret rehabilitasi di Indonesia | 125 Setelah Reformasi, Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) mengalami tekanan berat dari kegiatan penebangan liar dan perambahan hutan yang mengakibatkan degradasi hutan yang cukup parah. Pihak pengelola taman nasional memulai kegiatan rehabilitasi melalui program perhutanan sosial, dengan mengajak masyarakat sekitar untuk ikut berpartisipasi dan bergabung dalam Kelompok Tani Mitra Rehabilitasi (KTMR). Program tersebut ditujukan untuk merehabilitasi kawasan hutan yang rusak, memperbaiki fungsi ekologi hutan, meningkatkan kesadaran masyarakat setempat akan pentingnya taman nasional sehingga mereka mempunyai rasa memiliki dan berkeinginan untuk melestarikan kawasan, dan pada waktu yang sama meningkatkan pendapatan mereka. Proyek tersebut mencakup rehabilitasi lahan serta penanaman pengkayaan dengan spesies komersil setempat. Hal ini dilaksanakan dalam zona rehabilitasi taman nasional seluas 4.023 ha. Pada tahun 1995, Latin (Lembaga Alam Tropika Indonesia) sebuah LSM lokal dan Institut Pertanian Bogor (IPB) membentuk konsorsium sebagai pelaksana proyek ‘Pelestarian Taman Nasional’ melalui pendekatan perhutanan sosial yang didanai oleh MacArthur Foundation. Proyek ini mencakup pembuatan persemaian dan petak percontohan (demplot) untuk tanaman obat, yang meliputi 7 ha dan melibatkan 60 keluarga. Latin juga melatih kaum perempuan di desa untuk meracik obat tradisional dari hasil hutan (wanafarma), termasuk pengolahan dan pemasaran produk dari tumbuhan obat tersebut.

Kegiatan ini kemudian difasilitasi oleh pihak LSM lainnya, yaitu Hammim dari tahun 1999 sampai 2000 yang didanai oleh Yayasan Kehati. Pada waktu yang bersamaan, pihak TNMB juga melakukan kegiatan rehabilitasi di empat desa penyangga. Kegiatan tersebut antara lain adalah: mengidentifikasi wilayah yang dirambah, mempelajari kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat yang bermukim di zona penyangga taman nasional, mensosialisasikan kegiatan rehabilitasi kepada masyarakat setempat, membentuk kelompok tani (KTMR), serta melakukan penanaman 12 jenis tanaman pada 400 ha lahan dengan melibatkan 31 kelompok tani. Kegiatan fasilitasi dilakukan oleh LSM setempat (Kail), yang dibentuk untuk meneruskan kerja konsorsium Latin-IPB. Anggota LSM ini terdiri dari orang-orang yang direkrut selama periode konsorsium. Kail telah memfasilitasi lebih kurang 53 kelompok tani dan melakukan penanaman pengkayaan di zona rehabilitasi taman nasional seluas 400 ha (sebagai tambahan dari wilayah yang telah ditanami pihak TNMB).

Konflik antara pihak taman nasional dengan LSM setempat muncul pada tahun 2002 dan belum ada penyelesaian hingga studi kasus ini dilakukan. Kurangnya komunikasi maupun pendekatan yang tepat telah menghambat usaha penyelesaian dari kedua belah pihak. Konflik tak terselesaikan ini telah berdampak negatif tidak

126 | Rehabilitasi hutan di Indonesia

hanya pada proyek rehabilitasi, melainkan juga pada kegiatan patroli pengawasan taman nasional. Bibit terbengkalai dan dibiarkan rusak di desa, karena petani terlalu takut untuk berpartisipasi dalam proyek tanpa dukungan dari LSM lokal. Intensitas kegiatan patroli oleh petugas taman nasional berkurang sehingga menyebabkan terjadinya perambahan lebih lanjut.

Persoalan lainnya yang memperparah hubungan antara pihak taman nasional dengan petani adalah perjanjian yang disusun sepihak oleh taman nasional. Terdapat beberapa klausul yang tidak dapat diterima oleh petani, seperti pengevaluasian proyek setelah lima tahun dan keputusan untuk memperpanjang perjanjian yang didasari hasil evaluasi itu. Perjanjian dapat dibatalkan apabila pemegang perjanjian atau penggarapnya meninggal dunia atau apabila pihak TNMB menginginkan areal tersebut kembali untuk alasan tertentu, serta siapapun yang memanfaatkan lahan tersebut harus mengembalikannya secara sukarela kepada pihak taman nasional tanpa menuntut ganti rugi.

Komunikasi dan koordinasi yang buruk juga mempengaruhi hubungan antara pihak taman nasional dan pemerintah daerah serta LSM setempat dengan pihak pemerintah daerah. Konflik kelembagaan segitiga ini telah menyulitkan keberlanjutan dan pencapaian tujuan rehabilitasi. Fasilitasi yang baik sangat diperlukan agar semua pihak yang bertikai dapat mendiskusikan perbedaan pendapat diantara mereka sehingga mencapai suatu pemecahan yang menguntungkan semua pihak. Hal ini dapat dicapai melalui kerjasama yang baik, serta pengakuan terhadap hak dan kewajiban masing-masing pihak, sementara kewenangan yang sesungguhnya atas taman nasional tetap berada di tangan pihak pemerintah. Akhir-akhir ini pihak pengelola taman nasional telah berusaha untuk membangun sistem komunikasi dan pendekatan yang baik, serta bekerjasama dengan pihak pemerintah daerah untuk mengantisipasi masalah pemasaran yang akan timbul seiring dengan mulai berproduksinya tanaman obat di areal rehabilitasi.

Hambatan lain yang secepatnya perlu diatasi adalah: rendahnya kapasitas fasilitator dan petugas penyuluh dari segi kuantitas maupun kualitas; ketersinggungan pribadi yang telah melebar menjadi masalah kelembagaan dan menyebabkan konflik yang berkepanjangan harus segera diselesaikan; peran fasilitator perlu dirumuskan dan disepakati, sarana pendukung untuk kegiatan penyuluhan perlu disediakan, serta hak dan kewajiban instansi terkait harus diperjelas. Salah satu persoalan yang sangat penting, yang harus dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh guna mendukung kegiatan rehabilitasi adalah penegakan hukum yang konsisten dan tegas yang harus dihormati oleh seluruh instansi terkait. Sebagai akibat dari penegakan hukum yang lemah, anggota masyarakat setempat yang berpartisipasi dalam kegiatan rehabilitasi mulai menjual lahan garapannya kepada

Bab 5 Potret rehabilitasi di Indonesia | 127 pihak lain, meskipun wilayah yang berada di dalam taman nasional tidak boleh diperjualbelikan. Masyarakat setempat juga cenderung tidak memelihara tanaman pohon sebagai tanaman rehabilitasi, karena mereka ingin mempertahankan lahan garapannya tetap terbuka untuk menanam tanaman pertanian penghasil uang tunai. Terdapat pula pandangan bahwa kegiatan rehabilitasi akan mengancam keberadaan taman nasional itu sendiri, karena masyarakat setempat berusaha memperluas lahan garapannya melewati batas wilayah/zona yang diperbolehkan dengan harapan bahwa pihak taman nasional akan mengakui lahan garapan tambahan tersebut sebagai bagian dari kegiatan rehabilitasi partisipatif.

Proyek 5. Rehabilitasi areal bekas penebangan yang dilakukan oleh badan usaha milik negara di Riau (16-2000). Disebut proyek Rehabilitasi Areal Bekas Penebangan.

Proyek ini merupakan bagian dari program Departemen Kehutanan yang menugaskan perusahaan negara Inhutani I-V untuk merehabilitasi hutan bekas penebangan seluas 5,5 juta ha berdasarkan Keputusan Menteri No. 362/Kpts-II/1993. Menyusul penutupan mekanisme pendanaan proyek rehabilitasi dari Dana Reboisasi, tugas rehabilitasi tersebut dicabut dan pada akhir tahun 2002/2003, seluruh kegiatan telah dihentikan (tanggal penutupan beragam antar perusahaan) (Dialog pribadi dengan direktur dan staf Inhutani 2004).

Salah satu lokasi rehabilitasi areal bekas penebangan ini terdapat di Propinsi Riau, yang mencakup 40.000 ha dari total 318.883 ha hutan yang diserahkan pada salah satu perusahaan negara di Sumatera. Tujuan dari proyek tersebut adalah untuk meningkatkan tutupan hutan dan merehabilitasi lahan tandus dalam rangka meningkatkan produksi kayu dan rotan, yang dapat menciptakan lapangan kerja dan sumber penghasilan bagi masyarakat setempat. Proyek rehabilitasi ini berfokus pada pengembangan hutan tanaman Shorea, jati, karet dan rotan (pada lahan seluas 40.000 ha) yang didanai oleh Dana Reboisasi yang disediakan oleh Departemen Kehutanan. Dampak yang diharapkan dari proyek ini, antara lain, adalah peningkatan produktivitas lahan dan perlindungan hutan dari kegiatan perambahan dan penebangan liar, sekaligus membuka peluang ekonomi yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Proyek rehabilitasi ini menunjukkan kompleksitas konflik perbatasan lahan yang melibatkan lebih dari tiga pihak, yaitu dinas kehutanan, perusahaan perkebunan, masyarakat setempat dan kelompok lainnya yang berkepentingan. Ternyata kelompok koperasilah yang cenderung memicu konflik kelembagaan. Kelompok tersebut berhubungan dengan perusahaan perkebunan yang ingin memperluas wilayah operasinya.

12 | Rehabilitasi hutan di Indonesia

Pendekatan top-down dan kegagalan Inhutani dalam memahami dinamika masyarakat dan memberdayakan lembaga setempat mengakibatkan partisipasi masyarakat yang tidak sungguh-sungguh (partisipasi semu). Benturan kepentingan yang timbul antar pemangku kepentingan menyebabkan suatu situasi yang sangat membahayakan. Konflik antar individu meluas menjadi konflik antar desa dan konflik antar lembaga, sebagai akibat dari tidak adanya pendekatan dan koordinasi yang tepat. Konflik tersebut umumnya terjadi setelah pencabutan tugas rehabilitasi pada perusahaan pada tahun 2002/2003; yang memicu demonstrasi dari masyarakat setempat, pembakaran fasilitas perusahaan, tuntutan atas lahan, perambahan serta penebangan liar. Hasil rehabilitasi dari perusahaan sangat sedikit karena konflik mencuat sebelum bibit yang ditanam sempat tumbuh. Selain itu, tidak ada koordinasi yang jelas antar pemangku kepentingan di tingkat lokal maupun propinsi dan kerangka hukum yang memadai pada tingkat nasional, sehingga hak yang diberikan pada perusahaan negara tersebut dicabut kembali oleh Departemen Kehutanan. Kawasan hutan seluas 40.000 ha tersebut kemudian diserahkan pada pemerintah propinsi tanpa rencana kegiatan lanjutan yang jelas. Walaupun terdapat masalah yang serius, berbagai dampak positif atau manfaat didapat oleh masyarakat, antara lain, pembangunan sarana seperti jalan, gedung sekolah dan fasilitas listrik. Selain itu, masyarakat peserta mempunyai kesempatan untuk bekerja sebagai buruh tidak tetap di persemaian dan dalam kegiatan penanaman di lapangan.

Proyek 6. Reboisasi Partisipatif di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat (14-1). Disebut proyek Reboisasi Partisipatif

Pada tahun 1992, GTZ dan Pemerintah Indonesia mendanai Proyek Pengembangan Perhutanan Sosial (Social Forestry Development Project/SFDP) untuk mengembangkan dan melakukan ujicoba pendekatan yang digunakan dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat pada wilayah seluas 102.250 ha, yang disebut areal Pengelolaan Kawasan Hutan Partisipatif (PKHP) di bagian utara Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Selama 12 tahun pelaksanaannya, proyek berfokus pada pengembangan kelembagaan, pemberdayaan masyarakat dan pengelolaan sumberdaya alam.

Proyek Reboisasi Partisipatif merupakan bagian dari proyek besar Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat tersebut. Tujuannya adalah meningkatkan tutupan dan produktivitas lahan dengan cara menanam pohon hutan, pohon buah-buahan dan rotan. Diharapkan bahwa tanaman tersebut dapat menghasilkan dan meningkatkan pendapatan serta menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat setempat.

Bab 5 Potret rehabilitasi di Indonesia | 12 Untuk aspek pengembangan kelembagaan, proyek membentuk suatu forum komunikasi yaitu Lembaga Kerjasama Antar Desa (LKAD), yang merupakan forum diskusi dan komunikasi antar delapan desa di dalam wilayah PKHP. Anggota forum terdiri dari wakil dari masing-masing desa. Tugas utama forum adalah mengelola seluruh aspek penyelesaian konflik dan keamanan, menyederhanakan hukum adat dan peraturan pemerintah, mengatur kegiatan sosialisasi serta membuat aturan tentang pemanfaatan lahan dan pengelolaan sumberdaya alam. Koperasi pengelolaan hutan berbasis masyarakat dengan nama Rimba Berseri dibentuk oleh kelompok masyarakat dari delapan desa tersebut. Suatu forum kerjasama pengelolaan proyek dan koordinasi pengembangan PKHP dibentuk dan digunakan sebagai forum komunikasi antar staf proyek, masyarakat setempat dan pemerintah lokal. Tugasnya mencakup proses fasilitasi, evaluasi dan pengawasan di dalam pengembangan PKHP. Kedua, usaha pemberdayaan masyarakat setempat diterapkan melalui kegiatan pelatihan dan pendidikan (pemberian beasiswa pendidikan formal, pelatihan, dll.). Ketiga, aspek pengelolaan hutan alam ditingkatkan dengan melakukan Tata Guna Lahan Desa Kesepakatan (TGLDK). Selain dari kegiatan pemetaan, kegiatan pemanenan dilakukan oleh Koperasi Rimba Berseri, termasuk pengendalian dan pengawasan program rehabilitasi di lapangan.

Pemetaan partisipatif, yang menghasilkan Tata Guna Lahan Desa Kesepakatan (TGLDK) meningkatkan kesadaran masyarakat setempat mengenai penggunaan lahan yang tepat untuk masing-masing klasifikasi hutan. Kegiatan ladang berpindah dan kebakaran hutan berkurang setelah TGLDK diterapkan.

Motivasi utama para petani yang mengikuti proyek reboisasi ini adalah insentif yang dijanjikan untuk periode dua tahun pertama proyek serta kewenangan atas pengelolaan lahan tersebut. Namun, ternyata pelaksanaannya sangat berbeda dengan apa yang telah dijanjikan sebelumnya, dan apa yang diterima oleh para petani justru dapat dikategorikan sebagai disinsentif. Sebagai bagian dari usaha mendorong masyarakat untuk terlibat aktif dalam pemeliharaan pohon yang telah ditanam, instansi teknis pemerintah, yaitu Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP DAS) memberikan insentif berdasarkan jumlah tanaman yang hidup. Pemeliharaan diperlukan sebanyak lima kali dalam dua tahun, khususnya pada saat tanaman berumur 3, 6, 12, 18 dan 24 bulan. Insentif diberikan sesuai dengan jumlah tanaman yang bertahan hidup, sebagaimana dinilai oleh Pembina Lahan Hutan, seorang anggota masyarakat setempat yang dilatih oleh proyek, serta staf BP DAS. Tarif insentif yang diberikan menjadi dua kali lipat untuk penilaian kedua (saat tanaman berumur 6 bulan). Namun, untuk masa penilaian ketiga hingga masa penilaian terakhir pada saat tanaman berumur 24 bulan, tarif insentif diturunkan menjadi sama dengan tarif yang diberikan untuk tanaman yang berumur 3 bulan. Dengan pengaturan seperti ini, masyarakat merasa kecewa.

130 | Rehabilitasi hutan di Indonesia

Harapan mereka bahwa insentif seharusnya meningkat bersamaan dengan bertambahnya umur tanaman.

Masalah lain dalam proses pelaksanaan adalah spesies yang dipilih tidak sesuai dengan keinginan masyarakat yang dari awal proyek berkeinginan untuk menanam pohon karet. Tanaman karet merupakan spesies yang dibudidayakan secara tradisional sebagai sumber penghasilan masyarakat di wilayah tersebut. Namun, selama lima tahun pertama proyek berjalan, tanaman karet tidak tercantum dalam daftar spesies untuk ditanam, karena spesies tanaman yang ditentukan adalah dipterocarp, pohon buah dan Acacia mangium (khusus untuk lahan alang-alang). Penanaman tanaman karet tidak dilarang, tetapi apabila masyarakat menanam spesies tersebut, mereka tidak memperoleh insentif seperti yang diterima oleh masyarakat lainnya yang menanam sesuai jenis yang ditentukan. Setelah proses negosiasi yang panjang, akhirnya mulai dari tahun keenam, masyarakat diijinkan untuk menanam pohon karet dan diberi insentif. Sangat disayangkan bahwa permintaan masyarakat yang tinggi akan tanaman karet tidak diterima pada tahap awal proyek.

Proyek 7. Rehabilitasi Hutan Bekas Kebakaran melalui Pembuatan

Dalam dokumen Rehabilitasi hutan di Indonesia (Halaman 168-174)