• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rehabilitasi Hutan Bekas Kebakaran melalui Pembuatan Petak Percontohan di Kalimantan Timur – Proyek ITTO PD 4/0 (F)

Dalam dokumen Rehabilitasi hutan di Indonesia (Halaman 174-181)

Potret rehabilitasi di Indonesia: dampak dan pembelajaran dari

Proyek 7. Rehabilitasi Hutan Bekas Kebakaran melalui Pembuatan Petak Percontohan di Kalimantan Timur – Proyek ITTO PD 4/0 (F)

(12-4). Disebut proyek Rehabilitasi Hutan Bekas Kebakaran

Pada tahun 1982-1983, kekeringan yang berkepanjangan mengakibatkan kebakaran hutan yang merusak sekitar 3,2 juta ha hutan di Indonesia; 2,7 juta ha di antaranya merupakan hutan dipterocarp dataran rendah (FWI/GFW 2002). Setelah musibah kebakaran tersebut, GTZ/DFS langsung melakukan studi penilaian awal atas kerusakan yang diakibatkan oleh musibah kebakaran itu untuk Proyek Pengembangan Wilayah Transmigrasi. Musibah kebakaran tersebut tidak hanya disebabkan oleh kekeringan yang berkepanjangan tetapi juga karena kegiatan tebas bakar yang dilakukan oleh peladang berpindah dan operasi pembukaan lahan lainnya. Perubahan struktur vegetasi akibat kegiatan penebangan, yang dimulai pada tahun 1970, pada saat pemerintah pertama kali memperkenalkan sistem hak pengusahaan hutan, telah menyebabkan padatnya tumbuhan bawah di lantai hutan, akumulasi limbah penebangan dan ketahanan yang berkurang terhadap kekeringan di dalam hutan.

Rekomendasi dari studi tersebut menjadi acuan dasar bagi proyek berikutnya, yaitu Investigation of the Steps Needed to Rehabilitate the Areas of East Kalimantan Seriously Affected by Fire (1988–89), yang dibiayai secara bersama oleh ITTO dan Pemerintah Indonesia. Sebagai pelaksana proyek ini adalah GTZ bekerjasama dengan Pemerintah Indonesia. Lingkup proyek tersebut adalah menilai tingkat kerusakan yang disebabkan oleh kebakaran hutan besar-besaran pada tahun

Bab 5 Potret rehabilitasi di Indonesia | 131 1982-1983, mengevaluasi dampak kebakaran tersebut terhadap vegetasi, mata pencaharian masyarakat setempat, tanah, hidrologi, perikanan dan satwa liar, serta menentukan langkah-langkah yang diperlukan untuk merehabilitasi areal yang terbakar. Luaran dari proyek tersebut berupa laporan mengenai dampak kebakaran dan laporan evaluasi kerusakan, rencana kerja rehabilitasi wilayah terbakar, peta klasifikasi vegetasi dengan skala 1:250.000, peta rehabilitasi hutan dengan skala 1:250.000, serta proposal untuk areal percontohan rehabilitasi hutan.

Proyek susulan, yaitu Rehabilitation of Fire-affected Forests through the Establishment of Demonstration Plots in East Kalimantan yang dimulai pada tahun 1992, dibiayai dan dilaksanakan oleh ITTO bersama Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Tujuan spesifik proyek ini adalah: merehabilitasi areal hutan yang rusak akibat kekeringan dan kebakaran hutan melalui penanaman spesies lokal komersil dan spesies eksotik; menemukan metode ekonomi, ekologi dan sosial yang terbaik untuk merehabilitasi areal hutan yang dapat diterapkan pada kondisi hutan yang berbeda melalui perlakuan silvikultur regenerasi alami; dan mendemonstrasikan metode rehabilitasi untuk wilayah hutan yang rusak akibat kebakaran dalam rangka konsolidasi pengetahuan tentang metode rehabilitasi yang digunakan pada kondisi tertentu. Kurangnya pengetahuan tentang metode-metode rehabilitasi selalu menghambat proses rehabilitasi hutan terdegradasi. Dampak yang diharapkan dari proyek tersebut adalah dapat membantu mengurangi bahaya kebakaran hutan di masa mendatang dan memberikan kontribusi pada usaha rehabilitasi hutan yang rusak agar memungkinkan produksi kayu yang berkelanjutan dengan memperhatikan faktor ekologi dan lingkungan-politik. Diharapkan juga bahwa proyek itu dapat membantu mencegah degradasi lebih lanjut pada hutan yang masih produktif, sehingga memberikan kontribusi jangka panjang pada ekonomi nasional dan kesejahteraan masyarakat .

Sebuah petak percontohan (demplot) seluas 1.099 ha dialokasikan di dalam kawasan lindung Wanariset Samboja, karena memiliki akses yang mudah dan tingkat kebakaran yang berbeda-beda pada hutan dataran rendah dipterocarpnya. Langkah pertama proyek tersebut adalah melakukan inventarisasi hutan pada petak percontohan karena tidak ada peta dasar yang dapat diandalkan (peta kontur, peta tanah atau foto udara), tidak ada data lengkap kondisi nyata wilayah yang rusak mengenai komposisi spesies pohon, struktur, penyebaran atau ukuran areal yang terbakar di dalam petak percontohan. Kemudian baru diketahui bahwa dari total areal seluas 1.099 ha, 7% dari petak percontohan ini terbakar berat, 33% terbakar sedang, 46% terbakar ringan, 10% tidak terbakar, dan sisanya sebesar 4% merupakan lahan ladang berpindah. Ditemukan juga bahwa terdapat 313 spesies pohon di areal tersebut.

132 | Rehabilitasi hutan di Indonesia

Batas-batas demplot ditetapkan dan ditanami dengan sungkai (Peronema canescens); jalur hijau selebar 20 m juga dibangun yang berfungsi sebagai sarana pencegah kebakaran sekaligus sebagai tanda perbatasan. Jalur hijau ini juga ditanami dengan Gmelina arborea. Sekat bakar dibuat selebar 8 m dan masyarakat sekitar menggunakan areal di dekatnya untuk menanam pohon buah-buahan untuk kebutuhan sendiri.

Untuk keperluan rehabilitasi jenis utama yang digunakan adalah jenis-jenis dipterocarp karena jenis tersebut merupakan jenis pohon asli yang paling penting di Kalimantan Timur. Spesies cepat tumbuh, serta spesies dengan kecepatan tumbuh yang sedang dan lambat dipilih agar mengurangi resiko dan memastikan keragaman jenis di masa mendatang. Dua spesies eksotik yang ditanam: Gmelina arborea digunakan untuk jalur hijau, dan Paraserianthes falcataria ditanam sebagai pohon peneduh untuk pohon dipterocarp. Percontohan pendekatan silvikultur berdasarkan hasil inventarisasi hutan juga dilaksanakan dalam demplot. Tujuan dari percontohan tersebut adalah menyediakan metodologi dan teknik yang diperlukan untuk merehabilitasi hutan yang terbakar.

Kegiatan reboisasi pada bekas ladang berpindah serta areal yang terbakar berat dilakukan dengan cara menanam spesies Peronema canescens, Gmelina arborea, Tectonia grandis, Swietenia mahagony, Duabanga moluccana, Antocephalus cadamba dan dipterocarp. Penanaman pengkayaan juga dilakukan pada hutan yang terbakar berat, terbakar sedang, dan sampai batas tertentu pada hutan terbakar ringan dengan menggunakan 15 spesies dan berbagai metode, termasuk penanaman jalur, penanaman larikan, penanaman rumpang, penanaman terdifusi, penanaman berkelompok, dll.

Pemeliharaan selektif, yang mencakup kegiatan pembersihan semak, pembersihan dan pembebasan vertikal juga dilakukan pada petak percontohan, terutama pada areal hutan yang tidak terbakar atau terbakar ringan. Hal ini dilakukan untuk mempercepat pertumbuhan pohon pada tegakan hutan yang tua dan yang masih tersisa setelah kebakaran. Selama masa ujicoba penanaman di petak percontohan, ditemukan bahwa spesies dipterocarp (terutama Shorea leprosula, Shorea ovalis dan Dryobalanops lanceolata) berhasil tumbuh dengan baik di areal terbuka dengan sinar matahari penuh seperti areal bekas ladang berpindah dan areal hutan yang terbakar berat.

Sebagai akibat dari kekeringan dan kemarau panjang pada tahun 1997-1999, Kalimantan Timur kembali dilanda musibah kebakaran hebat. Studi yang dilakukan oleh GTZ untuk mendukung proyek Pengelolaan Kebakaran Hutan Terpadu dan proyek Promosi Pengelolaan Hutan yang Berkelanjutan di Kalimantan Timur (Hoffmann et al. 1999) berhasil mengidentifikasi hutan bekas

Bab 5 Potret rehabilitasi di Indonesia | 133 kebakaran seluas 5,2 juta ha. Dari luas areal tersebut, 34% terbakar berat, 42% terbakar sedang dan 24% terbakar ringan. Kawasan hutan tanaman ternyata mengalami kerusakan paling besar akibat kebakaran tersebut (64% dari total luas areal), disusul oleh areal perkebunan (51% dari total luas areal), kawasan konsesi hutan alam (24%) dan kawasan lindung (10%).

Areal petak percontohan yang sudah dibangun ternyata habis terbakar akibat kebakaran besar yang kedua kalinya ini, dimana hanya 1% saja atau sekitar 10 ha kawasan hutan yang tersisa. Kurangnya pemeliharaan sekat bakar serta tidak adanya rasa memiliki dari masyarakat setempat mengakibatkan rendahnya dan bahkan tidak ada perlindungan terhadap areal demplot tersebut.. Selain dari kerusakan akibat kebakaran, tuntutan atas lahan dan perambahan hutan juga menghambat keberhasilan proyek dan perlindungan kawasan hutan. Tuntutan atas lahan dimulai pada tahun 1970-an pada saat pemerintah memperluas wilayah Bukit Soeharto dari 504 ha menjadi 3.000 ha, dimana sebagian dari perluasan wilayah tersebut merupakan areal bekas ladang berpindah. Konflik meluas selama periode Reformasi sehingga fasilitas proyek (bangunan base camp, jembatan dan persemaian) dirusak. Penebangan liar dan musibah kebakaran juga terus mengganggu wilayah tersebut.

Proyek . Proyek Perlindungan Daerah Aliran Sungai Solo Hulu di Wonogiri, Jawa Tengah (1-15). Disebut proyek Perlindungan Daerah Aliran Sungai.

Tujuan utama dari proyek yang didanai oleh Bank Dunia ini, adalah mengurangi erosi dan sedimentasi pada Waduk Gajah Mungkur dalam rangka melindungi fungsinya, meningkatkan produktivitas lahan dengan melaksanakan konservasi tanah dan air, serta memperbaiki praktek usahatani sehingga meningkatkan pendapatan petani. Proyek juga bertujuan untuk memperkuat dan meningkatkan kapasitas kelembagaan formal dan informal dalam hal perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian rehabilitasi lahan dan konservasi tanah, serta mendorong dan mengembangkan masyarakat swasembada. Kegiatan proyek mencakup: pembangunan waduk, penghijauan lereng, penanaman jalur hijau, rehabilitasi teras dan Hutan Rakyat. Perusahaan negara Perhutani juga turut melakukan kegiatan reboisasi.

Faktor pendorong dilaksanakannya proyek ini adalah meningkatnya erosi sepanjang daerah aliran sungai yang menyebabkan sedimentasi juga terus meningkat sebagai akibat dari eksploitasi yang berlebihan dan praktek pertanian yang sangat intensif dan tidak berkelanjutan di bagian hulu sungai. Hal-hal tersebut menyebabkan berkurangnya umur waduk dari 100 tahun yang direncanakan menjadi hanya 27 tahun.

134 | Rehabilitasi hutan di Indonesia

Proyek ini telah dinilai berhasil dalam hal mengurangi tingkat sedimentasi yang mengalir ke dalam Waduk Gajah Mungkur. Telah dilaporkan bahwa rata-rata erosi tanah berkurang 46% dari tahun 1985 hingga 1994, sehingga umur waduk diperkirakan akan meningkat dari 27 tahun (estimasi tahun 1985) menjadi 50 tahun (estimasi tahun 1994) (Anonim 1995). Hal ini dicapai melalui penerapan metoda konservasi tanah dan air yang spesifik.

Secara keseluruhan, hasil nyata yang dicapai mencakup rehabilitasi teras, yang telah dapat meningkatkan produktivitas lahan yang selanjutnya juga meningkatkan suplai pakan ternak. Kemudian pemerintah menyediakan program pinjaman lunak bagi petani dengan sistem dana bergulir untuk pengadaan ternak sapi dan Kredit Usahatani Konservasi (KUK DAS). Program pelatihan dan penyuluhan yang dilakukan selama proyek telah berhasil meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan pentingnya konservasi tanah, reboisasi dan nilai ekonomis hasil hutan bagi mata pencaharian mereka. Dampak positif lainnya yang dapat diamati adalah: meningkatnya minat masyarakat untuk mengembangkan persemaian dan menjual bibit (jati, akasia dan mahoni), serta meningkatnya kapasitas dan kerelaan masyarakat untuk menjaga areal hutan. Pencapaian lainnya termasuk pengakuan formal atas hak kepemilikan lahan masyarakat pada pengembangan 5.000 ha hutan rakyat. Kebijakan sertifikat tanah gratis bagi warga yang terlibat dalam kegiatan pengembangan hutan rakyat ditanggapi positif oleh masyarakat setempat.

Terlepas dari hasil-hasil yang telah dicapai, ditemukan berbagai hambatan selama periode pelaksanaan proyek yang dapat berdampak negatif pada tujuan proyek, misalnya, pendekatan top-down, mobilisasi masyarakat, kurangnya pendekatan partisipatif dari tahap perencanaan sampai pelaksanaan, serta pengawasan, evaluasi dan keberlanjutan pengelolaan setelah proyek berakhir tidak menjadi bagian dari proses perencanaan awal.

Proyek . Persemaian dan Hutan Tanaman Mekanis – Reboisasi dan Pengelolaan Hutan Tropis, Proyek FINNIDA Fase II -VI, Kalimantan Selatan (13-16). Disebut proyek Hutan Tanaman Mekanis.

Fase pertama proyek ini, yang dikenal sebagai Proyek Percontohan Persemaian Mekanis di Sumatera Selatan, dilaksanakan pada tahun 1981 yang didanai oleh Pemerintah Finlandia. Balai Teknologi Reboisasi, Departemen Kehutanan dan Enso Forest Development Oy Ltd. berperan sebagai badan pelaksana. Percobaan produksi bibit dimulai di Sumatera Selatan dimana persiapan dibuat untuk persemaian mekanis seluas 10 ha dengan produksi tahunan sebesar 7 juta bibit. Setelah fase pertama ini selesai, proyek dilanjutkan ke fase berikutnya dan pindah ke Kalimantan Selatan.

Bab 5 Potret rehabilitasi di Indonesia | 135 Sebagai bagian dari enam fase proyek, tujuan dari Fase II (1983-1985), yang pada waktu itu dikenal sebagai Proyek Hutan Tanaman Mekanis, adalah mengembangkan teknologi persemaian yang ekonomis untuk produksi bibit berkualitas tinggi dalam skala besar serta membangun hutan tanaman berskala besar dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku pabrik bubur kertas yang akan dibangun di daerah tersebut.

Pelatihan bagi staf dan pekerja juga diatur sehingga mereka dapat mengelola dan menjalankan persemaian tersebut secara mandiri. Ujicoba lapangan juga dilakukan untuk mengetahui dampak dari penyiapan tanah, penyiangan dan pemupukan terhadap pertumbuhan bibit muda. Pada fase kedua ini, persemaian dengan kapasitas 2 hingga 3 juta bibit per tahun dibangun di Kalimantan Selatan dengan menggunakan teknik reboisasi Finlandia, yaitu sistem ‘pot-tray’. Kemudian dibangun pula hutan tanaman yang pertama dengan luas sekitar 400 ha (dari total 1.000 ha hutan tanaman yang direncanakan). Spesies yang ditanam adalah Eucalyptus urophylla, Pinus merkusii dan Acacia mangium.

Pada Fase III (1985-1988), terdapat empat aktivitas yang berbeda: pengembangan teknologi persemaian, modifikasi metode reboisasi, penanaman percontohan dan ujicoba hutan tanaman, serta perlindungan terhadap kebakaran (termasuk pembukaan lahan untuk sekat bakar dan pemeliharaan peralatan pemadam kebakaran). Pada fase ini, persemaian selesai dibangun dan perhatian utama ditujukan pada penentuan provenance (sumber geografis) spesies dan ujicoba sistem silvikultur di areal ujicoba Riam Kiwa (lokasi seluas 1.000 ha yang digunakan sebagai tempat percontohan dan areal ujicoba). Lebih dari 40 spesies dari berbagai provenance diujicoba di persemaian (Acacia mangium – 29 provenance, Eucalyptus deglupta – 20 provenance dan Albizia falcataria – 4 provenance). Kegiatan pembibitan dan ujicoba penanaman terlaksana dengan baik.

Pembangunan hutan tanaman terus berlanjut selama Fase IV (1989-1992) dan Fase V (1993-1995), dan nama proyek berubah menjadi Proyek Pengelolaan Reboisasi dan Hutan Tropis. Kegiatan lainnya meliputi pengelolaan hutan alam guna mengembangkan sistem pengelolaan yang berkelanjutan (termasuk rehabilitasi dan reboisasi di hutan bekas penebangan), transfer pengetahuan dan diseminasi hasil. Lokasi untuk kegiatan pengelolaan hutan alam ditetapkan di dalam kawasan konsesi hutan Kintap untuk melakukan ujicoba pengelolaan hutan bekas penebangan dan membangun hutan tanaman dipterocarp. Sistem perlindungan kebakaran di areal ujicoba Riam Kiwa juga dikembangkan lebih jauh, berdasarkan hikmah pembelajaran yang dipetik dari kebakaran hebat yang terjadi pada tahun 1991. Namun, musim kemarau panjang kembali terjadi pada tahun 1994 yang memicu kebakaran di areal hutan tanaman. Fase terakhir

136 | Rehabilitasi hutan di Indonesia

(1995-1996) ditujukan untuk mengkonsolidasikan pengalaman dari penelitian pengembangan teknologi reboisasi dan sistem pengelolaan hutan alam yang difokuskan pada penyerahan kegiatan proyek dan diseminasi pengetahuan kepada para pemangku kepentingan.

Proyek Hutan Tanaman Mekanis telah berhasil mengubah lahan alang-alang menjadi hutan dengan menggunakan beberapa spesies tanaman cepat tumbuh tertentu seperti Acacia mangium, Acacia crassicarpa, Peronema canescens, dll. dari provenance yang terbaik. Dampak kegiatan reboisasi tersebut pada lingkungan setempat juga cukup signifikan. Sebagian besar responden di sekitar areal ujicoba menyatakan bahwa iklim mikro menjadi lebih baik.

Selama periode proyek yang berlangsung lebih dari 10 tahun, tujuan pada setiap fasenya terpenuhi dengan baik. Sebuah persemaian berkapasitas 2-3 juta bibit per tahun berhasil dibangun dengan teknologi modern, percontohan hutan tanaman telah dibangun, ujicoba spesies dilakukan dan diteruskan untuk berbagai provenance, sistem silvikultur dan metode perbanyakan vegetatif dll. dan hasilnya dilaporkan secara teratur. Hasil ujicoba dan penemuan-penemuan kunci telah diperkenalkan dan disebarluaskan melalui seminar, lokakarya dan diterbitkan dalam berbagai majalah, laporan teknis dsb. Walaupun demikian, diseminasi hasil tersebut secara efisien kepada pengguna akhir tetap menjadi kendala dan masih diperlukan banyak kegiatan pelatihan dan penyuluhan. Penggunaan atau adopsi teknologi yang dikembangkan oleh proyek ini masih merupakan suatu tantangan; masyarakat setempat tidak dapat menggunakan teknologi tersebut karena biayanya terlalu mahal, sementara perusahaan industri masih mementingkan aspek biaya daripada kualitas. Sebagai contoh, penggunaan teknik pot-tray memerlukan biaya Rp.150 per bibit dibandingkan dengan teknik biasa yang hanya memerlukan Rp. 28 per bibit.

Tantangan lain yang dihadapi pemerintah setelah proses penyerahan proyek adalah bagaimana caranya untuk meneruskan dan menggunakan teknologi yang telah dikembangkan oleh proyek tersebut, serta bagaimana caranya untuk tetap memelihara dan menjalankan ujicoba model dan hutan tanaman yang berhasil dibangun. Sayangnya, hampir tidak ada pemeliharaan sama sekali, persemaian dan hutan tanaman sudah lama diabaikan sehingga seluruh fasilitas berada dalam kondisi buruk. Beberapa bagian areal ujicoba hutan tanaman sudah rusak akibat kebakaran yang sering terjadi. Selama ini, anggaran yang kecil dari pemerintah untuk kegiatan pemeliharaan dianggap sebagai penyebab utama masalah tersebut. Apabila kondisi ini masih terus dibiarkan dan tidak ada tanggapan dari pemerintah untuk mengatasi masalah itu, maka seluruh biaya, waktu dan tenaga kerja yang dikeluarkan selama hampir 13 tahun pelaksanaan proyek menjadi sia-sia.

Bab 5 Potret rehabilitasi di Indonesia | 137

Proyek 10. Hutan Rakyat di Gunung Kidul, Yogyakarta (dimulai tahun

Dalam dokumen Rehabilitasi hutan di Indonesia (Halaman 174-181)