• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan HTI dengan tujuan merehabilitasi areal bekas penebangan: menyebabkan luas wilayah yang perlu

Dalam dokumen Rehabilitasi hutan di Indonesia (Halaman 92-96)

rehabilitasi hutan dan lahan

3.4. Kebijakan rehabilitasi kawasan hutan produksi

3.4.1. Pengembangan HTI dengan tujuan merehabilitasi areal bekas penebangan: menyebabkan luas wilayah yang perlu

direhabilitasi bertambah

Meski dirancang pertama kali pada tahun 1970-an, pengembangan hutan tanaman cepat tumbuh menjadi pendekatan utama program rehabilitasi pada lahan alang-alang sejak tahun 1988 (Potter dan Lee 1998; Otsamo 2000). Konsepnya adalah mengembangkan hutan tanaman pada kawasan hutan dengan potensi sisa tegakan kurang dari 16m3 per ha, atau berupa semak atau alang-alang (Haeruman, 1993). Namun, perlu dicatat bahwa tidak semua program pengembangan hutan tanaman di kawasan hutan produksi bertujuan untuk merehabilitasi kawasan hutan yang terdegradasi.

Untuk mempercepat pengembangan hutan tanaman, suatu paket insentif disediakan oleh pemerintah untuk mengembangkan HTI berskala besar (Potter dan Lee 1998; Haeruman 1993; Sudradjat dan Subagyo 1993; Hasanuddin 1996; Potter 1996; Otsamo 2000) termasuk diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Pinjaman bebas bunga dari Dana Reboisasi (berasal dari pajak reboisasi yang dibebankan kepada para pemegang HPH) diberikan pada tahun 1980; 2. HTI Patungan – Dephut mendukung perusahaan untuk mendapatkan

modal awal dari pihak bank atau lembaga keuangan lainnya dan/atau skema kerjasama dengan perusahaan kehutanan negara (seperti Inhutani) dengan pembagian modal bersama sebesar 40% disediakan oleh pemerintah dan perusahaan kehutanan negara, sementara sisa sebesar 60% disiapkan oleh perusahaan swasta;

3. Pajak rendah atas lahan areal konsesi;

4. Hak untuk menebang habis dan menjual tumbuhan yang tersisa melalui Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) untuk areal konsesi (ijin disetujui supaya para pemilik HTI dapat menanam kembali lahan bekas penebangan);

5. Skema HTI-Trans dilakukan secara bersama antara Departemen Kehutanan dan Departemen Transmigrasi pada tahun 1992. Tujuannya untuk mempercepat pengembangan hutan tanaman dan menyediakan lapangan kerja bagi para transmigran.

Hingga bulan Oktober 1998, dengan dorongan dari skema insentif pemerintah, pengembangan HTI mencapai 98 unit untuk semua kategori yaitu: pulp (bubur

Bab 3 Kebijakan dan program di masa lalu dan sekarang | 4

Tabel 3-4. Pengembangan HTI hingga Bulan Oktober 1998

Tipe yang disetujuiPermohonan Luas areal yang disetujui Luas areal yang ditanami

Unit Ha Ha

HTI bubur kertas (23 unit) 1 3.12.443 7.213

a. Prioritas 13 2.605.938 395.908

- dengan DR 9 1.799.162

- tanpa DR 4 806.776

b. Bukan prioritas 5 522.505 601.305

HTI bukan bubur kertas (52 unit) 31 35.334 12.3

a. dengan DR 13 377.613

b. tanpa DR 18 457.727

HTI Transmigrasi (70 unit) 4 604.441 266.007

Catatan : DR-Dana Reboisasi – : data tidak tersedia

Sumber : Kartodihardjo dan Supriono 2000

Tabel 3-5. Komposisi dana untuk pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI)

Tipe Dana Proporsi Sumber

1. Dana Reboisasi dengan tingkat bunga 0% 32,5% Dana Reboisasi

2. Dana Reboisasi dengan tingkat bunga komersil 32,5% Dana Reboisasi

3. Dana kerjasama pemerintah 14% Dana Reboisasi

4. Dana kerjasama swasta 21% Dana pribadi

Total 100%

Sumber: Iskandar et al. 2003

kertas), non pulp (bukan bubur kertas) dan transmigrasi (Tabel 3-4). Antara tahun 1989-2000, pemerintah memberikan pinjaman lunak (bunga 0% untuk 32,5% total dana) untuk membangun HTI (Tabel 3-5). Dana tersebut berasal dari Dana Reboisasi. Sebanyak 98 perusahaan HTI mendapatkan kredit lunak tersebut, namun pada tahun 2000, penyaluran pinjaman dari Dana Reboisasi dihentikan melalui Surat Edaran Sekretaris Jenderal Dephut (No.549/II-Keu/2000).

Pada tahun 2000, Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan (BPK) mengeluarkan peraturan melalui Peraturan Menteri No.10.1/Kpts-II/2000 tertanggal 6 November 2000, dimana hak konsesi HTI hanya diberikan untuk kawasan hutan produksi yang sudah tidak berhutan (Ditjen BPK 2000). Mengikuti peraturan ini, BPK kemudian mengeluarkan rencana kerja ‘Pengembangan HTI sebagai bagian dari Program Reboisasi’. Sejak tahun 2002, pengembangan HTI telah menjadi prioritas pada 2,6 juta ha hutan produksi yang tandus dan terdegradasi di bekas areal HPH, yang mana pemulihan secara alami sudah tidak dimungkinkan. Prioritas kedua adalah untuk melaksanakan reboisasi di

50 | Rehabilitasi hutan di Indonesia

Tabel 3-6. Pengembangan areal HTI berdasarkan kategori

Tahun bubur HTI kertas HTI kayu konstruksi bukan-trans HTI trans kayu konstruksi HTI Spesies lokal khusus HTI

campuran swadaya HTI Total

1989/90 29.160 102.495 131.655 1990/91 65.661 104.213 169.874 1991/92 104.222 109.769 213.991 1992/93 83.962 139.771 11.120 234.853 1993/94 113.066 138.625 50.021 71.895 373.607 1994/95 117.940 56.253 44.620 77.973 296.786 1995/96 162.200 54.449 48.551 61.248 326.448 1996/97 172.320 63.477 60.420 94.324 390.542 1997/98 100.883 38.181 39.003 88.542 2.500 269.109 1998/99 82.604 22.840 29.526 45.536 2.072 182.578 1999/2000 85.744 24.448 27.301 1.169 138.662 2000 58.152 7.960 13.637 2.569 82.317 2001 56.299 6.276 4.397 500 67.472 2002 87.614 5.707 8.166 1.121 15.900 118.508 2003 100.497 14.128 4.627 1.456 3.983 124.691 Total 1.420.324 888.592 341.389 439.518 2.577 28.693 3.121.093 Sumber: Ditjen BPK 2005 a

dalam areal HPH yang masih aktif yang mencakup 11,6 juta ha (Departemen Kehutanan 2002). Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pendanaan untuk perusahaan HTI yang baru harus berasal dari investasi pihak swasta dan bukan dari Dana Reboisasi. Dukungan penuh diberikan oleh Dephut kepada siapa saja yang bersedia mengembangkan HTI secara swadaya. Namun demikian, melihat kondisi wilayah yang telah ditanami saat ini, secara statistik sangat sulit untuk membedakan antara HTI yang dikembangkan melalui reboisasi atas lahan bekas penebangan IPK, dan HTI yang dikembangkan atas lahan hutan yang tandus dan terdegradasi (Tabel 3-6), kecuali dengan kegiatan rehabilitasi pada areal bekas HPH yang diserahkan kepada perusahaan kehutanan negara (Inhutani I-V). Melalui pengembangan hutan tanaman, tujuan rehabilitasi belum terfokus pada pemulihan kondisi hutan, melainkan lebih pada peningkatan produktivitas kawasan hutan yang terdegradasi, karena pengembangan HTI menggunakan spesies cepat tumbuh yang eksotis seperti Acacia mangium.

Secara konsep, pengembangan HTI nampak baik dan telah berhasil di berbagai negara. Namun, karena dibangun dengan pendekatan top-down dan tidak mempertimbangkan besarnya jumlah masyarakat yang bermukim di sekitar hutan, maka proses pelaksanaan di lapangan menghadapi banyak kesulitan.

Bab 3 Kebijakan dan program di masa lalu dan sekarang | 51 Tantangan berat dalam pengembangan hutan tanaman melalui program reboisasi mencakup kekecewaan, kebencian dan konflik dengan masyarakat setempat mengenai sumberdaya hutan (Kartodihardjo dan Supriono 2000; Muhtaman et al. 2000). Tantangan berat lainnya dalam mengembangkan HTI berasal dari perkebunan kelapa sawit, karena persaingan dalam pengalokasian dan penggunaan lahan. Lagipula, pemerintah kabupaten lebih mendukung investasi swasta dalam perkebunan kelapa sawit, karena dianggap lebih berkontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Dampak yang tidak diduga dari paket insentif HTI justru menyebabkan diperlukannya lebih banyak upaya rehabilitasi karena areal HTI dibiarkan oleh kebanyakan perusahaan yang lebih tertarik menebang sisa tegakan hutan di areal bekas penebangan daripada mengembangkan hutan tanaman. Pinjaman bebas bunga dari Dana Reboisasi dan ijin IPK disalahgunakan oleh banyak perusahaan HTI (Barr 2001, Kartodihardjo dan Supriono 2000; Ditjen BPK 2000). Sampai dengan Bulan Juni 1998, satu juta ha hutan alam telah dicadangkan dan ditebang melalui IPK; namun hanya 23,1% dari luas wilayah tersebut yang ditanam kembali di bawah program HTI (Kartodihardjo dan Supriono 2000). Skema HTI-Trans yang merupakan program kerjasama antara perusahaan swasta (HPH) dengan badan usaha milik negara (Inhutani I-V), umumnya menyebabkan banyak lahan hutan menjadi terlantar karena perusahaan HPH bergantung pada Dana Reboisasi untuk membiayai usahanya. Ketidakpastian pemasaran kayu juga menjadi persoalan serius yang menghambat program HTI-Trans (Ditjen BPK 2000).

Sebenarnya, pengembangan hutan tanaman bukan suatu pendekatan yang tepat untuk merehabilitasi lahan bekas penebangan. Karena pada umumnya areal tersebut ditebang dengan menggunakan teknik tebang pilih yang kemudian ditebang habis pada tahap persiapan lahan, sebelum ditanam kembali dengan pohon yang umumnya merupakan spesies cepat tumbuh. Tingkat realisasi penanaman HTI sangat rendah, yaitu 23,1% (Kartodihardjo dan Supriono 2000). Menurut Iskandar (2003), total luas HTI yang ditanam hingga Bulan Maret 2002 hanya 2.275.040 ha yang terdiri dari 501.692 ha HTI kayu konstruksi; 1.402.279 ha HTI pulp (bubur kertas); dan 371.069 ha HTI-Trans. Hal ini menambah luas wilayah hutan terdegradasi yang perlu direhabilitasi, yang membuat program rehabilitasi yang ada menjadi tidak berarti karena laju degradasi lebih cepat daripada upaya rehabilitasi yang dapat dilaksanakan. Ada pendapat bahwa penggunaan teknik pemeliharaan permudaan alam merupakan pilihan yang lebih murah dalam merehabilitasi lahan bekas penebangan (komunikasi pribadi dengan staf Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan, 2004).

52 | Rehabilitasi hutan di Indonesia

3.4.2. Kebijakan yang mengakibatkan resiko lebih tinggi karena

Dalam dokumen Rehabilitasi hutan di Indonesia (Halaman 92-96)