• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Dana Reboisasi

Dalam dokumen Rehabilitasi hutan di Indonesia (Halaman 102-108)

rehabilitasi hutan dan lahan

3.5. Era Reformasi dan Kebijakan Desentralisasi: kesempatan lebih besar untuk pengelolaan

3.5.2. Pengelolaan Dana Reboisasi

Selain pendanaan pemerintah, sejak tahun 1970, dana dari donor telah membiayai proyek-proyek rehabilitasi di pulau Jawa, dan kemudian pada tahun 1981, juga mulai membiayai proyek-proyek rehabilitasi di pulau Sumatera. Beberapa dana bantuan memerlukan anggaran pendamping dari negara mitra yang pada kasus ini adalah Dephut (pendanaan bersama). Donor utama adalah ADB, EU, FINNIDA, ITTO, JICA, dan GTZ. Donor yang menyumbangkan dananya melalui kerjasama bilateral adalah JICA, USAID, GTZ, Biro Bantuan Pembangunan Internasional Australia (AIDAB)/Program Bantuan Luar Negeri Pemerintah Australia (AUSAID), Lembaga Pembangunan Internasional Denmark (DANIDA), Lembaga Pembangunan Internasional Kanada (CIDA), dan Institut Internasional untuk Ilmu Geo-Informasi dan Pemantauan Bumi (ITC, Belanda). Sementara donor yang terlibat dalam kerjasama multilateral adalah Bank Dunia, Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (IBRD), Bank Pembangunan Asia (ADB), Bank Investasi Nordik (NIB), Dana Pembangunan

Bab 3 Kebijakan dan program di masa lalu dan sekarang | 5 Nordik (NDF), OECF, FAO/UNDP, Program Pangan Dunia (WFP), Dana Internasional untuk Pembangunan Pertanian (IFAD), Organisasi Perdagangan Kayu Internasional (ITTO), Pusat Penelitian Agroforestri Internasional (ICRAF), Pusat Kerjasama dan Kehutanan Internasional Jepang (JIFPRO), Yayasan Ford dan Mitra Global. Bentuk kerjasama mencakup bantuan teknis dan bantuan proyek untuk mentransfer teknologi yang berkaitan dengan rehabilitasi hutan dan lahan, pengelolaan daerah aliran sungai, serta penguatan sumber daya manusia. Skema pendanaan berupa bantuan dan pinjaman.

Dana reboisasi merupakan sumber pendanaan pemerintah utama untuk pelaksanaan proyek rehabilitasi dan kegiatan pendukung lainnya (Departemen Kehutanan 2002). Kebijakan pemungutan dana reboisasi dari pemegang konsesi dimulai pada tahun 1980 dengan nama Dana Jaminan Reboisasi (DJR), dengan tujuan memperbaiki pengelolaan hutan produksi (Otsamo 2001; Oka dan William 2004). Para pemegang konsesi diwajibkan membayar ‘deposito’ dalam jumlah tertentu untuk setiap meter kubik kayu yang ditebang berdasarkan jenis kayu dan asal wilayah tebangan, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) No.24/1997; No.53/1997; dan No.32/1998. Pungutan terbaru tercantum dalam PP No.92/1999 (Lampiran 3). ‘Deposito’ ini akan dikembalikan apabila pemegang konsesi telah memenuhi semua kewajibannya dalam menanam kembali kawasan hutan bekas penebangan di dalam areal konsesinya. Namun hal tersebut tidak pernah dilakukan karena perusahaan tidak merasa wajib melaksanakan proses rehabilitasi setelah membayar deposito (Otsamo 2001). Kemudian DJR diubah menjadi suatu pungutan reboisasi yang tidak dapat dikembalikan dengan nama Dana Reboisasi (DR) yang kemudian menjadi pajak tertinggi di industri perkayuan (Barr 2001). Pungutan DR atas satu meter kubik kayu dari jenis yang sama ternyata lebih rendah di daerah Sumatera dan Sulawesi dibandingkan dengan Kalimantan. Pungutan yang berlaku untuk wilayah Indonesia bagian timur lebih rendah lagi. Tingkat pungutan tertinggi berlaku untuk jenis-jenis dari famili Dipterocarpaceae, sementara tingkat terendah untuk jenis rimba campuran. Selain Dana Reboisasi, instrumen utama pemungutan retribusi, antara lain termasuk (Barr 2001):

a. Iuran Pengusahaan Hutan (IHPH): suatu retribusi berbasis wilayah yang dipungut dari pemegang konsesi pada setiap tahun;

b. Iuran Hasil Hutan (IHH): suatu retribusi ad valorem pada setiap unit kayu yang dipanen tergantung pada spesies dan kelasnya; dan

c. Pajak Ekspor Kayu: suatu pajak ad valorem atas semua kayu yang diekspor tergantung pada jenis dan kelasnya.

DR telah digunakan untuk melaksanakan berbagai program pemerintah (Iskandar et al. 2003):

60 | Rehabilitasi hutan di Indonesia

• Dari tahun 1989 sampai 2000, DR digunakan untuk pengembangan hutan tanaman (berdasarkan Keppres No.31/1989 dan Surat Edaran Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan No. 549/II-Keu/2000);

• Pada tahun 1995/1996, sebagian besar perusahaan swasta dan negara (Inhutani I-V) yang ikut serta dalam kegiatan pengembangan hutan tanaman dan menerima dananya dari pemerintah melalui mekanisme pinjaman lunak, tidak berfokus pada hutan terdegradasi;

• Pada tahun 1995/1996, DR juga digunakan untuk mendukung skema kredit Hutan Rakyat; dan

• Sejak tahun 2001, dana tersebut juga digunakan untuk membiayai program Rehabilitasi DAK-DR, dan sejak tahun 2003 untuk mendanai program 5 tahunan seperti GN-RHL/Gerhan.

Beberapa fasilitas kredit disediakan oleh pemerintah untuk memulai atau melaksanakan kegiatan rehabilitasi. Yang paling signifikan adalah fasilitas kredit yang dikenal sebagai Kredit Usahatani Konservasi DAS (KUK DAS) guna mendukung program pertanian untuk melestarikan daerah aliran sungai selama periode 1990/1991 – 1997/1998, serta pemberian pinjaman lunak kepada perusahaan HTI. Tingkat keberhasilan KUK DAS dinilai dengan persentase pinjaman yang dikembalikan yaitu 59% dari total kredit yang diberikan (Ditjen RLPS 2003). Pemegang konsesi kini termasuk kelompok masyarakat yang memiliki ijin penebangan untuk skema Hutan Kemasyarakatan (HKm) di bawah Ijin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu (IPPK) yang dikeluarkan oleh Bupati. Menurut peraturan pemerintah tersebut, Dana Reboisasi harus disetorkan ke Kas Negara di bawah pengawasan Menteri Keuangan (Gambar 3-2). Pemegang konsesi yang tidak memenuhi kewajibannya dalam membayar Dana Reboisasi akan dikenakan sanksi berupa pembayaran denda sebesar 2% dari jumlah hutang mereka per bulan. Mereka akan dikirimi surat peringatan sebanyak tiga kali dalam waktu 30 hari setelah jatuh tempo, dan kemudian diadukan ke pengadilan. Rehabilitasi dapat dibiayai dengan Dana Reboisasi karena dana tersebut dimaksudkan untuk kegiatan yang mencakup: reboisasi (di dalam kawasan hutan), penghijauan (pada lahan milik masyarakat), pemeliharaan, penanaman pengkayaan, atau penerapan teknik konservasi tanah pada lahan kritis dan tidak produktif, serta kegiatan yang mendukung perlindungan hutan, pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan. Pengembangan areal HTI merupakan salah satu kegiatan yang akan terus disokong melalui Dana Reboisasi. Pedoman Umum (Pedum) yang lebih rinci terdapat dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Rehabilitasi Hutan dan Lahan No. 093/Kpts/V/2002. Namun, kegiatan ini masih dianggap bersifat keproyekan berjangka pendek, dan kurang memperhatikan keberlanjutan dalam jangka panjang.

Bab 3 Kebijakan dan program di masa lalu dan sekarang | 61

Pemegang konsesi hutan (Perusahaan atau kelompok masyarakat) Dana reboisasi yang dipungut Pendapatan dari bunga dan pelayanan giro Rekening Pemerintah Pusat dikelola Menteri Keuangan Pengajuan Rehabilitasi Pengalokasian 40% Rekening Pembangunan Kehutanan dikelola Menteri Kehutanan

Propinsi bukan penghasil Rekening Pembangunan Kehutanan di bawah pengawasan Bupati/Walikota Melalui skema pinjaman sebagai dana bergulir Proyek Rehabilitasi Proyek Rehabilitasi Harus menyediakan 10% dana pendamping Melalui skema pinjaman sebagai dana bergulir Rekening Pembangunan Kehutanan di bawah pengawasan Bupati/Walikota Propinsi penghasil Pengalokasian 60%

Gambar 3-2. Alur Dana Reboisasi

Sumber:

a. Peraturan Pemerintah (PP) No. 35/2002 b. Oka dan William 2004

Peraturan pemerintah yang baru mengenai Dana Reboisasi adalah PP No.35 tahun 2002 yang menggantikan PP No.6/1999. PP No.35 ini mengatur pengalokasian DR kepada pemerintah kabupaten dan pusat. Empat puluh persen dari dana reboisasi tersebut dialokasikan kembali kepada propinsi yang telah menyumbangkan pendapatan dari DR kepada pemerintah pusat dan disebut ‘propinsi penghasil’. Dana tersebut disetor ke bank di bawah pengawasan Bupati/ Walikota. Sebelum pengalokasian, pemerintah propinsi berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten, mengajukan rencana kegiatan rehabilitasi di daerahnya kepada Departemen Keuangan.

Program yang dikembangkan di bawah skema ini disebut DAK-DR atau Dana Alokasi Khusus – Dana Reboisasi (Santoso 2005; Departemen Keuangan et al. 2001). Di bawah skema tersebut, Unit Pelaksana Teknis (UPT) kehutanan tidak

62 | Rehabilitasi hutan di Indonesia

Foto 3-1. Peralihan fokus dari jenis utama karena kurangnya bantuan teknis: wilayah

rehabilitasi DAK-DR didominasi tanaman karet dan kopi daripada jenis pohon hutan utama (Lokasi: Kampar, Riau -Proyek DAK DR Kampar)

menyediakan bantuan teknis sehingga menyebabkan perubahan arah dalam pelaksanaan (Foto 3-1). Tujuan program adalah sebagai berikut: memfasilitasi peran serta masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi dengan menyediakan bantuan untuk merancang kegiatan; mengembangkan kelembagaan masyarakat dan menyediakan bantuan teknis untuk melaksanakan kegiatan yang telah direncanakan (Departemen Keuangan et al. 2001). Tidak ditemukan data mengenai realisasi luas wilayah yang direhabilitasi, sehingga program ini dianggap kurang berhasil dan menghadapi banyak masalah (Santoso 2005). Lagipula, pantauan di lapangan menunjukkan bahwa program telah dilaksanakan dengan pendekatan top-down dan partisipasi masyarakat masih terbatas.

Dari dana yang terkumpul, 60% dialokasikan ke Departemen Kehutanan untuk membiayai proyek rehabilitasi di propinsi bukan penghasil (propinsi yang tidak menyumbangkan Dana Reboisasi kepada pemerintah pusat). Alokasi tersebut didasari pada rencana rehabilitasi 5 tahun yang dirancang bersama oleh Menteri Kehutanan dan Menteri Keuangan. Dana tersebut dialokasikan pada koperasi, kelompok tani hutan dan organisasi lainnya yang mempunyai status hukum untuk melaksanakan proyek rehabilitasi di lapangan melalui suatu skema pinjaman

Bab 3 Kebijakan dan program di masa lalu dan sekarang | 63 yang dirancang sebagai dana bergulir. Apabila hal ini tidak dimungkinkan, maka kegiatan rehabilitasi dapat dibiayai Dana Reboisasi sebagai bagian dari anggaran yang direncanakan oleh pemerintah, seperti GN-RHL/Gerhan. Bantuan teknis diberikan pada program tersebut (Santoso 2005; Departemen Keuangan et al. 2001).

Banyak propinsi penghasil merasa bahwa sistem alokasi tidak adil dan dana yang diterima tidak mencukupi untuk mempertahankan wilayah hutan yang masih ada. Sebagai contoh pada kasus yang terjadi di Sulawesi Selatan, pada prakteknya perbandingan alokasinya yaitu 60:40 telah mengakibatkan propinsi penghasil memperoleh alokasi dana yang kurang dari propinsi bukan penghasil karena berbagai alasan (Oka dan William 2004):

1. Pemerintah kabupaten tidak mempunyai catatan yang lengkap mengenai total jumlah Dana Reboisasi yang dipungut, sehingga tidak bisa membandingkan dengan jumlah dana yang dialokasikan kembali;

2. Pemerintah kabupaten menerima dana yang dialokasikan kembali dalam bentuk proyek dan bukan berbentuk uang (tunai), dan harus menyediakan 10% dana pendamping dari APBDnya.

Menteri Kehutanan, MS Kaban menyatakan bahwa sekitar Rp. 1 triliun (US$ 109,3 juta) DR yang dialokasikan kepada pemerintah daerah melalui skema DAK-DR telah disalahgunakan untuk tujuan bukan rehabilitasi (Anonim 2006a). Beliau kemudian menguraikan bahwa sejak tahun 2006, Departemen Keuangan mengalokasikan dana secara langsung kepada pemerintah daerah di tingkat kabupaten dan hal tersebut menyulitkan Dephut untuk mengawasi atau memastikan apakah dana tersebut digunakan untuk tujuan rehabilitasi. Menurut Oka dan William (2004), berdasarkan PP No. 35/2002, sebenarnya pemerintah pusat yang lebih leluasa untuk menggunakan dana yang diterimanya untuk tujuan bukan rehabilitasi. Hal ini menunjukkan bahwa koordinasi ternyata masih sangat minim antara Departemen Keuangan, sebagai departemen yang bertanggung jawab untuk mengeluarkan anggaran tersebut dan Departemen Kehutanan, sebagai departemen teknis yang bertanggung jawab atas pengawasan kegiatan di lapangan.

GN-RHL/Gerhan didanai oleh DR dari bagian yang diterima oleh pemerintah pusat. Namun, prosedur pengajuan kegiatan untuk didanai pada setiap tahun sangat rumit. Prosedur tersebut ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. P.01/Menhut-II/2006 tentang mekanisme Departemen Kehutanan untuk menyusun rencana kerja berikut anggarannya (Departemen Kehutanan 2006). Berdasarkan keputusan tersebut, rencana kerja yang disusun oleh Departemen Kehutanan harus dibahas terlebih dahulu dalam serangkaian pertemuan dan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Badan Perencanaan

64 | Rehabilitasi hutan di Indonesia

Pembangunan Nasional (Bappenas), dan Departemen Keuangan. Keseluruhan proses tersebut memakan waktu sekitar satu tahun. Pembahasan dilakukan pada tahun yang bersamaan dengan pelaksanaannya sehingga menyebabkan masalah serius karena tidak adanya tenggang waktu yang cukup antara penetapan anggaran dan pelaksanaan, yang biasanya terjadi menjelang akhir tahun (RLPS dalam Rumboko 2004). Memperbolehkan anggaran yang telah dialokasikan untuk digunakan pada tahun berikutnya merupakan salah satu jalan keluar atas masalah ini. Dengan demikian pelaksanaannya dapat direncanakan jauh sebelumnya daripada hanya berusaha untuk menghabiskan anggaran sebelum akhir tahun.

3.6. Kegiatan rehabilitasi tingkat nasional sejak

Dalam dokumen Rehabilitasi hutan di Indonesia (Halaman 102-108)