• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendekatan rehabilitasi: dari peningkatan kesadaran hingga diversifikasi intervensi teknis

Dalam dokumen Rehabilitasi hutan di Indonesia (Halaman 133-140)

karakteristik kegiatan rehabilitasi

4.1. Karakteristik kegiatan rehabilitasi di masa lalu

4.1.3. Pendekatan rehabilitasi: dari peningkatan kesadaran hingga diversifikasi intervensi teknis

Selama periode pra-kolonial, pendekatan utama rehabilitasi adalah pendekatan budaya. Masyarakat menanam bibit jati karena kepercayaan dan kebudayaannya (lihat paragraf pertama bab ini). Kemudian, pada periode kolonial hingga tahun 1960-an, penanaman berskala kecil dan teknik regenerasi alami dilakukan secara sporadis. Dari tahun 1960-an hingga 1990-an pendekatan rehabilitasi berubah secara dinamis. Fokusnya berkisar dari peningkatan kesadaran terhadap dampak dari deforestasi dan praktek pertanian yang tidak sesuai, hingga pengembangan hutan tanaman skala besar dengan spesies cepat tumbuh seperti Acacia, serta pengembangan hutan rakyat. Instansi pemerintah, baik di tingkat pusat maupun propinsi selalu memprakarsai kegiatan rehabilitasi.

a. Pendekatan pengelolaan dan instansi terkait

Pada tahun 1961, Departemen Pertanian dan Agraria membentuk komite yang bernama Panitia Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air yang bertugas

0 | Rehabilitasi hutan di Indonesia

untuk merencanakan tindakan apa yang diperlukan oleh pemerintah untuk mempertahankan kesuburan tanah, memperbaiki siklus hidrologi di daerah aliran sungai dan menjaga keberlanjutan keanekaragaman hayati di Indonesia (Ditjen RLPS 2003). Salah satu hasil dari rekomendasi komite tersebut adalah keputusan untuk menyelenggarakan suatu Pekan Penghijauan Nasional tahunan, yang diluncurkan untuk pertama kalinya pada tahun 1961 dan merupakan puncak kegiatan yang dirancang untuk menyebarkan informasi. Kegiatan ini berfungsi sebagai program penyuluhan untuk mengkampanyekan pentingnya pelestarian hutan, tanah dan air.

Sebelum tahun 1964, kewenangan atas pengelolaan hutan diserahkan pada Jawatan Kehutanan. Namun, pengelolaan hutan di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan sebagian Kalimantan diserahkan kepada sebuah perusahaan milik negara dengan kegiatan utamanya adalah penebangan kayu (Mursidin et al. 1997). Untuk pertama kalinya Departemen Kehutanan (Dephut) dibentuk pada tahun 1964, tetapi tidak lama kemudian dibubarkan karena bidang kegiatan yang diserahkan kepadanya tumpang tindih dengan instansi lain yang sudah ditugasi terlebih dahulu (Ditjen RLPS 2003).

Pada tahun 1983, Dephut dibentuk kembali (berdasarkan Keputusan Presiden RI No.4/M/1983) berikut lima Direktorat Jenderal termasuk Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan (Ditjen RRL) (Ditjen RLPS 2003). Unit teknis lapangan berbasis proyek (Proyek Perencanaan dan Pembinaan Reboisasi dan Penghijauan Daerah Aliran Sungai - P3RPDAS) dibentuk dan menjadi unit pelaksana teknis Ditjen RRL yang kemudian dikenal sebagai Balai/Sub Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT/Sub BRLKT).

Pada tahun 1999, BRLKT berubah menjadi Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) yang ditugaskan untuk mendukung kegiatan pemerintah daerah setempat dalam pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan serta konservasi tanah. Perubahan ini menyusul restrukturisasi Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (Ditjen RLPS) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan (SK Menhut No.245/Kpts-II/99) yang dimaksudkan untuk meningkatkan perannya dan menyesuaikan kewenangan stafnya untuk mengantisipasi kompleksitas rehabilitasi dan perhutanan sosial.

b. Daerah aliran sungai sebagai unit pengelolaan dan fokus kegiatan rehabilitasi

Daerah aliran sungai menjadi fokus usaha rehabilitasi sejak zaman penjajahan, ketika pemerintah Belanda memperkenalkan Bosfonds, yang merupakan retribusi/ pajak yang dipungut atas konversi hutan menjadi lahan pertanian dan perkebunan di daerah hilir. Dana tersebut kemudian digunakan untuk merehabilitasi daerah

Bab 4 Tinjauan nasional sejarah dan karakteristik kegiatan rehabilitasi | 1 hulu (Ditjen RLPS 2003; Mursidin et al. 1997). Penggunaan daerah aliran sungai sebagai unit perencanaan pengelolaan sumberdaya alam yang ditetapkan pada tahun 1988 sebagai bagian dari strategi pembangunan nasional, telah meningkatkan dan memperjelas peran daerah aliran sungai (Baplan 2003). Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (Environmental Protection Agency/ EPA) mendefinisikan daerah aliran sungai sebagai wilayah geografis dimana air, sedimen, dan bahan terlarut mengalir bersama menuju suatu tempat/jalan keluar (Reimold dan Singer 1998). Jalan keluar tersebut dapat berupa sungai, danau, muara atau laut. Prinsip pengelolaan daerah aliran sungai didasarkan pada pengelolaan partisipatif yang melibatkan berbagai sektor dan sub-sektor yang berminat untuk mendapatkan manfaat dari pengelolaan daerah aliran sungai (Baplan 2003).

Daerah aliran sungai yang rusak sangat berdampak terhadap fluktuasi debit air (batas maksimum dan minimum), meningkatkan sedimentasi, mengurangi produktivitas lahan dan menyebabkan banjir, kekeringan dan tanah longsor. Terdapat 62 daerah aliran sungai prioritas yang perlu direhabilitasi dalam kategori I, 232 dalam kategori II dan 178 dalam kategori III (definisi pada masing-masing kategori dapat dilihat dalam Baplan 2003; Ditjen RLPS 2003). Daerah aliran sungai (terpadu) menjadi unit utama dalam pendekatan pengelolaan yang digunakan dalam Rencana Induk Rehabilitasi Hutan dan Lahan pada tahun 2000 (Baplan 2003). Alasan utamanya adalah bahwa pendekatan daerah aliran sungai lebih holistis; dapat digunakan untuk mengevaluasi hubungan antar faktor-faktor bio-fisik dan intensitas kegiatan sosial-ekonomi dan budaya dari daerah hulu ke hilir; dapat pula digunakan untuk menilai dampak terhadap lingkungan secara lebih cepat dan lebih mudah (Ditjen RLPS 2003). Alasan pengunaan daerah aliran sungai sebagai unit pengukuran kualitas lingkungan menurut NRC (1999) adalah: 1) Daerah aliran sungai mempunyai batas wilayah dan konsep unit yang logis untuk pengelolaan ekosistem karena konsep daerah aliran sungai mengakui pentingnya peran air dalam hubungan biologis, dan 2) Daerah aliran sungai mudah dikenal, sehingga memudahkan para pengelola dalam mengukur dan mengamati komponen dasar fisik dan kimia dari suatu ekosistem. Wibowo (2006) menyatakan bahwa pengelolaan daerah hulu sangatlah penting karena berdampak terhadap keberlangsungan fungsi lingkungan yang menyokong kehidupan masyarakat di daerah hilir. Pada kenyataannya, peran daerah hulu belum sepenuhnya dihargai. Di masa mendatang, penghargaan dan/atau kompensasi atas pengelolaan daerah hulu yang berkelanjutan seharusnya diwujudkan dalam bentuk kontribusi dari masyarakat yang tinggal di daerah hilir yang diberikan kepada masyarakat di daerah hulu.

Namun demikian, ada beberapa masalah berkaitan dengan pengelolaan daerah aliran sungai: 1) ketidakpastian atas keefektifan dan relevansi sistem perencanaan

2 | Rehabilitasi hutan di Indonesia

untuk pengelolaan daerah aliran sungai; 2) perencanaan kurang mantap sehingga sulit diterapkan di tingkat lapangan; 3) perencanaan tidak sejalan dengan peraturan pemerintah daerah setempat; serta 4) kriteria dan indikator pengawasan dan evaluasi belum komprehensif dan dikembangkan dengan sempurna (Widyaningtyas 2005; BPDAS 2003; BTPDAS 2002).

c. Meningkatkan kesadaran

Dari awal tahun 1950-an hingga pertengahan tahun 1970-an, pendekatan utama program rehabilitasi berfokus pada peningkatan kesadaran masyarakat. Fokus pendekatan tersebut dimaksudkan untuk mengatasi dampak negatif dari kegiatan pertanian yang tidak sesuai. Hal ini sering termasuk pemberian penyuluhan teknis mengenai konservasi tanah dan air. Program yang dimulai pada periode ini menggunakan kampanye nasional dan upacara untuk mempengaruhi masyarakat sasarannya. Salah satu program adalah Karang Kitri, suatu gerakan yang dimulai pada bulan Oktober 1951 (1951-1960), yang merupakan program kampanye nasional menghimbau masyarakat untuk menanam pohon di pekarangan rumah dan lahan lainnya. Tidak ada insentif yang diberikan dalam program tersebut. Program serupa adalah peringatan tahunan Pekan Penghijauan Nasional yang diresmikan oleh Presiden Soekarno dan dimulai pada tanggal 17 Desember 1961 di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat (lihat Lampiran 4). Program yang lebih intensif dilaksanakan setelah terjadi bencana banjir besar di daerah aliran sungai di sekitar Solo, Jawa Tengah pada tahun 1966. Sejak tahun 1976, pendekatan pada kegiatan rehabilitasi telah bergeser dari konservasi tanah dan air menjadi perlindungan daerah aliran sungai terpadu (Komunikasi pribadi dengan Mursidin, 2004).

Selama tahun 1970-an dan 1980-an, pendekatan proyek berfokus pada peningkatan kesadaran melalui program penyuluhan kehutanan secara intensif, serta pemberian insentif kepada masyarakat untuk merehabilitasi lahan kritis di sepanjang daerah aliran sungai. Salah satu contoh adalah program nasional Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT) berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 8 tahun 1976 tentang Reboisasi dan Penghijauan (Ditjen RLPS 2003; Mursidin et al. 1997). Kegiatan ini dikenal masyarakat luas sebagai Proyek Inpres.

Penyuluh Kehutanan Lapangan (PKL) berperan penting dalam pelaksanaan Proyek Inpres Reboisasi dan Penghijauan terutama pada fase awal dengan fokus pada Program Gerakan Masyarakat (Santoso 1992). Pendekatan yang digunakan didasari oleh pengelolaan daerah aliran sungai. Pengembangan teknis dilaksanakan oleh P3RPDAS. Pemerintah propinsi (Dinas Kehutanan) melaksanakan reboisasi di dalam kawasan hutan, sementara pemerintah kabupaten (Dinas Perhutanan

Bab 4 Tinjauan nasional sejarah dan karakteristik kegiatan rehabilitasi | 3 dan Konservasi Tanah/PKT) melaksanakan kegiatan penghijauan di luar kawasan hutan.

Pembangunan dan pengembangan demplot selalu merupakan bagian penting dari program peningkatan kesadaran masyarakat. Program nasional yang dikembangkan baru-baru ini adalah unit percontohan usaha pelestarian sumberdaya alam (UPSA) dan usaha pertanian menetap (UPM). Program tersebut dilaksanakan dari tahun 1990 hingga 2001 di hutan terdegradasi dan lahan kritis dengan tujuan sebagai media pembelajaran untuk peningkatan kesadaran tentang penggunaan lahan dan kegiatan pertanian dalam rangka mewujudkan kelestarian lingkungan hidup. Demplot tersebut dikembangkan di 25 propinsi. Demplot lainnya dikembangkan untuk mempelajari teknik-teknik rehabilitasi lahan bekas kebakaran, dan konversi lahan alang-alang menjadi hutan tanaman. Penelitian yang menyangkut aspek teknis dan sosial-ekonomi reboisasi seperti teknik-teknik rehabilitasi, uji coba spesies di lahan alang-alang, pola tanam, sistem agroforestri, dsb. telah dilakukan di demplot tersebut. Gintings dan Semadi (1980) membuat demplot di areal bekas perladangan yang didominasi oleh alang-alang seluas 10 ha di Tanjung Bintang, Lampung Selatan.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (FORDA) bekerjasama dengan FAO/Jaringan Agroforestri Asia Pasifik (Asia Pacific Agroforestry Network/APAN) membangun demplot untuk mempelajari teknik-teknik konservasi tanah dan air, baik dengan metode vegetatif maupun sipil teknis di Kecamatan Pengaron, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Murniati et al. (2001) melaporkan bahwa vegetasi dan tutupan lahan di demplot tersebut berubah secara signifikan dari alang-alang menjadi hutan tanaman campuran, termasuk jenis pohon serba guna dan tanaman semusim. Kanopi multi lapisan sudah terbentuk dalam waktu empat tahun. Proyek tersebut melibatkan masyarakat setempat dan memberikan kontribusi terhadap penghasilan dan ketrampilan mereka dalam berusahatani konservasi. Demplot lainnya memperagakan kegiatan rehabilitasi hutan melalui sistem agroforestri (di areal Perhutani di Parung Panjang, Jawa Barat) dan konversi lahan alang-alang menjadi lahan agroforestri yang produktif di daerah transmigrasi di Kalimantan Timur. Sebagian besar demplot dibangun untuk meningkatkan produktivitas hutan dan lahan serta memberdayakan masyarakat setempat. d. Intervensi teknis

Secara historis, sejak tahun 1835 pemerintah Belanda menggunakan cara penanaman pengkayaan untuk permudaan di hutan jati, namun usaha tersebut kurang berhasil. Pada tahun 1854, Belanda memperkenalkan metode pemeliharaan regenerasi alami yang ternyata juga kurang berhasil menjamin produksi jati yang berkelanjutan (Ditjen RLPS 2003). Reboisasi menggunakan metode

4 | Rehabilitasi hutan di Indonesia

penanaman (pohon) telah menjadi pendekatan utama sejak awal tahun 1960-an. Pendekatan teknis dengan penanaman (pohon) dalam reboisasi mencakup pengembangan HTI di wilayah terdegradasi atau areal yang tidak berhutan, dengan menggunakan sistem monokultur atau pola tumpang sari sejak tahun 1985. Pada Era Reformasi, yang dimulai pada tahun 1998/1999, program Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang dikembangkan di 10 propinsi pada lahan seluas 19.000 ha sebagai proyek percontohan yang didanai oleh OECF (Ditjen RLPS 2001), juga menggunakan pendekatan penanaman (pohon). Tujuan dari program tersebut adalah merehabilitasi kawasan hutan produksi dan hutan lindung yang rusak atau diokupasi oleh penduduk sekitar dengan cara menanam pohon (jenis pohon hutan dan pohon serba guna). Secara umum, program rehabilitasi hutan menggunakan metode teknis berupa penanaman pohon (pola monokultur, campuran dan tumpang sari), penanaman pengkayaan, serta pemeliharaan anakan alam.

Penghijauan atau rehabilitasi lahan dilakukan melalui berbagai pendekatan teknis seperti penanaman pohon pada lahan masyarakat yang terdegradasi, pengembangan demplot (UPSA dan UPM), pengembangan usahatani konservasi, menggalakkan pengembangan hutan rakyat dan meningkatkan peran penyuluh kehutanan dengan membentuk jabatan Penyuluh Kehutanan Lapangan (PKL). Intervensi teknis pada penghijauan terutama ditujukan untuk menerapkan metode-metode konservasi tanah dan air dengan memadukan teknik vegetatif dan fisik-mekanik atau sipil teknis.

Suryodibroto (1991) mengevaluasi program reboisasi dan penghijauan berdasarkan periode pembangunan lima tahunan (Pelita). Pada Pelita ke-tiga, organisasi, metode dan pendekatan reboisasi dan penghijauan mulai membaik. Teknik ‘sipil teknis’ digunakan secara luas dan kegiatan penyuluhan ditingkatkan melalui penerimaan dan pengerahan 5.560 Penyuluh Kehutanan Lapangan selama periode tersebut. Pada Pelita ke-empat, penanganan hutan dan lahan terdegradasi ditetapkan melalui sistem skala prioritas. Untuk tujuan tersebut, 36 daerah tangkapan air dipilih dari 70 kabupaten di 23 propinsi. Kegiatan utamanya adalah pembangunan demplot (UPSA dan UPM), pembangunan waduk, pengembangan hutan kemasyarakatan dan pembuatan kebun bibit desa. Selanjutnya, kegiatan reboisasi dimulai di hutan produksi melalui program HTI. Pada periode Pelita ke-lima, program reboisasi dan penghijauan yang sudah ada dilanjutkan dan ditingkatkan dengan penekanan pada kegiatan yang melibatkan masyarakat setempat, misalnya, menyelenggarakan perlombaan kegiatan rehabilitasi swadaya, meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat, serta mengembangkan kapasitas sumberdaya manusia, terutama kaum perempuan dan pemuda.

Bab 4 Tinjauan nasional sejarah dan karakteristik kegiatan rehabilitasi | 5

Tabel 4-3. Teknologi dan spesies tanaman yang digunakan dalam berbagai

pendekatan rehabilitasi

Pendekatan

rehabilitasi Metode teknis Spesies yang digunakan

Hutan Tanaman Industri (HTI)

Penanaman; pemeliharaan regenerasi alami

Acacia mangium, Acacia auriculiformis, jati (tectona grandis), mahoni (Swietenia macrophylla, Swietenia mahagony), sungkai (Peronema canescens), eucalyptus (Eucalyptus spp), Gmelina arborea, damar (Agathis borneensis), pinus

(Pinus merkusii), meranti (Shorea spp.), perupok (Lapopetalum spp.) dan merbau (Intsia bijuga) Hutan kemasyarakatan, program reboisasi melalui agroforestri Penanaman; penanaman pengkayaan; pembuatan terasering di lahan miring

Mahoni, jati, karet (Hevea braciliensis), kemiri (Aleuritus moluccana), jambu monyet (Anacardium occidentale), sengon (Paraserianthes

falcataria), petai (Parkia speciosa), sukun

(Arthocarpus brasiliensis), nangka (Arthocarpus

heterophylla), tengkawang (Shorea spp.), jengkol

(Pithecellobium jiringa), pinang (Areca catecu) dan gamal (Glirisidia sepium)

Hutan Rakyat (hutan tanaman skala kecil) Penanaman; penanaman pengkayaan; pembuatan guludan

Sengon, jati, mahoni, asam (Tamarindus

indica), damar (Shorea Jawanica), durian (Durio zibethinus), gambir (Uncaria gambir), jambu

monyet, jengkol, petai, melinjo (Gnetum

gnemon), nangka, mengkudu (Morinda citifolia),

sukun, kemiri, mangga (Mangifera indica) dan kayu manis (Cinnamomum burmani)

Perlindungan daerah aliran sungai Penanaman; pembuatan terasering/ guludan; penanaman sesuai garis kontur; penanaman rumput di teras; pembuatan bangunan terjunan air, waduk, parit dan penyumbat parit; perlindungan tepi sungai

Jati, mahoni, durian, sengon, jambu monyet, mangga, rambutan (Nephelium lappaceum), tanaman semusim: jagung (Zea mays), padi (Oryza sativa), kacang kedele (Glyxin max) dan rumput untuk pakan ternak.

Sistem tumpang sari yang diperkenalkan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1873 telah menjadi alternatif kegiatan rehabilitasi sejak tahun 1980-an, terutama pada kegiatan yang melibatkan masyarakat setempat secara intensif (Ditjen RLPS 2003). Kecenderungan serupa ditemui pada Database 1. Kegiatan rehabilitasi yang dilakukan berdasarkan kearifan tradisional, yang ditemukan melalui studi dan penelitian yang dilakukan oleh lembaga nasional dan internasional, juga telah banyak yang diakui. Salah satu contoh adalah kegiatan rehabilitasi tradisional untuk melestarikan hutan damar di Krui, Lampung (lihat Lampiran 4).

6 | Rehabilitasi hutan di Indonesia

Pengembangan HTI merupakan pendekatan utama dalam program hutan tanaman berskala besar pada tahun 1980-an dan 1990-an, dimana pendekatan tersebut masih terus berlangsung hingga saat ini. Sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.7/1990, salah satu tujuan dari hutan tanaman adalah meningkatkan produktivitas hutan dan kualitas lingkungan (Kartodihardjo dan Supriono 2000). Pendekatan tersebut terutama melibatkan badan usaha milik negara, sebagaimana dibahas dalam Bab 3. Karena keberhasilan pengembangan HTI masih rendah (bahasan yang lebih komprehensif dapat dilihat pada Bab 3), maka kritik dan tekanan untuk mengakomodir tujuan peningkatan pendapatan masyarakat setempat melalui pengelolaan HTI pola kemitraan semakin meningkat. Pendekatan HTI diarahkan pada penanaman spesies pohon kayu yang lebih beragam, seperti jati dan juga jenis pohon serba guna (JPSG), daripada spesies pohon cepat tumbuh. Tekanan sosial, misalnya konflik dengan masyarakat sekitar, juga mempengaruhi pelaksanaan pola kemitraan. Dari Database awal, terlihat bahwa sejak awal tahun 1990-an, proyek rehabilitasi telah menerapkan berbagai teknik dan pendekatan dalam rangka pemberdayaan masyarakat yang memadukan aspek sosial (kelembagaan) dan ekonomi (Tabel 4-3). Pendekatan rehabilitasi tersebut mulai menerapkan konsep Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) yang lebih dikenal dengan Community Based Forest Management (CBFM) melalui skema kerjasama atau kemitraan antar pemangku kepentingan terkait. Hutan Rakyat lebih berkembang di pulau Jawa, sementara program Hutan Kemasyarakatan (HKm) dilaksanakan di luar Jawa.

4.2. Keberlanjutan kegiatan rehabilitasi: kendala

Dalam dokumen Rehabilitasi hutan di Indonesia (Halaman 133-140)