• Tidak ada hasil yang ditemukan

VII. RELASI GENDER DAN POLA PENGAMBILAN KEPUTUSAN

7.1.1 Pembagian Kerja dan Curahan Waktu

Garis keturunan dalam masyarakat Minang adalah menurut garis keturunan ibu (matrilineal). Peran seorang ibu dalam masyarakat Minang adalah melanjutkan keberadaan suku dalam garis matrilineal dan menjadi ibu rumah tangga dari keluarga, suami dan anak-anaknya. Seorang ayah dalam masyarakat Minang memiliki peran sebagai ayah biologis dari anak-anak yang dilahirkan. Ayah juga memiliki peran sebagai ayah sosial yang juga turut merawat dan mengasuh keponakannya.

Perpindahan atau migrasi yang dilakukan oleh masyarakat Minang di lokasi penelitian sedikit banyak mulai mempengaruhi pola kehidupan mereka. Peran istri dalam sektor domestik juga mulai dibantu oleh anak, pembantu atau sanak keluarga yang lain yang ikut tinggal bersama. Peran suami dalam sektor produktif juga tidak lagi mutlak sebab istri juga membantu guna memenuhi kebutuhan keluarga yang semakin meningkat saat ini. Keikutsertaan istri dalam sektor produktif kemudian juga mempengaruhi pembagian kerja dan curahan waktu dalam keluarga.

Tabel 21 menunjukkan profil aktivitas yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan dalam keluarga etnis Minang yang mencakup aktivitas sosial ekonomi, aktivitas reproduktif dan pemeliharaan sumber daya manusia serta aktivitas sosial. Berdasarkan Tabel 21, terlihat bahwa sektor produktif tidak hanya milik laki-laki saja. Perempuan, dalam hal ini adalah istri juga terlibat dalam sektor produktif. Norma sosial dan nilai budaya yang dulunya menciptakan status dan peranan perempuan hanya sebatas sektor domestik saja mulai luntur karena perempuan juga terlibat dalam sektor produktif. Anak laki-laki maupun perempuan yang telah dewasa juga turut membantu memenuhi kebutuhan keluarga dengan bekerja.

Tabel 21. Aktivitas Produksi, Reproduksi dan Sosial pada Keluarga Etnis Minang di Kelurahan Sukajadi Tahun 2009

Aktivitas Sosial Ekonomi LD PD LA PA LL PL Waktu Lokasi M/H Jam

Produksi Barang dan Jasa : Bekerja sebagai pedagang, buruh pabrik, buruh bangunan, karyawan swasta, PNS, tukang becak dll

V V V H 8 D

Berjualan V H 5-6 D

Reproduktif dan Pemeliharaan SDM :

Memasak V V V H 1 A

Menyapu dan mengepel rumah

V V V H ½ A

Mengasuh anak V V H 12 A

Mencuci baju dan piring V V V H 2 A

Membersihkan halaman V V V H 1/2 D Kegiatan Sosial Mengikuti organisasi V M 2 D Bersosialisasi dengan lingkungan sekitar V V H 2 C, D

Keterangan : LD = Laki-laki Dewasa ; PD = Perempuan Dewasa ; LA =Laki-laki Anak ; PA = Perempuan Anak ; LL=Laki-laki Lanjut ; PL = Perempuan Lanjut

H = Harian ; M = Mingguan

Menurut hasil wawancara mendalam dengan salah satu responden, anak laki-laki atau perempuan yang telah dewasa, belum menikah dan yang tidak lagi bersekolah juga diharapkan dapat membantu mencukupi kebutuhan keluarga dengan bekerja.

”Jaman sekarang kalau hanya mengandalkan suami yang kerja, gak bakalan cukup nutupin kebutuhan, Mbak.. Makanya saya juga ikut kerja, jualan di pasar. Lumayanlah buat nambah-nambah uang belanja sehar-hari.. (Ibu Eti, RT 21, 43 tahun)

”Suami saya kerjanya di Jakarta sama anak saya yang paling tua. Saya sekarang tinggalnya sama empat anak saya, laki-laki semua.. Saya ya jualan kue di pasar, Mbak.. Anak saya yang kedua juga ikut kerja jadi buruh. Kalo gak kerja mau makan apa? Suami juga belum tentu ngirim duit tiap bulannya..” (Ibu Ratna, RT 21, 39 tahun)

Jam kerja laki-laki dalam sektor produktif rata-rata adalah 8 jam per hari yang biasanya dimulai pada pukul 8 pagi hingga pukul 4 sore. Responden yang bermatapencaharian sebagai pedagang atau buruh bangunan biasanya memiliki pola kerja semacam itu. Perbedaannya hanyalah responden yang bekerja sebagai

buruh bangunan cenderung tidak tetap pekerjaannya dibanding responden yang pekerjaannya adalah pedagang. Responden yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil atau karyawan swasta cenderung lebih teratur jam kerjanya karena sudah ada jadwal yang mengikat mereka. Responden yang bekerja sebagai buruh pabrik biasanya bekerja dengan sistem shift namun tetap memiliki jam kerja yang teratur kecuali jika perusahaan atau pabrik tempat mereka bekerja meminta perpanjangan waktu kerja (lembur).

Perempuan yang ikut bekerja kebanyakan bermatapencaharian sebagai pedagang sayur, buah atau kue di pasar. Pekerjaan tersebut mereka pilih karena menurut mereka tidak terlalu menyita waktu sehingga mereka tetap dapat mengurus rumah sekaligus memperoleh pendapatan untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Jam kerja mereka hanya berkisar antara 4-5 jam, yaitu dimulai dari pukul 6 pagi hingga pukul 10 atau 11 siang. Selain itu, mereka juga memperoleh pendapatan dengan membuka warung di rumah mereka sendiri. Menurut beberapa responden, dengan membuka warung di rumah mereka dapat tetap mengontrol anak-anak dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

”Ya lumayanlah, Mbak.. Buka warung gini bisa nambah uang belanja meskipun gak seberapa. Bisa buat jajan anak-anak juga.. Warung juga kan gak terus-terusan rame, pas lagi sepi saya sambil ngerjain kerjaan rumah.. nyapu, masak, nyetrika, jagain si kecil..”(Ibu Meda, RT 21, 32 tahun)

Berkaitan dengan sektor reproduktif, perempuan masih tetap memegang peran yang dominan meskipun laki-laki juga turut terlibat dalam beberapa hal. Perempuan tetap mengurus pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci baju dan piring, menyapu dan mengepel, serta mengasuh anak. Perempuan yang ikut bekerja biasanya akan menyiapkan sarapan dan keperluan sekolah anak serta barang dagangan yang akan dijual sebelum mereka berangkat ke pasar untuk berjualan. Curahan waktu antara laki-laki dan perempuan dalam sektor reproduktif juga jelas berbeda dimana perempuan lebih banyak mencurahkan waktu dalam sektor reproduktif meskipun juga terlibat dalam sektor produksi. Keterlibatan laki-laki dalam sektor reproduktif juga bukan sebagai suatu kewajiban yang mutlak dilakukan. Hal ini jelas berbeda dengan perempuan yang memang memiliki tanggung jawab penuh terhadap sektor reproduktif. Tugas

pengasuhan yang bersifat fisik masih sering dilakukan oleh suami, khususnya pada keluarga muda yang baru memiliki satu atau dua orang anak. Pengasuhan yang bersifat psikis atau pemberian stimulasi positif pada anak lebih sering dilakukan oleh istri.

Pada keluarga etnis Minang yang tergolong keluarga luas, tugas sektor reproduktif dapat menjadi lebih ringan dengan adanya anggota keluarga luas yang turut tinggal bersama mereka. Kehadiran anggota keluarga luas membantu dalam hal pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci piring dan pakaian, menyetrika bahkan dalam hal mengasuh anak. Bila tidak ada anggota keluarga luas yang ikut tinggal bersama, maka beban pekerjaan rumah tangga biasa dibagi dengan anak perempuan yang sudah dianggap mampu untuk membantu.

”Kalau saya jualan.. yang bantu-bantu di rumah ya Ibu saya.. Saya kan pulang jam 11an, habis jualan baru masak untuk makan siang. Kasian juga kalo Ibu semua yang ngerjain..”(Ibu Anisa, RT 21, 38 tahun)

”Paling sebelum berangkat jualan saya nyiapin makanan buat Bapak sebelum kerja.. Anak-anak udah gede sih, Mbak.. Udah bisa ngurus diri sendirilah.. Bisa bantu-bantu bersihin rumah juga, jadi kalo saya pulang jualan rumah udah rapi..” (Ibu Wati, RT 21, 38 tahun)

Aktivitas sosial yang dijalani meliputi kegiatan berorganisasi dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitar tempat tinggal responden. Bentuk organisasi atau perkumpulan yang ada di RT 21 adalah arisan ibu-ibu, pengajian ibu-ibu dan kegiatan PKK atau Posyandu. Menurut responden, mengikuti kegiatan semacam itu dapat memperluas wawasan, menghilangkan kebosanan dan berfungsi pula sebagai sarana sosialisasi, akan tetapi kegiatan atau organisasi yang melibatkan bapak-bapak tidak ditemui di RT 21. Interaksi sosial yang dilakukan oleh laki-laki sebatas interaksi dengan tetangga dan rekan sekerja. Anak-anak melakukan interaksi sosialnya dengan teman sebaya dan lingkungan pergaulan di sekolah maupun di tempat mereka bekerja.

Jika dihubungkan dengan perspektif gender dalam pengasuhan anak, peran suami dalam mengasuh anak mulai terlihat pada keluarga etnis Minang. Suami mulai terlibat dalam kegiatan pengasuhan anak khususnya yang bersifat fisik seperti menggendong atau aktivitas bermain dengan anak. Hal tersebut banyak

ditemukan pada responden keluarga migran etnis Minang yang masih tergolong keluarga muda dengan jumlah anak yang tidak lebih dari 2. Suami dan istri masih sama-sama terlibat dalam mengasuh anak, terlebih jika tidak ada anggota keluarga luas yang ikut tinggal bersama mereka.

Etnis Minang yang menganut sistem matrilineal tidak lantas membuat perbedaan yang jelas antara peran suami dan istri serta pengasuhan pada anak laki-laki dan perempuan. Meskipun perempuan memang memegang peran penting dalam masyarakat Minang, laki-laki juga diberi kesempatan yang sama dalam hal akses pendidikan. Pengasuhan juga tidak lantas dibedakan secara ekstrim antara anak laki-laki dan perempuan. Hal ini dipengaruhi oleh pandangan orangtua etnis Minang yang sudah tidak lagi bersifat tradisional dan mulai menganggap bahwa anak laki-laki dan anak perempuan adalah sama dan berhak mendapatkan pengasuhan yang sama pula.