• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN

D. Pembahasan

1. Hubungan tingkat keterlaksanaan pembelajaran aktif pada materi akuntansi dengan keterampilan berpikir kreatif

Berdasarkan interpretasi data bahwa dari 213 siswa terdapat 38 siswa (17,84%) yang memiliki persepsi terhadap keterlaksanaan pembelajaran aktif pada materi akuntansi dengan kategori sangat tinggi, 92 siswa (43,19%) memiliki persepsi dengan kategori tinggi pada keterlaksanaan pembelajaran aktif pada materi akuntansi, 43 siswa (20,19%) memiliki persepsi dengan kategori cukup terhadap keterlaksanaan pembelajaran aktif pada materi akuntansi, sebanyak 26 siswa (12,21%) memiliki persepsi rendah terhadap keterlaksanaan pembelajaran aktif pada materi akuntansi, dan kategori persepsi sangat rendah terhadap keterlaksanaan pembelajaran aktif pada materi akuntansi dimiliki oleh 14 siswa (6,57%). Dalam variabel keterlaksanaan pembelajaran aktif pada materi akuntansi ini diperoleh hasil perhitungan rata-rata (mean) adalah 92,7418, nilai tengah (median) 95, dan terdapat dua nilai yang paling sering muncul (bimodal) yaitu 95 dan 105 dengan frekuensi 11 kali kemunculan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa proses pembelajaran aktif yang dialami oleh sebagian besar siswa sudah termasuk dalam kategori tinggi (frekuensi: 92).

Sementara itu, pada hasil interpretasi variabel keterampilan berpikir kreatif menunjukkan bahwa dari 213 siswa terdapat 6 siswa (2,82%) yang memiliki persepsi pada keterampilan berpikir kreatif dengan kategori sangat tinggi, 66 siswa (30,99%) memiliki persepsi dengan kategori tinggi pada keterampilan berpikir kreatif, 71 siswa (33,33%) memiliki persepsi dengan kategori cukup terhadap keterampilan berpikir kreatif, sebanyak 49 siswa (23,00%) memiliki persepsi rendah terhadap keterampilan berpikir kreatif, dan kategori persepsi sangat rendah terhadap keterampilan berpikir kreatif dimiliki oleh 21 siswa (9,86%). Dalam variabel keterampilan berpikir kreatif ini diperoleh hasil perhitungan rata-rata (mean) adalah 54,3239, nilai tengah (median) 55, dan nilai yang paling sering muncul (modus) yaitu 57 dengan frekuensi 18 kali kemunculan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden memiliki keterampilan berpikir kreatif pada kategori cukup (frekuensi: 71) selama proses pembelajaran aktif yang dialami.

Jika kita lihat dalam hasil uji hipotesis, hubungan antara keterlaksanaan pembelajaran aktif pada materi akuntansi dengan keterampilan berpikir kreatif tampak bahwa kurang kuatnya korelasi (+0,235). Kategori tersebut termasuk dalam kategori korelasi lemah (0,20

– 0,399). Namun kedua variabel berkorelasi secara signifikan yang ditunjukkan pada bagian Sig. (1-tailed),diperoleh angka probabilitas 0,000 atau kurang dari 0,01. Angka tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara keduanya. Oleh karena itu terdapat

hubungan yang positif signifikan antara tingkat keterlaksanaan pembelajaran aktif pada materi akuntansi dengan keterampilan berpikir kreatif siswa.

Dalam penelitian ini, persepsi siswa terhadap keterlaksanaan pembelajaran aktif pada materi akuntansi dengan keterampilan berpikir kreatif berada pada kategori tinggi. Sementara pada keterampilan berpikir kreatif persepsi siswa menempati kategori cukup. Namun demikian, tingkat koefisien korelasi keterlaksanaan pembelajaran aktif pada materi akuntansi dan keterampilan berpikir kreatif menunjukkan hubungan yang positif signifikan dengan kategori lemah. Hal tersebut disebabkan oleh adanya hubungan yang kurang sensitif antara kedua variabel. Hubungan yang kurang sensitif tersebut kemungkinan dapat terjadi karena adanya ketidakkonsistenan responden dalam menjawab pernyataan masing-masing variabel dalam kuesioner yang menghasilkan skor sama-sama tinggi atau menghasilkan skor sama-sama rendah. Maka dari itu korelasi antara keduanya lemah. Sedangkan hubungan yang sensitif terjadi ketika semua responden konsisten dalam menjawab tiap pernyataan pada masing-masing variabel menghasilkan skor sama-sama tinggi atau menghasilkan skor sama-sama rendah, sehingga korelasi keduanya menjadi kuat.

Dalam pembelajaran aktif (Hollingsworth dan Gina, 2008: viii-ix), siswa belajar secara aktif ketika mereka secara terus-menerus terlibat, baik secara mental ataupun secara fisik. Wibisono dalam bukunya Active Learning with Case Method (2014: 2) menyatakan bahwa belajar

merupakan suatu hal yang aktif, mahasiswa melakukan sebagian besar dari aktivitas itu. Mereka menggunakan otak mereka, mempelajari ide, memecahkan masalah, dan menerapkannya saat mereka belajar. Salah satu indikator dalam pembelajaran aktif adalah bersifat pemecahan masalah. Maksudnya adalah keterampilan penyelesaian masalah siswa terasah melalui kegiatan dalam proses pembelajaran, misalnya berupa penyelesaian kasus. Hilgard dalam Hamzah dkk., (2014, 113) melihat bahwa berpikir kreatif sebagai suatu bentuk pemikiran, berusaha menemukan hubungan-hubungan baru, mendapatkan jawaban, metode atau cara-cara baru dalam menanggapi suatu masalah, atau menghasilkan bentuk-bentuk artistik baru. Schwartz mendefinisikan berpikir kreatif adalah menemukan cara baru yang lebih baik untuk mengerjakan segala sesuatu. Berpikir kreatif adalah proses yang digunakan ketika mengajukan suatu gagasan baru. Oleh sebab itu, dalam proses pembelajaran aktif pastilah diperlukan adanya keterampilan berpikir kreatif untuk melakukan segala aktivitas yang diadakan. Juga dalam proses pembelajaran aktif, salah satu muatan yang harus dimunculkan adalah pemecahan masalah. Dalam hal tersebut siswa dituntut untuk mau berpikir dan berkontribusi dalam pembelajaran baik dalam bentuk berpendapat ataupun memikirkan berbagai cara demi penyelesaian masalah. Sehingga dari situ dapat diketahui bahwa keterampilan berpikir kreatif siswa akan semakin terasah. Maka dapat dijelaskan bahwa selain berhubungan, antara keterlaksanaan pembelajaran aktif pada materi akuntansi dengan keterampilan berpikir

kreatif memiliki hubungan yang positif. Hubungan positif menunjukkan bahwa ketika keterlaksanaan pembelajaran aktif pada materi akuntansi yang dialami oleh siswa semakin tinggi atau dengan kata lain semakin nyata dialami dalam hidupnya, maka hal tersebut akan meningkatkan keterampilan berpikir kreatif mereka. Sebaliknya, keterampilan berpikir kreatif yang tinggi dapat membantu siswa selama proses pembelajaran aktif dilaksanakan. Hal tersebut dapat terjadi melalui adanya kegiatan diskusi kelompok, pemecahan masalah, penyampaian pendapat, juga kegiatan-kegiatan lain selama proses pembelajaran aktif.

2. Hubungan keterlaksanaan pembelajaran aktif pada materi akuntansi dengan efikasi diri

Berdasarkan interpretasi data bahwa dari 213 siswa terdapat 38 siswa (17,84%) yang memiliki persepsi terhadap keterlaksanaan pembelajaran aktif pada materi akuntansi dengan kategori sangat tinggi, 92 siswa (43,19%) memiliki persepsi dengan kategori tinggi pada keterlaksanaan pembelajaran aktif pada materi akuntansi, 43 siswa (20,19%) memiliki persepsi dengan kategori cukup terhadap keterlaksanaan pembelajaran aktif pada materi akuntansi, sebanyak 26 siswa (12,21%) memiliki persepsi rendah terhadap keterlaksanaan pembelajaran aktif pada materi akuntansi, dan kategori persepsi sangat rendah terhadap keterlaksanaan pembelajaran aktif pada materi akuntansi dimiliki oleh 14 siswa (6,57%). Dalam variabel keterlaksanaan pembelajaran aktif pada materi akuntansi ini diperoleh hasil perhitungan rata-rata (mean) adalah 92,7418, nilai

tengah (median) 95, dan terdapat dua nilai yang paling sering muncul (bimodal) yaitu 95 dan 105 dengan frekuensi 11 kali kemunculan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa proses pembelajaran aktif yang dialami oleh sebagian besar siswa sudah termasuk dalam kategori tinggi (frekuensi: 92).

Data diatas menunjukkan bahwa dari 213 siswa terdapat 31 siswa (14,55%) yang memiliki persepsi sangat tinggi terhadap efikasi diri, 118 siswa (55,40%) memiliki persepsi dengan kategori tinggi terhadap efikasi diri, 37 siswa (17,37%) memiliki persepsi terhadap efikasi diri dengan kategori cukup, 19 siswa (8,92%) memiliki persepsi terhadap efikasi diri dengan kategori rendah, dan kategori sangat rendah terhadap efikasi diri dimiliki oleh 8 siswa (3,76%). Dalam variabel keterlaksanaan pembelajaran aktif pada materi akuntansi ini diperoleh hasil perhitungan rata-rata (mean) adalah 90,8075, nilai tengah (median) 92, dan terdapat dua nilai yang paling sering muncul (bimodal) yaitu 87 dan 96 dengan frekuensi masing-masing 12 kali kemunculan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebagaian besar responden memiliki efikasi diri dalam kategori tinggi selama proses pembelajaran aktif yang dialami (frekuensi: 118).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden memiliki efikasi diri dalam kategori tinggi selama proses pembelajaran aktif pada materi akuntansi. Jika kita lihat dalam hasil uji hipotesis hubungan antara keterlaksanaan pembelajaran aktif pada materi

akuntansi dengan efikasi diri tampak bahwa kurang kuatnya korelasi antara keduanya (+0,352). Kategori tersebut termasuk dalam kategori tingkat korelasi yang lemah (0,20 – 0,399). Namun kedua variabel berkorelasi secara signifikan yang ditunjukkan melalui angka probabilitas 0,000 atau bernilai kurang dari 0,01. Oleh karena itu terdapat hubungan yang positif ignifikan antara keterlaksanaan pembelajaran aktif pada materi akuntansi dengan efikasi diri siswa.

Dalam penelitian ini, persepsi siswa tentang keterlaksanaan pembelajaran aktif pada materi akuntansi adalah tinggi. Sementara pada efikasi diri, persepsi siswa menempati kategori tinggi pula. Namun demikian, tingkat koefisien korelasi keterlaksanaan pembelajaran aktif pada materi akuntansi dan efikasi diri menunjukkan hubungan yang positif dengan kategori lemah. Hal tersebut disebabkan oleh adanya hubungan yang kurang sensitif antara kedua variabel. Hubungan yang kurang sensitif tersebut kemungkinan dapat terjadi karena adanya ketidakkonsistenan responden dalam menjawab pernyataan masing-masing variabel dalam kuesioner yang menghasilkan skor sama-sama tinggi atau menghasilkan skor sama-sama rendah. Maka dari itu korelasi antara keduanya lemah. Sedangkan hubungan yang sensitif terjadi ketika semua responden konsisten dalam menjawab tiap pernyataan pada masing-masing variabel menghasilkan skor sama-sama tinggi atau menghasilkan skor sama-sama rendah, sehingga korelasi keduanya menjadi kuat.

Dalam pembelajaran aktif, siswa belajar secara aktif ketika mereka secara terus-menerus terlibat, baik secara mental ataupun secara fisik. Selama proses pembelajaran aktif, siswa biasanya diberi tugas penyelesaian masalah yang berkaitan dengan materi pelajaran baik tugas individu maupun tugas kelompok. Tugas-tugas penyelesaian masalah yang diberikan kepada siswa mampu menumbuhkan keyakinan bahwa siswa mampu melakukan tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Seperti yang telah dijelaskan pada Bab II dan Bab III, efikasi diri memiliki tiga dimensi, yaitu Academic Self-efficacy, Social Self-efficacy, dan Emotional Self- efficacy. Siswa yang mampu menyelesaikan ujian dengan baik, berkonsentrasi saat belajar, dan mampu memuaskan orang tua melalui hasil belajar merupakan beberapa contoh yang menandakan bahwa siswa memiliki Academic Self-efficacy. Siswa yang mampu bekerja sama dalam kelompok, menjadi teman yang baik bagi orang lain, dan mampu mengomunikasikan hal yang tidak disukai kepada orang lain merupakan beberapa hal yang jelas menunjukkan bahwa siswa tersebut memiliki Social Self-efficacy. Sedangkan siswa yang nemiliki Emotional Self- efficacy biasanya mampu mengendalikan perasaan, menyemangati diri saat lemah dan mengalami kesulitan, dan tidak mengkhawatirkan hal yang akan terjadi. Maka dari itu jelaslah bahwa beberapa contoh sikap dan tindakan tersebut melibatkan masing-masing dimensi efikasi diri, sehingga dapat pula dikatakan bahwa terdapat hubungan antara dimensi dengan tindakan yang dilakukan. Menurut Bandura dan Jourden, juga Wood dan

Bandura (Bandura, 1997: 37), keterampilan dapat dengan mudah hilang dikarenakan adanya keraguan diri. Maka dari itu, walaupun individu memiliki tingkat keterampilan yang tinggi, mereka dapat menggunakan kemampuan-kemampuan mereka secara rendah di bawah keadaan yang meruntuhkan kepercayaan mereka terhadap diri mereka sendiri. Efikasi diri memberi kontribusi yang penting untuk meningkatkan prestasi.

Juga dalam proses pembelajaran aktif, salah satu muatan yang harus dimunculkan adalah pemecahan masalah. Dalam hal tersebut siswa dituntut untuk memiliki penilaian diri bahwa dirinya berani dan mampu untuk berkontribusi dalam pembelajaran baik dalam bentuk berpendapat ataupun memikirkan berbagai cara demi penyelesaian masalah. Sehingga dari situ dapat diketahui bahwa penilaian siswa terhadap dirinya bahwa ia mampu melakukan sesuatu sesuai dengan yang dipersyaratkan akan semakin nyata. Maka dapat dijelaskan bahwa selain berhubungan, antara keterlaksanaan pembelajaran aktif pada materi akuntansi dengan efikasi diri memiliki hubungan yang postif. Hubungan positif menunjukkan bahwa ketika keterlaksanaan pembelajaran aktif pada materi akuntansi yang dialami oleh siswa semakin tinggi atau dengan kata lain semakin nyata dialami dalam hidupnya, maka hal tersebut akan meningkatkan efikasi diri mereka. Sebaliknya, efikasi diri yang tinggi dapat membantu siswa selama proses pembelajaran aktif dilaksanakan. Hal tersebut dapat terjadi melalaui adanya kegiatan diskusi kelompok, pemecahan masalah,

penyampaian pendapat, juga kegiatan-kegiatan lain selama proses pembelajaran aktif.

Dokumen terkait