• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembahasan Analisis Pemenuhan Elemen Penerapan Kebijakan K3 Berdasarkan PP No. 50 tahun 2012

- Senior Manajemen Komitmen - Komitmen Organisasi

HASIL PENELITIAN 5.1. Gambaran Umum Perusahaan PT KAI

6.3. Pembahasan Analisis Pemenuhan Elemen Penerapan Kebijakan K3 Berdasarkan PP No. 50 tahun 2012

6.3. Pembahasan Analisis Pemenuhan Elemen Penerapan Kebijakan K3 Berdasarkan PP No. 50 tahun 2012.

Komitmen organisasi dan komitmen dari senior manajemen ternyata tidak menjadikan pemenuhan terhadap elemen pertama dalam SMK3 terlaksana. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa pemenuhan dari elemen pelaksanaan kebijakan K3 dengan kriteria pembangunan dan pemeliharaan komitmen pada audit SMK3 berdasarkan PP No. 50 tahun 2012 masuk ke dalam kategori kurang. Hasil yang diperoleh dipengaruhi pula oleh keterbatasan penelitian ini karena peneliti tidak dapat wawancara mendalam secara langsung dengan top manajemen. Menurut teori seharusnya ketika senior manajemen telah menunjukkan komitmen keselamatan yang baik maka senior manajemen akan perhatian terhadap nilai-nilai K3. Seperti yang dikemukakan oleh Grimaldi dan Simons dalam Christina (2012) bahwa sebuah kebijakan K3 seharusnya dimulai dari top manajemen, diwujudkan dengan perhatian terhadap K3 dan perhatian terhadap tindakan-tindakan bahaya yang mengancam.

Komitmen dalam melaksanakan SMK3 merupakan langkah awal yang sangat penting sebelum melanjutkan elemen lainnya. Karena komitmen yang kuat dari berbagai pihak mulai manajemen sampai pada level pekerja untuk menerapkan SMK3 dapat memudahkan tahap SMK3 selanjutnya. Selain dari itu dapat terciptanya perusahaan yang selalu mengutamakan keselamatan dan kesehatan dalam bekerja sehingga dapat terciptanya budaya K3 (Luckyta. danPartiwi., 2012). Namun hasil menunjukkan tidak ada korelasi antara komitmen senior manajemen dan komitmen organisasi yang baik terhadapa pemenuhan elemen pertama ini.

Berdasarkan hasil kriteria pertama dari pemenuhan kebijakan elemen pertama PP No 50 tahun 2012 bahwa DAOP 2 sudah memiliki komitmen keselamatan namun fokus komitmen tersebut tidak secara khusus untuk keselamatan pekerja lebih kepada keselamatan penumpang kereta api. SMK3 sebagai suatu sistem yang digunakan ntuk mengatur kebijakan-kebijakan perusahaan, khususnya dalam bidang keselamatan dan kesehatan kerja selain itu untuk mengetahui efektivitas implementasi komitmen manajemen yang dituangkan dalam kebijakan perusahaan. (Syartini, 2010). Teori tersebut tidak sejalan dengan kondisi dilapangan, bila perusahaan menerapakan SMK3 maka seharusnya kebijakan tersebut diatur oleh sistem yang sudah ada.

Meski DAOP 2 Bandung sudah memiliki komitmen tertulis ternyata dalam penyusunannya tidak melalui proses konsultasi dengan wakil tenaga kerja. Seharusnya dalam setiap penyusunan kebijakan pengusaha harus melakukan proses konsultasi dengan wakil tenaga kerja agar setiap kebijakan yang diambil berdasarkan pertimbangan demi kesejahteraan tenaga kerja. Konsultasi dapat menjadi jalan tenaga kerja dalam memberikan masukan. Kebijakan yang diambil semata-mata berdasarkan pemikiran pengusaha akan membebani tenaga kerja.

Tenaga kerja merasa terpaksa dalam menjalani pekerjaan, mengurangi kinerja dan kepercayaan terhadap perusahaan. Sebaiknya setiap akan membuat suatu kebijakan tenaga kerja dari setiap bagian dalam perusahaan dilibatkan untuk diminta pendapat dan masukannya, agar pekerja dan pengusaha dapat bersinergis dalam membangun perusahaan.

Kebijakan khusus seringkali dibutuhkan untuk masalah-masalah K3 yang bersifat khusus seperti kebijakan mengenai larangan mengkonsumsi alkohol atau narkoba pada masinis. Sebaiknya hal-hal tersebut juga diatur oleh perusahaan karena bersifat membahayakan bagi pekerja dan orang lain. Sebelum membuat suatu kebijakan khusus lakukan analisis terhadap kebutuhan kebijakan khusus yang harus dibuat. Kebijakan khusus juga sama dengan kebijakan lainnya harus selalu di tinjau ulang secara berkala. Kebijakan yang dibuat tidak selalu relevan dengan kondisi perusahaan, sehingga perlu adanya tinjau ulang agar kebijakan yang berlaku adalah kebijakan yang memang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan perusahaan. Kebijakan sebaiknya di tinjau ulang secara berkala minimal satu tahun sekali. Peninjauan yang dilakukan dilakukan atas pertimbangan dari analisis kondisi perusahaan saat ini.

Kriteria kedua yang adalah tanggung jawab dan wewenang berdasarkan PP No. 50 bahwa pada suatu perusahaan harus memiliki penanggung jawab. Seseorang yang melakukan tindakan mengenai K3 yang dimaksud disini adalah siapa pun tidak harus pimpinan perusahaan asalkan seseorang yang sudah ditunjuk berdasarkan undang-undang. Secara jelas terdokumentasi tanggung jawab dan wewenangnya serta sudah disosialisasikan agar setiap pekerja tahu siapa yang berwenang dalam mengambil tindakan untuk masalah K3. Namun pada kenyataan di lapangan tanggung jawab dan wewenang di DAOP 2 diserahkan pada pimpinan unit

masing-masing dan tidak ada prosedur yang mengatur tatacara penunjukkannya. Perusahaan akan sulit menentukan tindakan karena secara tanggung jawab tidak ada satu orang yang memiliki kewajiban mengambil tindakan dan melaporkannya. Masalah seperti pengendalian risiko, penanganan kecelakaan kerja investigasi kecelakaan kerja dan masalah lain tentang K3 tidak secara serius difahami dan ditangani jika tidak adanya penanggungjawab untuk masalah tersebut. Sebaiknya setelah ditetapkan penanggung jawab adanya sosialisasi melalui rapat, apel, media sosialisasi lainnya agar setiap tenaga kerja mengetahui sehingga memudahkan alur pelaporan masalah K3.

Penunjukkan penanggungjawab yang diharuskan dalam PP No. 50 tahun 2012 adalah sesuai dengan aturan perundang-undangan agar setiap penanggung jawab sudah sesuai dengan kompetensi yang dimaksud dalam undang-undang. Penanggungjawab yang dimaksud adalah seseorang yang sudah ahli K3 umum yang artinya sudah memiliki kompetensi sebagai ahli dibidang K3. Berikan pelatihan ahli K3 umum pada calon penanggungjawab K3 di DAOP 2 Bandung sebelum ditunjuk, sebaiknya adalah dari safety commite.

Kinerja K3 DAOP 2 Bandung tidak dilaporkan dalam laporan tahunan atau laporan lainnya, hal ini akan menyulitkan DAOP 2 dalam melakukan tinjauan ulang. Sebaiknya selain masalah pekerjaan DAOP 2 juga membuat suatu laporan pertahun mengenai kinerja K3. Laporan tersebut dapat di informasikan pada SHE pusat atau tenaga kerja. Sebaiknya laporan kinerja K3 dipisahkan dengan laporan pekerjaan, fungsinya adalah menimbulkan keperdulian terhadap masalah K3, sebagai bahan evaluasi kinerja selanjutnya.

Selanjutnya adalah tinjauan dan evaluasi menurut PP No. 50 tahun 2012 adalah tinjauan yang dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan efektivitas

keselamatan dan kesehatan kerja salah satunya adanya evaluasi terhadap kebijakan. Sedangkang evaluasi merupakan alat untuk mengetahui keberhasilan penerapan SMK3. DAOP 2 memang sudah melakukan tinjau ulang dan evaluasi terhadap aspek K3 dalam pertemuan yang dilakukan dengan manager tapi tinjauan dan bentuk evaluais tersebut tidak didokumentasikan. Peninjauan ulang wajib di dokumentasikan agar perusahaan dapat memantau program-program K3 yang mengalami peningkatan dan penurunan. Mengetahui masalah K3 yang harus diprioritaskan untuk ditangani. Sebaiknya salah satu orang dalam safety commite berfungsi sebagai pendokumen setiap tinjauan, evaluasi atau tindakan lainnya mengenai K3 untuk dapat dilaporkan pada Kepala DAOP atau Deputi.

Salah satu fungsi tinjauan ulang adalah untuk merumuskan perencanaan selanjutnya. Tinjauan ulang yang tidak terdokumentasi akan menyulitkan manajemen dalam melakukan perencanaan. Seperti yang terjadi di DAOP 2 Bandung tinjauan hanya dilakukan serta tidak dimasukkan kedalam perencanaan. Sebaiknya terdapat salah satu penanggungjawab dalam mendokumentasikan setiap tinjauan dan secara berkala tinjauan tersebut dibahas dalam melakukan perencanaan. Ketikan melakukan peninjauan ulang tanpa didokumentasikan kesalahan yang sama dapat terulang, sehingga perencanaan berupa program pengendalian risiko tidak akan berjalan dengan efektif.

Sebagai top manajemen Kepala DAOP 2 Bandung melakukan peninjauan ulang hanya berdasarkan laporan manajer. Kepala DAOP memang meninjau ulang SMK3 di DAOP dengan indikator terciptanya tempat kerja yang aman dan tidak adanya penyakit akibat kerja. Pada kenyataannya kecelakaan kerja seringkali tidak terlaporkan pada Kepala DAOP sehingga Kepala DAOP menganggap kondisi bekerja selalu dalam keadaan aman. Sebaiknya peninjauan ulang yang dilakukan

tidak hanya berdasarkan laporan dari jajaran manager namun tinjauan ulang harus dilakukan langsung oleh pengusaha secara berkala. Tinjauan ulang yang dilakukan pengurus dapat dilakukan dengan melihat laporan safety commite, melihat data insedent atau accident, laporan hasil investigasi kecelakaan kerja, hasil penilaian risiko dan pengendalian yang dilakukan. Ketika pengusaha tidak melakukan peninjauan ulang terhadap SMK3 yang dijalankan akan berdampak tidak tercapainya komitmen yang telah dibuat, SMK3 yang dijalankan tidak akan efektif menurunkan risiko dan mencegah kecelakaan kerja.

Keterlibatan dan konsultasi dengan pekerja, SMK3 ini tidak dapat terpisahkan dari keterlibatan pekerja tujuan dari SMK3 ini adalah mencegah terjadinya kecelakaan kerja dan melindungi pekerja sehingga pentingnya ketelibatan pekerja dan menerima masukan dari pekerja agar kebijakan yang di aplikasikan di lapangan senantiasa dipatuhi oleh pekerja. Keterlibatan pekerja dalam menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) merupakan faktor yang mendukung keberhasilan penerapan sistem itu sendiri (Simanjuntak dkk., 2012).

Kriteria yang paling banyak tidak terpenuhi adalah bagian keterlibatan dan konsultasi dengan tenaga kerja. DAOP 2 Bandung memang tidak memiliki jadwal konsultasi dengan pekerja dan tidak memiliki prosedur konsultasi. Konsultasi ini adalah salah satu cara melibatkan pekerja, memberikan kesempatan pekerja untuk memberikan saran untuk perusahaan. Tidak adanya keterlibatan dan konsultasi akan berpengaruh pada keberhasilan penerapan SMK3 itu sendiri. Perusahaan sebaiknya membuat jadwal bergilir berdasarkan bagian atau unit untuk semua tenaga kerja

berkonsultasi dengan prosedur konsultasi dua arah sehingga setiap pekerja memiliki kesempatan berkonsultasi yang sama.

Pembentukan P2K3 hanya berdasarkan jabatan tidak sesuai undang-undang. Perundang-undangan yang mengatur tentang pembentukan P2K3 adalah PERMENAKER No. 4 Tahun 1987. Dijelaskan bahwa perusahaan yang mempekerjakan 100 orang lebih atau pekerjaan yang memiliki risiko tinggi wajib membentuk P2K3. Keanggotaannya P2K3 juga jelas diterangkan dalam peraturan tersebut bahwa keanggotaan P2K3 terdiri dari unsur pengusaha dan pekerja. Di DAOP 2 ketua P2K3 bukanlah pimpinan tertinggi yaitu Kepala DAOP melainkan kepala unit. Sebaiknya ketua P2K3 adalah top manajemen karena untuk memudahkan pengambilan keputusan. PERMENAKER No. 4 tahun 1987 juga mengharuskan sekretaris P2K3 haruslah ahli K3 umum, namun P2K3 yang telah dibentuk di DAOP 2 bukanlah ahli K3 umum. P2K3 di DAOP juga belum ditetapkan oleh Menteri dan bukan usulan dari pengurus. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembentukan P2K3 di DAOP 2 Bandung tidak sesuai dengan perundang-undangan

Kegiatan yang dimiliki P2K3 juga hanya berupa sosialisasi dari kebijakan atau peraturan dari SHE pusat. Sedangkan tugas P2K3 adalah memberikan saran dan pertimbangan baik diminta ataupun tidak kepada pengurus. P2K3 tidak melakukan pertemuan secara berkala serta laporan yang diberikan P2K3 hanya pada kantor pusat PT KAI bukan kepada dinas tenaga kerja setempat secara berkala setiap 3 bulan sekali sesuai yang diminta undang-undang. P2K3 ini tidak akan berfungsi dengan baik sebagaimana mestinya. Sebaiknya pengurus DAOP 2 Bandung memahami terlebih dahulu isi dari peraturan yang mengatur tentang pembentukan

P2K3. Lakukan perombakan terhadap P2K3 yang sudah ada kemudian segera tetapkan oleh Menteri.

Pemenuhan elemen pembangunan dan pemeliharaan komitmen yang benar dilakukan secara konsisten (Shiddiq dkk., 2013) . Komitmen bukan hanya dituangkan dalam kata-kata dan disosialisasikan, namun untuk memegang teguh komitmen tersebut dibuktikan dengan berbagai upaya dalam menurunkan risiko dan mencegah kecelakaan melalui prosedur-prosedur dalam SMK3. Komitmen dibuktikan dengan tindakan nyata agar dapat diketahui, dipelajari dihayati, dilaksanakan oleh seluruh staf dan karyawan perusahaan. SMK3 tidak akan dapat berjalan tanpa adanya komitmen. Manajemen harus bertanggung jawab terhadap keberhasilan dan kegagalan penerapan SMK3. Seperti yang dijelaskan dalam PP No. 50 tahun 2012 bahwa setiap tingkat pimpinan harus menunjukkan komitmen terhadap K3 sehingga SMK3 berhasil diterapkan dan dikembangkan.

Komitmen yang tinggi menjadi kunci keberhasilan dari penerapan SMK3 di perusahaan (Gallagher. dkk., 2001) . Perusahaan yang memiliki komitmen dalam menerapkan SMK3 tentu akan meningkatkan kondisi keselamatan dan kesehatan kerja ke tingkat yang lebih tinggi secara terus menerus dan sistematis (Sallafudin dkk., 2013), karena penerapan SMK3 berupa siklus yang terus berputar untuk selalu melakukan perbaikan. Komitmen yang tinggi akan berdampak pada pelaksanaan SMK3 itu sendiri. Adanya komitmen dari tingkat yang paling tinggi sampai yang paling rendah akan memudahkan aplikasi K3 di perusahaan. Sehingga terciptanya tempat kerja yang aman, tercapainya zero accident, adanya rasa aman dari pekerja, meningkatnya produktivitas. Dampak negatif yang akan muncul ketika tidak adanya komitmen atau komitmen tidak di imbangi dengan aplikasi nyata dalam

melaksanakan SMK3 dapat berakibat pada tetap tingginya angka kecelakaan kerja (Silaban, 2009). Komitmen yang telah tertulis tidak selalu menjamin perusahaan tersebut berkomitmen. Komitmen yang tertulis harus difahami betul oleh setiap bagian di perusahaan. Segala bentuk program K3 yang dibuat tidak akan berjalan dengan baik dan menurunkan risiko jika tidak di imbangi dengan komitmen yang kuat.

Elemen pertama dalam SMK3 ini seharusnya dimulai dengan penetapan kebijakan K3 oleh manajemen puncak sebagai perwujudan komitmen manajemen dalam menerapkan K3. Adanya bukti tertulis, tertanggal dan ditandatangani oleh manajemen puncak terkait komitmen perusahaan dalam menciptakan keselamatan dan kesehatan kerja. Dalamberkomitmen menerapkan SMK3 terdapat 3 hal yang harus diperhatikan, yaitu kepemimpinan dan komitmen, tinjauan awal K3 dan kebijakan K3 (Mentang, 2013). Pentingnya komitmen untuk menerapkan SMK3 ditempat kerja dari seluruh pihak yang ada ditempat kerja, terutama dari pengurus dan tenaga kerja (Luckyta. danPartiwi., 2012). Penerapan SMK3 memang tidak dapat terlaksana dengan baik jika komitmen hanya dari manajemen puncak, komitmen yang sudah tertulis dan disepakati harus difahami dan dihayati betul oleh setiap bagian di perusahaan. Hal ini juga sependapat dengan yang dikemukakan Swastika (2011) bahwa tanpa komitmen dari semua unsur dalam organisasi khususnya pemimpin pelaksanaan K3 tidak akan berjalan dengan baik. (Swastika, 2011) Kepemimpinan dan komitmen pengurus dapat ditunjukkan dengan menyediakan sumber daya yang memadai terhadap keselamatan dan kesehatan kerja (Swastika, 2011).

Banyak keuntungan yang dirasakan jika perusahaan memiliki komitmen kuat dalam melaksanakan SMK3. Komitmen yang kuat diperusahaan mampu meningkatkan kepercayaan pekerja terhadap perusahaan sehingga dapat terciptanya hubungan yang baik antara pekerja dengan perusahaan (Setiawan. dkk., 2011). Komitmen tidak hanya semata-mata dinyatakan pada awal mula perusahaan sedang berusaha menerapkan SMK3, namun komitmen tersebut harus secara konsisten dilaksanakan. Komitmen haruslah selalu dijalankan dengan baik agar ke depan perusahaan bisa lebih produktiv dan pekerja merasa aman dalam melakukan pekerjaan (Setiawan. dkk., 2011).

Dokumen terkait