• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

C. Pembahasan Hasil Analisis Data

Berdasarkan data yang telah terkumpul, kemudian dianalisis dengan Analisis Klassen Typology dan Analisis Williamson Index maka dapat diberikan pembahasan sebagai berikut:

1. Laju Pertumbuhan Ekonomi

Berdasarkan perhitungan pertumbuhan ekonomi diperoleh rata-rata pertumbuhan ekonomi Kabupaten Boyolali pada periode 2006-2009 sebesar 4,37% . Dilihat dari periode pengamatan tersebut ada kecenderungan penurunan pertumbuhan ekonomi yaitu tahun 2007 dan 2008, sedangkan pada tahun 2009 pertumbuhan ekonomi sudah mulai membaik terbukti hampir semua kecamatan mengalami kenaikan. Banyak kecamatan mengalami pertumbuhan menurun pada tahun 2007 yaitu diantaranya Kecamatan Boyolali, Kecamatan Mojosongo, Kecamatan Sawit, Kecamatan Ngemplak, Kecamatan Simo, Kecamatan Karanggede, Kecamatan Klego, Kecamatan Andong, Kecamatan Kemusu, Kecamatan Wonosegoro dan Kecamatan Juwangi, dikarenakan terjadi sedikit penurunan dari sektor pertanian, pertambangan dan penggalian, listrik dan air bersih serta pengangkutan dan telekomunikasi. Menginjak tahun 2008 masih terdapat penurunan pertumbuhan ekonomi karena pada pertengahan tahun 2008 terjadi kenaikan BBM premium, solar juga minyak tanah sehingga berdampak pada segala bidang terutama berkaitan dengan angkutan distribusi. Tahun 2009 hampir semua kecamatan di Kabupaten Boyolali mengalami kenaikan pertumbuhan ekonomi hal ini dikarenakan faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi tersebut di atas yaitu untuk sektor pertanian, listrik dan air bersih, serta jasa-jasa mengalami kenaikan cukup signifikan, sedangkan sektor yang lain juga tumbuh, tetapi tidak setinggi sektor tersebut.

commit to user

2. Struktur Pertumbuhan Ekonomi

Berdasarkan hasil analisis Tipologi Klassen dapat diketahui struktur pertumbuhan ekonomi masing-masing kecamatan di Kabupaten Boyolali, 7 kecamatan yang tergolong daerah relatif tertinggal (Kecamatan Selo, Kecamatan Musuk, Kecamatan Mojosongo, Kecamatan Nogosari, Kecamatan Andong, Kecamatan Kemusu, dan Kecamatan Juwangi) berada di pinggir mengitari daerah-daerah yang menjadi pusat terjadinya kegiatan ekonomi khususnya perdagangan, yaitu Kecamatan Boyolali, Kecamatan Sawit, Kecamatan Simo dan Kecamatan Karanggede. Daerah-daerah tersebut, dapat dikatakan sebagai pusat pertumbuhan bagi daerah-daerah di Kabupaten Boyolali karena dengan kegiatan utamanya sebagai pusat perdagangan dan industri mampu merangsang pertumbuhan ekonomi daerah-daerah sekitarnya yaitu dengan menampung hasil produksi daerah sekitarnya untuk diperdagangkan serta menyerap tenaga kerja.

Berdasarkan kriteria Tipologi Klasen (Sjafrizal, 2008), Kecamatan atau daerah yang termasuk kategori daerah cepat maju dan cepat tumbuh, pada umumnya adalah daerah yang maju dilihat dari segi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang terus menerus membaik, hal ini dapat dilihat dari sumbangan sektor industri baik barang maupun jasa, dan perdagangan yang cenderung meningkat terhadap PDRB kecamatan. Suatu daerah akan mencapai pertumbuhan yang cepat apabila sektor sekunder dan tersier memberikan sumbangan yang relatif besar terhadap PDRB daerah. Kecamatan Boyolali, Kecamatan Sawit, Kecamatan Simo dan Kecamatan Karanggede termasuk dalam klasifikasi daerah cepat maju dan cepat tumbuh, yaitu keempat daerah ini mempunyai pendapatan perkapita dan laju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi sepanjang periode penelitian dibandingkan rata-rata di tingkat daerah referensinya (Kabupaten Boyolali). Kecamatan Boyolali merupakan kecamatan yang berada di pusat kota. Perekonomian Kecamatan Boyolali sudah tidak lagi di dominasi oleh sektor-sektor primer (sektor pertanian), melainkan oleh sektor sekunder dan sektor tersier (sektor perdagangan, hotel dan restoran; sektor industri pengolahan; sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; sektor pengangkutan dan komunikasi; serta sektor jasa-jasa). Sektor-sektor sekunder

commit to user

maupun tersier tersebut menjadi kegiatan yang sangat penting dengan memberikan kontribusi yang besar pada pendapatan daerah. Menurunnya lahan pertanian menjadikan Kecamatan Boyolali mulai berada di masa transisi ke sektor perdagangan sebagai kegiatan utama daerah tersebut, terbukti dengan banyaknya industri yang muncul yaitu industri kerajinan alumunium dan alat dapur, textile, bahan bangunan, selain itu muncul industri rumah tangga yang memanfaatkan hasil sekitar seperti marning jagung, abon dan dendeng sapi, serta tempe gepuk dan mentho kacang. Kecamatan Boyolali juga terdapat tempat pariwisata yang terkenal yaitu Tlatar, jadi banyaknya potensi yang dimiliki oleh Kecamatan Boyolali serta sarana infrastruktur yang memadai, jaringan listrik, tersedianya air bersih yang cukup sehingga banyak menarik para investor untuk berinvestasi di Kecamatan Boyolali.

Kecamatan Sawit merupakan kecamatan dengan rata-rata pendapatan perkapita sebesar Rp4.507.690,33 dan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi mencapai 7,06% lebih tinggi dari Kabupaten Boyolali. Daerahnya pinggiran dari Kabupaten Boyolali tetapi Kecamatan Sawit memiliki potensi di bidang perikanan yaitu dengan adanya kawasan Minapolitan yang biasa disebut Kampung lele. Konsep Minapolitan merupakan daerah yang diciptakan dengan basis ekonomi sub sektor perikanan. Kawasan tersebut akan dijadikan kota perikanan yang direncanakan mampu tumbuh dan berkembang sejalan dengan komuditas unggulan dan usaha agribisnis yang dikembangkan. Struktur Minapolitan terdiri dari kota tani (desa dengan fasilitas kota) sebagai pusat kegiatan, pusat pelayanan agribisnis, serta kawasan desa pemasok bahan baku berupa produksi primer. Kampung lele di Kecamatan Sawit ini sekarang telah mampu menghasilkan lebih dari 10 ton ikan lele per hari. Ikan lele itu kemudian diolah menjadi berbagai produk olahan, antara lain abon, nuget, kripik serta dalam bentuk ikan segar. Jumlah kelompok peternak ikan lele di Kampung Lele sekarang lebih dari 100 kelompok peternak yang tergabung dalam Kelompok Tani Mina Usaha. Bidang perkebunan Kecamatan Sawit juga terkenal dengan tembakau asapan dan rajangan. Kecamatan Sawit walaupun daerahnya tidak dipusat kota tapi daerah

commit to user

tersebut mampu memafaatkan potensi yang ada sehingga daerahnya dapat berkembang dengan cepat.

Kecamatan Simo termasuk kecamatan yang yang cepat maju dan cepat tumbuh karena laju pertumbuhan dan pendapatan per kapitanya melebihi Kabupaten Boyolali, laju pertumbuhannya yaitu sebesar 5,79% dan pendapatan per kapitanya yaitu Rp4.416.811,02%. Sektor pertanian masih dominan di Kecamatan Simo yaitu sebesar 35,65%. Kecamatan Simo struktur tanahnya berupa lempung jadi tumbuhan yang cocok adalah jenis palawija, komoditi Kecamatan Simo yaitu Singkong dan jahe. Selain pertanian, perdangangan di Kecamatan Simo juga sudah maju yaitu dengan dibangunnya STC (Simo Trade Center), yaitu pusat perdagangan yang menyediakan berbagai keperluan mulai dari pulsa, makanan, pakaian, aksesoris hingga laptop. Sepanjang jalan menuju kecamatan pun tumbuh banyak minimarket yang ramai dengan pengunjung. Terdapat pula waterboom yang dapat menarik wisatawan lokal.

Kecamatan Karanggede yang letaknya berbatasan dengan Kecamatan Simo juga termasuk kecamatan yang cepat maju dan cepat tumbuh. Laju pertumbuhannya 6,75% dan pendapatan per kapitanya sebesar Rp 4.253.957,05. Sektor yang dominan pada Kecamatan Karanggede yaitu pertanian dan perdagangan, hampir seimbang. Ekonomi masyarakatnya banyak ditopang oleh faktor pertanian dan perdagangan, dapat dilihat dari sentral-sentral lumbung pertanian ditemukan didaerah ini terutama diselatan,utara dan timur Kecamatan Karanggede. Sektor perdagangan kota kecil ini sangat aktif dibanding kecamatan sekitarnya. Rata-rata perputaran uang per hari mencapai ratusan juta rupiah dari sektor perdagangan nilai yang relatif besar jika dilihat dari segi wilayah kecamatan yang jauh dari Kabupaten Boyolali. Sektor pertanian dan agronomi komoditi yang berasal dari Kecamatan Karanggede yaitu padi dan singkong karena keadaan tanahnya berupa lempung. Hasil industri kerajinan yaitu berupa anyaman bambu terletak di desa Manyaran dan Dologan, selain itu juga ada pande besi di Desa Klari. Potensi bahan galian golongan C yaitu berupa bentonit yaitu seluas 375 hektar.

commit to user

Sjafrizal (2008) menyebutkan bahwa dalam tipologi Klassen kriteria dari daerah maju tapi tertekan adalah daerah dengan pendapatan perkapita lebih tinggi dengan pertumbuhan ekonominya lebih rendah dibandingkan rata-rata Kabupaten Boyolali, pada umumnya mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi yang drastis pada suatu periode atau dalam beberapa tahun mengalami pertumbuhan yang relatif kecil, akibat tertekannya kegiatan utama kecamatan yang bersangkutan. Kecamatan yang termasuk adalah Kecamatan Ampel yaitu pada awal tahun 2006 pertumbuhannya hanya 1,89%, Kecamatan Cepogo awal tahun 2006 pertumbuhannya hanya 2,12%, Kecamatan Banyudono pada tahun 2007 sebesar 4,68% turun menjadi 1,25% pada tahun 2008 dan Kecamatan Teras pada tahun 2007 pertumbuhannya sebesar 4,50% turun menjadi 2,71% pada tahun 2008. Rata-rata pertumbuhan ekonomi Kecamatan Ampel yaitu sebesar 3,63%, sedangkan pendapatan per kapitanya Rp 4.159.199,34. Kecamatan Ampel merupakan salah satu dari daerah penghasil susu sapi perah dan sapi potong, yaitu 86.021liter per hari gabungan dari Kecamatan Selo, Kecamatan Cepogo, Kecamatan Musuk dan Kecamatan Mojosongo dan sebanyak 8.581.996 kg daging sapi dihasilkan per hari oleh beberapa kecamatan tersebut termasuk Kecamatan Ampel (Bappeda Kab Boyolali). Kelebihan penawaran daging sapi masyarakat Kecamatan Ampel tidak menjual hanya dalam keadaan daging mentah saja tetapi dalam bentuk olahan seperti abon maupun dendeng sapi supaya ada nilai tambahnya. Banyak potensi yang terdapat di Kecamatan Ampel selain sebagai daerah penghasil susu dan daging, yaitu sentra jagung hibrida, anyaman bambu, penghasil komponen bahan bangunan, penghasil kayu lapis laminasi juga terdapat industri tekstil. Banyak potensi yang dimiliki daerah tersebut tapi pertumbuhanya masih tertekan karena pengorganisasian dari usaha-usaha tersebut yaitu belum ada kerjasama yang bagus dengan pihak luar serta sulitnya akses pasar terbukti pada tabel 2.

Rata-rata pertumbuhan ekonomi Kecamatan Cepogo pada tahun pengamatan mencapai 3,44%, sedangkan pendapatan per kapitanya Rp 4.204.694,43% yaitu melebihi rata-rata pendapatan per kapita Kabupaten Boyolali. Rendahya pertumbuhan ekonomi disebabkan oleh tertekannya kegiatan

commit to user

utamanya pertanian yang terdiri dari peternakan dan perkebunan. Sub sektor peternakan Kecamatan Cepogo sebagai salah satu daerah penghasil susu dan daging sapi selain itu tedapat tempat wisata yaitu agrowisata sapi perah, sedangkan subsektor perkebunan yaitu sebagai penghasil tembakau asapan dan rajangan juga minyak atsiri. Kecamatan Cepogo juga terkenal sebagai daerah penghasil kuningan dan tembaga. Permasalahannya yaitu pada infrastruktur atau akses karena topografi wilayahnya yang tinggi, sehingga agak sulit mencapai pertumbuhan ekonomi yang diharapkan.

Kecamatan Banyudono termasuk kecamatan yang maju tapi tertekan karena pertumbuhannya hanya sebesar 3,92% dibawah Kabupaten Boyolali dan pendapatan per kapitanya yaitu Rp7.683.430,43 diatas Kabupaten Boyolali. Rendahnya pertumbuhan ekonomi disebabkan pada tahun 2008 terjadi penurunan yang drastis yaitu sebesar 3,43%. Sektor industri pengolahan adalah sektor utama di Kecamatan Banyudono. Kecamatan Banyudono sudah mengalami transformasi ekonomi yaitu dari pertanian ke industri, yaitu terdapat beberapa industri kerajinan seperti kerajinan wayang kulit dan gamelan, kerajinan sangkar burung dan krupuk/rambak, selain itu Kecamatan Banyudono juga penghasil minyak atsiri dan tembakau. Pertumbuhan Kecamatan Banyudono lambat karena investor lebih senang berinvestasi ke Kecamatan Boyolali walaupun infrastruktur sudah lumayan memadai. Kecamatannya sudah mengalami transformasi ekonomi tetapi karena tidak mendapat investor yang memadai atau kekurangan modal sehingga daerah ini pertumbuhannya tertekan.

Kecamatan lain yang masuk kategori daerah maju tapi tertekan adalah Kecamatan Teras, karena laju pertumbuhannya sebesar 3,02% dibawah Kabupaten Boyolali dan pendapatan perkapitanya Rp7.058.928,74 melebihi pendapatan per kapita Kabupaten Boyolali. Kecamatan Teras juga mengalami penurunan drastis pada tahun 2008 yaitu sebesar 1,79%, sama halnya dengan Kecamatan Banyudono, kecamatan Teras telah mengalami transformasi ekonomi dari pertanian ke industri. Bidang pertanian Kecamatan Teras sebagai salah satu sentra jagung hibrida, selain itu bersama Kecamatan Mojosongo sebagai daerah pengasil rebung dan asparagus, bahkan sudah mencapai ekspor. Permasalahan

commit to user

yang dialami Kecamatan Teras sama dengan Kecamatan Banyudono yaitu kalah saing untuk menarik investor untuk berinvestasi selain itu juga sulit akses pasar terbukti pada tabel 2.

Sjafrizal (2008) berpendapat bahwa daerah berkembang cepat pada Tipologi Klassen merupakan daerah yang mempunyai rata-rata pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari Kabupaten Boyolali, meskipun rata-rata pendapatan perkapitanya lebih rendah, umumnya daerah yang memiliki potensi besar tetapi belum optimal pengelolaannya, sektor pertanian di daerah berkembang cepat mempunyai potensi besar untuk dikembangkan ke sektor industri. Berdasarkan data yang diperoleh yang masuk dalam klasifikasi daerah berkembang cepat adalah Kecamatan Sambi, Kecamatan Ngemplak, Kecamatan Klego dan Kecamatan Wonosegoro. Kecamatan Sambi laju pertumbuhannya selama tahun pengamatan adalah 4,88% dan pendapatan per kapitanya sebesar Rp3.451.928,36. Kecamatan Sambi masih mengandalkan sektor pertanian untuk menopang kehidupan ekonominya. Komoditi yang terkenal adalah singkong dan kencur karena faktor tanah yang berupa tanah lempung, selain itu juga terdapat industri kerajinan gamelan. Pendapatan perkapitanya rendah disebabkan masih mengandalkan sektor pertanian, sedangkan sektor pertanian sudah maksimal jadi kehidupan ekonominyapun tidak berkembang.

Kecamatan Ngemplak laju pertumbuhannya adalah 5,39% diatas Kabupaten Boyolali tetapi pendapatan perkapitanya sebesar Rp2.867.280,97 dibawah pendapatan perkapita Kabupaten Boyolali sehingga termasuk daerah yang berkembang cepat, sama dengan Kecamatan Sambi, Kecamatan Ngemplak juga mengandalkan sektor pertanian yaitu terutama padi, selain untuk konsumsi lokal juga dipasarkan ke daerah lain untuk kepentingan industri pangan. Mebel/ furniture dan sentra batu bata juga terdapat di Kecamatan Ngemplak. Perdagangan sudah mulai berkembang terbukti sepanjang jalan menuju kecamatan sudah banyak terdapat minimarket, pasar tradisionalpun sudah dibangun sedemikian rupa supaya dapat bersaing dengan pasar modern.

Kecamatan Klego juga termasuk daerah yang berkembang cepat karena laju pertumbuhannya sebesar 4,56% dan pendapatan per kapitanya sebesar

commit to user

Rp3.208.409,99 dibawah pendapatan per kapita Kabupaten Boyolali. Palawija tumbuh subur di Kecamatan Klego terbukti Kecamatan Klego sebagai salah satu sentra jagung hibrida dan singkong, selain itu juga penghasil tanaman jarak. Terdapat bahan galian golongan C yaitu bentonit seluas 500 hektar. Kecamatan Klego juga masih mengandalkan sektor pertanian sehingga pendapatan per kapitapun belum optimal.

Kecamatan yang terakhir masuk kategori daerah yang berkembang cepat adalah Kecamatan Wonosegoro. Kecamatan Wonosegoro walaupun merupakan kecamatan yang berada di pinggiran tapi masih merupakan daerah yang berkembang cepat karena laju pertumbuhannya lebih besar dari Kabupaten Boyolali yaitu sebesar 6,12% dan pendapatan per kapitanya Rp3.057.947,60. Sektor pertanian mendominasi hampir 50% pada kecamatan ini. Tahun ke tahun hasil pertaniannya selalu meningkat. Komoditi yang terkenal yaitu jagung hibrida juga tanaman jarak. Terdapat pula industri rumah tangga yaitu gula jawa. Sektor bahan galian golongan C menghasilkan bentonit seluas 750 hektar. Daerah –

daerah yang termasuk kecamatan cepat berkembang merupakan kecamatan yang masih mengandalkan sektor primer sebagai kegiatan ekonominya.

Tujuh kecamatan terakhir adalah Kecamatan Selo , Kecamatan Musuk, Kecamatan Mojosongo, Kecamatan Andong, Kecamatan Kemusu dan Kecamatan Juwangi yang tergolong daerah relatif tertinggal, yaitu menurut Sjafrizal (2008) merupakan daerah yang mempunyai pendapatan perkapita dan laju pertumbuhan ekonomi lebih rendah dari pada di Kabupaten Boyolali dengan kata lain, kecamatan-kecamatan dalam kategori ini adalah kecamatan yang paling buruk keadaannya dibandingkan dengan kecamatan lain di Kabupaten Boyolali. Daerah yang termasuk dalam kategori ini, pada umumnya sektor pertanian yang menjadi sumber utama PDRB daerah. Kecamatan-kecamatan tersebut mempunyai wilayah yang cukup luas dibandingkan dengan kecamatan lain, namun belum ada pemanfaatan sumberdaya alam yang optimal, bisa dilihat dari wilayahnya yang sebagian besar digunakan sebagai lahan sawah sehingga perekonomian pun hanya berpusat pada sektor pertanian saja. Daerah yang hanya mengandalkan pertaniannya saja akan sulit untuk berkembang, mengingat situasi harga

barang-commit to user

barang pertanian di pasaran internasional kurang menguntungkan, berakibat pada kelebihan produksi dan penurunan harga. Selain daripada itu, jika produksi pertaniannya lambat, hama yang menyerang hingga membuat gagal panen akan meningkatkan harga pangan, berakibat pada kenaikan upah dan pada akhirnya akan menghambat perindustrian daerah tersebut.

Kecamatan Selo yang tercatat mempunyai laju pertumbuhan 2,75% dan pendapatan per kapitanya Rp3.956.251,07 merupakan kecamatan yang mengandalkan sektor pertanian sebagai penyumbang utama perekonomian daerah, terutama subsektor bahan makanan, serta subsektor peternakan dan hasil-hasilnya. Kecamatan Selo merupakan salah satu daerah sentra penghasil susu sapi perah dan daging sapi, selain itu Kecamatan Selo karena letaknya di lereng gunung Merapi sehingga sayur-sayuran tumbuh subur bahkan terdapat tempat pariwisata berupa agrowisata sayuran. Terdapat tempat wisata antara lain Arga Merapi Merbabu dan Air Terjun Kedung Kayang. Permasalahan pada Kecamatan Selo adalah hanya mengandalkan sektor primer dan akses jalan yang tidak baik serta sulitnya akses pasar sehingga tidak menarik para investor untuk berinvestasi.

Kecamatan Musuk masuk dalam kecamatan yang relatif tertinggal karena laju pertumbuhannya hanya sebesar 1,52% dan pendapatan per kapitanya Rp3.681.829,31 berada dibawah Kabupaten Boyolali. Kecamatan Musuk merupakan daerah yang sangat subur, hal ini terbukti bahwa Kecamatan Selo sebagai sentra jagung hibrida, singkong, tembakau asapan dan rajangan, berbagai bunga sebagai bahan minyak atsiri dan buah pepaya yang diolah untuk dodol pepaya selain itu juga dijual dalam bentuk buah ke berbagai daerah bahkan sampai Jakarta. Kecamatan Musuk juga termasuk kecamatan penghasil susu dan daging sapi karena tersedianya pakan ternak yang melimpah. Permasalahan yang dialami Kecamatan Musuk sama dengan Kecamatan Selo yaitu mengandalkan sektor primer dan infrastruktur yang belum baik serta sulitnya akses pasar sehingga tidak menarik minat investor berinvestasi karena sektor industri yang belum berkembang.

Kecamatan Mojosongo yang mempunyai laju pertumbuhan 4%, dan pendapatan per kapitanya Rp3.666.497,93 termasuk kecamatan yang relatif

commit to user

tertinggal. Kecamatan Mojosongo merupakan kecamatan yang berdekatan dengan Kecamatan Boyolali tetapi Kecamatan Mojosongo tidak mampu bersaing karena belum mengalami transformasi ekonomi yaitu masih mengandalkan sektor primer. Komoditi yang terkenal yaitu jagung hibrida, buah pepaya, dan tembakau. Industri juga muncul tetapi hanya sedikit yaitu seperti industri kayu, kayu lapis laminasi dan sapu ijuk.

Kecamatan Nogosari mempunyai rata-rata pertumbuhan ekonomi 4,28% dengan pendapatan per kapitanya Rp3.446.555,00 merupakan kecamatan yang juga mengandalkan sektor pertanian sebagai penyumbang utama perekonomian daerah yaitu lebih dari 35% terutama padi. Akses pasar susah di Kecamatan Nogosari jadi harus ke daerah lain untuk menjual hasil bumi. Mebel banyak menjamur di Kecamatan Nogosari bahkan pemasarannya sampai keluar negeri.

Kecamatan Andong mempunyai laju pertumbuhan ekonomi 3,75% dengan pendapatan per kapitanya Rp3.034.010,84 termasuk kecamatan yang relatif tertinggal. Kecamatan ini juga mengandalkan sektor pertanian yaitu sebagai penghasil padi dan kencur. Industri yang terdapat adalah industri alat-alat pertanian karena sektor utamanya pertanian, selain itu juga tedapat banyak mebel dan industri tekstil. Jumlah penduduk yang banyak sedangkan hanya mengandalkan pertanian jadi tidak dapat menyerap banyak tenaga kerja, sehingga kegiatan ekonominya tidak tumbuh baik.

Kecamatan lain yang masuk daerah relatif tertinggal adalah Kecamatan Kemusu yang mempunyai rata-rata pertumbuhan sebesar 3,72% dan rata-rata pendapatan per kapitanya sebesar Rp2.698.500,84. Letaknya yang pinggiran membuat infrastruktur daerah ini tidak baik, susah dalam jasa angkutan. Daerah ini juga sama dengan daerah yang relatif tertinggal lainnya yaitu bertumpu pada sektor pertanian sebagai penyumbang utama perekonomian daerah. Kecamatan Kemusu sebagai penghasil jagung, singkong juga terdapat mebel kayu dan penyedia komponen bangunan. Terdapat tempat wisata yaitu waduk Kedung Ombo sehingga mendapat penghasilan daerah.

Kecamatan Juwangi mempunyai laju pertumbuhan sebesar 4,03% dengan rata-rata pendapatan per kapitanya Rp2.968.803,77, seperti ketujuh kecamatan

commit to user

lainnya juga sama-sama mengandalkan sektor pertanian sebagai penggerak perekonomiannya, terutama subsektor tanaman bahan makanan. Tanah pada Kecamatan Juwangi adalah berkapur sehingga berpotensi bahan galian golongan C yaitu batu gamping seluas 200 hektar. Infrastruktur di daerah ini juga masih kurang memadai sehingga hanya bergantung pada pertanian dan susah berkembang.

3. Ketimpangan antar Daerah

Ketimpangan pembangunan antar daerah atau antar kecamatan di Kabupaten Boyolali selama tahun 2006-2009 dapat dianalisis dengan menggunakan indek ketimpangan regional (regional inequality) atau biasa disebut dengan nama Indeks Williamson (Sjafrizal, 2008). Dalam hal ini Indeks Williamson dapat dilihat pada tabel 9 yaitu menunjukkan bahwa indeks ketimpangan PDRB per kapita antara kecamatan di Kabupaten Boyolali selama periode 2006-2009 rata-rata sebesar 0,05. Selama tahun 2006-2009, terjadi kenaikan ketimpangan PDRB per kapita antar kecamatan walaupun tidak signifikan, seperti tahun 2006 Indeks Williamson sebesar 0,052 naik menjadi sebesar 0,053 tahun 2007 dan tahun 2008 turun menjadi sebesar 0,047, tahun 2009 naik lagi menjadi 0,05, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 3 mengenai kenaikan Indeks Williamson.

Tinggi rendahnya nilai Indeks Williamson mengandung arti bahwa ketimpangan rata-rata produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita antar daerah atau antar kecamatan di Kabupaten Boyolali tidak merata. Kecamatan yang Indeks Williamsonnya berada dibawah rata-rata indeks kabupaten atau lebih rendah antara lain Kecamatan Selo, Kecamatan Ampel, Kecamatan Cepogo, Kecamatan Musuk, Kecamatan Mojosongo, Kecamatan Sawit, Kecamatan Sambi, Kecamatan Nogosari, Kecamatan Simo, Kecamatan Karanggede, dan Kecamatan Klego mengandung arti bahwa secara rata-rata tingkat PDRB per kapita antar kecamatan yang ada relatif lebih merata jika dibandingkan dengan daerah lainnya di Kabupaten Boyolali.

Rendahnya nilai Indeks Williamson antar daerah atau kecamatan bukan berarti secara otomatis menerangkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat di

commit to user

kecamatan tersebut (Indeks Williamson lebih rendah) lebih baik jika dibandingkan dengan kecamatan lainnya (Indeks Williamson lebih tinggi dari rata-rata kabupaten). Indeks Williamson hanya menjelaskan distribusi PDRB per kapita