• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembahasan Norma Subjektif Subjek Ketiga

Bagan 4.3 Norma Subjektif Perilaku Buang Air Besar Subjek Ketiga

4.5.3.7 Pembahasan Norma Subjektif Subjek Ketiga

Berdasarkan data penelitian pada subjek ketiga, diperoleh data bahwa latar belakang subjek yang hanya berpendidikan setingkat SMA, membuat perilaku subjek yang berpendidikan tertinggi menjadi sedikit lebih mudah diajak berkomunikasi. Karakter subjek yang supel tersebut menjadikan pembawaan subjek menjadi pribadi yang welcome ketika kedatangan orang asing, dan dapat dikatakan pribadi subjek adalah pribadi yang cenderungekstrovet.

Berdasarkan data di lapangan, dalam kesehariannya subjek dengan santai buang air besar di pinggir pantai, ketika peneliti bertanya mengapai subjek melakukan itu, subjek menjawab bahwa perilaku tersebut sudah terbiasa dilakukan sejak kecil dan mayoritas warga Desa Boncong juga melakukannya di pinggir pantai. Lebih lanjut ketika peneliti bertanya apakah subjek malu atau tidak ketika buang air besar di pinggir pantai, subjek menjawab dengan tegas bahwa sesungguhnya, subjek malu ketika ada orang lihat terutama ketika dilihat orang yang berlalu lalang melewati jalan raya, namun anggapan bahwa perilaku buang air besar tersebut sudah terbiasa sejak kecil dan anggapan bahwa warga juga sudah terbiasa buang air besar di pinggir pantai mampu mematahkan rasa malu Ssubjek, dan dengan nyaman subjek buang air besar di pinggir pantai tanpa penutup.

Kebiasaan subjek yang sejak kecil buang air besar di pinggir pantai, membuat pola pikir subjek menjadikan bahwa perilaku buang air besar tersebut yang awalnya dianggap tidak normal menjadi perbuatan yang normal menurut warga Desa Boncong, karena mayoritas warga Desa Bocong melakukannya.

Kebiasaan yang sejak dari kecil ini membuat cara pandang manusia berubah, dari yang awalnya hanya dilakukan oleh anak kecil, terus berkembang hingga individu tersebut beranjak dewasa. Bourdieu memahami praktek-praktek sebagai kegiatan reflektif dan reproduktif, baik dalam hal relasi-relasi sosial yang objektif maupun interpretasi-interpretasi subektif. Pusat dari tindakan ini adalah ide tentang kebiasaan (habitus). Kebiasaan sebagai sistem yang dapat bertahan lama, disposisi-disposisi yang dapat berubah-ubah, struktur-struktur yang terstruktur yang cenderung berfungsi sebagai struktur-struktur yang menstruktur, yaitu prinsip-prinsip generalisasi dan membentuk praktek-praktek (Sutrisno dan Putranto 2005 : 180).

Tindakan subjek yang sengaja buang air besar tersebut menurut pandangan kajian psikologis bukan tanpa alasan, banyak faktor yang mempengaruhi perilaku Suyanti tersebut. Psikologi memandang perilaku manusia (human behavior) dalam hal ini subjek sebagai reaksi yang dapat bersifat sederhana maupun bersifat kompleks. Manusia pada khususnya dan pada berbagai spesies hewan umumnya memang terdapat bentuk-bentuk perilaku instink (species-spesific behavior) yang disadari oleh kodrat untuk mempertahankan kehidupan.

Perilaku subjek tersebut dalam kenyataanya dilakukan dengan kondisi sadar, hal ini membuktikan bahwa subjek merencanakan perilaku buang air besar tersebut, perilaku subjek ini di pengaruhi oleh beberapa faktor, selain faktor pendidikan seperti yang sudah di bahas di atas, faktor lingkungan juga menjadi salah satu faktor kuat yang turut menjadikan perilaku subjek terkesan sulit diubah, dan seenaknya sendiri, walaupun ia sadar bahwa perilaku tersebut tidak

normal, hal ini sesuai teori yang dikemukakan oleh Fishbein dan Ajzen (dalam Azwar 2009 : 11) bahwa faktor lingkungan memiliki kekuatan besar dalam menentukan perilaku, bahkan kadang-kadang kekuatannya lebih besar daripada karakteristik individu. Hal inilah yang menjadikan prediksi perilaku lebih kompleks .

Teori tindakan beralasan mengatakan bahwa sikap mempengaruhi perilaku lewat suatu proses pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan, dan dampaknya terbatas hanya pada tiga hal. Pertama, perilaku tidak banyak ditemukan oleh sikap umum tapi oleh sikap yang spesifik terhadap sesuatu. Kedua, perilaku dipengaruhi tidak hanya oleh sikap tetapi juga oleh norma-norma subjektif (subjective norms) yaitu keyakinan kita mengenai apa yang orang lain inginkan agar kita perbuat. Ketiga, sikap terhadap sesuatu perilaku bersama norma-norma subjektif membentuk suatu intensi atau niat untuk berperilaku tertentu. (Fishbein dan Ajzen, 1980 :10).

Inti teori perilaku terencana tetap berada pada faktor intensi perilaku namun determinan intensi tidak hanya dua (sikap terhadap perilaku yang bersangkutan dan norma-norma subjektif) melainkan tiga dengan diikutsertakanya aspek kontrol perilaku yang dihayati (perceived behavioral control).

Teori perilaku terencana keyakinan-keyakinan berpengaruh terhadap sikap tertentu, pada norma-norma subjektif, dan pada kontrol perilaku yang dihayati. Ketiga komponen ini berinteraksi dan menjadi determinan bagi intensi yang pada giliranya akan dilakukan atau tidak.

Sikap terhadap suatu perilaku dipengaruhi oleh keyakinan bahwa perilaku tersebut akan membawa kepada hasil yang diinginkan atau tidak diinginkan. Keyakinan mengenai apa yang bersifat normatif (yang diharapkan oleh orang lain) dan motivasi untuk bertindak sesuatu dengan harapan normatif tersebut membentuk norma subjektif dalam diri individu. Kontrol perilaku ditentukan oleh pengalaman masa lalu dan perkiraan individu mengenai seberapa sulit atau mudahnya untuk melakukan perilaku yang bersangkutan. Kontrol perilaku ini sangat penting artinya ketika rasa percaya diri seseorang sedang berada dalam kondisi yang lemah.

Fenomena perilaku buang air besar di pinggir pantai ini menjadikan pandangan bahwa sebuah perilaku yang dianggap normal dalam suatu komunitas/ kelompok tertentu, belum tentu dianggap normal oleh kelompok yang lain atau masyarakat pada umumnya. Proses perilaku yang melekat pada subjek ini awalnya dilakukan subjek sejak dari kecil, sehingga perilaku tersebut akan diinternalisasi hingga dewasa. Proses konsepsi-diri atau simbolisasi-diri ini pada umumnya berlangsung tidak sadar dan bengangsur-angsur perlahan. Maka berlangsunglah proses sosialisasi dari tingkah laku menyimpang pada diri anak, sejak usia sangat muda, sampai remaja, dan dewasa. Berlangsung pula pembentukan pola tingkah laku deviatif yang progresif sifatnya, yang kemudian dirasionalisasi secara sadar, untuk kemudian dikembangkan menjadi kebiasaan-kebiasaan patologis menyimpang dari pola tingkah laku umum