• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengamatan terhadap pertumbuhan berat badan marmut pada masing- masing kelompok perlakuan dilakukan pada setiap minggu selama perlakuan. Rerataan berat badan marmut dari setiap kelompok perlakuan menunjukkan adanya pertumbuhan yang bervariasi. Hasil analisa statistik menunjukkan adanya penurunan berat badan yang nyata (P<0.05) pada kelompok perlakuan satu bulan. Hasil ini konsisten pada penelitian I bahwa kelompok marmut tua perlakuan

kastrasi satu bulan menyebabkan penurunan berat badan. Rataan berat badan masing-masing kelompok dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Rataan berat badan marmut masing-masing kelompok

Kelompok Periode perlakuan

Berat badan awal

1 bulan 3 bulan 5 bulan

I DR 1155+0.07a 1119+0.06b I DT 1210+0.04a 1182+0.01b I K 1209+0.04a 1088+0.01b II DR 1166+0.05a 1134.5+0.04 1042+0.9b II DT 1099+0.12 1093+0.13 1056.5+0.07 II K 1068+0.10 a 980.5+0.15 938.5+0.12 b III DR 1142.5+0.06 1146+0.08 1231+0.02 1158.5+0.06 III DT 1043.5+1.10 1037.5+0.07 1119+0.04 1050+0.05 III K 948+0.16 a 961+0.07 1140+0.01 1202+0.01 b

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05). I DR= Marmut kastrasi satu bulan diberi injeksi testosteron dosis rendah, I DT= Marmut kastrasi satu bulan diberi injeksi testosteron dosis tinggi, I K= Marmut kastrasi satu bulan tanpa diberi injeksi testosteron, II DR= Marmut kastrasi tiga bulan diberi injeksi testosteron dosis rendah, II DT= Marmut kastrasi tiga bulan diberi injeksi testosteron dosis tinggi, II K= Marmut kastrasi tiga bulan tanpa diberi injeksi testosteron, III DR= Marmut kastrasi lima bulan diberi injeksi testosteron dosis rendah, III DT= Marmut kastrasi lima bulan diberi injeksi testosteron dosis tinggi, III K= Marmut kastrasi lima bulan tanpa diberi injeksi

testosteron.

Berdasarkan tabel dan grafik tren pertumbuhan berat badan menunjukkan bahwa trend penurunan berat badan terjadi pada kelompok marmut perlakuan kastrasi satu bulan dan tiga bulan. Sedangkan pada kelompok marmut kastrasi lima bulan sudah menunjukkan adanya trend peningkatan berat badan. Pada kelompok marmut perlakuan kastrasi satu bulan, penurunan berat badan terutama terjadi pada minggu pertama baik pada marmut yang diberi injeksi testosteron dosis rendah, tinggi maupun kontrol. Hal ini kemungkinan disebabkan marmut merupakan hewan coba yang mudah stress dan tidak tahan terhadap rasa sakit, sehingga perlakuan setelah kastrasi dapat menyebabkan terjadinya penurunan nafsu makan dan minum. Hasil ini konsisten atau selaras dengan penelitian tahap I, bahwa pada perlakuan kastrasi satu bulan dan tiga bulan terjadi tren penurunan berat badan. Namun demikian, tren penurunan berat badan pada kelompok marmut yang tidak diberi injeksi testosteron menunjukkan adanya penurunan tren paling tinggi yaitu sebesar y= -36.3x+1206 dibandingkan dengan kelompok yang diberi injeksi hormon testosteron dosis rendah yaitu sebesar y= -10.9x+1155 dan dosis tinggi yaitu sebesar y= -6.7x+1193. Hal ini menunjukkan bahwa kadar hormon testosteron yang rendah dalam sirkulasi darah akan menurunkan berat badan tubuh dan kemungkinan besar pemberian terapi injeksi hormon testosteron baik dosis rendah maupun dosis tinggi akan dapat meningkatkan massa tubuh atau berat badan.

Gambaran atau grafik trend perkembangan berat badan dari masing- masing kelompok perlakuan dapat dilihat pada Gambar 18.

Gambar 18 Grafik tren penurunan dan peningkatan berat badan marmut dari masing-masing kelompok perlakuan.

Tren penurunan berat badan pada kelompok marmut kastrasi tiga bulan relatif stabil. Penurunan berat badan juga terjadi pada minggu pertama setelah kastrasi, kemudian pada minggu ketiga dan selanjutnya terlihat tren peningkatan pada kelompok terapi injeksi testosteron dosis rendan dan tinggi. Pada marmut yang tidak diberi injeksi testosteron menunjukkan adanya tren penurunan berat

badan sebesar y= -7.609x+1041 hampir sama dengan kelompok yang diberi injeksi testosteron dosis rendah dan dosis tinggi yaitu sebesar y= -10.66x+1180. Sedangkan pada kelompok marmut kastrasi lima bulan terlihat adanya tren peningkatan berat badan dari tiap-tiap kelompok. Pada kelompok marmut kontrol tren peningkatan berat badan sebesar y= 7.778x+1137, marmut yang diberi injeksi testosteron dosis rendah sebesar y= 21.13x+915.3, sedangkan marmut yang diberi injeksi testosteron dosis tinggi sebesar y= 6.751x+1033. Tren peningkatan berat badan tertinggi pada kelompok marmut yang diinjeksi testosteron dosis rendah. Hal ini kemungkinan disebabkan pengaruh injeksi hormon testosteron dalam waktu yang relatif lama dapat meningkatkan berat massa tubuh. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Srikathan and Karlamangla (2011) bahwa testosteron yang rendah berhubungan dengan penurunan massa tubuh. Hormon kelamin steroid berperan dalam pengaturan metabolisme sel, akumulasi dan distribusi jaringan lemak. Reseptor estrogen, progesteron dan androgen diekspresikan pada jaringan lemak. Hormon kelamin steroid mengatur fungsi jaringan lemak melalui mekanisme signaling genomik dan nongenomik. Aktivasi cAMP oleh hormon kelamin steroid akan mengaktifkan lipase sensitif hormon untuk lipolisis pada jaringan lemak (Singh et al. 2006). Testosteron menghambat uptake triglyserid dan aktivitas enzim lipase dan mempercepat perombakan triglyserid pada jaringan lemak abdominal dan subkutan serta lemak pada femur dan memobilisasi lipid dari timbunan lemak viseral (Traish et al. 2009). Pada penelitian pada manusia selama lebih dari 36 bulan menunjukkan bahwa terapi testosteron meningkatkan berat badan tubuh dan menurunkan massa lemak sebesar 16%, menurunkan total kholesterol, low density lipoprotein dan leptin (Page et al. 2005) .

Berat otak

Penimbangan berat otak dari masing-masing kelompok perlakuan dilakukan pada saat nekropsi marmut. Organ otak ditimbang dalam kondisi utuh dan segar yang terdiri dari otak besar, otak kecil dan sebagian medula spinalis. Sebelum penimbangan dilakukan pengamatan secara makroskopis terhadap perubahan bagian-bagian otak. Hasil penimbangan berat otak dari masing-masing kelompok perlakuan dapat dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 19.

Tabel 5 Rerataan berat otak masing-masing kelompok perlakuan

Kelompok Periode Perlakuan

1 bulan 3 bulan 5 bulan

DR 4.425+0.36 4.605+0.12 5.515+1.5

DT 4.62+0.14 4.585+0.03 5.445+1.08

K 4.73+0.01 4.175+0.33 4.75+0.0

Keterangan : DR= Marmut yang diinjeksi testosteron dosis rendah, DT= Marmut yang diinjeksi dosis tinggi, K= Marmut yang tidak diberi injeksi testosteron

Gambar 19 Berat otak dari masing-masing kelompok marmut kastrasi satu, tiga dan lima bulan yang diberi injeksi testosteron dosis rendah, dosis tinggi dan kontrol tidak menunjukkan adanya perbedaan berat otak yang signifikan diantar kelompok.

Berdasarkan tabel dan grafik rerataan berat badan otak dari masing-masing kelompok perlakuan tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa otak marmut sebagai model penyakit Alzheimer tidak menunjukkan adanya perubahan patologi seperti yang dapat diamati pada otak manusia yang menderita penyakit Alzheimer. Hasil ini konsisten dengan penelitian tahap I yang juga tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan dari berat basah otak. Pengamatan kasus pada pasien AD yang muda secara umum menunjukkan bahwa otak tampak mengalami atrofi dan berat otak menurun secara signifikan dibandingkan pada penderita AD yang tua. Atrofi otak dapat diamati pada lobus frontalis, temporalis dan parietalis. Selain itu juga pada kasus AD berhubungan dengan hilangnya jaringan otak dan dilatasi yang simetris pada ventrikel lateralis (Daniel 2010). Namun demikian, pengamatan mikroskopis pada beberapa kasus menunjukkan perubahan ke arah diagnosa AD meskipun tidak tampak adanya atrofi pada otak (Joachim et al. 1986).

Kadar Testosteron

Hasil pengukuran kadar testosteron plasma marmut dari masing-masing kelompok perlakuan dapat dilihat pada Tabel 6 dan Grafik 10 Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa pemberian injeksi testosteron baik dosis tinggi maupun dosis rendah menyebabkan peningkatan kadar testosteron dalam plasma darah secara signifikan (P<0.05) pada semua kelompok perlakuan. Sedangkan pada kelompok marmut kastrasi yang tidak diberi injeksi testosteron menunjukkan adanya penurunan kadar testosteron yang signifikan sebesar 80 – 90%. Penurunan kadar testosteron dalam sirkulasi darah ini konsisten dengan hasil pengukuran kadar testosteron akibat katrasi pada penelitian tahap I. Rerataan hasil pengukuran kadar testosteron dari plasma darah dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Rataan kadar testosteron marmut masing-masing kelompok (ng/ml) Kelom pok Periode sampling Awal kastrasi 1 bl 2 bl 3bl 4 bl 5 bl I DR 1.23+0.43 1.72+0.72 I DT 2.09+1.35 3.40+1.15 I K 1+0.11 0.1+0.17 II DR 1.05+0.13 2.26+0.27 1.96+0.15 2.45+0.58 II DT 1.15+0.02 5.79+1.2 3.94+0.71 5.16+1.18 II K 2.08+0.28 0.12+0.01 0.10+0.10 0.24+0.04 III DR 1.44+1.31 7.12+8.01 4.74+2.79 2.65+1.71 1.57+0.1 3.76+3.11 III DT 0.5+0.42 9.56+2.5 8.5+0.97 7.76+0.14 2.93+0.1 4.57+0.55 III K 1.09+0.01 0.6+0.02 0.2+0.02 0.15+0.12 0.1+0.10 0.52+0.12

Keterangan : I DR= Marmut kastrasi satu bulan diberi injeksi testosteron dosis rendah, I DT= Marmut kastrasi satu bulan diberi injeksi testosteron dosis tinggi, I K= Marmut kastrasi satu bulan tanpa diberi injeksi testosteron, II DR= Marmut kastrasi tiga bulan diberi injeksi testosteron dosis rendah, II DT= Marmut kastrasi tiga bulan diberi injeksi testosteron dosis tinggi, II K= Marmut kastrasi tiga bulan tanpa diberi injeksi testosteron, III DR= Marmut kastrasi lima bulan diberi injeksi testosteron dosis rendah, III DT= Marmut kastrasi lima bulan diberi injeksi testosteron

dosis tinggi, III K= Marmut kastrasi lima bulan tanpa diberi injeksi testosteron.

Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa kadar hormon testosteron pada plasma darah terjadi peningkatan setelah pemberian injeksi hormon testosteron baik pada dosis rendah maupun tinggi. Peningkatan kadar hormon testosteron yang signifikan pada kelompok perlakuan yang diberi injeksi hormon testosteron dosis tinggi baik pada kelompok perlakuan kastrasi selama satu, tiga maupun lima bulan. Pada kelompok kastrasi satu bulan, peningkatan kadar hormon testosteron dalam plasma darah tampak terlihat pada kelompok injeksi hormon testosteron dosis tinggi. Sedangkan pada kelompok injeksi dosis rendah belum memberikan respon peningkatan kadar hormon testosteron dalam plasma darah. Kadar hormon testosteron pada kelompok tanpa injeksi hormon testosteron menunjukkan adanya penurunan kadar hormon testosteron dalam plasma darah.

Kadar hormon testosteron pada kelompok perlakuan kastrasi tiga bulan tampak peningkatan yang signifikan pada kelompok injeksi hormon testosteron dosis tinggi dan dosis rendah, sedangkan pada kelompok kontrol kadar hormon testosteron mengalami penurunan yang signifikan. Pada kelompok perlakuan kastrasi lima bulan terlihat peningkatan kadar hormon yang signifikan yang konsisten pada kelompok injeksi hormon testosteron dosis tinggi dan dosis rendah, sedangkan kelompok kontrol tetap konsisten dengan kelompok perlakuan lain yaitu mengalami penurunan kadar hormon testosteron sejalan dengan semakin lamanya waktu kastrasi.

Peningkatan kadar hormon testosteron yang tinggi dalam plasma darah akibat pemberian injeksi hormon testosteron kemungkinan besar akan mempengaruhi fungsi organ otak sebagai organ yang responsif terhadap kadar hormon testosteron. Hal ini kemungkinan besar disebabkan karena organ otak merupakan organ yang banyak mengandung reseptor androgen. Grafik peningkatan dan penurunan kadar testosteron dari masing-masing kelompok perlakuan dapat diamati pada Gambar 20.

Gambar 20 Grafik kadar testosteron dari masing-masing kelompok perlakuan. A. Kelompok marmut kastrasi satu bulan, B. Kelompok markut kastrasi tiga bulan, C. Kelompok marmut kastrasi lima bulan. Pemberian injeksi hormon testosteron dosis tinggi dan dosis rendah menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar hormon testosteron yang signifikan dibandingkan dengan kontrol (tanpa injeksi testosteron).

Berdasarkan grafik di atas terlihat jelas pengaruh injeksi hormon testosteron terhadap peningkatan kadar testosteron dalam plasma darah. Menurut Rosario et al. (2009) bahwa kadar testosteron yang tinggi dalam plasma darah

akan berpengaruh terhadap organ otak. Aksi neuroprotektif klasik dari hormon androgen adalah melindungi otak dari penyakit Alzheimer melalui pengaturan akumulasi plak β amyloid. Perubahan kadar hormon testosteron menyebabkan disregulasi sumbu hipotalamus-hipofisis-gonad (HHG) yang akan mempengaruhi kadar β amyloid secara tidak langsung dengan memodulasi kadar leutinizing hormone (LH). Terapi hormon testosteron akan meningkatkan fosforilasi androgen reseptor (AR) dan meningkatkan aktivitas transkripsional AR. Pada sampel otak laki-laki tua, level hormon testosteron berkorelasi negatif dengan level β amyloid terlarut. Penelitian lain menunjukkan bahwa hormon androgen dapat menurunkan level β amyloid terlarut (Ramsden et al. 2003). Hal ini mengindikasikan bahwa penurunan hormon testosteron akan memicu akumulasi plak β amyloid.

Hormon testosteron merupakan androgen utama dalam sirkulasi dan bertanggung jawab dalam proses diferensiasi, perkembangan dan fungsi organ reproduksi jantan (Richmond and Rogol 2007). Hormon testosteron digunakan sebagai efek anabolik dan androgenik dalam terapi hormon pada kasus kadar hormon yang rendah dan kejadian hypogonadism (Schubert 2005). Sebanyak 65% hormon testosteron berada dalam sirkulasi dan terikat pada sex hormone binding globulin (SHBG), dan 33% berikatan dengan albumin. Hanya sekitar 1- 2% hormon testosteron dalam sirkulasi dalam bentuk bebas terhadap target organ (free testosterone) (Dunn et al.1981). Hormon testosteron masuk ke dalam sel secara difusi pasif dan mempunyai efek biologik melalui ikatan androgen reseptor yang berada pada sitoplasma (Wilbert et al. 1983). Pada organ target tertentu seperti sel prostat, hormon testosteron direduksi ke dalam bentuk metabolit aktif, dihydrostestosteron (DHT) yang berikatan kuat dengan androgen reseptor (Deslypere et al. 1992). Meskipun mekanisme utama hormon testosteron melalui transkripsi DNA, namun juga dapat mengaktifkan signaling transkripsi independen melalui interaksi dengan reseptor pada membran sel. Mekanisme lainnya yaitu melalui aromatisasi hormon testosteron oleh enzim aromatase menghasilkan estradiol yang bekerja melalui reseptor estrogen (seperti sel tulang) (Heinlein and Chang 2002). Hormon testosteron dimetabolisme di dalam hati dan diubah oleh 17β-hydroxydehydrogenase menjadi bentuk androsterone dan etiocholanolone yang secara biologik tidak aktif. DHT dimetabolisme menjadi androsterone, androstenedione dan androstenediol dan diekskresikan ke dalam urin (. Winters and Clark 2003). Aksi neuronal dari hormon androgen adalah mengatur viabilitas neuron selama perkembangan apoptosis (Lund et al.2000). Selain itu juga hormon androgen mempunyai aksi penting pada otak sebagai neuroproteksi terhadap penyakit Alzheimer (Pike 2001) dan menghilangkan hiperfosforilasi dari tau (Papasozomenos 1997).

Kadar β Amyloid pada cairan serebrospinal dan plasma darah

Hasil pengukuran kadar β amyloid pada cairan serebrospinal menunjukkan hasil yang bervariasi dari masing-masing kelompok. Rerataan hasil pengukuran kadar β amyloid pada cairan serebrospinal dan plasma darah dari masing-masing kelompok perlakuan dapat dilihat pada Tabel 7,8 dan Gambar 21.

Tabel 7 Rerataan hasil pengukuran kadar β amyloid pada cairan serebrospinal marmut dari kelompok perlakuan (pg/ml)

Kelompok Periode Perlakuan

1 bulan 3 bulan 5 bulan

DR 186.865+23.7a 25.04+9.12b 19.55+12.86b

DT 13.985+2.86a 39.785+1.3b 212.65+12.65c

K 242.02+20.22a 25.46+1.89b 95.88+0.0c

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05). DR= Marmut yang diinjeksi testosteron dosis rendah, DT= Marmut yang diinjeksi dosis tinggi, K= Marmut yang tidak diberi injeksi testosteron

Tabel 8 Rerataan hasil pengukuran kadar β amyloid pada plasma darah marmut dari kelompok perlakuan (pg/ml)

Kelompok Periode Perlakuan

1 bulan 3 bulan 5 bulan

DR 29.655+2.86a 12.98+2.60b 18.025+12.86b

DT 16.01+1.42a 30.07+28.07b 13.985+12.65

K 22.58+12.86a 14.58+4.56b 63.02+0.0c

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05). DR= Marmut yang diinjeksi testosteron dosis rendah, DT= Marmut yang diinjeksi dosis tinggi, K= Marmut yang tidak diberi injeksi testosteron

Gambar 21 A. Kadar β amyloid dalam cairan serebrospinal dari masing-masing kelompok perlakuan, B. Kadar β amyloid dalam plasma darah dari masing-masing kelompok perlakuan. Pemberian injeksi testosteron dosis tinggi dan dosis rendah dapat meningkatkan kadar β amyloid dari cairan serebrospinal dan plasma darah.

Berdasarkan tabel pemeriksaan kadar β amyloid pada cairan serebrospinal menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan pada kelompok perlakuan injeksi hormon testosteron dengan dosis tinggi pada kelompok perlakuan tiga dan lima bulan. Pada kelompok injeksi dosis rendah terjadi peningkatan kadar β amyloid pada satu bulan setelah injeksi, sedangkan pada kelompok perlakuan kastrasi tiga dan lima bulan menunjukkan kadar yang rendah. Hal ini

kemungkinan disebabkan karena terjadinya penurunan produksi β amyloid pada otak karena pemberian injeksi testosteron.

Hasil pengukuran kadar β amyloid pada CSF pada kelompok kontrol menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Pada kelompok kontrol satu bulan kadar β amyloid pada cairan serebrospinal sangat tinggi, sedangkan pada kelompok kontrol tiga dan lima bulan terlihat rendah. Kadar pengukuran β amyloid yang tinggi pada cairan serebrospinal berhubungan terbalik dengan hasil pemeriksaan akumulasi β amyloid pada jaringan otak. Otak pada kelompok kontrol satu bulan tidak menunjukkan adanya akumulasi β amyloid pada otak, baik di bagian korteks, lobus parietalis, temporalis maupun hipokampus. Sedangkan β amyloid pada kelompok kontrol tiga dan lima bulan sudah terakumulasi pada jaringan otak sehingga hasil pengukuran kadar β amyloid pada cairan serebrospinal terlihat rendah. Peningkatan level β amyloid pada cairan serebrospinal menunjukkan adanya peningkatan clearens atau pembuangan β amyloid dari otak ke dalam ruangg interstitial dan berlanjut ke sirkulasi darah. Kelompok yang diberikan injeksi hormon testosteron dengan dosis tinggi menunjukkan trend peningkatan yang signifikan. Suplementasi hormon testosteron memiliki indeks terapeutik terhadap plak amyloid dalam otak, maka suplementasi hormon testosteron akan menaikkan kelarutan amyloid dalam plak β amyloid, sehingga konsentrasi β amyloid dalam sirkulasi CSF akan mengalami peningkatan (Carrol and Rosario 2012). Meski peningkatan kadar amyloid pada kelompok dosis tinggi tidak berbeda signifikan dengan kelompok lain, namun peningkatannya memiliki nilai R2 diatas 98%. Peningkatan kadar β amyloid di CSF pada kelompok pemberian hormon testosteron dosis tinggi tersebut memenuhi persamaan eksponensial, yaitu y = 3,228e1,360x dengan R² = 0,982 ; dan atau persamaan polinomial yaitu y = 73,53x2 - 194,8x + 135,2 dengan R2=1”

Berdasarkan tabel pemeriksaan kadar β amyloid plasma darah menunjukkan adanya hasil yang tidak konsisten baik pada kelompok kontrol, maupun kelompok yang diberi injeksi hormon testosteron dosis rendah dan dosis tinggi. Pada kelompok kontrol menunjukkan hasil yang tinggi pada kelompok lima bulan, sedangkan pada kelompok perlakuan injeksi hormon testosteron peningkatan kadar β amyloid plasma darah terjadi pada kelompok perlakuan dosis rendah selama satu bulan dan perlakuan dosis tinggi selama tiga bulan. Kadar β amyloid pada cairan serebrospinal secara umum jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kadar β amyloid pada sirkulasi darah. Hal ini memunculkan spekulasi bahwa kadar β amyloid pada plasma darah mencerminkan klirens β amyloid dari cairan serebrospinal fluid yang berjalan lambat masuk ke aliran darah. Proses klirens β amyloid dari otak ke aliran darah dipengaruhi oleh beberapa faktor dan proses tersebut melibatkan beberapa tahap, antara lain: 1) Difusi yang terjadi antara cairan interstitial dan kapiler darah, 2) Pembuangan β amyloid yang terus menerus berjalan lambat melalui cairan interstitial dan cairan serebrospinal menuju ke aliran darah, 3) Proses klirens β amyloid juga sangat dipengaruhi dan diperantarai oleh beberapa protein pembawa seperti apolipoprotein E,

apolipoprotein J, α2-makroglobulin, 4) Transpor β amyloid melalui barier

pembuluh darah otak yang diatur oleh advanced glycation end product (AGE) dan low density lipoprotein receptor protein 1 (LRP1) (Silverbeg et al. 2003; Hone et al. 2003).

Perubahan makroskopik otak

Hasil pengamatan secara makroskopik otak pada semua kelompok perlakuan tidak menunjukkan adanya perubahan patologi yang spesifik. Otak terlihat normal, tidak mengalami atrofi, perdarahan atau perubahan patologi yang lain. Hal ini sesuai dengan hasil penimbangan berat otak yang tidak menunjukkan adanya perbedaan antar kelompok. Gambaran makroskopik otak dapat dilihat pada Gambar 22 dan hasil penimbangan berat otak dapat dilihat pada Gambar 23.

Gambar 22 Organ otak marmut yang terlihat normal dan tidak menunjukkan perubahan patologi yang spesifik

Gambar 23 Grafik rerataan hasil penimbangan berat otak marmut dari masing- masing kelompok perlakuan.

Berdasarkan gambar organ otak di atas menunjukkan bahwa otak tampak utuh, simetris bagian kanan dan kiri, tidak tampak adanya atrofi, infark atau lesi yang lain. Menurut Esiri dan Morris (2004) bahwa gambaran makroskopik otak manusia pada kasus penyakit Alzheimer akan menunjukkan perubahan berupa fokal atrofi dan lesi pada beberapa bagian otak dengan pelebaran dari sulkus

0 1 2 3 4 5 6 K 1 bl K 3 bl K 5 bl Be ra t O ta k (g r) Kelompok Perlakuan Dosis R Dosis T Kontrol

terutama pada lobus frontalis dan temporalis. Berdasarkan pengamatan kasus pasien penyakit Alzheimer yang masih muda secara umum menunjukkan bahwa otak tampak mengalami atrofi dan berat otak menurun secara signifikan dibandingkan pada penderita penyakit Alzheimer yang sudah tua. Atrofi otak dapat diamati pada lobus frontalis, temporalis dan parietalis. Selain itu juga pada kasus penyakit Alzheimer berhubungan dengan hilangnya jaringan otak dan dilatasi yang simetris pada ventrikel lateralis (Daniel 2010). Namun demikian, hasil pengamatan secara mikroskopik pada beberapa kasus menunjukkan perubahan ke arah diagnosa penyakit Alzheimer meskipun tidak tampak adanya atrofi pada otak (Joachim et al. 1986). Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan Hubbard and Handerson (1981) bahwa pada penderita penyakit Alzheimer yang berumur 80 tahun secara makroskopik mempunyai otak yang relatif normal.

Meskipun pengamatan secara makroskopik otak marmut pada penelitian ini tidak menunjukkan adanya perubahan patologi yang spesifik, tetapi pengamatan beberapa bagian otak secara mikroskopik dengan pewarnaan HE, Congo red dan imunohistokimia telah menunjukkan adanya perubahan pada sel neuron otak, parenkim maupun pembuluh darah otak.

Pewarnaan Hematoxillin & Eosin (HE)

Pengamatan secara mikroskopik jaringan otak marmut pada masing-masing kelompok perlakuan dengan pewarnaan HE menunjukkan adanya perubahan pada sel neuron otak. Perubahan tersebut dapat diamati pada daerah korteks, lobus temporalis, parietalis dan hipokampus dari otak marmut. Secara umum ditandai adanya degenerasi sel neuron otak dan kematian sel neuron (nekrosis) disertai dengan peningkatan aktifitas sel-sel glia (gliosis). Gambaran histopatologik otak dengan pewarnaan HE dapat diamati pada Gambar 24 dan 25.

Gambar 24 Histopatologi otak marmut kelompok perlakuan kastrasi lima bulan. Terlihat adanya sel neuron yang mengalami nekrosis (anak panah besar) dan peningkatan sel-sel glia (gliosis) pada otak bagian kortek (anak panah). Pewarnaan HE. Skala: 100 µm

Gambar 24 Histopatologi otak marmut kelompok perlakuan kastrasi lima bulan dengan injeksi testosteron dosis tinggi. Terlihat adanya sel neuron yang normal pada hipokampus (anak panah). Pewarnaan HE. Skala: 100 µm

Berdasarkan pengamatan histopatologi otak dengan pewarnaan HE menunjukkan adanya perubahan pada otak, baik pada kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan injeksi hormon testosteron dosis tinggi dan rendah. Perubahan secara umum ditandai dengan penurunan kematian sel (nekrosis) dan penurunan aktivitas sel-sel glia. Sel neuron tampak normal. Kematian neuron ditandai dengan sel yang berwarna merah, angular, inti padat dan sitoplasma berwarna eosinofilik. Hal ini menunjukkan bahwa kadar atau level testosteron

Dokumen terkait