• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berat badan

Pengamatan terhadap pertumbuhan berat badan marmut pada masing- masing kelompok perlakuan dilakukan pada setiap minggu selama perlakuan. Rerataan berat badan marmut dari setiap kelompok perlakuan menunjukkan adanya pertumbuhan yang bervariasi. Hasil analisa statistik menunjukkan adanya penurunan berat badan yang nyata (P<0.05) pada kelompok K2-1 dan K1-3. Rataan berat badan masing-masing kelompok dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Rataan berat badan marmut masing-masing kelompok

Kelompok Periode perlakuan

BB awal 1 bulan 3 bulan 5 bulan

K1-1 1100+0a 1189+0.09 - - K2-1 1139.5+0.07a 956+0.15b - - K1-3 1129.5+0.03a 1035.5+0.03 966+0.12b - K2-3 1354.5+0.02 1255+0.02 1285+0.02 - K1-5 1000+0.05a 972.5+0.05 980+0.03 994.5+0.02b K2-5 1201+0.07 1124.5+0.01 1177.5+0.08 1263.5+0.06

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05). K1-1=Kelompok paruh baya 1 bulan kastrasi, K2- 1=Kelompok tua 1 bulan kastrasi, K1-3=Kelompok paruh baya 3 bulan kastrasi, K2-3=Kelompok tua 3 bulan kastrasi, K1-5=Kelompok paruh baya 5 bulan kastrasi, K2-5=Kelompok tua 5 bulan kastrasi,

Sedangkan trend perkembangan berat badan dari masing-masing kelompok perlakuan dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Grafik pertumbuhan berat badan kelompok perlakuan, A. K1-1= Marmut dewasa kastrasi 1 bulan, K2-1= Marmut tua kastrasi 1 bulan B. K1-3= Marmut dewasa kastrasi 3 bulan, K2-3= Marmut tua kastrasi 3 bulan dan C. K1-5= Marmut dewasa kastrasi 5 bulan, K2-5= Marmut tua kastrasi 5 bulan

Berdasarkan tabel dan grafik perkembangan berat badan diatas menunjukkan bahwa tindakan kastrasi 1 bulan pada kelompok umur paruh baya terjadi peningkatan berat badan sedangkan pada kelompok umur tua menyebabkan terjadinya penurunan berat badan secara signifikan. Hal ini kemungkinan sangat dipengaruhi terhadap tingkat stress dan sakit yang ditimbulkan setelah kastrasi serta penurunan hormon testosteron akibat kastrasi. Hewan paruh baya relatif

lebih tahan dan kuat terhadap stress dan rasa sakit, sehingga tindakan kastrasi tidak berpengaruh terhadap nafsu makan. Kelompok perlakuan kastrasi 3 bulan menunjukkan adanya trend penurunan berat badan baik pada umur tua maupun paruh baya. Namun demikian, terlihat pada kelompok perlakuan 5 bulan berat badan relatif stabil pada kedua kelompok umur. Hal ini menunjukkan bahwa hewan sudah tidak terpengaruh oleh stress dan rasa sakit akibat tindakan kastrasi karena marmut sudah sembuh dari luka akibat kastrasi dan sudah beradaptasi dengan perubahan hormon testosteron. Penurunan level testosteron yang berkaitan dengan umur secara normal berhubungan dengan gangguan fungsi pada organ- organ yang responsif terhadap androgen seperti tulang, otot dan jantung (Baumgartner et al.1999; Burger et al. 1998; Ferrando et al, 2002; Jones et al. 2003).

Kadar Testosteron

Rerataan hasil pengukuran kadar testosteron pada semua kelompok perlakuan menunjukkan adanya penurunan yang signifikan antara kondisi sebelum dikastrasi dan setelah dikastrasi. Hal ini dapat diamati pada Tabel 2 dan Grafik 2.

Tabel 2 Rata-rata perbedaan level testosteron pada plasma darah dari kelompok perlakuan (ng/ml)

Kelompok Periode

1 bulan 3 bulan 5 bulan

prekastrasi Postkastrasi prekastrasi post kastrasi pre kastrasi postkastrasi

K1 1.95+0.91 0.4+0.28 1.96+0.91 0.31+0.08 2.95+0.14 0.35+0.23 K2 2.83+0.38 0.68+0.17 2.24+0.76 0.74+0.09 2.42+1.62 0.3+0.21

Keterangan: K1= Kelompok hewan paruh baya (16-32 bl), K2 = Kelompok hewan tua (32-48 bl)

Grafik penurunan kadar testosteron dalam plasma darah masing-masing kelompok perlakuan dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Reratan kadar testosteron dalam plasma marmut pre dan post kastrasi dari masing- masing kelompok perlakuan

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 K 1 - 1 K 1- 3 K 1 -5 K 2 - 1 K2- 3 K2 - 5 K a d a r T ( n g /m l) Kelompok perlakuan prekastrasi postkastrasi

Berdasarkan tabel dan grafik diatas menunjukkan bahwa tindakan kastrasi terhadap marmut dapat menyebabkan terjadinya penurunan kadar hormon testosteron dalam plasma darah secara signifikan. Kastrasi dapat menurunkan level testosteron dalam plasma darah dari 70% sampai 80% dari kedua kelompok perlakuan pada satu, tiga dan lima bulan setelah kastrasi. Penurunan level testosteron ini terjadi pada kedua kelompok perlakuan, baik pada kelompok paruh baya maupun tua. Penurunan sangat jelas terlihat pada kelompok umur 5 bulan. Hal ini membuktikan bahwa waktu kastrasi sangat berpengaruh terhadap kadar testosteron dalam plasma darah. Tindakan kastrasi pada marmut ini diharapkan menghasilkan kondisi yang mirip pada laki-laki yang sudah tua. Hal ini akan berpengaruh terhadap pembentukan plak β amyloid pada otak pada proses perkembangan penyakit Alzheimer. Kadar testosteron yang rendah akibat kastrasi akan menyebabkan terjadinya peningkatan kadar β amyloid dalam cairan serebrospinal dan plasma darah. Pada penelitian in vivo menunjukkan bahwa penurunan kadar testosteron baik yang disebabkan oleh orkidektomi maupun terapi anti androgen menyebabkan peningkatan kadar β amyloid pada plasma darah (Almeida et al. 2004) dan otak (Ramsden et al. 2003; Rosario et al. 2006). Kadar testosteron yang rendah karena kastrasi akan menyebabkan hilangnya umpan balik negatif testosteron terhadap gonadotropin leutinizing hormone (LH) sehingga menyebabkan peningkatan kadar LH dan secara in vitro menyebabkan peningkatan produksi β amyloid melalui jalur amiloidogenik (Bowen et al. 2004).

Testosteron merupakan hormon androgen utama dalam sirkulasi. Hormon ini dihasilkan 95% oleh sel Leydig di dalam testis. Selain itu juga dihasilkan oleh kortek adrenal dari kelenjar adrenal. Testosteron diubah menjadi estradiol oleh enzim aromatase melalui proses aromatisasi (Norman and Litwack 1987). Testosteron juga berpengaruh terhadap sistem syaraf pusat. Aksi neuronal dari androgen adalah mengatur viabilitas neuron selama perkembangan apoptosis (Lund et al.2000). Selain itu juga androgen mempunyai aksi penting pada otak sebagai neuroproteksi terhadap penyakit Alzheimer (Pike 2001) dan menghilangkan hiperfosforilasi dari tau (Papasozomenos 1997). Gejala klinis level testosteron rendah pada manusia tidak spesifik. Perubahan yang tampak adalah penurunan kekuatan fisik, mood rendah, iritabilitas, konsentrasi menurun, panas dan berkeringat, penurunan libido dan ereksi serta gangguan tidur. Laki- laki dengan kadar testosteron yang rendah juga mengalami kehilangan motivasi, inisiatif dan kepercayaan diri (Christiansen 2004). Selain itu juga terjadi kerontokan rambut, kehilangan berat badan, penurunan densitas tulang, rapuh, mudah patah, anemia dan peningkatan lemak tubuh (. Wheeler and Barnes 2008). Namun demikian, penurunan level testosteron dapat juga disebabkan oleh tindakan medis (pemberian opioid, steroid) (Rajagopal et al. 2004) atau penyakit akut dan kronis (diabetes, gagal jantung, gagal ginjal, rheumatoid arthritis) (Kalyani et al. 2007).

Kadar β amyloid pada plasma darah dan cairan serebrospinal

Pengukuran kadar β amyloid dilakukan dengan menggunakan sampel

plasma darah dan cairan serebrospinal dengan menggunakan metode ELISA. Berdasarkan Tabel dan Grafik rerataan hasil pengukuran kadar β amyloid pada plasma darah dan cairan serebrospinal (CSF) menunjukkan adanya peningkatan

yang nyata pada perlakuan 1 bulan dan 3 bulan setelah kastrasi. Rerataan hasil pengukuran dari masing-masing kelompok perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 6.

Tabel 3 Rerataan perbedaan level β amyloid pada plasma darah dan CSF dari kelompok perlakuan (pg/ml)

Parameter Kelompok Periode

1 bulan 3 bulan 5 bulan level βA pada

plasma darah

K1 65.75+37.12 61.5+15.90 37.625+6.18 K2 28.25+15.90 40+13.08 33.875+7.95 level βA pada

CSF

K1 69.625+41.54 39.5+7.42 32.375+5.83 K2 49+31.81 53+1.59 37.375+1.23

Keterangan: K1=Kelompok hewan paruh baya (16-32 bl), K2 = Kelompok hewan tua (32-48 bl)

Gambar 6 A. Rerataan kadar β amyloid pada cairan serebrospinal, B. Rerataan

kadar β amyloid pada plasma darah. Kadar β amyloid yang tinggi pada

cairan serebrospinal dan plasma darah pada satu dan tiga bulan setelah kastrasi.

Pada kelompok perlakuan 5 bulan setelah kastrasi, level atau kadar β amyloid pada cairan serebrospinal dan plasma darah relatif stabil. Peningkatan ini sangat signifikan jika dibandingkan dengan kadar β amyloid pada marmut normal yang tidak dikastrasi yaitu 40-45 pg/ml. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh umur hewan yang semakin tua sehingga terjadi retensi dari β amyloid pada otak. Penelitian yang dilakukan oleh Wahjoepramono (2009) menunjukkan bahwa peningkatan β amyloid pada cairan serebrospinal terjadi pada hari ke-7 sampai ke-18 dan dalam periode yang sama, kadar β amyloid tidak berbeda nyata dalam darah. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh ekskresi β amyloid yang cepat di dalam darah. Penelitian yang dilakukan pada tikus menunjukkan bahwa infus peptida β amyloid yang berlabel radioaktif ke dalam ventrikel lateral, sebanyak 40% dari radioaktif tersebut terdeteksi dalam darah dan urin yang

diambil oleh hati dan ginjal dalam waktu 3.5 menit. Sehingga disimpulkan bahwa mekanisme klirens yang terjadi secara cepat dan melibatkan organ-organ sistemik dalam katabolisme β amyloid (Ghersi et al. 1996). Hasil ini relevan dengan hasil pengukuran kadar β amyloid pada kelompok marmut kastrasi lima bulan yang menunjukkan hasil yang tidak berbeda dengan yang normal. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan kastrasi selama 5 bulan pada kelompok umur tua tidak relevan menstimulasi retensi amyloid pada otak dan mengindikasikan bahwa level amyloid pada plasma darah dan CSF memang sudah rendah.

Berdasarkan hasil pemeriksaan kadar hormon testosteron dan β amyloid dapat diperoleh gambaran bahwa hormon testosteron berperan dalam aliran pembuangan amyloid. Hal ini berarti bahwa penurunan hormon testosteron secara efektif dapat menurunkan level amyloid pada sirkulasi darah dan kemungkinan juga retensi amyloid pada otak. Kondisi yang sama dapat diamati pada manusia yang sudah tua, bahwa kadar hormon testosteron yang di dalam sirkulasi darah juga berhubungan terbalik dengan kadar β amyloid dan meningkatkan pembentukan amyloid pada parenkim otak (Gillett et al. 2003). Menurut penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Wahjoepramono (2008) bahwa penurunan level testosteron pada marmut dengan kastrasi dimulai pada hari ke-7 setelah kastrasi dan tetap tidak berubah sampai hari ke-36. Penurunan ini diikuti dengan peningkatan yang signifikan dari kadar β amyloid pada cairan serebrospinal dan plasma darah. Kadar hormon testosteron yang rendah akibat kastrasi menyebabkan hilangnya negative feedback dari testosteron pada gonadotropin luteinizing hormone (LH) yang memicu terjadinya peningkatan LH (Bowen et al. 2004). Dengan demikian, kastrasi pada marmut sejalan dengan fenomena pada manusia. Hal ini mengindikasikan bahwa penelitian menggunakan marmut yang dikastrasi merupakan model ideal untuk amyloid yang berhubungan dengan penyakit Alzheimer. Kadar β amyloid pada plasma dan CSF yang lebih rendah pada perlakuan kastrasi selama 5 bulan menunjukkan bahwa kegagalan pembuangan β amyloid yang berhubungan dengan ketuaan dari otak. Hal ini ditunjukkan dengan pemeriksaan histopatologi otak yang ditandai dengan akumulasi β amyloid pada pembuluh darah arteri, kapiler pada kortek dan lobus temporalis, parietalis serta parenkim otak marmut yang dikastrasi setelah 3 bulan. Penelitian yang dilakukan oleh Wahyoepramono et al. (2008) yang menyatakan bahwa kastrasi pada marmut umur 6-8 minggu meningkatkan kadar β amyloid pada CSF dan plasma darah pada hari ke-18 dan ke-36 setelah kastrasi. Namun demikian pada penelitian ini tidak terlihat adanya akumulasi β amyloid pada otak dan pembuluh darah.

Berat otak

Pengambilan sampel otak dan penimbangan berat otak dari masing- masing kelompok perlakuan dilakukan pada saat nekropsi marmut. Organ otak ditimbang dalam kondisi utuh dan segar yang terdiri dari otak besar, otak kecil dan sebagian medulla spinalis. Sebelum penimbangan dilakukan pengamatan secara makroskopis terhadap bagian-bagian otak dari masing-masing kelompok perlakuan. Hasil pengamatan secara makroskopis otak dan hasil pengukuran berat

otak dari masing-masing kelompok perlakuan dapat dilihat pada Gambar 7 dan Gambar 8.

Gambar 7 Pemeriksaan makroskopik otak marmut dan potongan melintang otak 1/3 belakang. Otak tampak utuh, simetris dan tidak mengalami atrofi.

Gambar 8 Grafik rerataan hasil penimbangan berat otak marmut dari masing- masing kelompok perlakuan. K1= Marmut usia paruh baya, K2= Marmut usia tua

Berdasarkan grafik diatas menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara berat otak dari masing-masing kelompok perlakuan. Hal ini juga tampak secara makroskopis tidak menunjukkan adanya perubahan pada otak. Otak tampak utuh, simetris bagian kanan dan kiri, tidak tampak adanya atrofi, infark atau lesi yang lain. Menurut Esiri dan Morris (2004) bahwa gambaran makroskopik otak manusia pada kasus penyakit Alzheimer akan menunjukkan perubahan berupa fokal atrofi dan lesi pada beberapa bagian otak dengan pelebaran dari sulkus terutama pada lobus frontalis dan temporalis. Berdasarkan

pengamatan kasus pasien penyakit Alzheimer yang muda secara umum menunjukkan bahwa otak tampak mengalami atrofi dan berat otak menurun secara signifikan dibandingkan pada penderita penyakit Alzheimer yang tua. Atrofi otak dapat diamati pada lobus frontalis, temporalis dan parietalis. Selain itu juga pada kasus penyakit Alzheimer berhubungan dengan hilangnya jaringan otak dan dilatasi yang simetris pada ventrikel lateralis (Daniel 2010). Namun demikian, pengamatan mikroskopis pada beberapa kasus menunjukkan perubahan ke arah diagnosa penyakit Alzheimer meskipun tidak tampak adanya atrofi pada otak (Joachim et al. 1986). Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan Hubbard and Handerson (1981) bahwa pada penderita penyakit Alzheimer umur 80 tahun secara makroskopis mempunyai otak yang relatif normal.

Pengamatan makroskopis pada otak marmut pada penelitian ini juga tidak menunjukkan adanya perubahan patologi yang spesifik. Namun demikian, pengamatan beberapa bagian otak secara mikroskopik dengan pewarnaan HE, Congo red dan imunohistokimia menunjukkan adanya perubahan pada sel neuron otak, parenkim maupun pembuluh darah otak.

Perubahan Histopatologi Pewarnaan Hematoxillin & Eosin (HE)

Pengamatan jaringan otak dengan pewarnaan HE menunjukkan adanya perubahan pada sel neuron otak. Perubahan terjadi pada daerah korteks, lobus temporalis, parietalis dan hipokampus dari otak marmut yang dikastrasi baik pada hewan paruh baya maupun tua. Sel neuron otak tampak mengalami degenerasi dan kematian sel neuron disertai dengan peningkatan aktifitas sel-sel glia (gliosis). Gambaran histopatologis otak dengan pewarnaan HE dapat diamati pada Gambar 9 dan 10, perhitungan jumlah kematian sel pada Gambar 11.

Gambar 9 Histopatologi otak marmut pada usia tua kastrasi tiga bulan pada daerah hipokampus. Terlihat adanya sel neuron yang mengalami nekrosis (anak panah kecil) dan peningkatan sel-sel glia (gliosis) (anak panah besar). Pewarnaan HE. Skala: 100 µm

Gambar 10 Histopatologi otak marmut pada usia tua kastrasi tiga bulan pada daerah korteks. Terlihat adanya sel neuron yang mengalami nekrosis (kematian sel) berwarna eosinofilik, angular, dan inti padat (anak panah). Pewarnaan HE. Skala: 100 µm

Gambar 11 Grafik perhitungan atau scoring jumlah sel neuron yang mengalami kematian sel (nekrosis) pada masing-masing bagian otak dari dua kelompok perlakuan.

Berdasarkan gambaran histopatologi otak yang tampak menunjukkan bahwa penurunan hormon testosteron yang dilakukan dengan cara kastrasi mempengaruhi sel neuron. Perubahan yang tampak berupa nekrosis (kematian) neuron dan peningkatan aktivitas sel-sel glia. Kematian neuron ditandai dengan sel yang berwarna merah, angular, inti padat dan sitoplasma berwarna eosinofilik. Perhitungan jumlah kematian sel neuron menunjukkan bahwa kematian sel yang tinggi terjadi pada bagian hipokampus dan korteks dari semua kelompok perlakuan. Kematian sel tertinggi terlihat pada kelompok usia tua. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan level testosteron pada sirkulasi dan otak akan mempengaruhi viabilitas sel neuron. Testosteron merupakan hormon androgen

0 2 4 6 8 10 12 14 16 K1-1 K1-3 K1-5 K2-1 K2-3 K2-5 Ju m la h sel

Grafik scoring H&E

Kortek L Tempo L Pariet Hipo

yang merupakan senyawa steroid yang mengikat dan mengaktifkan inti androgen reseptor (AR) dan mempengaruhi fungsi neuron melalui transkripsi gen (McPhaul and Young 2001). Selain itu juga morfologi neuron pada daerah hipokampus sangat sensitif terhadap perubahan level androgen. AR diekspresikan pada level tinggi dari area otak yang penting pada fungsi kognisi seperti hipokampus, amygdala dan kortek cerebral pada rodensia (Simerly et al. 1990) dan level AR pada otak dimodulasi oleh androgen (Lu et al.1998). Penurunan level testosteron dengan kastrasi menyebabkan viabilitas sel neuron menurun, sehingga neuron mengalami kematian sel (nekrosis). Nekrosis sel neuron menimbulkan peningkatan aktivitas dari sel-sel glia. Sel glia pada otak terdiri dari oligodendroglia, astroglia dan mikroglia. Mikroglia merupakan makrofag dalam system susunan syaraf pusat. Sel ini berasal dari mesodermal/ mesenkimal dan bermigrasi ke seluruh system susunan syaraf pusat, kemudian menyebar ke daerah parenkim otak. Melalui signaling pathways sel mikroglia berkomunikasi dengan neuron dan sistem kekebalan tubuh. Adanya lesi pada daerah otak atau disfungsi system syaraf, mikroglia mengalami proses aktivasi kompleks dan mikroglia berubah menjadi mikroglia yang diaktifkan. Mikroglia yang telah diaktifkan dapat bermigrasi pada daerah otak yang mengalami kerusakan, berproliferasi dan menfagosit sel serta kompartemen seluler (Ketteman et al. 2011).

Selain mikroglia terdapat astrosit yang merupakan sel glial utama pada sistem syaraf pusat dan berperan penting dalam fungsi fisiologis otak. Neuron astrosit berperan dalam mempertahankan homeostasis pada sistem syaraf pusat melalui pelepasan faktor neurotropik dan kemungkinan bertindak sebagai sel imunokompeten pada otak (Dong and Benveniste 2001). Astrosit terlibat aktif dalam transmisi sinap antar neuron. Pada respon terhadap kerusakan otak dan neurodegenerasi, astrosit mengalami perubahan secara morfologi dan fungsi. Proses ini disebut astrogliosis. Astrogliosis juga ditemukan disekitar plak pada otak yang mengalami penyakit Alzheimer (AD). Perubahan pada astrosit berperan dalam penurunan transmisi sinap pada AD. Astrosit bereaksi terhadap berbagai proses neurogeneratif dan memicu astrogliosis (Eng et al. 1992). Aktivasi astrosit terlibat pada patogenesis berbagai penyakit neurodegeneratif, seperti penyakit Alzheimer (AD), penyakit keradangan demyelinasi, human immunodeficiency virus (HIV) yang berhubungan dengan demensia, trauma akut pada otak dan spongiform encephalopathies. Sel glia dan astrosit serta mikroglia berperan penting dalam pembentukan senile plak (Griffin et al. 1997). Astrosit menghasilkan substansi neurotoksik setelah teraktivasi dan meningkatkan level Glial Fibrillary Acidic protein (GFAP) sebagai marker protein untuk astrogliosis (Eng et al.1994). Salah satu stimuli yang memicu terjadinya astrogliosis adalah hambatan proteosome oleh peptida βA. Peptida ini merupakan komponen utama plak ekstraseluler pada otak penderita AD.

Pewarnaan Congo red

Berdasarkan gambaran histopatologis otak dengan pewarnaan Congo red menunjukkan adanya reaksi positif pada sel neuron dan dinding pembuluh darah otak. Reaksi positif ditandai dengan adanya warna merah muda pada sel neuron dan pada bagian tunika intima dari dinding pembuluh darah. Gambaran tersebut dapat diamati pada Gambar 12 dan 13.

Gambar 12 Histopatologi otak marmut usia tua dengan kastrasi tiga bulan. Reaksi positif sel neuron pada lobus parietalis terhadap pewarnaan Congo red (anak panah). Skala: 100 µm

Gambar 13 Histopatologi otak marmut usia tua dengan kastrasi tiga bulan pada korteks. Reaksi positif Congophilic angiopathy yang terlihat jelas pada dinding pembuluh darah (anak panah). Pewarnaan Congo red. Skala: 100 µm

Jumlah sel neuron dan dinding pembuluh darah yang bereaksi positif terhadap pewarnaan Congo red dilakukan perhitungan dengan menggunakan program Image J dari masing-masing bagian otak antara lain korteks, lobus temporalis, lobus parietalis dan hipokampus dengan 5 kali bidang pandang dengan perbesaran 40x. Hasil perhitungan jumlah sel neuron dan pembuluh darah yang bereaksi positif terhadap pewarnaan Congo red dari masing-masing kelompok perlakuan tersebut dapat diamati pada Gambar 14.

Gambar 14 Grafik perhitungan atau scoring congophilic angiopathy dan jumlah sel neuron yang bereaksi positif terhadap pewarnaan Congo red pada masing-masing bagian otak dari dua kelompok perlakuan.

Berdasarkan grafik diatas menunjukkan bahwa pada perlakuan kastrasi selama satu bulan belum menunjukkan reaksi positif yang signifikan pada kedua kelompok perlakuan, reaksi positif terlihat jelas pada perlakuan tiga bulan setelah kastrasi. Sejalan dengan perlakuan lama waktu kastrasi reaksi positif juga semakin jelas. Perhitungan jumlah sel dan pembuluh darah menunjukkan bahwa reaksi positif terhadap Congo red tertinggi pada otak bagian hipokampus dan korteks. Bagian otak ini merupakan bagian yang sensitif terhadap kerusakan, toksisitas dan inflamasi. Akumulasi amiloid pada jaringan otak dan pembuluh darah dengan pewarnaan Congo red disebut dengan Congophilic angiopathy. Akumulasi β amyloid selain terakumulasi pada pusat plak neurit juga terdeposit pada dinding pembuluh darah otak. Protein ini terakumulasi pada dinding pembuluh darah arteri kecil dan arteriola pada leptomeninges dan serebral korteks (Daniel 2010). Pewarnaan immunohistokimia terhadap β amyloid

Pengamatan jaringan otak dengan pewarnaan immunohistokimia dengan menggunakan antibodi terhadap β amyloid A4 menunjukkan adanya reaksi positif yang ditandai dengan adanya akumulasi plak β amyloid pada parenkim otak, sel neuron dan pembuluh darah otak. Perubahan ini jelas mulai terlihat pada kelompok perlakuan tiga bulan setelah kastrasi, sedangkan pada kelompok perlakuan satu bulan setelah kastrasi akumulasi plak β amyloid tidak atau belum begitu jelas terlihat. Akumulasi plak β amyloid semakin tinggi dan jelas sejalan dengan perlakuan lama kastrasi. Reaksi positif tersebut ditandai adanya warna kecoklatan pada jaringan otak. Hal tersebut merupakan gambaran reaksi dari kromogen yang dipergunakan yaitu 3-3,diaminobenzidine (DAB). Gambaran histopatologi otak yang bereaksi positif terhadap β amyloid pada kelompok marmut usia dewasa dan tua dengan tehnik pewarnaan immunohistokimia pada daerah parenkim otak dan dinding pembuluh darah otak dapat diamati pada Gambar 15 dan 16.

Gambar 15 Immunohistokimia otak marmut kelompok usia tua perlakuan kastrasi tiga bulan bagian kortek. Reaksi positif terhadap β amyloid pada sel parenkim otak (anak panah kecil) dan pada pembuluh darah otak (anak panah besar). Pewarnaan immunohistokimia terhadap βA. Skala: 50 µm

Gambar 16 Immunohistokimia otak marmut kelompok usia tua perlakuan kastrasi tiga bulan pada lobus temporalis. Reaksi positif terhadap β amyloid pada paremkim otak (anak panah kecil) dan pada pembuluh darah otak (anak panah besar). Pewarnaan immunohistokimia terhadap βA. Skala: 100 µm

Perhitungan jumlah sel yang bereaksi positif terhadap antibodi β amyloid dari masing-masing kelompok perlakuan pada bagia- - bagian otak dapat diamati pada Gambar 17 dibawah ini.

Gambar 17 Grafik perhitungan atau scoring jumlah sel neuron, parenkim dan pembuluh darah otak yang bereaksi positif terhadap pewarnaan immunohistokimia terhadap β amyloid pada masing-masing bagian otak dari dua kelompok perlakuan.

Berdasarkan gambar dan grafik di atas menunjukkan bahwa pewarnaan immunohistokimia terhadap β amyloid tampak ekspresi jelas positif mulai pada bulan ketiga setelah kastrasi pada kedua kelompok perlakuan, pada satu bulan setelah kastrasi ekspresi β amyloid tidak begitu jelas. Akumulasi β amyloid dapat diamati pada dinding pembuluh darah di bagian kortek, lobus frontalis, lobus temporalis, hipokampus dan parenkim otak. Penemuan ini menunjukkan bahwa pembentukan β amyloid berhubungan dengan deplesi hormon testosteron dalam waktu yang lama. Kadar hormon testosteron dalam plasma darah menurun secara signifikan setelah kastrasi dan berhubungan dengan faktor resiko terhadap perkembangan penyakit Alzheimer yang berkaitan dengan umur. Hormon testosteron merupakan hormon steroid yang utama pada jantan yang menurun sesuai dengan pertambahan umur (Morley 2001). Hormon testosteron berikatan

Dokumen terkait