HASIL DAN PEMBAHASAN Transisi Gelas
VIII. PEMBAHASAN UMUM
Penelitian mengenai pembuatan beras tiruan diharapkan dapat mengurangi ketergantungan masyarakat akan produk beras yang bersumber dari padi. Salah satu peluang untuk meningkatkan nilai tambah dengan proses instanisasi. Beras instan sesuai kriteria Luh et al. (1980) adalah beras yang dapat dimasak dalam waktu 5 menit.
Untuk mencapai waktu pemasakan 5 menit, dibutuhkan penelitian pendahuluan mengenai parameter proses dan formula yang mempengaruhi pembentukan butiran beras tiruan instan. Adanya penurunan waktu pemasakan, mengakibatkan struktur beras tiruan mudah hancur. Struktur butiran beras tiruan instan yang masih utuh, berbentuk oval dengan bagian ujung berbentuk lancip serta memiliki waktu pemasakan 5 menit merupakan kriteria yang diinginkan.
Untuk menghasilkan bentuk butiran beras yang diinginkan tersebut, maka paramater proses kritis, baik yang terkait dengan bahan-bahan yang digunakan maupun parameter selama proses ekstrusi perlu diidentifikasi. Beberapa parameter proses dapat dikendalikan untuk menghasilkan beras tiruan instan sebagaimana kriteria yang dikehendaki. Pengaruh parameter proses yang diteliti meliputi: kecepatan putaran ulir dan suhu barrel. Penggunaan kadar air dan gliserol monostearat (GMS) menjadi parameter kritis bahan yang diamati untuk menghasilkan beras tiruan instan. Kombinasi proses pengukusan dilakukan untuk meningkatkan derajat gelatinisasi serta menurunkan waktu pemasakan.
Penambahan air dalam adonan menjadi faktor penting dalam pembuatan beras tiruan instan. Pada penambahan air adonan sebesar 50%, dihasilkan suhu
barrel ekstruder stabil dan tidak terjadi puffing secara berlebihan. Produk beras tiruan instan yang dihasilkan berbentuk oval dengan ujung lancip serta seragam. Pada proses pemasakan selanjutnya diperoleh butiran yang menyerupai nasi dari padi. Penambahan air, akan memecah kristalinitas dan merusak keteraturan bentuk amilosa serta mengakibatkan granula pati membengkak. Adanya peningkatan suhu dan jumlah air yang berlebihan akan mengakibatkan granula mengembang lebih lanjut dan amilosa mulai terdifusi keluar dari granula (Govindasamy et al.
1996). Pengunaan suhu tinggi dan adanya air akan mengakibatkan terjadinya proses gelatinisasi. Besar kecilnya rasio pengembangan produk ekstrusi ditentukan oleh banyak sedikitnya jumlah pati yang tergelatinisasi selama proses ekstrusi. Derajat gelatinisasi yang semakin tinggi juga diikuti dengan derajat pengembangan yang tinggi (Harper 1981; Linco et al. 1981). Pengembangan yang terlalu tinggi tidak diinginkan, karena akan membuat produk beras tiruan instan menjadi tidak seragam.
Kecepatan putaran ulir ekstruder optimal adalah 168 rpm. Kecepatan putaran ulir tersebut menghasilkan mutu butiran yang baik dan kokoh, dan tidak mudah hancur saat dimasak. Kecepatan putaran ulir sangat berpengaruh terhadap waktu retensi produk selama didalam mesin ekstruder (Riaz 2000). Kecepatan ulir dan suhu ekstruder mempengaruhi derajat gelatinisasi dari produk yang dihasilkan (Govindasamy et al. 1996). Untuk memecah pati ada hal penting yang perlu diperhatikan yaitu kecepatan putaran ulir, dengan meningkatnya kecepatan ulir maka struktur pati akan berubah seluruhnya (Chang et al. 1998).
Penggunaan suhu barrel mempengaruhi karakteristik diskripif pembentukan butiran beras tiruan instan. Penggunaan suhu barrel diatas 100°C terjadi proses
puffing dan pada penggunaan suhu 85°C, diperoleh butiran beras yang rapuh dan mudah patah yang disebabkan oleh proses gelatinisasi yang belum sempurna pada proses ekstrusi. Pada penggunaan suhu 95°C dihasilkan butiran beras tiruan instan yang seragam, tidak gembung dan berwarna putih transparan serta menghasilkan beras dengan mutu pemasakan yang baik serta tidak hancur. Berdasarkan hasil analisis pengaruh penggunaan suhu barrel terhadap waktu pemasakan menunjukkan bahwasannya dengan semakin meningkatnya suhu barrel dapat menurunkan waktu pemasakan. Dengan meningkatnya penggunaan suhu akan meningkatkan derajat gelatinisasi (Koide et al. 1999). Berdasarkan hasil tersebut, peningkatan suhu menyebabkan peningkatan derajat gelatinisasi sehingga akan mempersingkat waktu pemasakan serta dihasilkan produk beras tiruan instan yang matang dengan indikasi derajat gelatinisasi 100%.
Penggunaan GMS berfungsi untuk menurunkan friksi yang terjadi selama proses ekstrusi serta mengontrol absorpsi air oleh butiran beras tiruan (Mishra et al. 2012). Plastisizer tersebut digunakan untuk mengendalikan produk beras tiruan agar memiliki karaktersitik tidak terlalu lengket baik pada waktu proses maupun pada produk akhir. Wang et al. (2011) melakukan penelitian pembuatan beras tiruan dengan menggunakan tambahan plastisizer berupa GMS, lesitin dan sodium lactylate. Pada penambahan GMS 1%, beberapa butiran yang masih menggembung. Pada penambahan GMS 2%, beras tiruan diperoleh butiran beras yang utuh dan kompak. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Smith et al.
(1985) plastisizer yang dalam hal ini GMS dapat meningkatkan tekstur, menurunkan kemampuan adesif dan memperbaiki bentuk produk akhir. Budijanto (2011) menggunakan konsentrasi GMS pada pembuatan beras tiruan sebesar 2%. Pada peningkatan konsentrasi GMS diatas 2% dapat memperpanjang waktu pemasakan. GMS sebagai plastisizer mengandung komponen hidrofobik, yang dapat menurunkan kemampuan untuk menyerap air (Mishra et al. 2012), yang pada akhirnya dapat meningkatkan waktu pemasakan.
Pengukusan setelah proses ekstrusi dapat digunakan untuk meningkatkan derajat gelatinisasi (Prasert dan Suwannaporn 2009). Lebih lanjut, menurut Sozer (2009), Proses pengukusan dapat meningkatkan derajat gelatinisasi produk pasta beras yang disuplementasi dengan protein dan gum. Waktu pengukusan selama 1- 3 menit menghasilkan mutu butiran yang masih menyerupai butiran beras yaitu oval dengan bagian ujung berbentuk lancip. Waktu pengukusan selama 6 menit menghasilkan butiran yang lembek. Dengan meningkatnya waktu pengukusan, waktu pemasakan optimum dapat diperpendek. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sozer (2009), yaitu peningkatan waktu pengukusan berkorelasi dengan peningkatan derajat gelatinisasi dan pemendekan waktu pemasakan.
Berdasarkan penelitian pengaruh parameter kritis tersebut, diperoleh faktor tetap berupa penambahan air adonan 50%, kecepatan putaran ulir 168 rpm dan konsentrasi GMS 2%. Untuk mencapai target waktu pemasakan 5 menit, dibutuhkan optimasi proses dan formulasi. Optimasi proses pembuatan beras tiruan instan dengan menggunakan faktor peubah berupa suhu barrel 90- 100°Cdan kombinasiwaktu pengukusan1-5 menit, serta faktor tetap penambahan air adonan 50%, hidrokoloid natrium alginat 1%. GMS 2% dengan menggunakan kecepatan putaran ulir 168 rpm. Optimasi proses dilakukan dengan menggunakan metode respon surface dengan software DX 7.
Parameter penting yang harus diamati untuk menghasilkan beras tiruan instan yaitu waktu pemasakan (Luh et al. 1980; Roberts 2004), derajat gelatinisasi (Prasert dan Suwannaporn 2009), indeks absorpsi air (Govindasamy et al. 1996) dan indeks pengembangan (Wang et al. 2011). Waktu pemasakan merupakan parameter yang sangat penting yaitu 5 menit untuk mengklasifikasikannya sebagai beras instan (Luh et al. 1980 dan Roberts 2004). Adanya perbedaan waktu pemasakan sangat terkait dengan kemampuan gelatinisasti pati dan kemampuan menyerap air dari beras (Roy et al. 2010). Berdasarkan hasil analisis korelasi diperoleh hasil hubungan waktu pemasakan dengan derajat gelatinisasi dan indeks absorpsi air secara signifikan dengan taraf kepercayaan 95% berhubungan negatif sebagaimana tertera pada Tabel 8.1. Dengan semakin meningkatnya derajat gelatinisasi akan menurunkan waktu pemasakan. Demikian halnya dengan indeks absorpsi air. Dengan semakin meningkatnya indeks absorpsi air, waktu pemasakan semakin menurun. Indeks pengembangan dianalisis terkait dengan keseragaman bentuk dan ukuran beras tiruan instan yang harus menyerupai butiran granula beras yang bersumber dari padi.
Tabel 8.1 Hubungan korelasi waktu pemasakan terhadap derajat gelatinisasi, indeks absorpsi air dan indeks pengembangan
Hubungan korelasi Waktu Pemasakan Derajat Gelatinisasi Indeks Absorpsi Air Indeks Pengembangan Pearson 1 -0,703 -0,529 -0,228 Signifikan Level 0,000 0,000 0,146
Berdasarkan hasil penelitian, suhu barrel dan waktu pengukusan mempengaruhi secara individu terhadap respon waktu pemasakan, derajat gelatinisasi, indeks absorpsi air dan indeks pengembangan. Interaksi antara suhu
barrel dan waktu pengukusan mempengaruhi derajat gelatinisasi dan indeks pengembangan. Derajat gelatinisasi sangat mempengaruhi proses pembuatan beras tiruan instan. Pengukusan pada suhu 70°C sesudah proses ekstrusi dapat membantu proses pemasakan (Mishra et al. 2012). Dengan semakin tinggi suhu
barrel dan semakin lama waktu pengukusan akan mempersingkat waktu pemasakan. Indeks absorpsi air mengindikasikan kemampuan beras tiruan instan dalam menyerap air. Govindasamy et al. (1996) melaporkan bahwasa suhu barrel
dan kecepatan putaran ulir mempengaruhi indeks absorpsi air produk ekstrudat yang dihasilkan.
Indeks pengembangan merupakan salah satu parameter untuk menentukan, seberapa besar produk tersebut dapat mengembang. Dalam hal ini, produk diharapkan mengembang tidak terlalu besar, karena adanya pengembangan yang terlalu besar, mengakibatkan produk lebih menyerupai dengan produk ekstrusi. Salah satu analisis untuk produk ekstrusi yaitu sebagaimana yang dilakukan oleh Kumagai et al. (1987) dengan cara membandingkan diameter produk dengan diameter die ekstruder. Indeks pengembangan minimal sangat dibutuhkan untuk menghasilkan bentuk produk beras tiruan instan oval berujung lancip serta seragam.
Optimasi proses dengan cara melakukan overlay empat respon parameter yaitu waktu pemasakan 5 menit, derajat gelatinisasi maksimal, indeks absorpsi air
maksimal dan indeks pengembangan minimal. Berdasarkan hasil overlay
diperoleh nilai desirability sebesar 0,857 dengan rekomendasi suhu pemanasan
barrel 96°C dengan waktu pengukusan selama 5 menit. Kondisi proses tersebut akan menghasilkan waktu pemasakan 5 menit, derajat gelatinisasi 75,65%, indeks absorpsi air 2,996 g/g dan indeks pengembangan 155,65%. Hasil tersebut divalidasi serta masih masuk didalam rentang CI (Confidential Interval) 95%.
Menurut Wang et al. (2011), tiga parameter penting yang cukup sulit dikendalikan untuk menghasilkan beras tiruan instan yang berbahan dasar tepung beras yaitu waktu rehidrasi, bentuk dan tekstur. Semua parameter tersebut dapat dikendalikan dengan cara menggunakan formulasi yang tepat. Hidrokoloid diketahui memiliki kemampuan dapat menyerap air lebih banyak. Glukomanan memiliki kemampuan indeks absorpsi air yang tinggi yaitu 153,64 g/g (Tatirot et al. 2012). Guar gum memiliki kemampuan sebagai water binding capacity yang baik. Tara gum juga mempunyai kemampuan sebagai perekat dan thickening agent. Jenis hidrokoloid tersebut dibandingkan dengan natrium alginat sebagaimana yang digunakan oleh Wang et al. (2011) dalam optimasi formulasi beras tiruan instan sebelumnya.
Pada tahap optimasi formula atau ingredien beras tiruan instan dilakukan dengan menggunakan empat jenis hidrokoloid yaitu glukomanan, natrium alginat, tara gum dan guar gum dengan respon waktu pemasakan, derajat gelatinisasi, indeks absorpsi dan indeks pengembangan. Optimasi dilakukan dengan menggunakan rancangan Mixture Design dengan software DX 7. Kombinasi jenis dan konsentrasi hidrokoloid mempengaruhi secara signifikan terhadap respon waktu pemasakan, derajat gelatinisasi, indeks absorpsi air dan indeks pengembangan. Beberapa interaksi jenis dan konsentrasi hidrokoloid terjadi dan mempengaruhi respon parameter. Untuk menentukan hasil optimasi, dimasukkan target waktu pemasakan 5 menit, nilai derajat gelatinisasi maksimal, nilai indeks absorpsi air maksimal dan nilai indeks pengembangan minimal. Proses optimasi dilakukan dengan melakukan overlay untuk keempat parameter hasil analisis. Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai desirability sebesar 0,721, dengan formula penggunaan hidrokoloid meliputi 0,96 % glukomanan dan 0,04% guar gum menghasilkan produk beras tiruan instan optimal. Hasil verifikasi masih masuk didalam rentang 95% CI (Confidence Interval).
Karakterisasi terhadap produk optimal 1 (OPT1) yaitu produk yang menggunakan jenis hidrokoloid natrium alginat 1% dibandingkan dengan produk optimal hasil optimasi formulasi dengan menggunakan metode mixture disain
(OPT2) yaitu dengan menggunakan jenis hidrokoloid 0,96 % glukomanan dan 0,04% guar gum. Berdasarkan hasil penelitian, tingkat kekerasan OPT2 lebih kecil dibandingkan dengan OPT1. Pada pembuatan beras tiruan instan digunakan komponen tepung jagung yang ditambahkan dengan tapioka, GMS, dan hidrokoloid. Komponen tersebut, akan berinteraksi selama proses pemasakan. Adanya interaksi makromolekul dan mikromolekul mengakibatkan beras instan memiliki tekstur yang lebih keras (Ong dan Blanshard 1995; Derycke et al. 2005). Intra dan inter molekuler dari pati, dengan komponen lainnya seperti protein, lemak dan polisakarida lainnya dapat mengakibatkan tekstur menjadi keras (Ong dan Blanshard 1995).
Berdasarkan hasil analisis SEM, produk beras tiruan instan dengan penggunaan hidroloid natrium alginat sebesar 1%, menunjukkan profil berlayer.
Produk beras tiruan instan dengan menggunakan kombinasi hidrokoloid optimal yaitu glukomanan 0,96% dan guar gum 0,04% menghasilkan produk dengan penampang melintang berporous. Perbedaan penampang melintang tersebut, dapat mengindikasikan adanya pengaruh penggunaan hidrokoloid terhadap profil porositas bagian dalam dari produk beras tiruan instan, yang pada akhirnya mempengaruhi karakteristik yang mendukung parameter analisis produk lainnya. Pada proses pengukusan pembuatan beras instan, akan terjadi proses ekspansi dan masuknya uap air pada granula beras yang pada akhirnya akan menimbulkan porositas pada penampang melintang beras instan yang dihasilkan (Prasert dan Suwannaporn 2009; Baz et al. 1992). Lebih lanjut, Prasert dan Suwannapon (2009) menjelaskan bahwasannya penampang porous sebagaimana hasil analisis SEM merupakan suatu fenomena terjadinya case hardening. Adanya penambahan jenis hidrokoloid yang berbeda serta adanya kombinasi proses pengukusan, akan mengakibatkan kemampuan menyerap uap air yang berbeda, sehingga setelah proses pengeringan akan menghasilkan penampang mikrostruktur yang berbeda pula.
Berdasarkan hasil analisis XRD dari tepung jagung, produk beras tiruan instan dengan penambahan hidrokoloid natrium alginat (OPT1) dan beras tiruan instan dengan penambahan hidrokoloid dengan kombinasi penggunaan glukomanan 0,96% dan guar gum 0,04% (OPT2), menghasilkan perbedaan profil kristalinitas dan derajat kristalinitasnya. Pada tepung jagung memiliki nilai kristalinitas sebesar 14,52, OPT1sebesar 13,63% dan OPT2 memiliki nilai kristalinitas sebesar 12,12%. Profil difraksi dapat digunakan untuk melakukan analisis pada produk beras instan (Prasert dan Suwannaporn, 2009). Pada beras instan, pada umumnya memiliki pola difraksi tipe V (kompleks amilosa-lemak),
dengan intensitas refleksi pada 2θ = 13° dan 20°. Hal ini sebagaimana pada hasil penelitian, dimana pada tepung jagung, puncak 2θ tidak terdapat pada nilai
disekitar 13° dan 20°. Namun berbeda halnya dengan OPT1 dan OPT2 memiliki
nilai 2θ sebagimana pola tipe V sesuai hasil penelitian Prasert dan Suwannaporn
(2009), dalam menghasilkan beras instan dari padi. Sebelum proses gelatinisasi, pati memiliki kemampuan membentuk kompleks dengan lemak yang terbatas (Pilli et al. 2008). Ketika tepung jagung ditambahkan dengan beberapa bahan tambahan lainnya dan setelah mengalami proses pengolahan, akan mempengaruhi profil kristalinitas yang dihasilkan. Pola difraksi amilosa dan lemak meningkat dengan tingkat pemasakan yang dilakukan (Derycke et al. 2005).
Salah satu faktor penting terkait dengan produk beras tiruan instan, yaitu mengenai stabilitas produk. Analisis stabilitas produk dilakukan dengan pendekatan isotermis sorpsi air dan pendekatan state diagram. Stabilitas dan umur simpan suatu bahan pangan dapat diketahui dengan melakukan analisis isotermis sorpsi air. Isotermis sorpsi air merupakan hubungan antara kadar air dengan aktivitas air pada suhutertentu. Isotermis sorpsi air merupakan suatu pendekatan untuk mengetahui interaksi air dengan bahan pangan pada tekanan dan suhu tertentu. Analisis isotermis sorpsi air, dilakukan dengan pendekatan BET dan GAB.
Analisis sorpsi isotermis dilakukan dengan variasi delapan aktivitas air (0,076 sampai dengan 0,971) untuk sampel OPT1, OPT2 yang dibandingkan dengan beras komersial yang bersumber dari padi. Pada aktivitas air terendah (0,076), masing- masing sampel menunjukkan tingkat kadar air yang berbeda, dimana kadar air terendah ditunjukkan oleh OPT2 (2,31% + 0,260) dan yang tertinggi adalah beras
padi (5,31% + 0,267). Pada aktivitas air tertinggi, ampel OPT2 memiliki kadar air yang terendah yaitu (27,66% + 0,224) dan yang memiliki kadar air tertinggi adalah beras padi (28,79% + 0,232).
Ketiga sampel (beras komersial, OPT1 dan OPT2) memiliki pola ISA yang sama, yaitu berbentuk sigmoid. Menurut klasifikasi Labuza, kurva tersebut termasuk tipe II atau pola yang umum ditemui pada sistem pangan amorf. Bell dan Labuza (2000) menyatakan bahwasannya Tipe II sorpsi menyerupai hurus S yang disebabkan akibat adanya pengaruh akumulasi serta efek koligatif, kapiler dan interaksi permukaan bahan padatan dengan air. Hal ini sangat sesuai dengan bahan beras yang memiliki komponen yang cukup kompleks yaitu karbohidrat, protein, lemak. Sampel OPT1 dan OPT2 juga memiliki komponen penyusun atau formulasi yang cukup kompleks dengan adanya penambahan bahan berupa plastisizer GMS, pati berupa tapioka dan hidrokoloid.
Sampel OPT1 dan OPT2 juga memiliki komponen penyusun atau formulasi yang cukup kompleks dengan adanya penambahan bahan berupa plastisizer GMS, pati berupa tapioka dan hidrokoloid. Karbohidrat dan pati yang digunakan yang sebagian besar merupakan komponen yang bersifat amorf. Jenis hidrokoloid yang ditambahkan juga mempengaruhi profil ISA yang dihasilkan, sebagaimana profil ISA pada sampel OPT1 yang menggunakan natrium alginat, sedikit memiliki kadar air lebih tinggi dibandingkan dengan OPT2 yang memiliki kadar air yang lebih rendah pada kondisi aw yang sama.
Pendekatan model BET hanya dapat digunakan padarentang nilai aw yang sempit yaitu antara 0,076-0,514. Analisis ISA lebih lanjut dilakukan dengan menggunakan pendekatan model GAB dengan rentang nilai aw yang lebih luas yaitu 0,076-0,971. Secara keseluruhan nilai Mm berdasarkan hasil perhitungan
dengan pendekatan Model GAB lebih tinggi daripada nilai Mm berdasarkan hasil
perhitungan dengan pendekatan model BET. Perbedaan ini terjadi karena adanya perhitungan kondisi multilayer pada persamaan GAB. Nilai C pada OPT1 lebih tinggi daripada sampel lain, yang disebabkan oleh adanya pengaruh natrium pada hidroloid alginat yang ditambahkan. Natrium tersebut dapat menyebabkan terjadinya ikatan ionik sehingga membutuhkan energi adsorpsi yang lebih besar. Adanya penambahan komponen yang bersifat hidrofobik seperti GMS pada sampel beras tiruan instan, juga akan menurunkan kadar air monolayer.
Nilai C dan K menunjukkan energi adsorpsi yang berhubungan dengan energi pengikatan air pada lapisan monolayer. Tingginya energi adsorpsi ini berkaitan dengan tipe ikatan yang terlibat dalam pengikatan air (Wijaya et al. 2014). Berdasarkan hasil analisis, nilai C pada sampel OPT1 lebih tinggi daripada sampel lainnya. Hal ini dimungkinkan, karena adanya penambahan natrium alginat dapat meningkatkan energi ikatan pada lapisan monolayer sampel OPT1. Energi ikatan ionik adalah 160 kkal/ mol, sedangkan ikatan hidrogen 5 kkal/mol dan interaksi dipol-ionik 20 kkal/ mol (Adawiyah dan Soekarto 2010). Adanya komponen natrium pada hidrokoloid natrium alginat, dapat menyebabkan energi yang dibutuhkan untuk mengadsorpsi pada monolayer OPT1 lebih besar daripada sampel beras komersial dan OPT2. Penambahan jenis hidrokoloid mempengaruhi daya adsorpsi lapisan monolayer dari beras tiruan instan yang dihasilkan.
Untuk selanjutnya pendekatan model GAB digunakan untuk analisis kadar air kesetimbangan untuk analisis umur simpan produk beras tiruan instan yang dibandingkan dengan beras komersial dari padi. Berdasarkan hasil analisis ISA,
diperoleh umur simpan paling lama yaitu sampel OPT2 dengan menggunakan jenis kemasan aluminium foil. Sampel OPT2 memiliki umur simpan lebih lama daripada sampel OPT1 dan beras komersial dari padi, karena berdasarkan profil grafik ISA menunjukkan pola grafik paling bawah. Hal ini menunjukkan bahwasannya dengan adanya variasi perubahan aw, kadar air relatif berubah lebih kecil dibandingkan dengan sampel lainnya. Dengan demikian OPT2 memiliki stabilitas umur simpan lebih baik daripada sampel OPT1 dan beras komersial dari padi. Umur simpan beras tiruan instan yang dikemas dalam aluminium foil memiliki umur simpan yang lebih panjang daripada jenis kemasan lainnya. Hal ini disebabkan karena permeabilitas kemasan aluminium foil lebih kecil dibandingkan jenis kemasan lainnya.
Penentuan umur simpan OPT 2 dan OPT 1 dengan RH dibawah 80% dapat ditentukan dengan menggunakan rumus Bell dan Labuza (2000), karena nilai kadar air kesetimbangannya berada dibawah nilai kadar SNI 2008. Terdapatnya perbedaan umur simpan dengan yang tanpa dimodifikasi, terletak pada nilai kadar air kesetimbangan dan faktor B atau slop ISA. Hal ini mengakibatkan nilai umur simpan yang dimodifikasi lebih pendek dibandingkan dengan perhitungan yang menggunakan rumus Bell dan Labuza (2000) yang tanpa modifikasi.
Disamping analisis stabilitas dengan pendekatan sorpsi isotermis, juga dapat dilalukan dengan pendekatan mobilitas molekuler. Dalam penelitian ini dilakukan untuk sampel OPT2 yaitu yang menggunakan penambahan glukomanan 0,96% dan guar gum 0,04%. Mobilitas molekuler dapat dilakukan dengan pendekatan analisis termal. Analisis termal dilakukan dengan menggunakan rangkaian pengaruh konsentrasi padatan dan suhu terhadap profil suhu gelatinisasi, pembekuan dan pelelehan. Berdasarkan hasil analisis termal, diperoleh suhu gelatinisasi, pembekuan dan pelelehan yang selanjutnya diterjemahkan dalam diagram terjadinya perubahan fase atau state diagram (Gambar 8.1). State diagram berisi kurva garis transisi gelas dan pembekuan yang dapat membantu memprediksi terjadinya perubahan kondisi fisik dan kimia produk pangan selama proses dan penyimpanan. .
Pengaruh fraksi padatan dan suhu terhadap perubahan fase beras tiruan instan dapat diketahui. Pada kondisi kadar air dan suhu tertentu sebagaimana hasil ploting, diperoleh daerah terjadinya perubahan transisi gelas. Pada kondisi tersebut, dimana pada kadar air dan suhu produk mengalami perubahan transisi dan berada pada zona kritis. Produk beras tiruan instan mengandung fase amorf dan kristalin. Polimer amorf pada suhu rendah atau dibawah suhu transisi gelasnya merupakan materi yang keras seperti gelas. Pada saat produk pangan melewati suhu transisi gelas dan memasuki fase rubber sebelum menjadi cair, dimana terjadi pergerakan rantai polimer. Jenis pergerakan tersebut meliputi: gerakan translasi diseluruh molekul, gerakan menggeliat kooperatif panjang, terutama pada molekul lentur dan terbuka dengan jumlah ikatan C-C 40 sampai dengan 50, gerakan koperatif pendek pada molekul dengan jumlah ikatan C-C 5 sampai 6 dan gerakan vibrasi pada atom karbon (Kumar dan Gupta 1998).
Terdapatnya perbedaan antara pendekatan stabilitas produk dengan menggunakan metode sorpsi isotermis dengan state diagram, merupakan suatu pendekatan yang dapat digunakan untuk melakukan stabilitas produk pangan. Konsep analisis stabilitas dengan menggunakan state diagram, dapat digunakan dengan pendekatan mobilitas air akibat adanya perubahan kadar air dan suhu. Metode ISA dapat digunakan untuk analisis stabilitas dengan pendekatan perubahan aktivitas air dan kadar air terhadap produk pangan. Kedua metode tersebut dapat diteliti dan diimplementasikan lebih lanjut untuk produk pangan secara lebih luas.
Pengaruh fraksi padatan dan suhu terhadap perubahan fase beras tiruan instan dapat diketahui. Pada kondisi kadar air dan suhu tertentu sebagaimana hasil ploting, diperoleh daerah terjadinya perubahan transisi gelas. Pada kondisi tersebut, dimana pada kadar air dan suhu produk mengalami perubahan transisi dan berada pada zona